Anda di halaman 1dari 34

21

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1. Perjanjian Pada Umumnya
Menurut pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian tersebut
juga dapat diartikan sebagai tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan
ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal atau perjumpaan
pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana
dinyatakan oleh dua pihak atau lebih dan dimaksud untuk menimbulkan akibat
hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya, atau demi
kepentingan dan atas beban kedua belah pihak (semua) pihak bertimbal balik
27
.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata yaitu
28
:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata sepakat tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang
tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut

27
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2004), hlm. 5.
28
Ibid hal 17.
22

ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai
kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat
perikatan, yaitu
29
:
a. Orang-orang yang belum dewasa
Yaitu orang yang belum genap berusia 21 tahun atau belum terikat dalam
perkawinan dianggap belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
Tentang pengampuan ini diatur dalam Pasal 433 sampai dengan Pasal 462
KUH Perdata yang menyebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus ditaruh
dibawah pengampuan pun jika ia kadang-kadang cakap mepergunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan
karena keborosannya.
c. Orang-orang perempuan
Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan
tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.

3. Hal tertentu
Di dalam pasal 1333 KUH Perdata disebutkan suatu perjanjian harus
mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Pasal 1332 KUH Perdata menentukan hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian dan berdasarkan
Pasal 1334 KUH Perdata barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari
dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang
secara tegas.

29
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
23

4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang
terakhir disebut syarat obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada
syarat subyektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat
subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak. Sedangkan
perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa
yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum.
3. Unsur-Unsur Perjanjian
a. Unsur essensialia
Unsur essensialia adalah unsur yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian.
Merupakan unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut tidak mungkin
ada perjanjian.
b. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh Undang-Undang diatur dan
merupakan bagian dari suatu perjanjian yang tanpa disebutkan secara khusus
sudah merupakan bagian yang ada pada perjanjian tersebut.
c. Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang secara khusus diperjanjikan
oleh para pihak, dimana Undang-Undang sendiri tidak mengatur tentang hal
tersebut, misalnya domisili para pihak.
24

4. Asas-Asas Dalam Perjanjian
a. Asas kebebasan berkontrak
Prof. Subekti, menyimpulkan bahwa Pasal 1338 KUH Perdata mengandung
suatu asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau menganut sistem
terbuka
30
. Dengan menekankan pada kata semua maka pasal tersebut seolah-
olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat tentang diperbolehkannya
membuat perjanjian apa saja (asalkan dibuat secara sah) dan perjanjian itu akan
mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang dan tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak
31
. Berdasarkan
pernyataan-pernyataan yang timbal balik antara para pihak melahirkan sepakat
dan sekaligus melahirkan perjanjian (yang mengikat seperti undang-undang).
Asas konsensualisme lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata
32
.




30
Subekti Loc Cit hal 20
31
Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Sepuluh, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hal 7
32
Ibid, hal 10
25

c. Asas itikad baik
Asas iktikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari pihak lain.
d. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
e. Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari
pihak debitur.
f. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan di sini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
g. Asas kepastian hukum
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
Undang-Undang bagi para pihak
33
. Asas kepastian hukum (asas pacta sunt
servanda) merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah

33
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : alumni, 2005), hal. 43-44.
26

undang-undang. Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 angka (1), yang
berbunyi: perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang
34
.
h. Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat
menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak bahwa satu sama lain akan
memenuhi prestasinya dikemudian hari.
i. Asas kekuatan mengikat
Terikatnya para pihak pada apa yang diperjanjikan dan juga terhadap beberapa
unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebiasaan
akan mengikat para pihak.
j. Asas persamaan hak
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan,
jabatan, dan lain-lain.
k. Asas Kepribadian
Dalam pasal 1340 KUH Per disebutkan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa
rugi kepada pihak-pihak ketiga.



34
Salim H.S, Loc cit, hal10-11.
27

5. Hubungan Antara Perikatan Dan Perjanjian
Apakah yang dimaksud dengan perikatan itu? Suatu perikatan itu adalah
suatu hubungan hukum antara dua orang tau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tunututan itu
35
.
Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang,
sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si
berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi, adalah suatu
perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum
atau undang-undang.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang di
namakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping
sumber sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak
itu setuju untuk melakukan sesuatu.

