Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. UMUM
Setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia selalu menghasilkan sampah dan
hampir setiap hari manusia menghasilkan sampah. Jika sampah tersebut tidak dikelola
dengan baik, maka akan menimbulkan berbagai masalah seperti masalah estetika
karena bau yangditimbulkannya, menjadi vektor penyakit dan dapat menganggu
kualitas tanah dan air tanah sekitarnya. Untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap
lingkungan dan kesehatan manusia maka perlu dirancang suatu sistem pengelolaan
persampahan yang baik mulai dari sumber, pengumpulan, transportasi hingga ke
Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sampah (solid waste) secara umum dapat diartikan sebagai semua buangan yang
dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang tidak diinginkan atau digunakan lagi,
baik berbentuk padat atau setengah padat (Tchobanoglous, 1993). Menurut American
Public Health Association (APHA), sampah adalah sesuatu yang tidak dapat digunakan,
tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang terbuang yang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sedangkan menurut UU-18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah definisi sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
proses alam yang berbentuk padat.
Dalam perancangan sistem pengelolaan persampahan suatu daerah diperlukan
data mengenai timbulan sampah, komposisi dan karakteristik sampah yang dihasilkan
di daerah yang direncanakan. Data mengenai timbulan sampah sangat diperlukan dalam
menyeleksi jenis atau tipe peralatan yang digunakan dalam transportasi sampah, desain
sistem pengolahan persampahan, fasilitas pengolahan sampah, dan desain TPA.

2.2. JENIS DAN SUMBER SAMPAH
Jenis sampah yang ada di sekitar kita cukup beraneka ragam, ada yang berupa
sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah
pertanian, sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah institusi/kantor/sekolah,
dan sebagainya. Berdasarkan sifat kimia unsur pembentuknya, sampah padat dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut :
1. Sampah organik atau sering disebut sampah basah adalah jenis sampah yang berasal
dari jasad hidup sehingga mudah membusuk dan dapat hancur secara alami.
Contohnya adalah sayuran, daging, ikan, nasi, dan potongan rumput atau daun dan
ranting dari kebun.
2. Sampah non organik atau sampah kering adalah sampah yang tersusun dari senyawa
non organik yang berasal dari sumber daya alam tidak diperbaharui seperti mineral
dan minyak bumi atau dari proses industri. Contohnya adalah botol gelas, plastik,
kaleng dan logam.
Sampah dari jenis tersebut dikenal sebagai sampah domestik. Sedang sampah
non-domestik adalah sampah atau limbah yang bukan sejenis sampah rumah tangga,
misalnya limbah dari proses industri. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam
pengelolaan sampah kota di Indonesia, sumber sampah kota dibagi berdasarkan:
a. Permukiman atau rumah tangga dan sejenisnya
b. Pasar
c. Kegiatan komersial seperti pertokoan
d. Kegiatan perkantoran
e. Hotel dan restoran
f. Kegiatan dari institusi seperti industri, rumah sakit, untuk sampah yang sejenis
sampah permukiman
g. Penyapuan jalan
h. Taman-taman.
Timbulan sampah masing-masing sumber tersebut bervariasi satu dengan yang
lain, seperti terlihat dalam standar pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Besarnya timbulan sampah berdasarkan sumbernya

Menurut Dep. PU, 1994 dan Tchobanoglous, Theisen, dan Vigil, 1993, sumber-
sumber sampah pada umumnya dapat diklafikasikan sebagai berikut :
Daerah Pemukiman (Rumah Tangga)
Contohnya: sampah makanan , kertas, plastik, kain, tekstil, kayu, gelas, bulky items
Daerah Komersial
Contohnya: kertas, kardus, plastik, kayu, kaca, bulky waste
Daerah Institusi
Contohnya: kertas, kardus, plastik, kayu, kaca, bulky waste
Konstruksi
Contohnya: kayu, besi, material lumpur
Pengolahan limbah padat dan cair
Contohnya: abu, dan lumpur
Industri
Contohnya: limbah B3 dan material yang tidak dapat digunakan
Pertanian
Contohnya: pestisida, sampah pertanian

