ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama
: Tn. Y
Umur
: 44 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku / Bangsa
: Sunda / Indonesia
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Karyawan
Keluhan Utama
Diare Kronis sejak 1 bulan SMRS
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
C. Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis.
Tanda vital
Tekanan Darah
: 130/80 mmHg.
Nadi
: 84 x/menit.
Suhu
: 36,60C.
Berat Badan
Kepala
: 62 kg.
: Normocephal
Mata
Hidung
: PCH (-)
Mulut
: POC (-)
Oral Plaque (+) a.r perioral, lidah, palatum
Leher
Thoraks
Abdomen
Genitalia
Ekstremitas
kedua
berbentuk
lengan,
bulat,
sebagian
sebagian
besar
timbul,
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Hb
12,8 g/dl
Eritrosit
3,9 %
Anti-HIV 1
Reaktif
Leukosi
8800
Ht
35,6
Anti-HIV 2
Reaktif
/mm
LED
35
Trombosit
387.000
Anti-HIV 3
Reaktif
33L
/mm3
mm/jam
Basofil
0%
SGOT
42 U/L
CD4
Eosinofi
0%
SGPT
56 U/L
Absolut
Batang
1%
GDS
123 mg/dl
CD4 %
Segme
89 %
Ureum
17 mg/dl
Limfosit
7%
Kreatinin
0,7 mg/dl
Monosit
3%
(N=410-1590)
l
4L
(N=31-60%)
Pemeriksaan Radiologi
HbsAg
Negatif
Ekspertise:
Aorta Elongasi
E. Diagnosis Kerja
B20 stadium III dengan infeksi oportunistik:
-
Diare kronik
Kandidiasis Oral
Prurigo
F. Penatalaksanaan
Cotrimoxazole 1 x 960 mg
Nystatin drop 4 x 1 ml
Fluconazole 2 x 1 tab
G. Prognosis
Quo Ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo Ad functional
: Dubia ad bonam
H. Perjalanan Penyakit
Tanggal
Keadaan pasien
19/09/1
3
BB: 62 kg
Cotrimoxazole 1 x 960 mg
S: Os merasakan
bercak putih disekitar
mulut berkurang.
Frekuensi diare
menurun 1 kali /
hari. Lemas (+),
Keringat dingin (+)
Nystatin drop 4 x 1 ml
26/09/1
3
T: 120/80 mmHg
BB: 60 kg
S: -
Laboratorium
Tatalaksana
Fluconazole 2 x 1 tab
Kontrol Poli Pelangi
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
tab
CD4 Absolut: 33
sel/l
Neurodex 1 x 1 tab
(N = 410 1590
sel/l)
Ranitidin 2 x 1 tab
Lansoprazole 1 x 1 tab
CD4 %: 4%
(N = 31 60%)
11/10/1
3
T: 120/80 mmHg
BB: 61 kg
Duviral 2 x 1
S: -
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
18/10/1
3
25/10/1
3
08/11/1
3
21/11/1
3
T: 110/80 mmHg
Duviral 2 x 1
BB: 62 kg
Neviral 2 x1
S: -
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
T: 110/80 mmHg
Duviral 2 x 1
BB: 62 kg
Neviral 2 x1
S: -
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
T: 110/80 mmHg
Duviral 2 x 1
BB: 65 kg
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
T: 110/80 mmHg
Duviral 2 x 1
BB: 62 kg
Neviral 2 x1
Cotrimoxazole Forte 1 x 1
Tremenza 3 x 1
Paratusin 3 x 1
20/12/1
3
T: 100/70 mmHg
Duviral 2 x 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
menurunnya
sistem
kekebalan
tubuh
akibat
infeksi
oleh
virus
HIV
(Human
Immunodeficiency Virus). Penyakit ini ditandai oleh infeksioportunistik dan atau beberapa
jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
HIV/AIDS dapat juga berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa
penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat
fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh
dimana proses ini memerlukan proses panjang yaitu sekitar 5-10 tahun.
