No. ID dan Nama Wahana : RSUD Kabupaten Bekasi Topik : Sindrom Steven Johnson Tanggal (kasus): 11 September 2013 No. RM : 527853 Nama Pasien : Tn. P Nama Narasumber: dr. Rudi Herawan, SpKK Tanggal Presentasi: 18 Maret 2014 Nama Pendamping: dr. Sylviasari Risgiantini Tempat Presentasi : Ruang Internship RSUD Kabupaten Bekasi Objektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : Dewasa Laki-laki, 28 tahun 3 bulan, kulit melepuh di sleuruh tubuh sejak 2 hari SMRS, mual, muntah, diare, febris (+), Multipel generalisata makula hiperemis (+), papul (+), pustul (+), krusta (+), konjungtiva mata injeksi silier (+) mucus (+) kekuningan, Mucosa mulut krusta kehitaman (+), kulit skrotal dekstra mengelupas (+) Tujuan : Mendiagnosis sindrom steven johnson secara tepat, melakukan tatalaksana sesuai dengan kondisi pasien dan menghindari komplikasi lebih lanjut Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara Membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : Tn. P No. Register : 527853 Nama RS : RSUD Kabupaten Bekasi Umur : 28 tahun 3 bulan Terdaftar Sejak: 11 September 2013 Data utama untuk bahan diskusi: 1. Gambaran klinis: Pasien mengeluh kulit melepuh di seluruh tubuh sejak 2 hari SMRS. Awalnya melepuh dirasakan di bagian leher kemudian meluas ke batang tubuh, kedua tangan dan kaki, wajah serta sekitar mata dan mulut. Pasien saat ini tidak dapat membuka mata dan mulut. Keluhan disertai mual dan muntah hilang timbul dan diare. 2. Riwayat Penyakit Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal pasien. Pada 4 hari SMRS, pasien
mengeluh nyeri perut dan diare, kemudian mengkonsumsi jamu kupu kupu, enterostop dan supertetra. Keesokan harinya tubuh pasien melepuh. 3. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga os tidak ada yang mempunyai riwayat alergi obat atau makanan 4. Lain-lain: Pemeriksaan Fisik (11 September 2013): KU : CM, sakit berat T: 100/60 mmHg N : 104x/menit, regular R : 32x/menit S : 38,2C Kepala: normocephal Mata: Konjungtiva anemis -/-, injeksi silier (+) mucus (+) Sklera ikterik -/- Hidung: PCH -/- Mulut: POC -/-, Mukosa mulut krusta kehitaman (+) Leher: KGB tidak teraba membesar Dada: Bentuk dan gerak simetris Paru: Sonor, VBS kiri = kanan, Rh (-/-), Wh (-/-) Jantung: Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen: Datar, lembut, H/L ttb, perkusi timpani, BU (+) normal Genitalia: Kulit skrotal dekstra mengelupas (+) Ekstremitas: akral hangat, Capillary refill time <2s Status Dermatologikus: Multipel generalisata, makula hiperemis (+), papul (+), pustul (+), krusta (+), diameter terkecil 0,5x0,5 cm, diameter terbesar 10x8 cm
Pemeriksaan Penunjang: Laboratorium darah (11 September 2013): Hb : 15,1 gr/dl Ht : 41,6% LED : 68 mm/jam Leukosit : 5.300/mm3 Trombosit : 317.000/mm3 Eritrosit : 4 %
Daftar Pustaka: 1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:154-158. 2. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. p:163-165. 3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 4. Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3 rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136. 5. Wolff, K., Goldsmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7 th Ed. USA: McGraw - Hill. 6. Gawkrodger, D. 2003. Dermatology: An Illustrated Colour Text. 3 rd Ed. UK: Churchill Livingstone. 7. Wolff, K., Johnson, R. 2009. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th Ed. USA: McGraw - Hill.
Hasil Pembelajaran: 1. Mengetahui patogenesis, patofisiologi dan faktor risiko sindrom steven johnson 2. Mengetahui kriteria diagnosis sindrom steven johnson 3. Mengetahui prinsip tatalaksana awal sindrom steven johnson 4. Mengetahui diagnosis banding sindrom steven johnson 5. Mengetahui dan mendeteksi komplikasi lanjutan sindrom steven johnson
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio 1. Subjective Pasien dibawa oleh istri pasien yang mengeluhkan kulit pasien melepuh di seluruh tubuh. Melepuh dan kehitaman tampak pada 2 hari SMRS, berawal dari leher, batang tubuh, ekstremitas kemudian wajah pasien. Pasien juga mengeluhkan adanya mual, muntah dan diare. Dari anamnesa lanjutan didapatkan bahwa 4 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri perut dan diare sehingga pasien mengkonsumi jamu kupu kupu, enterostop dan supratetra. Gejala muncul pada keesokan harinya. Pada pasien ini dipikirkan bahwa alergi obat adalah pemicu utama dari timbulnya gejala.
