Anda di halaman 1dari 11

KEBIJAKAN FISKAL : SEKARANG DAN SELANJUTNYA

Oleh : Boediono


Selangkah demi selangkah kita mulai keluar dari krisis yang berawal lebih dari 6 tahun
yang lalu. Peringatan Tahun Baru 2004 ini ditandai dengan berakhirnya program
ekonomi kita dengan IMF. Pada bulan Februari nanti BPPN, salah satu institusi penting
dalam menangani krisis, akan mengakhiri tugasnya. Sementara itu, dalam 2 tahun
terakhir ini hampir semua indikator ekonomi makro Indonesia terus menunjukkan
perbaikan yang mantap. Semua ini menunjukkan bahwa secara simbolis dan secara
substantif krisis telah berlalu. Tetapi ini tidak berarti bahwa pekerjaan telah selesai.
Ekonomi kita belum sepenuhnya pulih kegiatan di sejumlah sektor masih di bawah
kapasitas, pertumbuhan ekonomi belum cukup untuk menyerap pengangguran dan
ekonomi kita masih rentan terhadap shocks. Pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan
masih banyak. Pada tahap yang krusial dari perjalanan kita ini ada baiknya kita
melakukan refleksi sejenak sebelum melangkah lebih lanjut. Mari kita menoleh ke
belakang untuk mengingat kembali situasi yang kita hadapi beberapa waktu lalu,
mencatat apa-apa yang kita lakukan untuk mengatasi keadaan itu dan selanjutnya
menginventarisasi apa-apa yang masih perlu kita selesaikan dalam waktu dekat ini.
Sesuai dengan tema buku ini, kita akan memfokuskan evaluasi perjalanan kita di bidang
kebijakan fiskal.


Keuangan Negara dan Krisis

Beban Utang Meningkat. Ketika krisis mulai melanda Indonesia pada pertengahan 1997
kondisi keuangan negara kita sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996 APBN
(menurut cara pembukuan GFS yang sejak 2000 kita pakai) surplus sebesar 1,9% dari
PDB, hutang Pemerintah dengan luar negeri adalah USD 55,3 milyar atau sekitar 24%
dari PDB sedangkan hutang dalam negeri tidak ada. Realisasi APBN 1997 sampai
dengan Semester I juga baik. Surplus anggaran setengah tahun itu mencapai 1,8% dari
PDB dan hutang pemerintah tidak banyak berubah.


Krisis mengubah itu semua. Defisit anggaran serta merta membengkak dan hutang
Pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998, tahun yang paling kelabu dalam krisis,
Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi yang paling fatal: sektor riil yang
macet dan hiperinflasi. Tahun itu PDB kita anjlok dengan sekitar 13%, inflasi mencapai
sekiktar 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua kali lipat, kurs melonjak-
lonjak tak menentu dan serta merta anggaran negara berubah dari surplus menjadi defisit
1,7% dari PDB.


Pada tahun 2000, sewaktu proses rekapitalisasi perbankan rampung, utang Pemerintah
mencapai Rp 1.226,1 triliun (setara USD 60,8 miliar pada waktu itu) atau sekitar 96 %
dari PDB. Melonjaknya beban utang ini hampir seluruhnya karena timbulnya utang
dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat dari upaya kita untuk
menyelamatkan sektor perbankan yang berantakan dilanda krisis.


Jumlah utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun itu merupakan akumulasi dari biaya
yang timbul dari tiga kebijakan pokok untuk menopang perbankan nasional selama krisis.
Ketiga kebijakan tersebut dilaksanakan secara hampir berurutan sejalan dengan tahap
perkembangan krisis.


Kebijakan BLBI. Kebijakan yang pertama adalah untuk mengatasi situasi darurat berupa
kelangkaan likuiditas yang akut sebagai akibat dari arus dana keluar yang tidak
terbendung dan makin membesar dari sistem perekonomian kita. Kelangkaan likuiditas
ini diawali oleh timbulnya gonjang-ganjing di pasar devisa mulai pertengahan 1997 yang
dipicu oleh krisis di Thailand. Pembelian dolar terjadi secara besar-besaran - dana rupiah
nasabah bank ditarik untuk ditukarkan dolar. Bank-bank kehabisan rupiah. Proses
penyedotan likuiditas ini makin diperparah oleh rentetan peristiwa yang terjadi setelah
itu. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional runtuh terutama setelah
penutupan 16 bank pada bulan November 1997. Uang lari dari bank nasional ke bank
asing atau ke luar negeri. Kemudian mulai awal 1998 terjadi kenaikan harga yang luar
biasa - hiperinflasi - yang diwarnai oleh gejala umum orang enggan memegang uang
(rupiah) dan uang lari mengejar barang. Kegiatan ekonomi macet, PHK terjadi di mana-
mana, kehidupan makin berat dan selanjutnya kerusuhan sosial meledak di berbagai
daerah. Kali ini bukan hanya uang, tapi juga orang, lari ke luar negeri.