2.3. TIMBULAN SAMPAH
Timbulan sampah merupakan jumlah atau volume sampah yang dihasilkan dari
sumber sampah. Penentuan timbulan sampah biasanya dinyatakan dalam volume dan
berat. Sampah yang dihasilkan dipilah untuk memudahkan proses berikutnya,
kemudian sampah ditempatkan pada wadah yang sudah disediakan sesuai dengan jenis
sampah. Jumlah timbulan sampah ini akan berhubungan dengan elemen-elemen
pengelolaan sampah antara lain:
Pemilihan peralatan, misalnya wadah, alat pengumpulan dan pengangkutan
Perencanaan dan pengangkutan
Fasilitas untuk daur ulang
Luas dan jenis TPA
Terdapat beberapa faktor yang mempengarui jumlah timbulan sampah, yaitu:
a. Reduksi di sumber sampah:
Mengurangi bungkus / packing
Produk lebih tahan lama (dapat digunakan lagi)
Mengganti bahan sekali pakai ( popok, tempat makanan, piring,dll)
Sesedikit mungkin menggunakan bahan-bahan / sumber daya alam
Tingkatan bahan yang dapat di-recycle atau reuse
b. Recycling
c. Kebiasaan masyarakat
d. Peraturan (misalnya :packing)
e. Fisik dan geografi (musim, iklim , dan ketinggian dari permukaan laut).

Timbulan sampah dapat diperoleh dengan sampling (estimasi) berdasarkan
standar yang sudah tersedia. Timbulan sampah ini dinyatakan sebagai [15]:
Satuan berat: kg/o/hari, kg/m2/hari, kg/bed/hari dan sebagainya
Satuan volume: L/o/hari, L/m2/hari, L/bed/hari dan sebagainya.
Di Indonesia umumnya menerapkan satuan volume. Penggunaan satuan volume
dapat menimbulkan kesalahan dalam interpretasi karena terdapat faktor kompaksi
yang harus diperhitungkan. Sebagai ilustrasi, 10 unit wadah yang berisi air masing-
masing 100 liter, bila air tersebut disatukan dalam wadah yang besar, maka akan tetap
berisi 1000 liter air. Namun 10 unit wadah yang berisi sampah 100 liter, bila sampah
tersebut disatukan dalam sebuah wadah, maka volume sampah akan berkurang karena
mengalami kompaksi. Berat sampah akan tetap. Terdapat faktor kompaksi yaitu
densitas.
Prakiraan timbulan sampah baik untuk saat sekarang maupun di masa
mendatang merupakan dasar dari perencanaan, perancangan, dan pengkajian sistem
pengelolaan persampahan. Prakiraan rerata timbulan sampah akan merupakan langkah
awal yang biasa dilakukan dalam pengelolaan persampahan. Satuan timbulan sampah
ini biasanya dinyatakan sebagai satuan skala kuantitas per orang atau per unit
bangunan dan sebagainya. Bagi kota-kota di negara berkembang, dalam hal mengkaji
besaran timbulan sampah, agaknya perlu diperhitungkan adanya faktor
pendaurulangan sampah mulai dari sumbernya sampai di TPA.
Rata-rata timbulan sampah biasanya akan bervariasi dari hari ke hari, antara
satu daerah dengan daerah lainnya, dan antara satu negara dengan negara lainnya.
Variasi ini terutama disebabkan oleh perbedaan, antara lain [17]:
Jumlah penduduk dan tingkat pertumbuhannya
Tingkat hidup: makin tinggi tingkat hidup masyarakat, makin besar timbulan
sampahnya
Musim: di negara Barat, timbulan sampah akan mencapai angka minimum pada
musim panas
Cara hidup dan mobilitas penduduk
Iklim: di negara Barat, debu hasil pembakaran alat pemanas akan bertambah
pada musim dingin
Cara penanganan makanannya.

