Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRESENTASI KASUS JIWA

SKIZOFRENIA


















Disusun Oleh:
dr. Ayu Niken Savitri




PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RSUD KABUPATEN BEKASI
MEI 2013-Mei 2014
BAB I
ILUSTRASI KASUS


A. Identitas Pasien No. Rekam Medis: 532410
Nama : Tn. M
Umur : 29 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Gandaria RT 01/01, Cibarusah
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tanggal pemeriksaan : 13 Februari 2014

B. Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan utama : Nyeri kepala
Anamnesa khusus :
Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala terus menerus sejak 4 bulan SMRS
yang dirasakan semakin memburuk sejak 4 hari SMRS. Keluhan nyeri juga dirasakan pada
pipi dan batang hidung. Keluhan disertai mual tanpa disertai muntah. Keluhan panas
badan, batuk dan pilek disangkal. Riwayat darah tinggi, sinusitis, nafas berbau tidak sedap
dan gastritis disangkal.
Pasien mengatakan ia sakit kepala karena diserang oleh anak anak kecil di sekitar
rumahnya dan kepala pasien dipukul berkali kali dengan kayu pada 4 bulan yang lalu.
Namun orang tua pasien menyangkal kejadian pemukulan tersebut.
Menurut orang tua pasien, tingkah laku pasien tampak berbeda sejak 1 tahun
SMRS. Menurut paman pasien, pada 1 tahun yang lalu pasien mengutarakan niatnya ingin
menikah dan menyukai seorang perempuan, namun ia ditolak oleh perempuan tersebut dan
tidak diizinkan menikah oleh kedua orangtuanya karena ia belum memiliki pekerjaan.
Semenjak itu pada awalnya pasien menjadi sering terdiam, dan melamun. Pasien menjadi
sulit diajak berbicara dan tidak cepat tanggap saat diajak berkomunikasi. Pasien tampak
gaduh gelisah, sulit tidur dan sering berbicara sendiri. Pasien mengakui sering mendengar
suara yang membicarakan mengenai pasien. Pasien mengakui sering melihat bayangan
perempuan atau laki laki menyapa Assalamualaikum.
Pasien tidak pernah berlaku kasar atau menangis tiba tiba tanpa alasan, namun
mudah sedih saat keinginannya tidak dituruti. Orang tua pasien mengeluhkan pasien sering
tiba tiba keluar rumah mengendarai motor, namun pulang berjalan kaki dan
meninggalkan motornya.
Pasien masih dapat makan sendiri, mandi sendiri dan sembahyang namun
terkadang pasien lupa mandi beberapa hari.
Riwayat trauma kepala, konsumsi minuman beralkohol, dan penggunaan obat-
obatan terlarang disangkal.
Selama keluhan nyeri kepalanya muncul, pasien mengkonsumi bodrex dan
parasetamol namun keluhan tidak pernah dirasakan membaik. Pasien sudah berobat ke
dokter sebelumnya dan dilakukan pemeriksaan darah namun tidak ditemukan kelainan

Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat operasi dan trauma kepala disangkal. Riwayat penyakit jantung, tekanan
darah tinggi, kolesterol tinggi dan kencing manis, atau penyakit berat disangkal.

Riwayat penyakit keluarga :
Riwayat keluarga pasien dengan keluhan serupa disangkal. Riwayat keluarga
pasien dengan gangguan jiwa disangkal. Riwayat penyakit lain pada keluarga disangkal.

Riwayat sosial :
- Pasien saat ini masih tinggal dengan orang tua, belum menikah dan belum bekerja
semenjak lulus SMA
- Saat ini pasien lebih banyak tinggal di rumah dan berkomunikasi secukupnya
dengan orang tua nya di rumah dna keluarga yang berkunjung
- Pasien beragama Islam dan rajin beribadah
- Pasien dikatakan sejak dulu sering menyimpan sendiri masalahnya
- Sebelum sakit, pasien memiliki hubungan yang baik dengan tetangga dan teman
temannya. Saat ini hubungan pasien cukup baik dengan lingkungan sekitarnya
walaupun intensitas komunikasi dengan lingkungan berkurang secara signifikan.


PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : compos mentis, tampak sakit sedang
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37
0
C
Kepala : Kepala normocephal
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : PCH (-), POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP 5+2 cmH
2
O
Thorax :
Paru : bentuk dan gerak simetris
Vocal fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : VBS kanan=kiri, Rh(-/-), Wh(-/-)
Jantung : iktus cordis tidak terlihat
Iktus cordis teraba di sela iga 5, 1 jari medial linea midklavikula
sinistra
Batas jantung dalam batas normal
Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lembut
Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar
Timpani, pekak samping/pekak pindah (-/-)
Bising usus (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, edema (-/-), sianosis (-/-), CRT < 2 detik

Status Psikiatri :
Kesadaran : kompos mentis
Roman muka : biasa
Kontak/rappor : tidak adekuat
Orientasi : Tempat : baik
Waktu : baik
Orang : baik
Ingatan : Immediate : baik
Recent : baik
Remote : baik
Persepsi : Ilusi (-)
Halusinasi : dengar (+), lihat (+), raba (-)
Pikiran : Bentuk : autistik
Isi : halusinasi auditroik, halusinasi visual
Jalan : thought retardation
Emosi : mood datar, afek tumpul
Tingkah laku : Hipoaktif
Dekorum : Sopan santun : baik
Cara berpakaian : cukup
Kebersihan : cukup
Insight of Illness : buruk