Ini semua menimbulkan tekanan yang luar biasa terhadap perbankan nasional yang dapat
dipastikan akan ambruk total apabila tidak ada dukungan likuiditas. Bank tidak dapat
meminjam dari bank lain karena ia juga sama-sama kesulitan likuiditas. Pinjam dari luar
negeri (seperti sebelum krisis) tidak mungkin karena kran-nya tertutup rapat. Satu-
satunya sumber likuiditas yang ada dalam keadaan seperti itu adalah Bank Indonesia
sebagai lender of last resort, suatu fungsi yang lazimnya ada pada setiap bank sentral
untuk menghadapi keadaan darurat. Dukungan likuiditas dalam keadaan darurat ini
dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).


Kebijakan Penjaminan Bank. Kebijakan pokok yang kedua mulai dilaksanakan sekitar
bulan Maret 1998, yaitu kebijakan penjaminan bank. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
mengatasi situasi perbankan kita yang sudah benar-benar kehilangan kepercayaan dari
para nasabahnya. Banyak dari mereka menarik simpanannya di bank untuk dibelikan


dolar atau barang (untuk menghindari kerugian karena kurs dolar dan harga-harga yang
terus meningkat) atau dipindahkan ke bank asing (yang kemungkinan kecil ditutup) atau
dibawa ke Singapura, Hong Kong atau tempat lain yang aman. Dalam keadaan seperti ini
tidak ada bank yang sehat - bank yang dalam situasi normal sehat akan rontok juga.
Menghadapi keadaan seperti itu Pemerintah pada waktu itu berkesimpulan bahwa satu-
satunya jalan untuk menghentikan keruntuhan sektor perbankan adalah dengan
memberikan jaminan penuh kepada nasabah dan kepada mereka yang bertransaksi
dengan bank. Pemerintah menjamin bahwa uang mereka yang ada di bank aman apapun
yang mungkin terjadi dengan bank itu. Dengan kebijakan penjaminan umum ini secara
bertahap orang mulai berani lagi menyimpan uangnya di bank. Manfaat kebijakan ini
juga terbukti pada waktu dilakukan serangkaian gelombang penutupan bank secara besar-
besaran selama tahun 1998-99. Tidak seperti pada waktu penutupan 16 bank sebelumnya,
kali ini tidak terjadi rush, masyarakat tidak menyerbu bank karena mereka tahu uang
bahwa mereka tetap aman meskipun banknya ditutup. Kebijakan penjaminan bank ini
merupakan sumber kedua dari timbulnya utang dalam negeri Pemerintah sebagai akibat
krisis.

Kebijakan Rekapitalisasi Bank. Sumber ketiga, dan yang terbesar, dari timbulnya utang
dalam negeri adalah kebijakan rekapitalisasi perbankan. Setelah kita melewati masa kritis
kesulitan likuiditas perbankan, dan setelah proses erosi kepercayaan terhadap bank dapat
dihentikan, langkah selanjutnya adalah bagaimana membuat agar bank-bank yang tersisa
setelah gelombang proses penutupan pada tahun 1998-99 dapat beroperasi secara normal.
Banyak dari bank-bank yang dapat bertahan hidup setelah terlanda badai krisis masih
setengah sakit dan belum dapat beroperasi sebagai layaknya bank yang sehat. Mereka
dibebani kredit macet yang sangat besar dan modal yang terkuras. Bank-bank yang
memiliki modal yang memadai dan relatif baik posisinya langsung diawasi oleh Bank
Indonesia, sedangkan bank-bank yang neracanya sarat dengan kredit macet dan tidak
mempunyai modal yang memadai harus melewati proses penyehatan khusus oleh BPPN,
termasuk pembersihan neracanya dari kredit macet dan penambahan modal atau
rekapitalisasi.

