Anda di halaman 1dari 3

Konsensus Washington dan Penyesuaian Struktural: Bank Dunia sebagai Institusi Pemerintah

Internasional dalam Unholy Trinity



Berbicara mengenai perkembangan yang terjadi pada ranah ekonomi politik internasional, erat
kaitannya dengan kemajuan zaman yang saat ini berada pada era globalisasi di mana efek
global menjadi salah satu dampak yang ditimbulkan dari adanya proses ini. Siapakah
sebenarnya yang menggerakkan perekonomian global hingga dapat seperti sekarang? Bahkan
sektor perekonomian pun dewasa ini mampu mempengaruhi sektor-sektor lain, seperti politik,
hingga pada level internasional. Pada dasarnya, peran tiga serangkai dari institusi
pemerintahlah yang menjadi variabel penting dalam menggerakkan perekonomian global.
Tanpa sadar, kehidupan kita sebenarnya banyak dipengaruhi oleh tiga organisasi yang memiliki
kekuatan besar dan sistem keuangan yang baik namun dikritisi sebagai organisasi yang tidak
demokratis. Adapun ketiga institusi pemerintah atau organisasi yang dimaksud tersebut
adalah International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade
Organization (WTO). Globalisasi ternyata meningkatkan secara masif ketiga kekuatan institusi
yang tidak demokratis ini dan mempengaruhi secara drastis kehidupan masyarakat lintas dunia
dengan suatu pemikiran khusus mereka yang dinamakan sebagai kapitalisme neoliberal.
Disebutkan bahwa ketiga institusi ini berbagi ideologi yang sama dan secara agresif
mempromosikan prinsip-prinsip kapitalisme melalui korporasi, neoliberalisme, serta
memberikan suatu kendali yang bebas pada kepentingan-kepentingan dari sejumlah
perusahaan multinasional.
Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Peet (2009), ada semacam kebijakan yang
dinamakan oleh ketiga institusi pemerintah penggerak perekonomian global tadi sebagai
Konsensus Washington (Washington Consensus) yang memberikan suatu usulan
bahwapoverty (kemiskinan) harus segera diakhiri namun caranya adalah dengan justru
meningkatkan inequality (ketidaksetaraan). Secara singkat, sebenarnya beberapa waktu lalu,
Williamson (1990, 1997) merupakan aktor yang menurut Peet (2009: 14) telah menciptakan
istilah Washington Consensus untuk merujuk pada serangkaian reformasi kebijakan yang
dikenakan ketika negara-negara penerima pinjaman (debitur) yang berada di Amerika Latin
diminta oleh Washington untuk mengatur negara mereka dalam suatu tatanan yang sesuai
menurut standar pihak Washington dan bersedia untuk tunduk pada beberapa persyaratan kuat
yang dibuat oleh pihak Washington pula. Adapun serangkaian instrumen kebijakan yang
diturunkan dari Konsensus Washington dan diaplikasikan pada negara-negara peminjam dana
oleh World Bank dan IMF menurut Williamson di antaranya meliputi: (1) fiscal discipline, demi
mencegah adanya defisit fiskal yang besar dan berkelanjutan yang dapat menjadi sumber utama
terjadinya dislokasi ekonomi makro dalam bentuk inflasi, neraca
defisit pembayaran, dan pelarian modal; (2) reducing public expenditures, di mana maksudnya
adalah pengurangan atau pemotongan pengeluaran negara lebih untuk keperluan pada sektor
pertahanan, administrasi publik dan subsidi terutama bagi BUMN daripada pendidikan
dasar, kesehatan dasar, dan investasi infrastruktur publik; (3) Tax reform, yakni basis pajak
harus luas, administrasi pajak ditingkatkan, dan tarif pajak marjinal dipotong untuk
meningkatkan insentif; (4) Interest rates, yang menyebutkan bahwa deregulasi keuangan harus
membuat kondisinya menjadi market-determined dan bukan state-determined, selain itu suku
bunga riil harus positif untuk mencegah pelarian modal dan tabungan meningkat (Peet, 2009:
15).
Di samping keempat poin di atas, masih ada poin-poin lain yang menjadi substansi dari
Konsensus Washington, yaitu: (5) Competitive exchange rates di mana kemampuan nilai tukar
harus cukup kompetitif untuk memelihara pertumbuhan pesat dalam ekspor non-tradisional
tetapi tidak harus mengalami inflasi keyakinan di balik ini adalah bahwa sektor ekonomi
harus berorientasi ke luar; (6) Trade liberalization, Pembatasan kuantitatif pada impor harus
dihilangkan, diikuti dengan penurunan tarif, sampai tingkat 10-20 persen dicapai hal ini
merupakan cita-cita dari perdagangan bebas, yang sementara ini cenderung bertentangan
dengan kebutuhan untuk melindungi negara-negara berkembang yang masih berada pada
tahap infant industries; (7) Encouraging foreign direct investment di mana investasi ini
membawa kebutuhan akan modal, keahlian, serta pengetahuan tentang bagaimana dan kapan
negara dapat didorong melalui pinjaman (utang): (8) A competitive economy, maksudnya
adalah semua perusahaan harus tunduk pada disiplin persaingan ini artinya memprivatisasi
perusahaan milik negara (BUMN) dengan keyakinan bahwa industri swasta lebih efisien, serta
melakukan deregulasi kegiatan ekonomi dalam arti mengurangi kontrol negara atas perusahaan
swasta; dan (9) Securing property rights dengan tujuan membuat hak milik aman dan yang jelas
tersedia untuk semua kalangan dengan biaya yang layak dan masuk akal (Peet, 2009: 15-16).