Menurut SNI 19-3964-1995 [21], bila pengamatan lapangan belum tersedia,
maka untuk menghitung besaran sistem, dapat digunakan angka timbulan sampah
sebagai berikut:
Timbulan sampah kota besar = 2 2,5 L/orang/hari = 0,4 0,5 kg/orang/hari
Timbulan sampah kota sedang/kecil = 1,5 2 L/orang/hari= 0,3 0,4 kg/orang/hari

Karena timbulan sampah dari sebuah kota sebagian besar berasal dari rumah
tangga, maka untuk perhitungan secara cepat satuan timbulan sampah tersebut dapat
dianggap sudah meliputi sampah yang ditimbulkan oleh setiap orang dalam berbagai
kegiatan dan berbagai lokasi, baik saat di rumah, jalan, pasar, hotel, taman, kantor dsb.
Namun tambah besar sebuah kota, maka tambah mengecil porsi sampah dari
permukiman, dan tambah membesar porsi sampah non-permukiman, sehingga asumsi
tersebut di atas perlu penyesuaian.

2.4. KOMPOSISI SAMPAH
Komposisi sampah merupakan penggambaran dari masing-masing komponen
yang terdapat pada sampah dan distribusinya. Biasanya dinyatakan dalam persen berat
(biasanya berat basah) atau % volume (basah). Misalnya % berat atau % volume dari
kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan, dan lain-lain. Data ini
penting untuk mengevaluasi peralatan yang diperlukan, sistem, program dan rencana
manajemen persampahan suatu kota (Damanhuri, 2004). Komposisi dan sifat-sifat
sampah menggambarkan keanekaragaman aktivitas manusia. Tabel 2.2 berikut ini
menggambarkan tipikal komposisi sampah pemukiman di kota di negara maju.




Tabel 2.2 Komposisi Sampah Domestik


Dengan mengetahui komposisi sampah dapat ditentukan cara pengolahan yang
tepat dan yang paling efisien sehingga dapat diterapkan proses pengolahannya. Tipikal
komposisi sampah didasarkan atas tingkat pendapatan digambarkan pada Tabel 2.4 di
bawah ini. Semakin sederhana pola hidup masyarakatnya, semakin bertambah banyak
komponen sampah organik (sisa makanan, dsb).
Tabel 2.4 Tipikal Komposisi Sampah Permukiman (% berat basah)


2.5. KARAKTERISTIK SAMPAH
Karakteristik sampah yang dianalisis biasanya meliputi karakteristik fisik, kimia
dan biologi. Karakteristik fisik berupa faktor pemadatan dan berat jenis sampah
diperlukan untuk menghitung beban massa dan volume total sampah yang harus
dikelola, baik untuk sistem transportasi maupun di TPA. Karakteristik kimia berupa
analisis perkiraan yang terdiri dari kadar air (kelembapan), kadar volatil dan kadar abu
diperlukan untuk perencanaan pengolahan sampah.

Karakteristik tersebut sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen
sampah. Kekhasan sampah dari berbagai tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda
beda memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di negara-negara yang
sedang berkembang akan berbeda susunannya dengan sampah kota di negara-negara
maju. Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifatnya, yaitu karakteristik
fisika dan karakteristik kimia.

2.5.1 Karakteristik Fisik Sampah :
Karakteristik fisik sampah yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar
volatil, kadar abu, nilai kalor, distribusi ukuran. Gambar 2.1 merupakan skematis berat
bahan.

Gambar 2.1 Posisi bahan pada temperatur pembakaran

a) Densitas (kepadatan) sampah menyatakan berat sampah per satuan volume.
Rendahnya kepadatan sampah menyebabkan meningkatnya luas areal yang
diperlukan untuk pembuangan akhir dan penurunan permukaan tanah setelah
penimbunan.
b) Kelembaban (Kadar Air)
Dengan mengetahui kelembaban atau kadar air sampah dapat ditentukan frekuensi
pengumpulan sampah. Frekuensi pengumpulan sampah dipengaruhi oleh komposisi
sampah yang dikandungnya.
c) Kadar Volatil
Penentuan kadar volatil bertujuan untuk memperkirakan seberapa besar efektifitas
pengurangan (reduksi) sampah menggunakan metode pembakaran berteknologi
tinggi.
d) Kadar Abu
Kadar abu merupakan sisa proses pembakaran pada suhu tinggi. Dengan penentuan
kadar abu ini dapat dilihat keefektifan kinerja proses pembakaran tersebut.
e) Kandungan energi atau nilai kalor
Penentuan kandungan energi sampah diperlukan dalam proses pengolahan sampah
terutama pengolahan secara thermal yaitu memanfaatkan energi panas seperti
insinerasi (pembakaran). Upaya untuk mengevaluasi kelayakan pemungutan energi
dari sampah dapat mengurangi volume sampah mencapai 90 % (Tchobanoglous,
1993) sehingga akan mengurangi kebutuhan lahan untuk landfilling. Nilai kalor
adalah jumlah panas yang dilepaskan ketika satu satuan massa bahan dibakar secara
sempurna.