Pulihnya kembali fungsi perbankan pada waktu itu dipandang sebagai prasyarat penting
bagi pemulihan ekonomi dan oleh sebab itu proses penyehatan melalui program
rekapitalisasi perbankan tidak boleh ditunda-tunda. Untuk mempercepat proses itu
Pemerintah bertindak proaktif, termasuk menyediakan sebagian dari kebutuhan dana
rekapitalisasi. Bank-bank diwajibkan memenuhi rasio kecukupan modal minimal (4%
pada akhir tahun 1998) dan apabila ada kekurangan maka pemilik lama diminta menyetor
paling tidak seperlimanya dan sisanya ditutup oleh Pemerintah dalam bentuk obligasi
Pemerintah yang ditempatkan pada bank-bank tersebut. Kebijakan ini, yang memang
sangat diperlukan agar perbankan nasional sesegera mungkin dapat berfungsi kembali
untuk mendukung pemulihan ekonomi, telah meciptakan utang Pemerintah dalam jumlah
yang sangat besar. Ternyata kekurangan modal yang terbesar adalah dari bank-bank milik
Pemerintah sendiri! Dan seluruhnya harus disediakan oleh Pemerintah.


Kebijakan Divestasi. Sebelum menutup pembahasan kita mengenai kebijakan
rekapitalisasi perbankan ini perlu kita catat permasalahan penting yang timbul karena
kebijakan tersebut yang perlu penanganan khusus. Kebijakan rekapitalisasi perbankan
mempunyai dampak sampingan yaitu menyebabkan kepemilikan Pemerintah di seluruh
sektor perbankan pada suatu saat pernah mencapai 95%. Jadi, dalam rangka
menormalisasi sektor perbankan, telah terjadi penumpukan kepemilikan di tangan
negara atau nasionalisasi perbankan. Ini jelas bukan situasi yang normal dan bukan
pula situasi yang sehat. Dalam sistem ekonomi yang mengandalkan pada prakarsa dan
kekuatan masyarakat dan dunia usaha Pemerintah seyogyanya membatasi
kepemilikannya atas aset-aset produktif. Pengelolaannya sebaiknya diserahkan kepada
masyarakat dan dunia usaha dan tugas pokok Pemerintah adalah merumuskan aturan-
aturan main bagi mereka dan mengawasi agar aturan-aturan main itu dipatuhi sehingga
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Khusus untuk perbankan ada
satu hal lagi yang harus masuk dalam pertimbangan, yaitu faktor risiko. Bank adalah
suatu usaha yang penuh risiko yang lebih cocok bagi usaha swasta. Pengelolaan yang
kurang baik, pengawasan yang kurang cermat, kelalaian dan keteledoran dapat
menimbulkan kerugian besar dalam waktu sekejap. Karena risiko itu melekat pada
kepemilikan, maka cara yang paling mudah untuk meminimumkan risiko tersebut adalah
dengan menjual saham Pemerintah. Kebijakan divestasi ini harus merupakan bagian
integral dari strategi penataan sektor perbankan nasional dan pelaksanaannya tidak boleh
ditunda-tunda. Kasus pembobolan bank biasanya terjadi pada bank-bank milik
Pemerintah seperti yang banyak terjadi di masa lampau dan juga baru-baru ini.
Kerentanan bank-bank milik Pemerintah terhadap pembobolan dan penyalahgunaan
menggarisbawahi urgensi dari kebijakan divestasi ini!


Demikianlah, krisis telah minimbulkan beban utang dalam negeri yang besar dengan
konsekuensi yang berat keuangan negara. Dari jumlah total hutang dalam negeri sebesar
Rp 643 triliun tersebut yang terbesar (sekitar 2/3 nya) timbul karena kebijakan
rekapitalisasi bank, sekitar seperempatnya berasal dari kebijakan BLBI dan sisanya dari
kebijakan penjaminan bank.