35
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 1
28

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan.
Memang, perikatan banyak diterbitkan oleh perjanjian, tetapi sebagaimana sudah
dikatakan tadi, ada juga sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-
sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang
lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
Dengan kata lain bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan yang paling
penting. Dan perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah
suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa.
6. Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua kontrak atau
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya atau biasa dikenal dengan asas Pacta Sunt Servanda
36
. Dari pasal ini
dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini
dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Dari pembahasan dan pengertian tentang perjanjian dan perikatan pada
umumnya di atas, dalam hal ini Penulis akan membahas secara khusus mengenai
perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan.



36
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
29

B. Perjanjian Kredit
1. Pengertian perjanjian kredit
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan
Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana
Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur,
dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dan yang Penerima kredit adalah siapa saja yang mendapat kredit dari bank dan
wajib mengembalikannya setelah jangka waktu tertentu. Istilah siapa saja di sini
mempunyai arti luas yang meliputi perseorangan dan badan usaha
37
.
Bank-bank dalam menilai suatu permintaan berpedoman kepada faktor-
faktor antara lain:
1. Character
Merupakan data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifat-sifat
pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang
keluarga maupun hobinya.
2. Capacity
Capacity dalam hal ini merupakan suatu penilaian kepada calon debitur

37
Indonesia. Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan pasal 1(2).
30

mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha
yang dilakukannya yang akan dibiayai dengan kredit dari bank.
3. Capital
Adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya. Hal
ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio
keuntungan yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. Dari
kondisi di atas bisa dinilai apakah layak calon pelanggan diberi pembiayaan,
dan beberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan.
4. Conditon
Kredit yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang
dikaitkan dengan prospek usaha calon debitur.
5. Collateral
Adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon debitur benar-
benar tidak bisa memenuhi kewajibannya.
Kelima syarat-syarat itu merupakan ukuran kemampuan penerima kredit
untuk mengembalikan pinjamannya.
2. Jenis, bentuk dan Isi Perjanjian kredit
Secara yuridis ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang
digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu
38
:



38
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta: Andy, 2005), hlm. 46.
31

1. Perjanjian kredit dibawah tangan
Yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat
hanya di antara mereka (kreditur dengan debitur) tanpa notaris.
2. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta otentik
Yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya
dibuat oleh atau dihadapan notaris.
Pada prakteknya, bentuk dan isi perjanjian kredit yang ada saat ini masih
berbeda-beda antara satu bank dengan bank lainnya. Namun demikian pada
dasarnya suatu perjanjian kredit harus memenuhi 6 (enam) syarat minimal, yaitu
39
:
a. Jumlah utang;
b. Besarnya bunga;
c. Waktu pelunasan;
d. Cara-cara pembayaran;
e. Klausula opeisbaarheid;
f. Barang jaminan.
Apabila keenam syarat tersebut dikembangkan lebih lanjut maka isi dari
perjanjian kredit yang termuat dalam pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut
40
:
1. Jumlah maksimum kredit (plafon) yang diberikan bank kepada debiturnya.
Dalam preaktek, bank dapat juga memberikan kesempatan kepada debiturnya
unutk menarik dana melebihi plafon kreditnya (overdraft).

39
Ibid, hal, 47.
40
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung, Citra Aditya Bakti :
1991), hlm 81.
32

2. Cara penarikan kredit yang diberikan, yang mana penarikan dana tersebut
dilakukan di kantor bank yang bersangkutan dan pembayaran yang dilakukan
pada hari dan jam kantor dibuka dan dicatat pada pembukuan bank dan
rekening debitur.
3. Jangka waktu dan cara pembayaran sampai jatuh tempo. Ada 2 (dua) cara
pembayaran yang lazim digunakan, yaitu dengan cara diangsur atau pelunasan
sekaligus. Debitur berhak untuk sewaktu-waktu untuk mengakhiri perjanjian
tersebut sebelum jangka waktu berakhir, apabila sudah dilakukan pembayaran
atas seluruh utang termasuk bunga, denda dan biaya-biaya lainnya.
4. Mutasi keuangan debitur dan pembukuan oleh bank. Dari mutasi keuangan dan
pembukuan bank ini dapatlah diketahui berapa besar jumlah yang terhutang
oleh debitur. Untuk itu mutasi keuangan dan pembukuan bank tersebut yang
berbentuk rekening koran, diberikan salinannya setiap bulan oleh bank kepada
debitur yang bersangkutan.
5. Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda (bila ada). Kecuali
pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi harus
dibayar dimuka oleh debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh debitur bila
terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga.
6. Klausula opersbarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal mengenai
hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak bagi debitur untuk
mengurus harta kekayaaannya, barang jaminan serta kelalaian debitur untuk
memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit yang mengakibatkan
33

debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas. Klausula tersebut
berlaku dalam hal
41
:
a. Debitur tidak membayar kewajiban secara sebagaimana mestinya;
b. Debitur atau pemilik jaminan dinyatakan pailit;
c. Debitur meninggal dunia;
d. Harta kekayaan debitur dilakukan penyitaan;
e. Debitur ditaruh dalam pengampuan.
7. Jaminan yang diserahkan oleh debitur beserta kuasa-kuasa yang menyertainya
dan persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang
jaminan tersebut.
8. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitur dan termasuk hak untuk
pengawasan atau pembinaan kredit oleh bank.
3. Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit, yaitu :
1. Pihak pemberi kredit atau Kreditur.
Pihak pemberi kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain
selain bank misalnya perusahaan leasing.
2. Pihak penerima kredit atau debitur.
Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang mana bertindak sebagai
subjek hukum.


41
Ibid, hal, 85.
34

C. Perjanjian Jaminan.
1. Pengertian perjanjian jaminan
Perjanjian yang merupakan perikatan antara kreditur dengan debitur atau
pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang timbhul dari pemberian
kredit, lazim disebut sebagai Perjanjian Jaminan Kredit. Sifat perjanjian jaminan ini
mereupakan perjanjian yang bersifat accessosir, yaitu senantiasa merupakan
perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok
42
. Suatu perjanjian jaminan tidak
akan ada apabila tidak ada perjanjian pokok atau dengan kata lain perjanjian
jaminan itu selalu menyertai perjanjian pokok. Tetapi sebaliknya perjanjian pokok
tidak selalu menimbulkan perjanjian jaminan.
Dengan demikian perjanjian jaminan kredit ini dibuat atau ada karena
adanya perjanjian yang mendahuluinya yaitu perjanjian kredit
43
. Sesuai dengan
tujuannya, perjanjian jaminan kredit memang dibuat untuk menjamin kewajiban
dari debitur yang ada dalam perjanjian kredit, yaitu melunasi kredit tersebut. Jadi
tanpa adanya perjanjian kredit, perjanjian jaminan kredit tidak akan ada. Dalam
ilmu hukum, kedudukan dari perjanjian kredit adalah merupakan perjanjian pokok
sedangkan kedudukan dari perjanjian jaminan kredit tersebut adalah sebagai
perjanjian ikutan atau tambahan (accessoir). Konsekuensi hukumnya adalah apabila

42
Rachmadi Usman, Loc cit, hal 86.
43
Ibid, hal, 68
35

suatu perjanjian kredit dinyatakan tidak berlaku atau gugur, akibatnya perjanjian
jaminan kredit sebagai perjanjian tambahan secara otomatis menjadi ikut gugur
44
.
2. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan tidak
disebutkan lagi secara tegas mengenai kewajiban atau keharusan tersedianya
jaminan atas kredit yang dimohonkan oleh debitur, seperti yang diatur dalam
undang-undang perbankan sebelumnya. Selengkapnya dapat dibandingkan bunyi
pasal dalam undang-undang perbankan yang mengatur masalah jaminan tersebut,
yaitu :
a. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 berbunyi bank
umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga.
b. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 berbunyi dalam memberikan
kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967, secara tersirat jelas
ditekankan keharusan adanya jaminan atas setiap pemberian kredit kepada siapapun
juga. Siapapun dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 harus menyediakan
adanya jaminan seperti yang terkandung secara tersirat dalam kalimat,
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur dan sekaligus