2.5.2 Karakteristik Kimia Sampah :
Karakteristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah
tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S, dsb. Penentuan karakteristik kimia
sampah diperlukan dalam mengevaluasi alternatif suatu proses dan sistem recovery
yang dapat dilakukan pada suatu limbah padat, misalnya untuk mengetahui kelayakan
proses composting atau pembakaran sampah. Karakteristik kimia yaitu khususnya yang
menggambarkan susunan kimia sampah yang meliputi persentase kandungan unsur
karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur.
a) Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1.
Rasio C/N berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme dan produksi biogas.
Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari
bahan-bahan organik yaitu sampah biodegradable. Rasio C/N sangat penting untuk
memasok hara yang diperlukan mikroorganisme selama proses pengomposan
berlangsung. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan
menggunakan N untuk sintesis protein. Rasio C/N merupakan faktor penting dalam
mendesain pengolahan sampah biologi seperti dalam proses pembentukan kompos.
b) Fosfor dan Sulfur
Dalam kondisi aerob mikroba memanfaatkan oksigen bebas untuk
mendekomposisikan bahan organik dan mengasimilasi sebagian unsur karbon,
nitrogen, fosfor, belerang serta unsur lain yang diperlukan untuk mensintesis
protoplasma sel mikroba tersebut. Kadar sulfur merupakan unsur yang berperan
dalam bahan bakar termasuk sampah.
Informasi mengenai komposisi dan karakteristik sampah diperlukan untuk
memilih dan menentukan cara pengoperasian setiap peralatan dan fasilitas-fasilitas
lainnya dan untuk memperkirakan kelayakan pemanfaatan kembali sumberdaya dan
energi dalam sampah, serta untuk perencanaan fasilitas pembuangan akhir.

2.6. METODE PENGUKURAN
Timbulan sampah yang dihasilkan dari sebuah kota dapat diperoleh dengan
survey pengukuran atau analisa langsung di lapangan, yaitu:
1. Mengukur langsung satuan timbulan sampah dari sejumlah sampel (rumah tangga
dan non-rumah tangga) yang ditentukan secara random-proporsional di sumber
selama 8 hari berturut-turut (SNI 19-3964-1995 dan SNI M 36-1991-03)
2. Load-count analysis: Mengukur jumlah (berat dan/atau volume) sampah yang masuk
ke TPS, misalnya diangkut dengan gerobak, selama 8 hari berturut-turut. Dengan
melacak jumlah dan jenis penghasil sampah yang dilayani oleh gerobak yang
mengumpulkan sampah tersebut, sehingga akan diperoleh satuan timbulan sampah
per-ekivalensi penduduk.
3. Weigh-volume analysis: bila tersedia jembatan timbang, maka jumlah sampah yang
masuk ke fasilitas penerima sampah akan dapat diketahui dengan mudah dari waktu
ke waktu. Jumlah sampah sampah harian kemudian digabung dengan perkiraan area
yang layanan, dimana data penduduk dan sarana umum terlayani dapat dicari, maka
akan diperoleh satuan timbulan sampah per-ekuivalensi penduduk.
4. Material balance analysis: merupakan analisa yang lebih mendasar, dengan
menganalisa secara cermat aliran bahan masuk, aliran bahan yang hilang dalam
system, dan aliran bahan yang menjadi sampah dari sebuah sistem yang ditentukan
batas-batasnya (system boundary).