LABORATORIUM DARAH











DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Aksis I : Skizofrenia
Aksis II : -
Aksis III : Cephalgia
Aksis IV : Masalah Psikososial dan Primary Support Group
Aksis V : GAF 60 51 (gejala sedang, disabilitas sedang)
Hb 12,8 g/dl Eritrosit 3,9 %
Leukosit 8800 /mm Ht 35,6
LED 25 mm/jam Trombosit 387.000 /mm
3

Basofil 0 % SGOT 42 U/L
Eosinofil 0 % SGPT 46 U/L
Batang 1 % GDS 123 mg/dl
Segmen 89 % Ureum 17 mg/dl
Limfosit 7 % Kreatinin 0,7 mg/dl
Monosit 3 %

PENATALAKSANAAN
1. Ranitidine 50 mg iv
2. PCT 3 x 500 mg
3. Neurodex 1 x 1 tab
4. Pro SP.KJ rujuk ke RSUD Kota Bekasi

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad malam

























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Skizofrenia merupakan sebuah sindrom dengan etiologi yang belum diketahui
dikarakteristikkan dengan gangguan pada fungsi kognitif, persepsi, berpikir dan perilaku.
Skizofrenia adalah gangguan pada otak dengan abnormalitas struktural dan fungsional
yang timbul akibat ketidakseimbangan dopamin. Ia adalah gangguan jiwa psikotik dengan
hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan
halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

B. Prevalensi dan Perkembangan Penyakit
Skizofrenia dapat diderita oleh berbagai macam tingkat populasi dan ditemukan di
seluruh dunia. Prevalensi Skizofrenia ditunjukkan sebesar 0,3 % - 0,7 %, walaupun
dilaporkan adanya variasi berdasarkan ras dan etnik, letak negara, dan berdasarkan wilayah
geografis terkait jumlah penduduk imigran dan keturunan imigran pada suatu negara.
Insidensi pada lelaki dan wanita sama, walaupun dapat ditemukan berbeda pada
populasi tertentu. Timbulnya gejala negatif, durasi yang lebih lama terkait Skizofrenia
yang berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk, menunjukkan insidensi yang lebih
tinggi pada lelaki.
Gejala psikotik dari skizofrenia biasanya mulai tampak pada usia akhir remaja
hingga pertengahan usia 30 tahun, jarang sekali ditemukan pada usia sebelum remaja.
Puncak usia untuk episode pertama pada laki laki adalah pada awal hingga pertengahan
usia 20-an dan pada wanita adalah akhir usia 20-an. Gejala awal dapat bervariasi pada
masing masing individu dan muncul tiba tiba ataupun bertahap. Namun sebagian besar
akan muncul gejala yang lambat kemudian berkembang perlahan. Sebagian besar gejala
awal yang ditemukan berupa gejala depresif, dimana usia gejala awal yang semakin muda
akan berkaitan dengan prognosis yang semakin buruk. Usia remaja dan dewasa muda
memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering
terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap
penyesuaian diri.
Musim pada saat pasien dilahirkan dikaitan dengan insidensi skizofrenia dan
kelainan terkait. Seseorang yang lahir pada musim dingin memiliki kemungkinan yang
lebih tinggi untuk mengidap skizofrenia dibandingkan mereka yang lahir pada musim semi
ataupun musim panas. Insidensi juga ditemukan meningkat pada anak anak yang tumbuh
pada populasi urban dan minoritas etnik tertentu.

C. Etiologi dan Patofisiologi
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan penyebab
yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran klinisnya, respon
pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.

Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis, faktor psikososial dan lingkungan
adalah model diatesis-stres. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki
suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang
menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Pada model diatesis-
stres yang paling umum diatesis atau stres dapat biologis atau lingkungan atau keduanya.
Komponen lingkungan dapat biologis (sebagai contoh, infeksi) atau psikologis (sebagai
contoh, situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian teman dekat). Dasar
biologis untuk suatu diatesis dibentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti
penyalahgunaan zat, stres psikologis, dan trauma.

Faktor Biologis
Penyebab skizofrenia tidak diketahui. Tetapi dalam dekade yang lalu semakin
banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di otak,
termasuk sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis. Tentu saja ketiga daerah
tersebut adalah saling berhubungan, sehingga disfungsi pada salah satu daerah mungkin
melibatkan patologi primer di daerah lainnya.

Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamin untuk skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik.
Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas dopaminergik adalah karena terlalu
banyaknya pelepasan dopamin, terlalu banyaknya reseptor dopamin, atau kombinasi
keduanya. Teori dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin
terlibat, walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat.

Neurotransmitter Lain
Walaupun dopamin adalah neurotransmiter yang telah mendapatkan sebagian besar
perhatian dalam penelitian skizofrenia, meningkatnya perhatian juga telah ditujukan pada
neurotransmiter lainnya. Mempertimbangkan neurotransmiter lain adalah diharuskan untuk
sekurangnya dua alasan. Pertama, karena skizofrenia kemungkinan merupakan suatu
gangguan yang heterogen, maka mungkin bahwa kelainan pada neurotransmiter yang
berbeda menyebabkan sindroma perilaku yang sama.
a. Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak
pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas berhubungan dengan
serotonin yang kuat (sebagai contoh, clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik,
antagonisme pada reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5-HT
2
) memiliki peran
penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan
gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D
2
. Dalam penelitian tentang
gangguan mood, aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan impulsif
yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik.

b. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibitro gamma-aminobutyric acid (GABA) juga
telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah konsisten dengan
hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron
GABA-ergik di dalam hipokampus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat dalam
dasar biologis untuk skizofrenia. Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) diperkirakan menyebabkan gejala positif ataupun negatif dari
skizofrenia.

Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
Populasi Prevalensi (%)
Populasi umum 1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik 8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik 12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik 12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik 40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik 47,0

Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh orang
tua angkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya seperti
saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan tersebut
menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan. Untuk mendukung
lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa semakin parah skizofrenia, semakin
mungkin kembar adalah sama-sama menderita gangguan. Satu penelitian yang mendukung
model diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi yang
kemudian menderita skizofrenia kemungkinan telah diadopsi oleh keluarga yang tidak
sesuai secara psikologis.
Pendekatan sekarang ini pada genetika diarahkan pada mengidentifikasi silsilah
besar dari orang yang terkena dan meneliti keluarga untuk RFLP (restriction fragment
lenght polymorphisms) yang memisah dengan fenotipe penyakit. Banyak hubungan antara
tempat kromosom tertentu dan skizofrenia telah dilaporkan di dalam literatur sejak
penerapan luas teknik biologi molekular lebih dari setengah kromosom telah dihubungkan
dengan skizofrenia dalam berbagai laporan tersebut, tetapi lengan panjang kromosom 5,
11, dan 18; lengan pendek kromosom 9, dan kromosom X adalah yang paling sering
dilaporkan. Pada saat ini, literatur paling baik dianggap sebagai menyatakan suatu
kemungkinan dasar genetik yang heterogen untuk skizofrenia.

Komplikasi Masa Kehamilan dan Persalinan
Kehamilan dengan usia paternal tua dan komplikasi hipoksia pada persalinan
berkaitan dengan meningkatnya risiko skizofrenia pada fetus dalam kandungan. Selain itu,
kondisi yang terjadi selama prenatal dan perinatal, termasuk stres, infeksi, malnutrisi,
maternal diabetes dan kondisi medis lainnya dapat pula dikaitkan dengan insidensi
skizofrenia.

Faktor Psikososial
a. Teori Tentang Pasien Individual
Terlepas dari kontroversial tentang penyebab skizofrenia, tidak dapat dibantah
bahwa skizofrenia mempengaruhi pasien individual, yang masing-masing memiliki
susunan psikologi yang unik. Walaupun banyak teori psikodinamika tentang patogenesis
skizofrenia tampaknya ketinggalan bagi pembaca modern, pengertian pengamatan klinis
teori tersebut dapat membantu klinisi modern untuk mengerti bagaimana penyakit dapat

b. Teori Psikoanalitik
Sigmund Freud mendalilkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh fiksasi
perkembangan yang terjadi lebih awal dari perkembangan neurosis. Hal ini menyebabkan
adanya defek pada perkembangan ego, sehingga berperan dalam munculnya gejala
skizofrenia. Disintegrasi dari ego akan memengaruhi interpretasi seseorang terhadap realita
dan kemampuan mengontrol keinginan dalam dirinya, seperti dalam hal seks dan agresi.
Gangguan terjadi sebagai akibat dari penyimpangan dalam hubungan timbal balik
antara bayi dan ibunya. Seperti yang dijelaskan oleh Margaret Mahler, anak-anak tidak
mampu untuk berpisah dan berkembang dengan seharusnya tanpa adanya hubungan ibu-
anak yang baik di dalam fase oral perkembangan.

c. Teori Psikodinamika
Freud memandang skizofrenia sebagai suatu respon regresif terhadap frustasi dan
konflik yang melanda seseorang di dalam lingkungan. Regresi melibatkan suatu penarikan
penanaman emosional (emotional investment) atau cathexis dari perwakilan objek internal
dan orang sebenarnya di dalam lingkungan, yang menyebabkan kembali ke suatu stadium
autoerotik dari perkembangan. Keadaan cathexis pasien ditanamkan kembali ke dalam diri,
dengan demikian memberikan gambaran penarikan autistik. Freud selanjutnya
menambahkan bahwa, kalau neurosis melibatkan suatu konflik antara ego dan id, psikosis
dapat dipandang sebagai suatu konflik antara ego dan dunia luar dimana kenyataan
diingkari dan selanjutnya dibentuk kembali (remodeled).

D. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut ini:
1. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu,
bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala pada fase
ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan
fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat
resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang dulu.
Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang
berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang
secara spontan tetapi suatu saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat
disembuhkan). Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
3. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi gejala
positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga
fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi,
hubungan sosial).