44
Mariam Darus Badrulzaman, Buku II Kompilasi Hukum Jaminan (Bandung : Mandar Maju),
hal 46.
36

mencerminkan apa yang disebut dalam prinsip 5C yang salah satunya, yaitu
Collateral (jaminan / agunan) yang harus disediakan oleh debitur
45
. Untuk
mengurangi resiko tersebut maka jaminan pemberian kredit, dalam arti keyakinan
atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnnya sesuai dengan
yang diperjanjikan, merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi
berdasarkan sudut pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan
yang dijadikan objek jaminan, dan lain sebagainya yaitu
46
:
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi sebagaimana yang
diatur dalam pasal 1132 dan pasal 1134 ayat (1) KUH Perdata. Sedangkan
jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan oleh
perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik, hak
tanggungan dan fidusia.
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi
jaminan bagi perutangannya dengan semua kreditur. KUH Perdata pada Pasal
1131 KUH Perdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru

45
Indonesia. Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
46
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 87
37

akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perserorangan
47
. Sedangkan jaminan khusus adalah maka penyerahan harta
kekayaan tertentu untuk diikat secara khusus sebagai jaminan pelunasan utang
debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang
diutamakan atau didahulukan daripada kreditur-kreditur lain dalam pelunasan
utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan perlindungan kepada kreditur
dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai hal ini. Jaminan khusus
memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas
sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas
benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu
mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan
gadai, dan lain-lain). Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perseorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur
umumnya. Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda
tidak bergerak.
d. Jaminan pokok, jaminan utama dan jaminan tambahan
Sesuai dengan namanya, kredit diberikan kepada debitur berdasarkan
kepercayaan si kreditur terhadap kesanggupan pihak debitur untuk membayar

47
Pasal 1113 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
38

kembali utang-utangnya kelak. Sementara jaminan-jaminan lainnya yang
bersifat kontraktual, seperti hak tanggungan atas tanah, gadai, hipotik, fiducia,
dan sebagainya hanya dianggap sebagai jaminan tambahan semata-mata,
yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang
dibiayai dengan kredit tersebut.
e. Jaminan atas benda bergerak dan tidak bergerak
Dalam hukum perdata terutama mengenai lembaga jaminan, penting sekali arti
pembagian benda bergerak dan benda tak bergerak
48
. Dimana atas dasar
pembedaan benda tersebut, menentukan jenis lembaga jaminan atau ikatan
kredit yang mana dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan. Jika benda
jaminan itu berupa benda bergerak, maka dapat dipasang lembaga jaminan yang
berbentuk gadai atau fidusia, sedangkan jika benda jaminan itu berbentuk benda
tetap, maka sebagai lembaga jaminan dapat dipasang hipotik atau hak
tanggungan
49
.

D. Pengertian Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah
sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu,

48
Rachmadi Usman, Loc cit, hal 38.
49
Ibid, hal, 39.
39

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditorkreditor lain
50
.
Pengertian hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir 1
UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum
tanah berdasarkan UUPA
51
. Asas pemisahan horizontal ini menyebabkan hak atas
tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut. Namun
demikian, kenyataan menunjukkan bahwa banyak bangunan yang tidak dapat
dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah
hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, jika hal ini dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara tegas
didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan
tersebut adalah hak atas tanah beserta benda-benda lain di atasnya.
2. Sifat Hak Tangungan
Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan
dalam pasal 2 UUHT
52
. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak
Tanggungan akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya,apabila
hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi
sebagian,maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan.
Klausula kecuali jika diperjanjikan dalam APHT dalam pasal 2

50
Indonesia. Undang-undang no 5 tahun 1960
51
Indonesia. Undang-undang no 4 tahun 1996 pasal 1 butir 1
52
Rachmadi Usman, Loc cit, hal 86.
40

UUHT,dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan
dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan.
3. Ciri-Ciri Hak Tanggungan
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun
1996 dikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, Hak
Tanggungan harus mengandung ciri-ciri
53
:
a) Droit de preferent, artinya memberikan kedudukan yang diutamakan atau
mendahului kepada pemegangnya (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat 1). Dalam
hal ini pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur memperoleh hak
didahulukan dari kreditur lainnya untuk memperoleh pembayaran piutangnya
dari hasil penjualan (pencairan) objek jaminan kredit yang diikat dengan Hak
Tanggungan tersebut.
b) Droit de suite, artinya selalu mengikuti jaminan hutang dalam tangan siapapun
objek tersebut berada (Pasal 7). Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak
tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek itu berada.
c) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga
dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan hal tersebut maka sahnya pembebanan Hak Tanggungan
disyaratkan wajib disebutkan dengan jelas piutang mana dan berapa jumlahnya
yang dijamin serta benda-benda mana yang dijadikan jaminan (syarat

53
Boedi harsono. Hukum agraria indonesia (jakarta: djambatan) hal 416
41

spesialitas), dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sehingga terbuka untuk
umum (syarat publisitas)
54
.
d) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya Salah satu ciri Hak Tanggungan
yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya jika debitur
cidera janji.
4. Objek Hak Tanggungan
Terhadap benda-benda (tanah) yang akan dijadikan objek Hak Tanggungan,
maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
55
:
a) Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang;
b) Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat
publisitas;
c) Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji,
benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum;
d) Perlu ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan
Hak Tanggungan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas
tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu meliputi
56
:
a) Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud
dalam UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).

54
Ibid. Hal 417
55
Ibid. Hal, 422
56
Ibid hal, 423
42

b) Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
c) Hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada di atas maupun di bawah
tanah), tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada, yamg merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak
atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil
karya tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah.
Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut
diatas harus dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat (4) UUHT).
d) Rumah susun yang berdiri atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak
Guna Usaha, Hak Pakai yang diberikan oleh negara; dan Hak milik atas satuan
rumah susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak-hak yang tersebut
berdasarkan pasal 12 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
sebagaimana tertuang dalam pasal 27 UUHT.

E. Akta Eksekutorial
1. Akta Otentik
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja
untuk pembuktian
57
. Berdasarkan pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement

57
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, Yogyakarta, Liberty:
1993, hal.121.
43

(HIR) Suatu aktaotentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh
pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak
58
. Akta otentik yang dibuat oleh
pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu
dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya.
Adapun akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat
olehpejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan
tersebut.
2. Fungsi Akta Otentik
Akta mempunyai dua fungsi yaitu
59
:
a. Fungsi formil (formalitas causa)
Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya
suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta
merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum.
b. Fungsi alat bukti (probationis causa)
Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena
sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian
hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat
sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti
dikemudian hari.


58
Ibid. Hal, 123
59
Ibid. Hal, 123
44

Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil
dan materil dengan pengertian sebagai berikut
60
:
a. Kekuatan pembuktian materil lahir berarti kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta
publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai
akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu
berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.
Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya
sendiri sebagai akta otentik.
b. Kekuatan Pembuktian Formil Artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa
apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan
uraian kehendak pihak-pihak.

3. Grosse Akta Pengakuan Utang
Grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan sepihak (debitur) sebagai
dokumen accesoir dengan perjanjian pokok pinjaman/kredit sebagai pokok hutang
61
.
Itu sebabnya, ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta akta pengakuan hutang
adalah perjanjian tambahan yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan

60
Ibid. Hal, 124
61
http://johansyam.blogspot.com/2008/12/parate-eksekusi-grose-akta-pengakuan.html
45

hukum terhadap pihak kreditur
62
. Grosse akta pengakuan hutang dapat digunakan
khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Notaris dapat membuat akta
pengakuan hutang dan melalui grosssenya berirah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dipegang kreditur (bank) dan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua PengadilanNegeri
63
.

4. Syarat sah grosse akta pengakuan Utang
64
:
a. Syarat Formil
1) Berbentuk akta Otentik
2) Memuat Titel Eksekutorial lembar minut (asli) disimpan Notaris,
Grosse (salinan yang memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hukum memberikan grosse kepada
debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar
syarat formal dan tidak mengalangi parate eksekusi.
b. Syarat Materil
1) Memuat rumusan Pernyataan Sepihak dari debitur yaitu Pengakuan
berhutang kepada Kreditur dan mengaku Wajib membayar pada waktu
yang ditentukan dengan demikian rumusan akta Tidak Boleh memuat
ketentuan perjanjian atau tidak boleh dimasukkan dan dicampurkan