2. Objective Hasil data anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium mendukung diagnosis sindrom steven johnson. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan: Anamnesis: Faktor risiko konsumsi obat sebelum gejala dermatologis timbul PF: Konjungtiva injeksi silier (+) mucus (+) kekuningan, mukosa mulut krusta kehitaman (+), kulit skrotal dekstra mengelupas (+), multipel generalisata dengan efloresensi kulit makula hiperemis (+), papul (+), pustul (+), krusta (+), diameter terkecil 0,5x0,5 cm, diameter terbesar 10x8 cm Laboratorium darah: Anti HIV reaktif sebagai faktor risiko
3. Assessment Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis sindrom steven johnson. Pasien didiagnosis berdasarkan riwayat konsumsi obat obatan yang sering menjadi pemicu timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe II disertai faktor risiko pasien dengan HIV / AIDS. Gejala yang
khas yaitu trias kelainan berupa kelainan mata, kelainan selaput lendir di orifisium dan kelainan kulit dengan nekrolisis kulit kurang dari 10% seluruh permukaan kulit mengarahkan diagnosis kepada sindrom steven Johnson.
Trias kelainan dari sindrom steven Johnson pada pasien tampak dari injeksi silier pada konjungtiva mata disertai mukus kekuningan, krusta kehitaman pada mukosa mulut serta kelainan pada kulit berupa makula hiperemis generalisata dengan nekrolisis kulit. Sindrom Stevens Johnson dipercaya merupakan reaksi hipersensitivitas tipe II sitolitik, yaitu melalui penyebaran apoptosis meluas dari keratinosit yang terangsang oleh reaksi hipersensitivitas cell-mediated cytotoxic dan menghasilkan destruksi keratinosit. Obat-obatan atau metabolitnya berperan sebagai hapten dan terikat pada keratinosit sebagai suatu antigen. Peptida hasil modifikasi obat dipresentasikan kepada MHC I dan MHC II. Adanya defek pada sistem detoksifikasi (pada hati dan kulit) metabolisme obat aromatik oleh sitokrom P 450 menyebabkan terbentuknya hidroksilamin reaktif (dari obat-obatan sulfonamid) atau arene oksida (dari antikonvulsan aromatik) yang terikat pada komponen sel. Hal ini menghasilkan toksisitas langsung atau perubahan pada komponen antigenik keratinosit. Pada penderita HIV, terjadi kekurangan glutation, yang merupakan scavenger komponen toksik. Jumlah mRNA yang tinggi , yang dapat menginduksi nitrit oksida sintase telah dideteksi pada infiltrat inflamasi SJS-TEN. Nitrit oksida dikenal dapat menginduksi apoptosis dan nekrosis,
Pada pasien perlu dilakukan rawat inap karena diperlukannya perawatan suportif.. Pada fase akut SJS/TEN, hal terpenting yang dilakukan adalah diagnosis secara cepat, menemukan dan menghentikan obat pencetusnya. Selanjutnya dilakukan manajemen penggantian cairan dengan IV fluid secara cepat dan perbaikan elektrolit. Pemberian steroid dan IV Immunoglobulin sebenarnya masih sering diperdebatkan. Namun pada pasien ini diberikan pengobatan steroid dengan tujuan meringankan rekasi hipersensitivitas, sedangkan pemberian IV Immunoglobulin tidak diberikan karena adanya keterbatasan finansial. Pemberian antibiotik dan penanganan pada kulit dengan nekrolisis dilakukan untuk menghindari infeksi lebih lanjut. Terapi suportif diberikan pada mukosa yang mengalami kelainan yaitu pada mata dan mukosa mulut. Selanjutnya perlu dilakukan pemantauan organ organ dalam lainnya untuk mendeteksi adanya komplikasi pada traktus respiratorius dan gastrointestina berupa
dyspneu, hemoptisis. diare, melena maupun perforasi usus. Komplikasi renal dapat tampak sebagai proteinuria, microalbuminuria, hematuria dan azotemia. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemeliharaan keseimbangan hemodinamika, protein, hemostasis elektrolit dan pemantauan status nutrisi pasien dikarenakan kurangnya asupan kalori akibat luka dan krusta pada mulut pasien.
4. Plan a. Diagnosis: Pada pasien dapat dipastikan diagnosis dari anamnesis dan terpenuhinya kriteria trias kelainan pada sindrom steven Johnson. b. Pengobatan: Pasien datang dengan kondisi kulit melepuh dan intake yang sulit karena tidak dapat membuka mulutnya. Maka, penanganan awal adalah dengan melakukan rehidrasi cairan, pemberian steroid dan antibiotik injeksi serta menutup luka yang terbuka. c. Pendidikan: Edukasi keluarga pasien untuk memberi perhatian khusus terhadap jenis obat obatan yang dikonsumsi oleh pasien dan bagaimana mengenali tanda tanda awal reaksi alergi pada pasien. d. Konsultasi: Untuk pemantauan dan tatalaksana selama perawatan di RS dilakukan konsultasi dengan spesialis kulit berdampingan dengan spesialis penyakit dalam, spesialis mata dan spesialis THT. e. Rujukan: RSUD Kabupaten Bekasi memiliki fasilitas dan sumber daya memadai untuk mendiagnosis dan melakukan tatalaksana terhadap sindrom steven johnson sehingga tidak perlu dilakukan rujukan terhadap pasien f. Kontrol Kegiatan Periode Hasil yang diharapkan Pemantauan dan edukasi kelainan mata, mukosa mulut dan perawatan luka setelah pasien diperbolehkan pulang serta edukasi pengenalan obat obatan pencetus alergi serta gejala awal Pasien perlu kontrol ke poli kulit, poli mata dan poli tht untuk memantau adanya sequelae tambahan dalam 1 minggu setelah diperbolehkan pulang. Luka dapat sembuh secara optimal dengan hipo/hiperpigmentasi minimal tanpa adanya jaringan parut.