Dalam survey, frekuensi pengambilan sampel sebaiknya dilakukan selama 8
(delapan) hari berturut-turut guna menggambarkan fluktuasi harian yang ada.
Dilanjutkan dengan kegiatan bulanan guna menggambarkan fluktuasi dalam satu tahun.
Penerapan yang dilaksanakan di Indonesia biasanya telah disederhanakan, seperti:
Hanya dilakukan 1 hari saja
Dilakukan dalam seminggu, tetapi pengambilan sampel setiap 2 atau 3 hari
Dilakukan dalam 8 hari berturut-turut.
Metode yang umum digunakan untuk menentukan kuantitas total sampah yang
akan dikumpulkan dan diangkut ke TPA adalah sebagai berikut:
a) Rata-rata angkutan per hari dikalikan volume rata-rata pengangkutan dan
dikonversikan ke satuan berat dengan menggunakan densitas rata-rata yang
diperoleh melalui sampling.
b) Mengukur berat sampel di dalam kendaraan angkut dengan menggunakan jembatan
timbang, kemudian rata-ratanya dikalikan dengan total angkutan per hari.
c) Mengukur berat setiap angkutan di jembatan timbang di TPA.
Jumlah sampah yang sampai di TPA sulit untuk dijadikan indikasi yang akurat
mengenai timbulan sampah yang sebenarnya di sumber. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya kehilangan sampah di setiap tahapan proses operasional pengelolaan sampah
tersebut, terutama karena adanya aktivitas pemulungan atau pemilahan sampah.
Untuk keperluan tertentu, misalnya menentukan volume yang dibutuhkan untuk
pewadahan sampah atau menentukan potensi daur ulang, perlu diupayakan untuk
mengukur jumlah sampah di sumber. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
sampling sampah langsung di sumbernya. Karena aktivitas domestik bervariasi dari hari
ke hari dengan siklus mingguan, sampling sampah di sumber harus dilaksanakan selama
satu minggu (umumnya 8 hari berturut-turut).
Penentuan jumlah sampel yang biasa digunakan dalam analisis timbulan sampah
adalah adalah dengan pendekatan statistika, yaitu:
1. Metode stratified random sampling: yang biasanya didasarkan pada komposisi
pendapatan penduduk setempat, dengan anggapan bahwa kuantitas dan kualitas
sampah dipengaruhi oleh tingkat kehidupan masyarakat.
2. Jumlah sampel minimum: ditaksir berdasarkan berapa perbedaan yang bisa
diterima antara yang ditaksir dengan penaksir, berapa derajat kepercayaan yang
diinginkan, dan berapa derajat kepercayaan yang bisa diterima.
3. Pendekatan praktis: dapat dilakukan dengan pengambilan sampel sampah
berdasarkan atas jumlah minimum sampel yang dibutuhkan untuk penentuan
komposisi sampah, yaitu minimum 500 liter atau sekitar 200 kg. Biasanya
sampling dilakukan di TPS atau pada gerobak yang diketahui sumber
sampahnya.
Metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah di
Indonesia biasanya dilaksanakan berdasarkan SNI M 36-1991-03 [21]. Penentuan
jumlah sampel sampah yang akan diambil dapat menggunakan formula berikut:
a) Bila jumlah penduduk 106 jiwa


b) Bila jumlah penduduk > 106 jiwa

Keterangan:
Ps= jumlah penduduk bila 106 jiwa
Cd = koefisien,
Cd = 1 bila kepadatan penduduk normal.
Cd < 1 bila kepadatan penduduk jarang.
Cd >1 bila kepadatan penduduk padat.


2.7. PENGOLAHAN SAMPAH
Pengelolaan sampah merupakan rangkaian mulai dari pengumpulan sampah
pada wadah di sumber (penghasil), dikumpulkan menuju penampungan sementara,
kemudian diangkut ke tempat pemrosesan dan daur ulang, seperti pengomposan,
insinerasi, landfilling, ataupun cara lain yang bertujuan untuk menangani dampak
negatif sampah terhadap kesehatan, melindungi lingkungan dari pencemaran air lindi,
gangguan estetika lingkungan dari timbulan sampah dan pencemaran udara dari
pembakaran sampah yang tidak sempurna.