62
22Sutan Remy Sjahdani, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah
yang dihadapi oleh Perbankan; Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan,
(Bandung:Alumni, Bandung, 1999), hal. 383
63
Ibid. Hal, 384
64
Ibid. Hal, 387
46

dengan perjanjian hak tanggungan (Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan).
2) Jumlah hutang Sudah Pasti (fixed load) tidak boleh berupa Kredit
Flafon. Jadi jumlah hutang Pasti dan Tertentu, berarti pada saat grosse
akta dibuat, jumlah hutang Sudah Direalisir dan jangkauan hutang
yang pasti meliputi Hutang Pokok berikut Bunga (ganti rugi).
3) Pada bagian akhir akta tercantum kalimat Sebagai grosse pertama
diberikan atas permintaan kreditur.

5. Asas Spesialitas Grosse Akta Pengakuan Utang.
Setiap grosse akta pengakuan hutang harus memenuhi asas spesialitas,
dalam arti
65
:
a. Harus menegaskan barang agunan hutang dan apabila tanpa menyebut barang
agunan, maka dianggap tidak memenuhi syarat, dengan demikian grosse akta
tadi jatuh menjadi ikatan hutang biasa, dan pemenuhannya tidak dapat melalui
Pasal 224 HIR, tapi harus gugat biasa.
b. Agunannya harus barang tertentu, bisa berupa barang bergerak,atau tidak
bergerak dalam hal ini tanah sebagai jaminan Hak Tanggungan.
c. Yang dapat dieksekusi berdasar Pasal 224 HIR adalah hanya barang agunan
saja sesuai dengan asas spesialitas, apabila eksekusi atas barang agunan tidak

65
Effendi Perangin-angin, Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit,
(Jakarta:Rajawali Pers, 1981), hal. 9
47

cukup memenuhi pelunasan hutang maka kekurangan itu harus dituntut melalui
Gugat Perdata biasa, hal itu sesuai dengan eksistensi grosse akta, bukan putusan
pengadilan, tapi disamakan dengan putusan pengadilan.

6. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Akta Pengakuan Utang
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dalam setaip pemberian kredit oleh
bank harus disertai dengan suatu akad perjanjian kredit. Akad perjanjian kredit ini
merupakan perjanjian pokok sedangkan akta pengakuan utang di sini adalah
perjanjian tambahan. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Bank sehubungan
dengan perjanjian kredit agar perjanjian itu dianggap sah dan tidak mengandung
cacat hukum pada prinsip pokoknya adalah dengan memperhatikan pasal 1320
KUH Perdata tentang sahnya perjanjian. Selain itu timbul beberapa ketentuan
khusus dalam praktek sehari-hari yaitu :
1) Perjanjian kredit sebaiknya dibuat dalam bentuk tertulis dalam suatu akad
kredit, karena perjanjian akad kredit ini bisa saja dibuat dibawah tangan diatas
kertas bermaterai.
2) Harus mengadakan penelitian status hukum dam kewenangan bertindak
perorangan maupun badan hukum sebagai pemohon kredit.
3) Isi dari perjanjian kredit harus memuat hal-hal anatara lain :
a. penyediaan kredit dalam jumlah tertentu,
b. penetapan bunga dari kredit yang diberikan,
c. tujuan penggunaan kredit oleh debitur,
48

d. jangka waktu berlakunya perjanjian kredit,
e. objek tertentu (jaminan) yang diberikan oleh debitur kepada bank atas
kredit yang diberikan,
f. hak debitur untuk menarik dana berdasarkan perjanjian kredit dan hak
kreditur untuk menyediakan dana berdasarkan ketentuan perjanjian
g. tata cara pembatalan perjanjian kredit,
h. cara penyelesaian sengketa yang timbul antara debitur dengan bank,
i. kepemilikan barang jaminan.