E. Gejala Klinis

Seorang dokter biasanya mencapai diagnosa berdasarkan gejala-gejala klinis.
Dengan pemeriksaan fisik biasanya kita dapat menyingkirkan penyakit lain yang mungkin
menyebabkan keadaan sakit yang serupa pada pasien (epilepsi, metabolik, disfungsi tiroid,
tumor otak, zat psikoaktif, dan lain-lain). Penyakit ini biasanya bersifat kronis, dimana
terdiri atas fase prodromal, fase aktif dan fase residual.
Fase aktif biasanya timbul dengan gejala seperti halusinasi, delusi dan gangguan
organisasi pikiran. Fase prodromal dan fase residual dikarakteristikkan dengan
kepercayaan hal yang janggal, hal bersifat gaib dan magis, menurunnya kemampuan untuk
mengurus diri sendiri dan komunikasi antarpersonal.
Saat ini beberapa penelitian telah mengklasifikasikan skizofrenia menurut
kombinasi 5 buah gejala yang muncul, yaitu:
1. Gejala positif
2. Gejala negatif
3. Kognitif
4. Agresif / hostile
5. Depresif / cemas

Gejala skizofrenia timbul dari peningkatan aktivitas dopamine limbik (gejala
positif) dan penurunan aktivitas dopamine frontal (gejala negatif). Pada hipotesis dopamin,
terjadi pelepasan dopamin yang berlebihan di jaras tersebut yang akan menyebabkan gejala
positif psikosis, yaitu:
Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.
Kekacauan alam pikir, dilihat dari isi pembicaraannya, bicaranya kacau.
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
Merasa dirinya Orang Besar, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
Menyimpan rasa permusuhan.
Apabila terjadi defisiensi dopamin, atau terjadi blokade dopamin, maka akan
muncul gejala negatif, yaitu:
Afek tumpul dan mendatar, yaitu wajahnya tidak ada ekspresi.
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming)
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
Sulit untuk berpikir abstrak
Pola pikir stereotip.
Tidak ada atau kehilangan dorongan kehendak (avoilition) dan tidak ada
spontanitas, monotron serta tidak ingin apa-apa dan serba malas.
Problema kognitif juga ditemui seperti, gangguan berpikir, inkoheren, assosiasi
longgar, neologisme, hendaya perhatian, hendaya dalam memproses informasi.
Sedangkan gejala agresif, seperti hostility, acting out kepada diri sendiri (bunuh
diri), orang lain (menyerang), dan benda (menghancurkan), kasar, buruknya kontrol
impuls, dan acting-out seksual.
Gejala depresif dan cemas juga berhubungan dengan skizofrenia, seperti rasa
bersalah, tension, iritabel, dan rasa cemas.

Gejala Pramorbid
Sebelum seseorang secara nyata aktif (manifes) menunjukan gejala-gejala
skizofrenia, yang bersangkutan terlebih dahulu menunjukan gejala-gejala awal yang
disebut gejala prodromal. Sebaliknya bila seseorang penderita skizofrenia tidak lagi aktif
menunjukan gejal-gejala skizofrenia, maka yang bersangkutan menunjukan gejala-gejala
sisa yang disebut gejala residual.
Tanda awal skizofrenia sering kali terlihat sejak kanak-kanak. Indikator premorbid
pada anak pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi:
wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: anak sulit
melakukan pembicaraan terarah. Gangguan atensi: anak tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan, serta memindahkan atensi. Pada anak perempuan tampak sangat pemalu,
tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang dan ekspresi wajah
sangat terbatas. Sedangkan pada anak laki-laki sering menantang tanpa alasan jelas,
mengganggu dan tak disiplin.
Pada bayi biasanya terdapat problem makan, gangguan tidur kronis, tonus otot
lemah, apatis dan ketakutan terhadap obyek atau benda yang bergerak cepat. Pada balita
terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut
gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak.
Pada anak usia 5-6 tahun mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi
letusan, banting pintu atau bisikan, bisa juga halusinasi visual seperti melihat sesuatu
bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar
belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga, sering
mengamuk tanpa sebab. Meski bayi dan anak-anak dapat menderita Skizofrenia atau
penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini sangat sulit
dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau
gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic Stress Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa
penyakit psikotik atau Skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat
berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.

Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan,
menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi
dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek
sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi
pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar,
penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia,
misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja
menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi.


F. DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis Skizofernia
Kriteria diagnostik skizofrenia berdasarkan DSM-V (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders-V) :
A. Gejala karakteristik : Ditemukannya dua atau lebih gejala berikut pada sebagian
besar waktu, dimana diantaranya harus ditemukan poin (1), (2) atau (3) :
(1) Delusi
(2) Halusinasi
(3) Bicara terdisorganisasi (misalnya, sering menyimpang atau inkoheren)
(4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik
(5) Gejala negatif, yaitu, pendengaran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan
(avoilition)
masing-masing didapat selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan
berhasil)
B. Disfungsi sosial/pekerjaan : Untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal,
atau perwatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau
jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat
pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan)
C. Durasi : tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika
diobati dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan
mungkin termasuk periode gejala prodromal atau residual. Selama periode
prodromal atau residual, tanda gangguan mungkin dimanifestasikan hanya oleh
gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam
bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi
yang tidak lazim)
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood : Gangguan skizoafektif
dan gangguan mood dengan ciri psikotik yang telah disingkirkan karena : (1) tidak
ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-sama
dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase
aktif, durasi totalnya adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan
residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh efek
psikologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu
medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif : Jika terdapat riwayat adanya
gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis
tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga
ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil)


Diagnosis Banding
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan medis
psikiatrik, non psikiatrik dan berbagai macam zat.

a. Medis dan Neurologis
Zat Psikotropika : Amfetamin, halusinogen, alkaloid beladona, halusinosis alkohol,
putus barbiturat, kokain, phencyclidine (PCP).
Epilepsi : Terutama epilepsi lobus temporalis.
Neoplasma, penyakit serobrovaskular, atau trauma : Terutama frontalis dan limbik.
Kondisi lainnya : Sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS), Porfiria intermitten
akut, Keracunan karbon monoksida, Lipoidosis serebral, Penyakit Creutzfeldt-
Jakob, Penyakit Fabry, Penyakit Fahr, Penyakit Hallervorden-Spatz, Keracunan
logam berat, Ensefalitis herpes, Homosistinuria, Penyakit Huntington, Lekodistrofi
metakromatik, Neurosiflis, Hidrosefalus, Pellagra, SLE, Sindroma Wernicke-
Korsakoff, Penyakit Wilson

b. Psikiatrik
Psikosis atipikal
Gangguan autistik
Gangguan psikotik singkat
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
Gangguan skizofrenia lain-lain

Laboratorium dan Tes Psikologis
Sebagian besar pasien memiliki EEG normal, namun pada sebagian ditemukan
adanya penurunan alpha disertai peningkatan aktivitas theta dan delta, kelainan
paroksismal dan peningkatan sensitivitas terhadap proses aktivasi
Adanya hipersensitivitas awal pada stimulasi sensorik disertai tumpulnya proses
pengelolaan informasi pada tingkat korteks yang lebih tinggi
Pada sebagian pasien ditemukan penurunan Natural Killer cells.
Pada sebagian pasien ditemukan penurunan level LH dan FSH serta penurunan
pelepasan prolaktin dan GH
Respon tidak lazim ditemukan pada hasil tes neurofisiologis seperti Thematic
apperception test dan Rohrschach test, hasil tes IQ yang lebih rendah dari individu
normal dan hasil tes IQ yang akan terus menurun seiring dengan perjalanan
penyakit

F. PENATALAKSANAAN
Gangguan jiwa Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut
(kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu yang realtif
lama (berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun), hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil
mungkin kekambuhan (relapse).
Tatalaksana yang dibutuhkan dapat mencakup penggunaan antipsikotik ditambah
dengan terapi psikososial, seperti terapi perilaku, keluarga, grup, kemampuan sosialisasi
dan rehabilitasi. Indikasi hospitalisasi diberikan pada pasien yang memiliki risiko
membahayakan orang lain, keinginan bunuh diri, gejala berat yang mengarah pada
ketidakmampuan mengurus diri sendiri atau risiko lainnya.

a. Psikofarmaka
Terapi farmakologis merupakan terapi utama dari penatalaksanaan skizofrenia.
Pemilihan obat yang tepat membutuhkan pertimbangan yang matang akan keuntungan dan
kerugian pemberian obat tersebut.
Dari sudut organobiologik sudah diketahui bahwa pada skizofrenia terdapat
gangguan pada fungsi transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel
penyusun saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamine dan serotonin yang
mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan dan perilaku. Psikofarmaka yang
akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tersebut, sehingga gejala-
gejala klinis tadi dapat dihilangkan.
Dewasa ini banyak jenis psikofarmaka yang digunakan untuk mengobati penderita
skizofrenia. Setiap obat memiliki kelebihan dan kekurangannya. Syarat-syarat
psikofarmaka yang ideal untuk skizofrenia :
a. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat.
b. Tidak ada / sedikit efek samping.
c. Dapat menghilangkan gejala-gejala skizofrenia dalam waktu relatif singkat.
d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat).
e. Tidak menyebabkan kantuk.
f. Memperbaiki pola tidur.
g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi.
h. Tidak menyebabkan lemas otot.
i. (Jika mungkin) pemakaiannya dosis tunggal.
Antipsikotik merupakan obat utama yang digunakan dalam terapi psikofarmaka
untuk penderita skizofrenia. Bagaimanapun, obat-obat lain mungkin digunakan untuk
mengatasi gejala anxietas, gangguan tidur, depresi, gangguan mood, juga untuk
mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat utama. Golongan
antipsikotik biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala skizofrenia.
Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan antipsikotik antara lain,
gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan, waham kejar, dan lainnya).
Antipsikotik dibagi dalam dua golongan, yaitu golongan generasi pertama
(antagonis reseptor dopamin, typical) dan golongan generasi kedua (antagonis serotonin
dopamin, atypical)
1. Antipsikotik Tipikal
Merupakan obat antipsikotik klasik yang cukup efektif mengatasi gejala positif
pada skizofrenia. Agen potensi tinggi, seperti haloperidol, sangat mungkin mengakibatkan
efek samping ekstrapiramidal seperti akathisia, distonia akut dan pseudoparkinsonism.
Agen potensi rendah, seperti chlorpromazine bersifat lebih sedatif, hipotensi dan
antikolinergik. Agen ini dapat mengakibatkan tardive dyskinesia. Sebagian pasien tidak
memberikan respon pada obat generasi pertama ini sehingga banyak pasien beralih ke
generasi kedua, dimana paling tidak memiliki efektivitas yang sama namun dengan efek
samping yang lebih sedikit.
2. Antipsikotik Atipikal
Obat ini memiliki blokade reseptor 5-HT
2
yang kuat dan bervariasi pada
kemampuan blokade reseptor D
2
, diluar dari kemampuan terhadap reseptor lainnya. Obat
ini mampu mengatasi gejala positif (halusinasi, delusi, ganggguan pikiran dan agitasi),
gejala negatif (afek tumpul, anhedonia, gangguan kognitif), memulihkan fungsi kognitif,
memiliki efek samping ekstrapiramidal lebih sedikit, tidak meningkatkan level prolaktin
dan lebih jarang mengakibatkan tardive dyskinesia. Termasuk antipsikotik atipikal
diantaranya adalah Risperidone, Olanzapine dan Clozapine.

Pemberian dosis perlu dijaga selama 4 hingga 6 minggu bagi episode piskotik akut
(ataupun lebih pada kasus kronis). Penggunaan dengan dosis terapi yaitu 4 6 mg
Risperidone per hari, 10 20 mg Olanzapine per hari dan 6 20 mg haloperidol per hari.
Pasien dengan episode pertama biasanya memiliki respon lebih baik pada dosis rendah
dibandingkan dengan gejala kronik. Agitasi dapat ditangani dengan benzodiazepine
(misalnya dengan 1 2 mg lorazepam sebanyak 3 4 kali per hari). Pasien dengan
komplians buruk karena kurangnya tilikan terhadap penyakit dapat diberikan injeksi
antipsikotik waktu kerja lama seperti fluphenazine decanoate atau haloperidol decanoate
setiap 2 hingga 4 minggu.
Jika pasien berda dalam kondisi stabil selama 1 tahun, pengobatan dapat diturunkan
secara bertahap hingga dosis ekfektif minimal, yaitu sebesar 10 20% per bulan. Selama
penurunan dosis, keluarga perlu di edukasi untuk mengenali tanda tanda relaps seperti
insomnia, anxietas, atau perilaku tidak wajar lainnya.

Tabel Obat Antipsikotik yang Lazim Digunakan



Gejala yang menonjol pada gangguan jiwa skizofrenia adalah gejala positif, gejala
negatif dan gejala kognitif. Sebagaimana diketahui meskipun gejala-gejala positif dan
negatif skizofrenia telah dapat diatasi, namun bila fungsi kognitif tidak dipulihkan, maka
penderita tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dan mengingat yang amat penting
bagi menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari.
Dengan terapi psikofarmaka sesungguhnya gangguan jiwa skizofrenia dapat diobati
dan disembuhkan dalam arti manageable dan controllable. Penderita skizofrenia tidak
harus meminum obat seumur hidup, sebab kadang kala perjalanan gangguan jiwa
skizofrenia ini sewaktu-waktu dapat mengalami remisi, karena pada hakekatnya penyakit
ini merupakan self limitting process.

b. Psikoterapi
Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia, baru dapat diberikan
apabila penderita dengan terapi psikofarmaka di atas sudah mencapai tahapan dimana
kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability / RTA) sudah pulih kembali dan
pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa
penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka.
Psikoterapi ini banyak macam dan ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar
belakang penderita sebelum sakit (pramorbid). Psikoterapi yang sering diterapkan antara
lain :
a. Psikoterapi Suportif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan dorongan, semangat dan
motivasi agar penderita tidak merasa putus asa dan semangat juangnya (fighting spirit)
dalam menghadapi hidup ini tidak kendur dan menurun.
b. Psikoterapi Re-edukatif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan ulang yang
maksudnya memperbaiki kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan
ini dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita
lebih adaptif terhadap dunia luar.
c. Psikoterapi Rekonstruktif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memperbaiki kembali (rekonstruksi)
kepribadian yang telah mengalami keretakan menjadi kepribadian utuh seperti semula
sebelum sakit.
d. Psikoterapi Kognitif
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan kembali fungsi kognitif (daya
pikir dan daya ingat) rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral
etika, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal
dan haram, dan lain sebagainya.
e. Psikoterapi Psikodinamik
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk menganalisa dan menguraikan proses
dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari
jalan keluarnya. Dengan psikoterapi ini diharapkan penderita dapat memahami kelebihan
dan kelemahan dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri (defense
mechanism) dengan baik.
f. Psikoterapi Perilaku
Jenis psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang
terganggu (maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu berfungsi kembali
secara wajar dalam kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di tempat
kerja dan lingkungan sosialnya.
g. Psikoterapi Keluarga
Psikoterapi ini dimaksudkan untuk memulihkan hubungan penderita dengan
keluarganya. Dengan psikoterapi ini diharapkan keluarga dapat memahami mengenai
gangguan jiwa skizofrenia dan dapat membantu mempercepat proses penyembuhan
penderita. Keluarga dengan interaksi EE yang tinggi juga dapat diturunkan melalui
psikoterapi ini.
Secara umum tujuan dari psikoterapi tersebut di atas adalah untuk memperkuat
struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego
(ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self
confidence), yang kesemuanya itu untuk mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat
(meaningfulness of life).