Penderita HIV akan dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala
atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan
virus HIV atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang berperan sebagai agen
penyakit adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh sehingga mencapai
masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan vagina, dan
dapat menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain konsentrasi
HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan.
Seseorang yang baru saja terinfeksi HIV tidak akan menunjukan gejala khusus.
Berbulan-bulan atau bertahun - tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa
menunjukkan gejala klinis yang khas namun akhirnya baru tampak pada tahap AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu
sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman
dan tempat masuk kuman (portd entre).
Virus HIV terbukti menyerang sel Limfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya.Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Banyak cara yang diduga
menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini yang diketahui adalah melalui :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupunHeteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina .Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya.Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks.Risiko seropositiveuntuk zat anti terhadap HIV
cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.
1) Homoseksual
Didunia barat, tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40
tahun dari semua golongan usia.Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima
ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV.Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum
yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara
anogenital.
2) Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubunganheteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lain (alat tindik) yang terkontaminasi,
misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2) Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negarabarat sebelum tahun
1985.Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.Risiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi
darah adalah lebih dari 90%.
c. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resikosebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
2.2
Virus HIV
Penyebab AIDS adalah virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
lentivirinae, genus Lentivirus dan berdasarkan strukturnya merupakan virus RNA
(Ribonucleic Acid) dengan berat molekul 9,7 kb dan diamter sekitar 100nm.
HIV memiliki tonjolan eksternal yang terbentuk dari 2 protein utama yang
menyusun envelope HIV, yaitu gp120 yang terletak di bagian luar dan gp41 yang terletak di
transmembran. Protein gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+, sedangkan
gp41 berperan dalam proses internalisasi struktur atau fusi membran. Di antara
nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Di dalamnya terdapat 2 untai RNA
yang pada masing masing untaiannya memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan
spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis
DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu). RNA diliputi
oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus dan
dikelilingi kapsid selubung (envelope). Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik untuk
virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN).
2.3.1
Limfosit
Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berjumlah sekitar 20 35%
dari seluruh jumlah leukosit yang beredar. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah
motilitas limfosit yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu
bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh sehingga limfosit dapat ditemukan dalam
pembuluh darah, pembuluh limfa atau jaringan ikat. Dapat pula ditemukan pada timus,
nodus limfatik, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan
saluran kemih.Limfosit terdiri atas tiga tipe yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%),
dan NK cells (7%).
Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa
bulan beredar melalui darah, nodus limfatik, limpa dan saluran limfatik secara berulang
ulang.Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang pernah memasuki
tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin sebagai protein
membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun humoral.
Beberapa sitokin bekerja pada sel B sehingga dapat meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi imunoglobulin.
Limfosit T juga berasal dari sel induk sumsum tulang namun setelah memasuki
darah, sel T keluar dari peredaran darah untuk menuju dan menetap di Timus lalu
berproliferasi. Sel T bersifat sangat spesifik antigen, pada membran plasmanya terdapat
protein protein reseptor spesifik yanng terdiri atas dua rantai polipeptida (dan).
Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor
dengan kekhususan berbeda. Sel dengan reseptor yang dapat mengenali molekul MHC
individu itu sendiri akan mati di timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya
populasi sel T matang yang hanya sanggup bereaksi dengan antigen asing yang berasal dari
luar tubuh. Selama diferensiasi, limfosit T juga memaparkan molekul permukaan antibodi
monoklonal dimana antibodi yang bereaksi dengan penanda yang sama akan dikelompokkan
ke dalam Cluster of Differentiation (CD). Diantaranya yang sering disinggung adalah CD4+
yang berfungsi sebagai sel T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC Class II
sedangkan CD8+ berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam
respon sel untuk melisis antigen dan mengenali MHC Class I.
Sel NK merupakan limfosit yang berukuran lebih besar dari limfosit pada umumnya,
berperan pada aktivitas sitotoksik non spesifik dalam melawan infeksi virus dan sel tumor.
2.3.2
CD4+ sangat umum digunakan untuk mengetahui tingkat sistem imun dari penderita
HIV / AIDS. Selain itu penghitungan CD4+ juga digunakan untuk menentukan terapi,
melihat respon terapi, serta penentuan pemberian profilaksis patogen oportunistik pada
penderita HIV / AIDS. Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan flow
cytometri biasanya dilakukan secara berkala setiap 3 6 bulan sekali pada pasien HIV /
AIDS dan dianggap sangat bermanfaat dalam memprediksi perkembangan infeksi
oportunistik. Jumlah CD4+ sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pada
infeksi akut, tindakan operasi besar, maupun pemberian kortikosteroid. Namun hal ini
dianggap tidak signifikan pada penderita penyakit kronis seperti HIV / AIDS. Pemakaian
obat Anti Retro Viral (ARV) dapat meningkatkan jumlah CD4+ sebanyak 50 sel /
mm3dalam pemakaian 4 hingga 8 minggu kemudian meningkat sebanyak 50 100 sel /
mm3setiap tahunnya.
2.4
dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120
yangberupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka
RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan
enzimRT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel,
DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu
sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku
untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan
proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari
sel yang terinfeksi. Kemudian, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku
oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja.
Perkembangan
untukmenghancurkan
penyakit
sistem
AIDS
imun
tergantung
pejamu
dan
dari
kemampuan
ketidakmampuan
virus
HIV
sistem
imun
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus
kemudianbermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu
CCR5 yangberperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar
dalampenyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat
menularkan HIV ke sel CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV
masuk ke dalam aliran darah dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh.
Beberapa hari setelah paparan pertama HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyakdapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik infeksi virus).Setelah terjadi penyebaran
infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen
virus.Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus
yangmenyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah
bening dan limpamenjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masihkompetenmengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi
klinisinfeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak
mengandung HIV.PadafaseiniterdapatmasadimanavirusHIVtidakdapatterdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenaldenganmasawindowperiod
Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung
dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun
siklus infeksi virus, kematian sel
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan respons
imunterhadap
infeksi
tersebut
menstimulasi
produksi
HIV
dan
destruksi
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbedabeda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan
gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit
bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang
diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.
2.5
dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala
HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi oportunistik. Selain itu riwayat
pergaulan atau aktivitas seksual dapat membantu menegakkan diagnosa AIDS karena dapat
menjadi sumber informasi awal penularan penyakit.
Tabel 2.5.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Selain itu, kelainan kulit merupakan gejala klinis yang mudah dikenali pada HIV /
AIDS. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh:
1. Infeksi Virus: Herpes Zooster (VZV), Verucca Vulgaris dan Condyloma Acuminata
(HPV), Oral Hairy Leukoplakia (EBV)
Gambar 2.5.2 Kelainan kulit pada HIV berhubungan dengan CD4 dan lama infeksi
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV selalu disertai dengan konseling pra tes
dan pasca tes serta informed consent. Untuk mendeteksi infeksi HIV, dapat dilakukan tes
langsung untuk mendeteksi virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara mendeteksi
antibodi.Tes antibodi HIV lebih murah dan lebih cepat serta memiliki spesifitas yang setara
dibandingkan pemeriksaan langsung untuk mendeteksi virus HIV.
Pemeriksaan laboratorium infeksi HIV, terdiri atas tes A1.A2 dan A3.Tes inisial (A1)
biasanya menggunakanrapid test. Hasil A1 yang positif akan diperiksa ulang dengan
menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes yang berbeda dan / atau menggunakan
preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama untuk meminimalkan adanya hasil positif
palsu, biasanya dengan cara Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) atau pemeriksaan
sejenis yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dari rapid test yang pertama. Kemudian untuk
tes
konfirmasi
akhir
(A3)
dapat
menggunakan
Western
Blot
(WB),
Indirect
2.6
stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4+) dan penilaian virologi.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk
memulai terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi
oportunistik yang sudah dan sedang terjadi serta menentukan kombinasi ARV yang sesuai.
2.6.1
penentuan stadium klinik berdasarkan jumlah temuan CD4 dan disesuaikan dengan gejala
penderita. WHO menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS terdiri dari 4stadium.
Tabel 2.6.1.1 Stadium klinik HIV/AIDS menurut jumlah CD4 berdasarkan CDC
2.6.2
Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan
profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100
2.6.3
Penilaian Laboratorium
2.6.4
Persiapan Lain
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan matang dengan konseling
kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.Untuk ODHA yang
memulai ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol 2 minggusebelum terapi ARV. Hal ini bertujuan untuk mengkaji kepatuhan
pasien untuk minum obat,dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegahdengan pemberian
profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer yaitu
pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah
diderita dan profilaksis sekunder yang merupakan pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya
Berbagai
penelitian
telah
membuktikan
efektifitas
pengobatan
pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi
HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit
(Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan dosis TMP/SMZ
160/800mg per oral 1 tablet per hari atau TMP/SMZ 80/400 per oral 2 tablet per hari.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut
sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK), selain dianjurkan bagi ODHA
dengan CD4 <200 namun juga bagi ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4)
termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu
hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil
harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
2.6.5
Tatalaksana Farmakologi
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase(RT) dan protease. Tujuan
terapi ARV diantaranya adalah:
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memlihara fungsi kekebalan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam jangka waktu lama
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan, yaitu:
Namun, terdapat beberapa infeksi oportunistik yang perlu diredakan sebelum terapi ARV
dimulai seperti pada tabel berikut:
Terapi Antiretroviral yang dianjurkan saat ini menggunakan kombinasi minimal tiga
obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load)
sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi.Panduan yang ditetapkan untuk pemilihan
Obat ARV Lini Pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan
membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Terapi lini pertama dapat
juga mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk
diperoleh. Maka terapi ARV dapat dimulai dengan salah satu dari kombinasi berikut:
AZT + 3TC +NVP
Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine
AZT + 3TC +EFV
Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Nevirapine
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Efavirenz
Tabel 2.6.5.3 Kombinasi terapi ARV lini pertama
Regimen lain yang dapat juga dipertimbangkan adalah regimen triple NRTI:
AZT + 3TC+ TDF
Regimen ini digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat berbasis
NNRTI, seperti pada koinfeksi TB/HIV terkait dengan interaksinya terhadap Rifampisin,
pad ibu hamil dan hepatitis terkait dengan efek hepatotoksik dari NVP / EFV / PI.
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat
digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Selain itu
dapat pula terjadi toksisitas terkait ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari
obat,sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantausecara
klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau darihasil pemeriksaan
laboratorium.Penilaian
klinis
toksisitas
harus
dibedakan
dengan
sindrom
Efek samping ARV pun perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kepatuhan
pengobatan. Efek samping yang cukup sering dijumpai, diantaranya:
mortalitas AIDS,
dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan infeksi
yang berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehingga
jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.
Hampir 65%penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
pneumonia karena P.carinii merupakan infeksioportunistik tersering, diikuti infeksi M
tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur.
Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita di rawat di rumah sakit
karena
mungkin
memerlukan
bantuan
ventilator.
Obat
pilihan
adalah
alveoler > 35), memerlukankortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam72 jam)
sebelum terapi antibiotika untuk menekan risikokomplikasi dan memperbaiki prognosis.
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazoloral dengan dosis 2 x 960 mg
selama 21 hari.
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakanproblem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadipenyebab kematian pada sekitar 11% penderita.Penatalaksanaan TB
paru dengan infeksi HIVpada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV.Umumnya
pengobatan OAT akan diberikan terlebih dahulu sebelum memulai ARV.