F. Eksekusi
1. Pengertian Eksekusi
Hukum eksekusi adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak
kreditur dalam perutangan yang tertipu terhadap harta kekayaan debitur, manakala
perutangan itu tidak dipenuhi secara suka rela oleh debitur atau wanprestasi
66
.
Untuk dapat melaksanakan eksekusi, kreditur harus mempunyai alas hak untuk
melakukan eksekusi melalui persitaan eksekutorial (executorial beslag). Syarat
untuk adanya title eksekutorial ini diadakan demi perlindungan hukum bagi debitur
terhadap perbuatan yang melampaui batas dari kreditur.
Pelaksanaan sita eksekusi ini dilakukan oleh juru sita atas permintaan
kreditur. Dimana dalam pelaksanaannya dibutuhkan titel eksekutorial yang dapat

66
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 2, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), hlm. 23
49

timbul karena berdasarkan keputusan hakim yang dibuat dalam bentuk eksekutorial
yang memutuskan bahwa debitur harus membayar sejumlah pembayaran tertentu
atau prestasi tertentu ataupun dapat juga berdasarkan akta Notaris yang sengaja
dibuat dalam bentuk eksekutorial, karena menurut ketentuan Undang-Undang,
grosse dari akta notaris demikian mempunyai kekuatan eksekutorial
67
. Dimana
dalam akta itu dimuat pernyataan perngakuan utang sejumlah uang tertentu dari
debitur kepada kreditur. Dan untuk mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu
mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan seperti keputusan pengadilan, maka pada
kepala akta notaris itu harus dicantumkan irah-irah Demi Keadilan berdasarkan
KeTuhanan Yang Maha Esa.
2. Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Utang
Dalam hubungan perutangan dimana ada kewajiban berprestasi dari debitur
dan hak atas prestasi dari kreditur, hubungan hukum akan lancar terlaksana jika
masingmasing pihak memenuhi kewajibannya. Namun dalam hubungan perutangan
ini sering kali debitur tidak mau melaksanakan kewajibannya dengan suka rela,
maka hak yang dimiliki kreditur untuk menuntut pelunasannya adalah dengan cara
eksekusi terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai jaminan. Eksekusi
terhadap barang jaminan ini dilakukan atas dasar ketidakmampuan debitur untuk
melaksanakan kewajibannya secara sukarela atau yang biasa disebut sebagai
wanprestasi.

67
Ibid. Hal, 25
50

Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa
68
. Untuk
menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut
disebutdengan somasi.Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur
kepada debitur yangberisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan
prestasi seketika ataudalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam
pemberitahuan itu
69
.
Grosse akta pengakuan utang disebut juga sebagai perjanjian assesoir dari
perjanjian pokok, namun keberlakuannya tidak serta-merta mengikuti perjanjian
pokok yang artinya grosse akta pengakuan utang ini berbeda dengan perjanjian
jaminan pada umumnya seperti hak tanggungan, gadai, fidusia ataupun hipotik
70
.
Adapun dasar pemikiran dari penulis yang memandang bahwa grosse akta
pengakuan utang ini berbeda dengan perjanjian assesoir pada umumnya, yaitu
dengan memperhatikan asas keadilan dan itikad baik serta tujuan awal dari
pembuatan grosse akta pengakuan utang tersebut, yaitu sebagai akta yang
berkekuatan sama dengan putusan pengadilan dan merupakan pernyataan sepihak
yang dilakukan oleh debitur yang bersangkutan yang menyatakan telah berhutang

68
Subekti, op. cit, hlm. 44.
69
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 32.
70
Ibid. Hal, 35.
51

sejumlah uang tertentu kepada kreditur dan akan dilunasi pada jangka waktu
tertentu.
Dilihat dari pernyataan sepihak inilah, penulis memandang grosse akta
pengakuan utang ini berbeda dengan perjanjian assesoir lainnya yang melibatkan 2
(dua) pihak atau lebih dalam perikatan tersebut. Jadi dengan kata lain, grosse akta
pengakuan utang ini merupakan suatu perjanjian yang dinyatakan secara sepihak
yang isinya menyatakan berjanji untuk melakukan suatu pertasi atas kontra prestasi
yang sudah diterima sebelumnya dan bukan merupakan suatu kesepakatan
sedangkan perjanjian jaminan yang merupakan perjanjian assesoir pada umumnya
dipandang lebih kepada suatu perikatan yang didalamnya terdapat suatu
kesepakatan bersama, oleh sebab itu perjanjian jaminan ini keberlakuannya
mengikuti perjanjian pokoknya.
Dan sebagai bentuk pelaksanaanperlindungan hukum bagi kreditur beritikad
baik ini, apabila perjanjian jaminan yang merupakan perjanjian assesoir turut batal
bersama perjanjian pokoknya yang berarti jaminan khusus atas utang tersebut tidak
dapat lagi dieksekusi sebagai bentuk pelunasan utang, maka berdasarkan grosse akta
pengakuan utang ini terbukalah jaminan umum sebagai objek pelunasan utang yang
dapat dieksekusi oleh kreditur tanpa harus melalui putusan pengadilan.
3. Parate eksekusi
Selain eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yaitu berdasarkan pada
putusan hakim ataupun grosse akta Notaris, dapat juga dilakukan tanpa titel
52