c. Terapi Psikososial
Salah satu dampak dari skizofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita
atau hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam berbagai bidang fungsi rutin
kehidupan sehari-hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan
sosial dan perawatan diri. Sering pula diperlukan pengawasan agar kebutuhan gizi dan
higiene terjamin, dan untuk melindungi penderita dari akibat buruk yang disebabkan oleh
hendaya daya nilai dan hendaya kognitif, atau akibat tindakannya yang berdasarkan waham
(delusi) atau sebagai respons atau tindak lanjut terhadap halusinasinya.
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi
dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak
tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat.
Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi
obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada
penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan
kesibukan dan banyak bergaul.

d. Rehabilitasi
Bagi penderita gangguan jiwa skizofrenia (dan juga gangguan jiwa psikosis
lainnya) yang berulang kali kambuh dan berlanjut kronis dan menahun selain program
terapi, diperlukan program rehabilitasi sebagai persiapan penempatan kembali ke keluarga
masyarakat (re-entry program).
Program rehabilitasi ini biasanya dilakukan di lembaga (institusi) rehabilitasi,
misalnya di bagian lain dari suatu Rumah Sakit Jiwa khusus untuk penderita yang kronis.
Di lembaga itu para penderita tidak hanya diberikan terapi obat psikofarmaka saja tetapi
juga diintegrasikan dengan jenis-jenis terapi lainnya termasuk keterampilan (occupational
therapy). Dalam lembaga rehabilitasi ini para penderita merupakan suatu kelompok atau
komunitas dimana terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para pelatih
(sosialisasi). Program rehabilitasi ini tidak hanya diikuti oleh penderita yang dirawat inap,
tetapi juga dapat diikuti oleh penderita yang dirawat jalan; yaitu pagi hingga sore hari
penderita berada di lembaga rehabilitasi, sedangkan malam harinya pulang menginap di
rumah masing-masing (day care).
Program rehabilitasi sebagai persiapan kembali keluarga dan ke masyarakat
meliputi berbagai macam kegiatan, antara lain :
1. Terapi kelompok
2. Menjalankan ibadah keagamaan bersama (berjamaah)
3. Kegiatan kesenian (menyanyi, musik, tari-tarian, seni lukis dan sejenisnya)
4. Terapi fisik berupa olah raga (pendidikan jasmani)
5. Keterampilan (membuat kerajinan tangan)
6. Berbagai macam kursus (bimbingan belajar/les)
7. Bercocok tanam (bila tersedia lahan)
8. Rekreasi (darmawisata)
9. Dll
Lembaga rehabilitasi yang ideal seyogianya memiliki sarana dan prasarana yang
memadai serta para pengasuh/ pelatih/ pembimbing (instruktur) yang profesional, terdiri
dari psikiater, psikolog, pekerja sosial, guru agama, guru kesenian, guru olah raga, guru
keterampilan, guru bimbingan belajar/les, guru pertanian dan lain-lain yang terkait.
Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung antara 3-6 bulan. Secara
berkala dilakukan evaluasi paling sedikit 2 kali, yaitu evaluasi sebelum mengikuti program
rehabilitasi dan evaluasi pada saat si penderita akan dikembalikan ke keluarga dan
masyarakat. Bila program rehabilitasi dapat diikuti dengan baik, maka diharapkan bila
penderita kembali ke keluarga dan masyarakat sudah mempunyai keterampilan dan
penyesuaian diri yang lebih baik sehingga produktivitas kerjanya dapat dipulihkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Russel Barton (1970) menyatakan bahwa 50% dari
penderita skizofrenia kronis yang menjalani program rehabilitasi dapat kembali produktif
dan mampu menyesuaikan diri kembali di keluarga dan masyarakat.
Program rehabilitasi bagi penderita kronis ini semakin memberi harapan yang jauh
lebih baik dibandingkan masa lalu, karena ditemukannya obat-obat psikofarmaka yang
lebih canggih, dan juga obat obat psikofarmaka yang memiliki efek jangka panjang (long
acting transquilizer). Misalnya sejenis obat psikofarmaka dalam suatu bentuk cairan yang
dengan satu kali suntikan mempunyai khasiat terapi antara 2-4 minggu. Dengan demikian
penderita tidak terlalu direpotkan dengan setiap hari mengkonsumsi obat, cara ini lebih
praktis dan angka kekambuhan dapat ditekan seminimal mungkin. Perlu diketahui bahwa
salah satu penyebab utama kegagalan terapi dan seringnya kekambuhan, adalah bahwa
penderita tidak disiplin mengkonsumsi obat dengan teratur rutin setiap harinya. Penderita
mengeluh bosan, jenuh, dan merasa tidak sembuh-sembuh dari penyakitnya, atau merasa
dirinya sudah sembuh serta banyak lupa, yang akibatnya penderita tidak mengkonsumsi
obat dan pada gilirannya penyakitnya kambuh. Oleh karena itu diperlukan peran keluarga
untuk selalu memonitor pemakaian obat psikofarmaka pada penderita, jangan dikurangi
atau dihentikan sebelum berkonsultasi dengan dokter.

G. PROGNOSIS
Menurut Kaplan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis :
Baik Buruk
Muncul pada usia tua
Faktor presipitasi yang jelas
Onset akut
Premorbid baik
Gejala gangguan mood
Menikah
Riwayat keluarga gangguan mood
Support sistem yang baik
Gejala positif
Muncul pada usia muda
Tidak ada faktor presipitasi
Onsetnya insidious
Riwayat pekerjaan, seksual, sosial, buruk
premorbidnya
Tingkah laku autistik, menarik diri
Single, bercerai atau janda
Riwayat keluarga skizofernia
Support sistem yang buruk
Gejala negatif
Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Relapse banyak
Riwayat menyerang








BAB III
PEMBAHASAN

Aspek Diagnosis
Untuk keluhan nyeri kepala, pertimbangan yang diperlukan adalah ada atau tidaknya:
Riwayat Trauma disingkirkan karena berdasarkan keterangan keluarga dan
pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya hasil pemeriksaan yang mendukung
Kelainan kardiovaskular disingkirkan karena pemeriksaan tekanan darah, nadi
dan pemeriksaan fisik jantung dalam batas normal
Kelainan hematologi (anemia) disingkirkan karena hasil laboratorium darah
dalam batas normal
Kelainan metabolik disingkirkan karena hasil anamnesis tidak mendukung dari
riwayat penyakit pasien maupun riwayat penyakit keluarga.
Kelainan psikiatri mendukung dikarenakan adanya halusinasi auditorik dan
halusinasi visual
Diagnosis Multiaksial
Aksis I : Skizofrenia
Memenuhi kriteria A skizofrenia, yaitu adanya delusi, halusinasi dengar,
halusinasi visual dan gejala negatif yang terjadi selama lebih dari 1
bulan dan gejala prodromal maupun residual berupa gejala negative
terus-menerus berlanjut hingga lebih dari 6 bulan
Ditemukannya disfungsi pada pekerjaan, hubungan interpersonal dan
perawatan diri yang nyata dibanding sebelum timbulnya gejala.
Gangguan skizoafektif dan gangguan mood telah disingkirkan dengan
tidak ditemukannya episode depresi berat, manik, ataupun campuran.
Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis langsung dari suatu zat
(misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis
umum lainnya.
Aksis II : Tidak ada diagnosis Aksis II
Aksis III : Cephalgia
Keluhan Utama saat pasien datang adalah nyeri kepala
Aksis IV : Masalah berkaitan dengan psikososial dan primary support group
Delusi, halusinasi dan Gejala negatif pasien berasal dari rasa kecewa
atas penolakan seseorang terhadap pasien dan penolakan restu orang tua
karena pasien belum mampu mencari nafkah
Aksis V : GAF 60-51 (gejala sedang, disabilitas sedang)
Keluhan yang dirasakan adalah sakit kepala
Gejala psikosis yang timbul adalah delusi, halusinasi dan gejala negatif
Os mampu merawat dirinya sendiri hanya pada sebagian waktu
Os tidak mampu mencari pekerjaan dan hidup mandiri

Aspek Penatalaksanaan
Ketika pasien datang ke RSUD Bekasi hanya dapat dilakukan pemeriksaan fisik dasar dan
penunjang darah. Keluhan mual dan nyeri sementara ditangani dengan pemberian
Ranitidin tablet dan Parasetamol tablet dikarenakan tidak tersedianya Spesialis Kesehatan
Jiwa. Selanjutnya pasien dirujuk untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Adapun pengobatan yang akan dijalani pasien, misalnya:
1. Obat antipsikosis: Haloperidol 5 15mg/hari, Risperidone 2 6 mg/ hari,
Clozapine 25 100mg / hari
2. Terapi: Psikoterapi Psikodinamika, Psikososial, Rehabilitasi

Aspek Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam tanda vital, hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium darah
dalam batas normal
Quo ad functionam : ad malam Skizofrenia merupakan pernyakit dengan etiologi yang
belum diketahui dengan baik dan memiliki progresivitas yang cukup tinggi. Faktor onset
pada usia yang cukup muda, jenis kelamin laki laki dan dominan gejala negative juga
meningkatkan kemungkinan prognosis yang buruk


























DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Edisi
satu. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta, 2001.
2. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders: DSM-5. 5th ed. American Psychiatric Publishing. Washington, DC,
2013.
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan and Sadocks Pocket Handbook of Clinical
Psychiatry. 5th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia, 2010.
4. Kaplan HI, Saddock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadocks Comprehensive Textbook
of Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia, 2008.
5. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya. Jakarta, 2001.

Anda mungkin juga menyukai