Apa Yang Telah Kita Lakukan

Konsolidasi Fiskal Untuk Memulihkan Kepercayaan. Sejak pemerintahan Presiden
Habibie, tetapi makin terdengar pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
dan Presiden Megawati, para pelaku ekonomi di dalam maupun di luar negeri
mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk mengatasi masalah fiskal yang berat ini.
Mampukah Indonesia menghindari kebangkrutan keuangan negaranya dengan beban
bunga yang besar setiap tahunnya dan dengan beban pembayaran pokok yang makin
membesar terutama pada periode 2004-2009 sewaktu sebagian besar hutang dalam negeri


tersebut jatuh waktu? Pertanyaan ini harus dijawab dengan jawaban yang meyakinkan
karena hanya dengan demikian kita dapat mengharapkan kepercayaan para pelaku
ekonomi terhadap negeri ini kembali pulih. Dan jawaban itulah yang diupayakan
Pemerintah beberapa tahun terakhir ini.


Kenapa pulihnya kepercayaan penting? Sebab hilangnya kepercayaan para pelaku
ekonomi adalah penyebab utama timbulnya krisis yang berkepanjangan di negara kita
dan kembalinya kepercayaan adalah kunci utama bagi kita untuk keluar dari krisis dan
untuk bangkit kembali. Krisis timbul karena awalnya para pemodal luar negeri
kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan dunia usaha kita untuk membayar kembali
utangnya, karena kemudian masyarakat kehilangan kepercayaannya terhadap perbankan
nasional, karena kemudian masyarakat kehilangan kepercayaan kepada rupiah, karena
kemudian masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap Pemerintah dan institusi-institusi
lainnya sehingga terjadi gejolak sosial dan pergolakan politik dan, yang lebih parah, kita
nyaris kehilangan kepercayaan pada diri kita sendiri. Strategi untuk keluar dari krisis
tidak bisa lain kecuali bertema dasar bagaimana mengembalikan kepercayaan!


Di bidang ekonomi, kepercayaan para pelaku ekonomi adalah kunci. Hanya apabila
kepercayaan para pelaku ekonomi (dalam dan luar negeri) pulih maka kita dapat
mengharapkan mereka menanamkan kembali uangnya, meningkatkan usahanya dan
membuka lapangan kerja baru di negeri ini atau singkatnya ikut mendukung kebangkitan
ekonomi kita. Mengubah persepsi yang terlanjur negatif menjadi kurang negatif dan
akhirnya menjadi positif adalah masalah yang pelik. Ia memerlukan kesabaran,
ketekunan, konsistensi langkah dan bukti nyata dan samasekali tidak cukup dengan
mengajukan janji-janji, konsep-konsep besar yang mereka anggap sulit untuk
dilaksanakan.

Di bidang kebijakan fiskal, pemulihan kepercayaan juga merupakan faktor sentral.
Masalah yang kita hadapi bukanlah sekedar bagaimana menyeimbangkan buku fiskal
kita dengan segala cara. Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana
menyeimbangkannya dengan cara-cara yang tidak merusak kepercayaan para pelaku
ekonomi dan kalau dapat justru mendorong pulihnya kepercayaan itu. Karena prinsip
inilah dalam beberapa tahun terakhir ini Pemerintah mengambil langkah konsolidasi
fiskal secara hati-hati, bertahap dengan pertimbangan matang mengenai dampaknya
terhadap kepercayaan pelaku ekonomi dan tidak memilih untuk mengambil jalan pintas
atau gebrakan atau terobosan yang mengagetkan para pelaku ekonomi dan akhirnya
justru merusak kepercayaan mereka. Marilah kita mengambil beberapa contoh.


Bagaimana kita mengelola utang kita dalam rangka konsolidasi fiskal? Satu kelompok
pandangan, dengan sejumlah variasinya, menyarankan agar kita mengambil saja langkah


sepihak untuk mengurangi beban utang kita. Satu variasi dari pandangan ini adalah
usulan untuk tidak membayar utang luar negeri yang jatuh waktu atau membatasi
pembayarannya sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai kemampuan kita untuk
membayar setiap tahunnya. Tindakan semacam ini hampir pasti akan mengundang reaksi
balik dari para kreditur yang sangat merugikan kita, termasuk terhentinya arus masuk
dana dan penyitaan dan pembekuan aset kita di luar negeri. Menakut-nakuti? Tidak,
sebab sekarang inipun kita sedang menghadapi kasus pembekuan aset kita oleh
pengadilan di New York karena dianggap melakukan tindakan unilateral menyetop
proyek pembangunan listrik swasta sehingga merugikan investor. Kasus tindakan
unilateral yang sifatnya terbatas ini sudah menyebabkan pembekuan aset yang bernilai
ratusan juta dolar. Bayangkan seandainya kita melakukan langkah unilateral dalam skala
yang lebih luas! Uang berhenti mengalir masuk. Calon-calon investor akan enggan untuk
menaruh uangnya di negara yang suka mengambil tindakan sepihak.