eksekutorial yaitu dengan melalui parate eksekusi atau eksekusi langsung
71
. Parate
eksekusi adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campur tangan
pengadilan. Pelaksanaan parate eksekusi secara yuridis teoritis dapat langsung
dilakukan oleh kantor lelang tanpa menunggu perintah dari pengadilan, akan tetapi
kenyataannya dalam praktek menunjukkan bahwa tidak semudah yang
diharapkan oleh kreditor selaku bank pemberi kredit karena dalah pasal 224 HIR
juga menjelaskan bahwa apabila parate eksekusi tidak dapat dijalankan dengan jalan
damai maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan
dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah
hukumnya tempat tinggal debitur.
Dan kendala lainnya mengenai eksekusi langsung oleh kreditur ini adalah,
pemegang hak parate eksekusi tidak serta merta memiliki hak penyitaan yang dalam
hal ini merupakan kewenangan dari pengadilan. Berikut ini beberapa keistimewaan
dari parate eksekusi, yaitu
72
:
a. Penjualan tanpa melibatkan debitur. Hal ini terkait dengan adanya kuasa mutlak
yang tidak dapat ditarik kembali kepada kreditur, untuk menjual atas
kekeuasaannya sendiri, yang didapat dengan diperjanjikan dengan tegas seperti
pada hak tanggungan.
b. Penjualan tanpa perantara pengadilan. Hal ini terkait dengan kuasa mutlak
sebagaimana yang dijelaskan diatas dan juga essensi dari parate eksekusi ini

71
M. Yahya Harahap,op. Cit hal 28
72
Ibid. Hal 31
53

yang dianggap sebagai eksekusi yang disederhanakan terlakusananya proses
eksekusi yang cepat dan murah.

4. Hambatan-Hambatan Pelaksanaan Eksekusi Grosse Akta Pengakuan
Utang
Menurut ketentuan dalam pasal 224 HIR yang mengandung hak untuk
pelaksanaan pemenuhan piutangnya terhadap benda jaminan, manakala piutang
sudah dapat ditagih dan debitur ternyata wanprestasi. Kreditur mempunyai
kewenangan untuk melakukan eksekusi secara langsung terhadap benda yang
menjadi jaminan tanpa perantaraan hakim. Wewenang yang demikian itu timbul
karena adanya 2 (dua) kemungkinan, yaitu
73
:
a. Karena Grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi dapat dilakukan
eksekusi secara langsung terhadap bendanya dengan cara benda jaminan itu
dijual di muka umum dan hasilnya diperhitungkan untuk pelunasan piutangnya.
b. Karena adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Berarti di sini
kreditur dapat menjual benda jaminan itu di muka umum atas dasar parate
eksekusi. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri oleh kreditur ini harus
dinyatakan secara tegas dalam perjanjiannya.
Namun ternyata dalam praktek bahwa eksekusi secara langsung oleh Bank
terhadap benda jaminan ini jarang sekali terjadi. Seperti ketika debitur wanprestasi

73
Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grosse Akta Serta Putusan Pengadilan dan
Arbitrase dan Standar Hukum eksekusi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 104.
54

dan telah mendapat somasi dari pihak bank dan tetap tidak memenuhi
kewajibannya, bank tidak melakukan eksekusi sendiri, melainkan minta campur
tangan pengadilan
74
.
Meskipun grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial. Penjualan objek
jaminan berdasarkan title eksekutorial yang terdapat dalam grosse akta pengakuan
utang, apabila dilakukan melalui pelelangan umum, pelaksanaannya tetap mengikuti
prosedur dan ketentuan yang berlaku. Perjanjian itu harus didaftarkan dalam daftar-
daftar umum.

74
Ibid. Hal, 106

Anda mungkin juga menyukai