2.8. PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH
Prinsip pembuangan akhir adalah memusnahkan sampah domestik di suatu
lokasi pembuangan akhir. Jadi tempat pembuangan akhir merupakan tempat
pengolahan sampah. Menurut SNI 19-2454-2002 tentang teknik operasional
pengelolaan sampah perkotaan, secara umum teknologi pengolahan sampah dibedakan
menjadi 3 (tiga) metode yaitu :
a. Open Dumping
Dilakukan dengan cara sampah dibuang begitu saja di tempat pembuangan akhir (TPA)
dan dibiarkan terbuka sampai pada suatu saat TPA penuh dan pembuangan sampah
dipindahkan ke lokasi lain atau TPA yang baru.
b. Controlled Landfill
Dilakukan dengan cara sampah ditimbun, diratakan dan dipadatkan kemudian pada
kurun waktu memperkecil pengaruh yang merugikan terhadap lingkungan. Bila lokasi
pembuangan akhir telah mencapai akhir usia pakai, seluruh timbunan sampah harus
ditutup dengan lapisan tanah. Diperlukan persediaan tanah yang cukup sebagai lapisan
tanah penutup.
c. Sanitary Landfill
Adalah sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara sampah ditimbun
dan dipadatkan, kemudian ditutup dengan tanah sebagai lapisan penutup. Hal ini
dilakukan terus menerus secara berlapis-lapis sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Pekerjaan pelapisan sampah dengan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir
jam operasi. Diperlukan persediaan tanah yang cukup untuk menutup timbunan
sampah. Keuntungannya adalah pengaruh timbunan sampah terhadap lingkungan
sekitarnya relatif lebih kecil dibanding sistem controlled landfill.

2.9. DAUR ULANG SAMPAH
Pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau
merubah bentuk menjadi lebih bermanfaat. Sampah yang telah terkumpul dapat diolah
lebih lanjut, baik di lokasi sumber sampah maupun setelah sampai di TPA. Tujuannya
agar sampah dapat dimanfaatkan kembali, sehingga dapat mengurangi tumpukan
sampah serta memperoleh nilai ekonomi dari sampah. Beberapa pengolahan sampah
yang biasanya dilakukan adalah :
2.9.1 Pengolahan Sampah Organik
Sampah organik untuk pakan ternak
Sampah organik, khususnya sisa makanan, dapat diolah lebih lanjut menjadi pakan
ternak. Sampah yang telah dipilah, kemudian dijadikan pakan ternak sapi. Dari sampah
organik yang kebanyakan merupakan sisa makanan merupakan pakan ternak sapi.
Kompos
Sampah organik juga bisa dimanfaatkan untuk sektor pertanian. Dengan bantuan
mikroorganisme (mikroba), sampah organik bisa dimanfaatkan untuk pemupukan
tanaman, yaitu melalui proses pengomposan. Kompos adalah hasil penguraian
parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat
secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang
hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
Pengomposan merupakan teknik pengolahan sampah organik yang
biodegradable, sampah tersebut dapat diurai oleh mikroorganisme atau cacing
(vermicomposting) sehingga terjadi proses pembusukan, kompos yang dihasilkan
sangat baik untuk memperbaiki struktur tanah karena kandungan unsur hara dan
kemampuannya menahan air (Damanhuri 2003).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau
anaerobik (tidak ada oksigen). Proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen
dlam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa
menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun proses ini tidak
diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap.

2.9.2 Pengolahan Sampah Anorganik
Reduce (Mengurangi penggunaan)
Reuse (Menggunakan ulang)
Recycle (Daur ulang)

2.9.3 Pembakaran (Insinerasi)
Proses pembakaran ini sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan komposisi
sampah yaitu :
Nilai kalor dari sampah, dimana semakin tinggi nilai kalor sampah maka akan
semakin mudah proses pembakaran berlangsung. Persyaratan nilai kalor adalah
4500 kJ/kg sampah agar dapat terbakar.
Kadar air sampah, semakin kecil dari kadar air maka proses pembakaran akan
berlangsung lebih mudah.
Ukuran partikel, semakin luas permukaan kontak dari partikel sampah maka
semakin mudah sampah terbakar.

Anda mungkin juga menyukai