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT,terutama rifampicin karena
rangsangannya terhadapaktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yangmemetabolisme PI
dan NNRTI,sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalamdarah sampai kadar subterapeutik yang berakibatincomplete viral suppresion dan timbulnya resistensiobat. Protease
inhibitor dan NNRTI dapat pulamempertinggi atau menghambat sistem enzim ini
danberakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.Interaksi obat-obat ini akhirnya
berakibat tidakefektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI danNNRTI dalam darah
sampai
kadar
sub-terapeutik
yangberakibat
incomplete
viral
suppresion
dan
BAB III
PEMBAHASAN
ASPEK DIAGNOSIS
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbedabeda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut hingga mencapai
gambaran AIDS yang sempurna. Waktu perkembangan menjadi AIDS dibutuhkan sekitar 10
tahun.
Pasien datang dengan keluhan diare selama 1 bulan sebanyak 1 hingga 11 kali dalam
sehari. Keluhan disertai dengan panas badan, meriang, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan secara drastis pada 2 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan gatal
pada tangan, bercak putih pada mulut, lidah dan langit langit mulut selama 2 minggu. Dari
riwayat pasien didapatkan bahwa pasien dan istri kedua pasien memiliki riwayat berganti
ganti pasangan seksual.
Hasil pemeriksaan fisik menunjukan bahwa pasien memiliki oral thrush pada daerah
mukosa mulut dan palatum serta hiperpigmentasi pada ekstremitas atas.
Pada pasien didapatkan kondisi pasien pada stadium klinis 3, sehingga berapapun
jumlah CD4 pasien, ARV dapat mulai diberikan. Namun sebelum memulai terapi,
dianjurkan untuk mengkonsumsi kotrimoksazol paling tidak 2 minggu sebelum terapi ARV
bertujuan untuk mengkaji kepatuhan pasien, menyingkirkan kemungkinan tumpang tindih
efek samping kotrimoksazol dengan ARV, serta meredakan infeksi oportunistik yang sedang
diderita oleh pasien. Pada pasien diberikan pengobatan kotrimoksazol 960 mg. Kemudian
untuk menangani keluhan oral thrush pasien diberikan pengobatan anti jamur berupa
nystatin drop dan fluconazole tablet. Satu bulan setelahnya, pasien mulai pengobatan ARV
dengan pemberian Duviral dan Neviral sebanyak masing masing 2 kali per hari sambil
melanjutkan kotrimoksazol.
ASPEK PROGNOSIS
Pada pasien ini prognosis ad vitam nya dubia ad bonam karena walaupun pasien
baru saja terdiagnosis HIV / AIDS pada saat telah mencapai stadium III dengan CD4 yang
sangat rendah, penggunaan ARV pada pasien dengan komplians yang baik dan tanpa efek
samping, dapat menurunkan angka mortalitas dan memperbaiki kondisi pasien secara
umum.
Prognosis ad functionam nya dubia ad bonam karena seiringdengan penggunaan
ARV, kotrimoksazol dan penanganan sesuai gejala, infeksi oportunistik pasien akan mereda
dan sistem imun akan menjadi lebih baik. Pemantauan, edukasi dan komplians tetap perlu
dijaga karena secara umum penyebab kematian infeksi HIV seringkali disebabkan tidak
adekuatnya penanganan infeksi oportunistik, efek samping ARV berat dan gagal fungsi hati
stadium akhir.
BAB IV
DISKUSI PRESENTASI
No
1
Pertanyaan
Berapa lama waktu inkubasi virus
Jawaban
Dari waktu pajanan pertama virus HIV
5000 copies/ml
Pemeriksaan CD4 baiknya dilakukan setiap
(dr. Theresia)
selama 1 bulan.
Setelah pemberian profilaksis setelah Pemeriksaan laboratorium untuk HIV
pajanan, kapan harus dilakukan
setelah pajanan
Tidak ada kekhususan dalam infeksi
BAB V
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
1.
Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158.
2.
Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165.
3.
4.
5.
Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGraw - Hill.
6.
7.
Wolff, K., Johnson, R. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6th Ed. USA: McGraw - Hill.