Anda di halaman 1dari 5

Bangsa Indonesia patut bersyukur karena para founding fathers negara ini dapat

merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Pancasila
tidak lahir secara mendadak di tahun 1945, tetapi melalui proses panjang dan
dimatangkan oleh sejarah perjuangan rakyatnya. Maka, wajar jika bangsa Indonesia
memiliki hari bersejarah bernama Hari Lahirnya Pancasila yang diperingati setiap tanggal
1 Juni. Oleh sebab itu, tidak salah jika sekarang rakyat Indonesia mengenang kembali
proses kelahiran tersebut dalam rangka memperingati kelahiran Pancasila.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI
(Dokuritsu Junbi Cosakai) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah Jepang
pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan
ini dibentuk sebagai upaya pelaksanaan janji Jepang mengenai kemerdekaan Indonesia.
BPUPKI beranggotakan 66 orang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat dengan
wakil ketua Hibangase Yosio (orang Jepang) dan R.P. Soeroso. Dari 66 anggota
BPUPKI, terdapat 9 orang Muslim sebagai anggota: Ki Bagoes Hadikoesoemo (Tokoh
Masyumi), H. Agus Salim (pendiri Partai Penyadar), Abikoesno Tjokrosoejoso (Tokoh
Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Moezakir (Pimpinan Muhammadiyah),
K.H Abdul Wachid Hasjim (Tokoh NU), K.H Mas Mansoer (Tokoh Muhammadiyah), H.
Ahmad Sanusi, K.H Abdul Halim, K.H Masjkoer, dan seorang Muslim lainnya sebagai
anggota tambahan, yaitu: K.H Abdul Fatah Hasan. Sepuluh tokoh Muslim ini berperan
penting dalam mematangkan perumusan Pancasila dan rancangan pembukaan UUD.
Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI (29 Mei 1945), Rapat pertama diadakan di
gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan
Gedung Pancasila.,,,, Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung
Volksraad, lembaga DPR bentukan Belanda.
Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29
Mei 1945 dengan tema dasar negara. Pada rapat pertama ini terdapat 3 orang yang
mengajukan pendapatnya tentang dasar negara.
Pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin dalam pidato singkatnya
mengemukakan lima asas yaitu:
a. peri kebangsaan
b. peri ke Tuhanan
c. kesejahteraan rakyat
d. peri kemanusiaan
e. peri kerakyatan
Pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Dr. Mr. Soepomo mengusulkan lima asas yaitu:
a. persatuan
b. mufakat dan demokrasi
c. keadilan sosial
d. kekeluargaan
e. musyawarah
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan lima asas pula yang disebut
Pancasila yaitu:[1]
a. kebangsaan Indonesia
b. internasionalisme dan peri kemanusiaan
c. mufakat atau demokrasi
d. kesejahteraan sosial
e. Ketuhanan yang Maha Esa
Kelima asas dari Soekarno disebut Pancasila yang menurut beliau dapat diperas menjadi
Trisila atau Tiga Sila yaitu:
a. Sosionasionalisme
b. Sosiodemokrasi
c. Ketuhanan yang berkebudayaan
Bahkan masih menurut Soekarno, Trisila tersebut di atas masih dapat diperas menjadi
Ekasila yaitu sila Gotong Royong. Selanjutnya lima asas tersebut kini dikenal dengan
istilah Pancasila, namun dengan urutan dan nama yang sedikit berbeda.
Sementara itu, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai
penerapan aturan Islam dalam Indonesia yang baru.
Sampai akhir rapat pertama, masih belum ditemukan kesepakatan untuk perumusan dasar
negara, sehingga akhirnya dibentuklah panitia kecil untuk menggodok berbagai masukan.
Panitia kecil beranggotakan 9 orang dan dikenal pula sebagai Panitia Sembilan dengan
susunan sebagai berikut:
Ir. Soekarno (ketua)
Drs. Moh. Hatta (wakil ketua)
Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
Mr. Muhammad Yamin (anggota)
KH. Wachid Hasyim (anggota)
Abdul Kahar Muzakir (anggota)
Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
H. Agus Salim (anggota)
Mr. A.A. Maramis (anggota)
Setelah melakukan kompromi antara 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4
orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan
menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) yang berisikan:
a. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
b. Kemanusiaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
e. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rapat Kedua
Rapat kedua berlangsung 10-17 Juli 1945 dengan tema bahasan bentuk negara, wilayah
negara, kewarganegaraan, rancangan Undang-Undang Dasar, ekonomi dan keuangan,
pembelaan negara, pendidikan dan pengajaran. Dalam rapat ini dibentuk Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar beranggotakan 19 orang dengan ketua Ir. Soekarno,
Panitia Pembelaan Tanah Air dengan ketua Abikoesno Tjokrosoejoso dan Panitia
Ekonomi dan Keuangan diketuai Mohamad Hatta.
Dengan pemungutan suara, akhirnya ditentukan wilayah Indonesia merdeka yakni
wilayah Hindia Belanda dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Papua, Timor-
Portugis, dan pulau-pulau sekitarnya.[2][3]
Pada tanggal 11 Juli 1945 Panitia Perancang UUD membentuk lagi panitia kecil
beranggotakan 7 orang yaitu:
Prof. Dr. Mr. Soepomo (ketua merangkap anggota)
Mr. Wongsonegoro
Mr. Achmad Soebardjo
Mr. A.A. Maramis
Mr. R.P. Singgih
H. Agus Salim
Dr. Soekiman
Pada tanggal 13 Juli 1945 Panitia Perancang UUD mengadakan sidang untuk membahas
hasil kerja panitia kecil perancang UUD tersebut.
Pada tanggal 14 Juli 1945, rapat pleno BPUPKI menerima laporan Panitia Perancang
UUD yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut tercantum tiga masalah
pokok yaitu:
a. pernyataan Indonesia merdeka
b. pembukaan UUD
c. batang tubuh UUD
Konsep proklamasi kemerdekaan rencananya akan disusun dengan mengambil tiga alenia
pertama Piagam Jakarta. Sedangkan konsep Undang-Undang Dasar hampir seluruhnya
diambil dari alinea keempat Piagam Jakarta.