Singkatnya, isi dari Konsensus Washington yang utama adalah negara-negara kaya yang
notabene maju seharusnya memberikan pinjaman dana terhadap negara-negara yang statusnya
masih merupakan negara miskin atau berkembang. Berkaitan dengan masalah pinjaman ini, Mc
Namara dalam Peet (2009: 136) menyebutkan bahwa tidak hanya negara-negara kaya namun
juga World Bank, seharusnya menggunakan program pinjaman yang dapat mendorong
timbulnya reformasi di negara penerima pinjaman, khususnya pada negara-negara yang
memiliki pendapatan menengah. Mulai era ini, di dalam kebijakan rezim secara keseluruhan
terjadi shifting dari yang semula Keynesianism menjadi neoliberalism, di mana terdapat
perubahan makna pada istilah reformasi menjadi structural adjustment lending to promote
export orientation and trade liberalization(Peet, 2009: 137). Dalam hal ini, World Bank akan
mengikuti rekannya yang lebih senior dalam institusi pemerintah penggerak ekonomi global,
yakni IMF, di bawah divisi ketenagakerjaan yang ingin mengalokasikan program-program
stabilisasi ekonomi melalui pemberian dana pinjaman, salah satunya adalah structural
adjustment lending (SAL) yang ditujukan untuk memperbaiki lebih dalam tentang masalah-
masalah struktural.
Masalah yang dimaksud sebenarnya dapat bersumber dari sirkumstansi baru yang harus
dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga negara-negara yang mayoritas merupakan negara
miskin dan berkembang yakni berupa situasi perdagangan yang memburuk ketika itu dan
terjadinya defisit dari transaksi yang berjalan. Kondisi tersebutlah yang kemudian memaksa
mereka untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka bisa 'menyesuaikan' diri dengan
pola perkembangan dan struktur ekonomi saat itu. Adapun program peminjaman dana yang
baru dari World Bank akan menyediakan dana pinjaman dengan berbasis pada kebijakan
(bukan berbasis proyek). Penyesuaian struktural ternyata mampu menjadi sarana utama untuk
membawa keyakinan politik dalam praktek ekonomi. Pada awalnya, reformasi ini langsung
terhubung dengan neraca pembayaran dari suatu negara, di bawah pengawasan ketat
konstruksionis yang menjadi wilayah intervensi dari World Bank. Namun pada akhirnya
keterbatasan ini dihilangkan dan seluruh struktur ekonomi makro suatu negara menjadi
berubah. Pada Laporan Pembangunan Dunia Tahun 1987, World Bank meletakkan perannya
pada program pinjaman yang berbasis penyesuaian struktural dengan dalih bahwa hampir tidak
mungkin untuk memiliki sebuah proyek investasi yang menghasilkan tingkat keuntungan tinggi
dalam lingkungan kebijakan yang buruk.
World Bank juga menjelaskan bahwa penyesuaian struktural membutuhkan komitmen
perusahaan sebagai bagian dari pemerintah untuk mempertahankan reformasi dari waktu ke
waktu. Namun menurut pendapat Peet (2009: 137), program reformasi sebaiknya perlu menjadi
lebih fleksibel dan World Bank seharusnya mendukung adanya modifikasi dalam sepaket
kebijakan yang diterapkannya guna berkontribusi pada perkembangan domestik dan
internasional. Tetapi ketika reformasi kebijakan ini menuju pada perubahan struktural yang
diinginkan, terdapat biaya transisi yang dalam hal ini mempengaruhi masyarakat miskin
sehingga World Bank harus bekerja dengan pemerintah untuk dapat mengembangkan program
yang sesuai (World Bank 1987: 34 dalam Peet [2009: 137]). Ketika World Bank telah mampu
memenuhi kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat dunia dengan dapat secara fleksibel
bekerja bersama pemerintah tanpa melanggar otoritas pemerintah negara melalui intervensi
kepentingan internal negara maka World Bank dapat dikatakan memiliki potensi untuk menjadi
institusi pemerintah di level internasional yang demokratis.
Kesimpulannya, Konsensus Washington merupakan suatu kebijakan yang dicetuskan
oleh Williamson yang bertujuan supaya negara-negara kaya yang mayoritas berada di wilayah
utara dapat memberikan pinjaman pada negara-negara miskin yang sebagian besar tinggal di
wilayah selatan. Selain itu, institusi pemerintah di tingkat internasional seperti World Bank pun
seharusnya mampu mengatur adanya sebuah program peminjaman dana bagi negara-negara
yang membutuhkannya demi merintis diri menjadi negara maju dan mengurangi adanya
kecenderungan inequality yang masih cukup besar. Namun, Konsensus Washington ini
tampaknya kurang berjalan sesuai rencana karena tidak berhasil mengakomodir kepentingan
banyak kalangan, terutama dari negara-negara Dunia Ketiga. Hal ini pun ditambah dengan
kurang demokratisnya implementasi program stabilisasi ekonomi dari World Bank yang masih
cenderung mengintervensi urusan internal negara peminjam dana (debitur). Hal inilah yang
kemudian harus dibenahi supaya World Bank benar-benar dapat menjadi institusi pemerintah
level internasional yang bersikap netral dan mampu menjalankan peran sesuai kapasitasnya.


Referensi:
Peet, Richard. 2009. The World Bank dalam Unholy Trinity: The IMF, World Bank, and WTO
(Second Edition). London: Zed Books Ltd.

Anda mungkin juga menyukai