Variasi lain ditujukan pada utang dalam negeri, misalnya usulan untuk tidak membayar
samasekali atau tidak membayar sebagian bunga (atau mungkin juga pokok) yang jatuh
waktu bagi obligasi rekap pada bank-bank yang direkapitalisasi. Alasannya adalah karena
bank-bank itu dianggap memperoleh keuntungan besar hanya dengan ongkang-ongkang.
Apa risiko dari tindakan seperti itu? Tindakan itu dapat menggoncangkan kepercayaan
orang pada bank rekap dengan segala konsekuensinya yang barangkali akan
menimbulkan biaya yang lebih mahal daripada penghematan pembayaran bunga dan
pokok yang semula diinginkan. Tindakan seperti itu juga akan menimbulkan
ketidakpastian, kekhawatiran atau bahkan ketakutan pada para pelaku ekonomi pada
umumnya karena mereka merasa sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran tindakan sepihak
serupa itu. Yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa kebijakan seperti itu akan
langsung menurunkan nilai pasar obligasi negara yang dipegang oleh siapapun karena
dianggap tidak mempunyai kepastian hukum dengan akibat selanjutnya pada nilai aset
semua pemegang obligasi negara (termasuk bank-bank dengan akibat berantai pada
modal dan kepercayaan publik) dan kurang lakunya penerbitan baru obligasi negara
apabila nanti diperlukan.


Kelompok pandangan lain tidak menyarankan tindakan sepihak tetapi menginginkan
semacam diplomasi agresif terhadap para kreditur agar mereka mau memberikan
pengampunan atau pengurangan hutang kita dengan alasan yang bervariasi dari adanya
utang haram (odious debts) di masa lalu, pentingnya posisi politik Indonesia di kawasan
ini dan sebagainya. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa diplomasi yang efektif tidak
harus berarti diplomasi dengan suara lantang dan konfrontatif serta melalui tekanan-
tekanan terbuka. Risikonya adalah apabila diplomasi agresif itu tidak diimbangi dengan
hasil yang berarti justru akan menciptakan persepsi negatif di pasar dengan berbagai
konsekuensinya, seperti premi risiko yang meningkat.


Argumen utang haram punya unsur-unsur kebenaran, tetapi dalam konstelasi alur dan
peluang diplomasi yang tersedia sekarang, alasan itu lebih pas dan lebih efektif apabila
disuarakan oleh LSM daripada sebagai posisi resmi Pemerintah. Sedangkan argumen
bahwa Indonesia mempunyai posisi politik yang strategis dan berhak memperoleh
perlakuan khusus barangkali akan sulit untuk digunakan dalam perundingan dalam
bentuk argumen umum seperti itu. Argumen itu akan menjadi kartu bargaining yang
efektif hanya apabila diterjemahkan menjadi tawaran atau konsesi politik yang kongkrit.
Di sinilah letak risikonya. Konsesi-konsesi yang mereka minta kemungkinan besar tidak
akseptabel bagi kita secara politis. Pertimbangan untuk menghindari tekanan-tekanan
politik yang tidak akseptabel inilah yang juga melandasi kebijakan pemerintah untuk
lebih memilih forum multilateral yang terbuka seperti CGI daripada perundingan bilateral
mengenai pinjaman dan utang. Dalam forum multilateral permintaan-permintaan konsesi
khusus (ekonomi maupun politik) dari suatu negara tidak terjadi!


Risiko Kebangkrutan Fiskal Menurun. Apa yang kita lakukan beberapa tahun terakhir ini
adalah mengupayakan secara bertahap agar keuangan negara dapat dikelola dan
dikendalikan dengan aman (sustainable) dalam jangka menengah dan panjang. Dan
semuanya dilakukan dengan cara-cara yang menunjang pulihnya kepercayaan para
pelaku ekonomi. Dalam kaitan dengan pelaksanaan kebijakan konsolidasi fiskal ini perlu
dicatat bahwa sebagian dari credit points-nya patut diberikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Tugas Pemerintah yang sekarang dipermudah dengan adanya konsensus antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengenai langkah-langkah dasar (termasuk
arah kebijakan mengenai defisit, subsidi dan utang) menuju konsolidasi fiskal yang
tertuang dalam Undang-undang mengenai Propenas tahun 2000. Konsensus ini kemudian
dijabarkan oleh Pemerintah menjadi langkah-langkah kongkrit sesuai dengan kondisi
perkembangan nyata di lapangan. Berikut ini adalah beberapa langkah penting yang
diambil menuju anggaran negara yang sustainable.


Dengan melihat perkembangan riil ekonomi kita, defisit disasarkan menurun secara
bertahap dari 3,5% dari PDB dalam 2001 menjadi 2,5% dalam 2002, 1,9% dalam 2003,
1,2% dalam 2004, dibawah 1% dalam 2005 dan 0% dalam 2006. Sampai dengan akhir
2003, arah perkembangan defisit anggaran dapat dikatakan on track dan apabila
kestabilan sosial, politik dan keamanan dapat dijaga, sasaran defisit untuk 2004-6 berada
dalam jangkauan kita. Dengan APBN yang kurang lebih seimbang nanti, kita memenuhi
salah satu syarat utama dari keuangan negara yang sustainable. Tetapi belum seluruh
persyaratannya.

Salah satu sumber kekhawatiran pasar mengenai keuangan negara kita adalah besarnya
jumlah utang (terutama utang dalam negeri) yang jatuh waktu mulai 2004 dan seterusnya.
Jatuh waktu obligasi rekap terkonsentrasi pada tahun 2004-9 dan surat utang negara pada
Bank Indonesia juga mulai jatuh waktu 2004 dengan jumlah yang terus meningkat


sampai 2018. Dalam periode 2004-9 jumlah total obligasi rekap yang jatuh waktu semula
adalah sekitar Rp 379 triliun dan utang dengan Bank Indonesia sekitar Rp 137 triliun.
Jumlah sebesar ini cukup untuk membuat siapapun nervous: dapatkah Pemerintah
memenuhi kewajibannya? Ada dua hal pokok yang kita lakukan untuk menjawab
tantangan ini.


Pertama, kita melakukan reprofiling terhadap obligasi rekap, yaitu menggeser pola jatuh
waktu obligasi tersebut supaya tidak terkonsentrasi pada 2004-9 tetapi sebagian digeser
ke tahun-tahun sesudah itu. Untuk itu Pemerintah telah melakukan negosiasi dengan
bank-bank pemegang obligasi terbesar khususnya bank-bank milik Pemerintah dan
berhasil mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Cara yang dipilih untuk
mencapai kesepakatan itu sangat penting. Demi terpeliharanya kepercayaan pasar
terhadap bank dan terhadap obligasi negara, Pemerintah memilih untuk mengikuti cara
yang ramah pasar (market friendly), yaitu didasarkan atas prinsip kesetaraan antara
pihak-pihak yang bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Prinsip reprofiling yang disepakati adalah mempertahankan net present value obligasi
yang di-reprofile jatuh waktunya. Dengan prinsip ini Pemerintah dapat menggeser jatuh
waktu obligasinya sehingga tidak terkonsentrasi di tahun-tahun tertentu tanpa merugikan
bank. Reprofiling secara bilateral seperti ini berhasil menggeser sekitar Rp 178 triliun
yang semula akan jatuh waktu dalam 2004-9 ke tahun-tahun sesudah itu. Ini sangat
meringankan beban pembayaran hutang dalam periode 2004-9. Kebijakan reprofiling
akan dilanjutkan terutama melalui pasar, yaitu dengan mekanisme membeli di pasar
obligasi yang akan jatuh waktu di tahun-tahun rawan dan sebagai gantinya menerbitkan
obligasi baru dengan jatuh tempo di luar tahun-tahun rawan.


Langkah penting kedua untuk mengurangi beban pembayaran hutang adalah dengan
menegosiasikan utang Pemerintah dengan Bank Indonesia, juga dengan prinsip win-win
solution yang meringankan beban anggaran negara tetapi sekaligus tetap menjaga
kesehatan keuangan Bank Indonesia. Pada bulan Agustus 2003 disepakati pola
restrukturisasi Rp 144,5 triliun utang BLBI Pemerintah kepada Bank Indonesia yang
memenuhi prinsip tersebut. Pokok-pokok restrukturisasi ini adalah sebagai berikut. Jatuh
waktu utang ini digeser 30 tahun dan dibebani bunga minimal (0,1%) sehingga
mengurangi beban pembayaran pokok pada tahun-tahun rawan dan meringankan beban
pembayaran bunganya bagi APBN. Sebagai imbalannya, Pemerintah menjamin
kecukupan modal Bank Indonesia dengan memberikan tambahan dana apabila modal
Bank Indonesia turun dibawah 3% dari kewajiban moneternya. Utang Pemerintah kepada
Bank Indonesia di luar jumlah tersebut masih terbuka untuk dirundingkan di masa
mendatang.

Reprofiling obligasi rekap dan retrukturisasi hutang BLBI sangat mengurangi risiko gagal
bayar (default risk) Pemerintah di tahun-tahun mendatang dan nampaknya telah dapat


mengurangi kekhawatiran pasar mengenai keuangan negara kita, seperti tercermin pada
terus menurunnya premi risiko Indonesia dan makin meningkatnya peringkat kredit
negeri ini.

Kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap Indonesia terlihat berangsur-angsur pulih dan
ini telah memberikan dampak yang sangat positif pada kestabilan makro. Dalam dua
tahun terakhir ini kurs Rupiah menguat dan makin stabil, inflasi dan suku bunga menurun
secara berarti, harga saham menguat dan produksi nasional mulai menunjukkan tanda-
tanda peningkatan meskipun masih dibawah yang kita inginkan. Secara tidak langsung,
tetapi secara berarti, perbaikan kondisi ekonomi makro ini telah menurunkan rasio hutang
pemerintah terhadap PDB dari sekitar 96% pada akhir 2000 menjadi 78% pada akhir
2002 dan diperkirakan menjadi sekitar 67% pada akhir 2003 serta diharapkan terus
menurun menjadi sekitar 47 % pada 2006 nanti. Apabila stabilitas ekonomi makro dapat
terus dipertahankan dan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan menjadi sekitar 6%,
maka pada tahun 2010 rasio hutang kita diperkirakan sudah akan berada di bawah 30%,
suatu tingkat yang sangat aman bagi negara seperti Indonesia. Prospek yang
menenteramkan ini memperkuat pemulihan kepercayaan pasar pada Indonesia. Proses
spiral menuju perbaikan (virtous cycle) dengan titik sentral pemulihan kepercayaan
pelaku ekonomi saat ini sedang berjalan dan momentumnya harus tetap dipelihara agar
terus bergulir.



Langkah Selanjutnya

Reformasi Fiskal Yang Lebih Mengakar. Untuk memelihara momentum ini perlu
langkah-langkah yang lebih mengakar. Salah satu cara agar proses konsolidasi itu
berlanjut adalah dengan melembagakan unsur-unsur pendukung utamanya, sehingga
seandainya terjadi pergantian personil dalam pemerintahan proses itu diharapkan tetap
berjalan. Upaya untuk mengunci proses kebijakan ini penting dalam masa transisional
seperti yang kita hadapi sekarang ini. Dalam kaitannya dengan keuangan negara ada tiga
bidang yang diprioritaskan untuk direformasi dan proses reformasi itu sejauh mungkin
dilembagakan agar konsolidasi fiskal berlanjut. Ketiga bidang itu adalah pilar utama
dari setiap kebijakan fikal, yaitu bidang perpajakan, kepabeanan dan anggaran.

Reformasi Perpajakan. Reformasi dan modernisasi administrasi perpajakan sudah mulai
dilaksanakan sejak pertengahan 2002 dan bidang kepabeanan dimulai sejak awal 2003.
Reformasi dan modernisasi bidang anggaran terkait erat dengan reorganisasi Departemen
Keuangan yang sedang digodok dan direncanakan untuk dilaksanakan secara bertahap
mulai pertengahan 2004. Rincian dari program reformasi dan modernisasi ketiga bidang
tersebut barangkali lebih cocok untuk materi makalah lain. Di sini kita gambarkan garis
besarnya saja. Pendekatan yang diambil dalam reformasi dan modernisasi administrasi
perpajakan adalah dengan membentuk kantor percontohan (dimulai dengan 200 wajib


pajak terbesar) dengan tatakerja baru yang didukung dengan sistem teknologi informasi
baru termasuk otomatisasi proses administrasi, personalia yang diseleksi dan dilatih
khusus, sistem penalti dan insentif baru dan sistem pengawasan ekternal baru. Setelah
diterapkan dan diuji lebih dari setahun sistem baru ini ternyata menunjukkan hasil yang
cukup baik dan oleh karena itu secara bertahap akan diterapkan pada kantor-kantor lain.
Kemampuan bank data untuk pengecekan silang informasi pajak dan wajib pajak
ditingkatkan dan audit pajak dilaksanakan secara selektif dan lebih diarahkan pada obyek
yang berisiko tinggi. Sementara itu saat ini sedang dikaji ulang berbagai tarif pajak,
obyek pajak dan prosedur perpajakan dengan melihat praktek-praktek umum di negara-
negara lain dan menampung masukan-masukan dari dunia usaha. Sasarannya adalah
menuju sistem perpajakan nasional yang lebih sederhana, lebih efisien, lebih adil dan
lebih kompetitif. RUU Perubahan UU perpajakan ini direncanakan untuk disampaikan
kepada DPR awal tahun 2004 ini.

Reformasi Kepabeanan. Di bidang kepabeanan fokus utama adalah pada penyederhanaan
prosedur impor dan ekspor untuk mengurangi biaya usaha dan menekan penyelundupan.
Importir diregistrasi kembali untuk mengurangi importir fiktif, proses administrasi,
pembayaran dan verifikasi disederhanakan dan sejauh mungkin secara elektronis, dan
bersamaan dengan itu fasilitas jalur cepat bagi importir dengan track record yang baik
diperluas. Langkah serupa dilakukan untuk ekspor mulai pertengahan 2004. Sistem
penalti dan insentif baru dan sistem pengawasan publik sedang dikembangkan dan
kemudian diuji. Rencana tindak jangka menengah modernisasi perangkat keras dan lunak
saat ini sedang disusun dan akan didukung dengan pinjaman dari Bank Dunia.

Reformasi Anggaran dan Reorganisasi Depertemen Keuangan. Arah pembaharuan di
bidang anggaran ditentukan oleh ketentuan-ketentuan pokok yang tercantum dalam UU
Keuangan Negara yang baru (UU No: 17/2003) seperti anggaran terpadu yang tidak lagi
membedakan antara anggaran rutin dan pembangunan, klasifikasi menurut GFS,
penganggaran berdasarkan kinerja (performance based budgeting), rencana jangka
menengah (medium term expenditure framework), pelaporan keuangan negara yang
komprehensif dan sebagainya. Reformasi dan modernisasi bidang anggaran akan
ditopang dengan reorganisasi Departemen Keuangan yang akan membagi secara tegas
fungsi analisa dan perumusan kebijakan, fungsi perencanaan anggaran dan fungsi
perbendaharaan (termasuk di sini fungsi pengelolaan utang). Pelaksanaan reorganisasi
dimulai Triwulan II 2004 secara bertahap dan akan tuntas kira-kira akhir tahun tersebut.
Struktur organisasi baru itu akan menjadi landasan bagi pembaharuan dan modernisasi
ketiga fungsi tersebut di atas yang akan berjalan beberapa tahun ke depan, diawali dengan
bidang perbendaharaan.


Demikianlah langkah-langkah yang diambil untuk membakukan perbaikan-perbaikan di
bidang perpajakan, kepabeanan dan anggaran yang telah dicapai selama ini ke dalam
lembaga atau tatakerja yang lebih permanen. Langkah-langkah itu juga dimaksudkan


untuk memantapkan jalur proses reformasi dan modernisasi ke depan ke dalam rencana
tindak yang rinci dan dengan kerangka waktu yang jelas. Dasar-dasar reformasi dan
modernisasi fiskal telah diletakkan. Selanjutnya, kewenangan sepenuhnya ada di tangan
Pemerintah yang akan datang. (Kutipan dari Buku Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep,dan
Implementasi (BOEDIONO:KEBIJAKAN FISKAL : SEKARANG DAN SELANJUTNYA) dan
didapatkan dari sumber www.fiskal.depkeu.go.id.)

Anda mungkin juga menyukai