Karena BPUPKI dianggap terlalu cepat ingin melaksanakan proklamasi kemerdekaan,


maka Jepang membubarkannya dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Linkai dan sekaligus menggelar sidang
pertamanya tanggal 7 Agustus 1945. Di dalam PPKI, terdapat 4 pejuang Muslim sebagai
anggota, yaitu: Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abdul Wachid Hasjim ditambah tokoh Islam
dari Sumatra dan Kalimantan. Tugas PPKI adalah merampungkan dan mengesahkan
rancangan UUD (Piagam Jakarta) serta dasar negara (Pancasila). Dengan terbentuknya
PPKI, maka BPUPKI otomatis bubar. Persidangan
Tanggal 9 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan
Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi. Setelah
pertemuan tersebut, PPKI tidak dapat bertugas karena para pemuda mendesak agar
proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan atas nama PPKI, yang dianggap merupakan alat
buatan Jepang. Bahkan rencana rapat 16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena
terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memutuskan antara lain:
mengesahkan Undang-Undang Dasar,
memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. M. Hatta sebagai wakil
presiden RI,
membentuk Komite Nasional untuk membantu tugas presiden sebelum DPR/MPR
terbentuk.
Berkaitan dengan UUD, terdapat perubahan dari bahan yang dihasilkan oleh BPUPKI,
antara lain:
Kata Muqaddimah diganti dengan kata Pembukaan.
Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya di
dalam Piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.
Mencoret kata-kata ... dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi Presiden ialah
orang Indonesia Asli dan beragama Islam.
Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah
Namun esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, terjadi perubahan signifikan terhadap
Piagam Jakarta. Perdebatan sengit seputar asas negara pun kembali terjadi. Para tokoh
yang terlibat dalam perdebatan kedua itu adalah antara pihak Nasionalis (Soekarno, Bung
Hatta, Kasman Singodimejo) dengan pihak Muslim (Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abdul
Qahar Muzakkir, Teuku Moh. Hasan). Kali ini, pihak Muslim mengalah kepada kaum
nasionalis, karena Bung Karno berjanji: “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD
darurat, Undang-Undang kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan
dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan di situ”. Akhirnya, delapan kata
terakhir dari karya monumental di atas disetujui untuk dihapus dan diganti dengan
kalimat: yang maha esa. Tetapi setelah 6 bulan berlalu, MPR yang dijanjikan Soekarno
tidak pernah terbentuk.
Serpihan sejarah tercecer ini mengambarkan bahwa ternyata banyak pejuang Muslim
yang ikut andil berperan sebagai “bidan” dalam proses lahirnya Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai