Anda di halaman 1dari 10

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Djamaludin Ancok Ketepatan pengujian suatu hipotesa tentang hubungan variabel penelitian sangat tergantung pada kualitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut. Data penelitan yang di dalam proses pengumpulannya sering kali menuntut pembiayaan, waktu dan tenaga yang besar , tidak akan berguna bilamana alat pengukur yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tersebut tidak memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Pengujian hipotesa penelitian tidak akan mengenai sasarannya, bilamana data yang dipakai untuk menguji hipotesa adalah data yang tidak reliabel dan tidak menggambarkan secara tepat konsep yang diukur. Hal-hal apakah yang menyebabkan data yang dikumpulkan tidak valid dan tidak reliabel, dan bagaimanakah caranya untuk memperoleh data yang valid dan reliabel, adalah pokok pembicaraan bab ini. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin di ukur . Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka harus digunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid bila dipakai untuk mengukur berat, karena timbangan memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu benda yang ingin diukur, maka dia harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid bila digunakan untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang. Tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk mengukur panjang. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Misalkan seseorang mengukur panjang jarak dua buah bangunan dengan dua jenis alat pengukur, yang satu adalah meteran yang terbuat dari logam, sedangkan yang lainnnya adalah dengan menggunakan jumlah langkah kaki. Setiap alat pengukur digunakan sebanyak dua kali untuk mengukur jarak yang sama. Besar sekali kemungkinan hasil pengukuran yang diperoleh dengan alat pengukur tersebut akan berbeda. Pengukuran yang dilakukan dengan meteran yang terbuat dari logam secara relatif akan menunjukkan hasil yang sama antara pengukuran pertama dan pengukuran kedua. Sedangkan pengukuran yang dilakukan dengan langkah kaki, besar sekali kemungkinannya akan tidak sama karena besar langkah antara pengukuran yang pertama dengan yang kedua mungkin berlainan. Dari contoh diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa meteran adalah alat pengukur yang reliabel, sedangakan langkah kaki adalah alat pengukur yang kurang reliabel. Demikianlah gambaran dari konsep validitas dan reliabilitas bila diterapkan dalam pengukuran yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Apakah instrumen yang dipersiapkan untuk mengumpulkan data penelitian benar-benar mengukur apa yang ingin diukur, inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap peneliti. Sering kali peneliti sosial tidak membicarakan di dalam laporan penelitiannya apakah alat pengumpul data yang dipakainya memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi. Tanpa informasi tersebut pembaca laporan akan merasa kurang yakin apakah data yhang dikumpulkan betul-betul menggambarkan fenomena yang ingin diukur. Karena itu agar supaya penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka informasi yang menyangkut validitas dan reliabilitas alat pengukur,haruslah disampaikan.

Berikut ini konsep validitas dan reliabilitas akan dibahas dengan agak mendalam. Diharapkan pembahasan ini akan memberikan pemahaman yang secara praktis dapat diterapkan dalam proses penelitian.

VALIDITAS
Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Sekiranya peneliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalm praktek belum tentu data yang terkumpulkan adalah data yang valid. Banyak hal-hal yang lain akan mengurangi validitas data ; misalnya apakah si pewawancara yang mengumpulkan data betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner. Selain itu validitas data akan ditentukan oleh keadaan responde sewaktu di wawancara. Bila di waktu menjawab semua pertanyaan,responden merasa bebas tanpa ada rasa malu atau rasa takut, maka data yang diperoleh akan valid dan reliabel. Tetapi bila responden merasa malu, takut, dan cemas akan jawabannya, maka besar kemungkinan dia akan memberikan jawaban yang tidak benar.

1. Jenis Validitas
Validitas alat pengumpul data menurut pendapat beberapa ahli (lihat Anastasi, 1973; Nunnaly, 1979) dapat digolongkan beberapa jenis, yakni: validitas konstruk, validitas isi, validitas prediktif, validitas eksternal, dan validitas rupa. Selain itu ada validitas lain yang oleh para ahli tersebut diatas tidak dibicarakan, tetapi amat penting bagi penelitian di Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai budaya. Validitas tersebut adalah validitas budaya.

a. Validitas Konstruk
Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep. Misalkan seorang peneliti ingin mengukur konsep religiusitas. Pertama-tama yang harus dilakukan oleh peneliti ialah mencari apa saja yang merupakan kerangka dari konsep tersebut. Dengan diketahuinya kerangka tersebut, seorang peneliti dapat menyusun tolok ukur operasional konsep tersebut. Untuk mencari kerangka konsep tersebut dapat ditempuh berbagai cara. Tiga cara berikut agak lazim dipakai di dalam dunia penelitian. (1). Mencari definisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang tertulis didalam literatur. Definisi tentang suatu konsep biasanya berisi kerangka dari konsep tersebut. Terkadang para ahli tidak hanya memberikan definisi, tetapi juga sudah memberikan kerangka konsep tersebut secara jelas. Kalalu sekiranya sudah ada definisi yang jelas dan cukup operasional untuk dijadikan dasar penyusunan alat pengukur, maka definisi tersebut sudah dapat langsung dipakai untuk menyusun pertanyaan dalam kuesioner. Tetapi bila definisi yang dikemukakan belum operasional, definisi tersebut harus dijabarkan lebih lanjut agar lebih operasional dan dapat dijadikan dasar penyusunan pertanyaan dalam kuesioner. (2). Kalu sekiranya didalam literatur tidak dapat diperoleh definisi konsep yang ingin diukur, peneliti harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut. Untuk membantu penyusunan definisi dan mewujudkan definisi tersebut ke dalam bentuk operasional, peneliti disarankan untuk mendiskusikan konsep tersebut dengan ahli-ahli yang kompeten dibidang konsep yang akan diukur.

Kemudian pendapat para ahli dan pendapat peneliti, dicari kesamaannya. Berdasarkan kesamaan pendapat itu, kemudian disusun kerangka konsep yang dapat diwujudkan berupa pertanyaan yang akan dimasukkan ke dalam alat ukur. (3). Menanyakan definisi kosep yang akan diukur kepada calon responden, atau orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden. Misalnya peneliti ingin mengukur konsep religiusitas. Dalam mendefinisikan konsep ini, peneliti dapat langsung menanyakan kepada beberapa calon responden tentang ciri-ciri orang religius. Berdasarkan jawaban calon responden, kemudian disusun kerangka suatu konsep. Pendekatan yang ketiga ini akhir-akhir ini banyak dipakai. Pendekatan ini dianggap baik karena kerangka suatu konsep dikembangkan berdasarkan pendapat calon responden sendiri. Cara yang demikian ini akan dapat menghindari bias yang sering terjadi bila definisi operasional suatu konsep dikembangkan dari konsep para ahli dari negara barat yang latar belakang budayanya berbeda. Untuk menggambarkan bagaimana proses pencarian kerangka konsep tersebut, berikut ini akan disajikan sebuah contoh dengan menggunakan pendekatan pertama. Konsep yang akan diukur adalah konsep religiusitas. Untuk menyusun alat pengukur konsep religiusitas, digunakan pendapat Glock dan Stark (1963). Menurut kedua ahli ini, untuk mengetahui kadar religiusitas dapat dipakai kerangka berikut ini: (a). Keterlibatan ritual yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual di dalam agama mereka. Sebagai contoh dapat diambil untuk mereka yang beragama islam: apakah mereka shalat,puasa,membayar zakat. Sedangkan bagi yang beragama kristen/katholik: apakah mereka pergi ke gereja secara teratur setiap minggu. Bagi yang beragama hindu/budha: apakah mereka pergi ke pura atau pagoda. (b). Keterlibatan ideologis yaitu tingkatan sejauh mana orang menerima hal-hal dogmatik di dalam agama mereka masing-masing. Misalkan apakah seseorang percaya akan adanya malaikat,hari kiamat,surga,neraka dan lain-lain yang bersifat dogmatik (c). Keterlibatan intelektual yang menggambarkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Seberapa jauh aktivitasnya di dalam menambah pengetahuan agama. Misalnya, apakah dia mengikuti pengajian, membaca buku-buku agama, membaca Al-Quran yang beragama Islam. Bagi yang beragama kristen/katholik, apakah dia menghadiri sekolah minggu, membaca injil, membaca buku-buku agama dan lain-lain. Demikian pula pemeluk agama lainnya, apakah dia mengerjakan hal-hal yang serupa. (d). Keterlibatan pengalaman yang menunjukkan apakah seseorang pernah mengalami pengalaman spektakular yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan. Misalnya, apakah seseorang pernah merasakan bahwa doanya dikabulkan Tuhan; apakah dia pernah merasa bahwa jiwanya selamat dari bahaya karena pertolongan Tuhan, dan lain-lain. (e). Keterlibatan secara konsekuen yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya. Misalnya korupsi,bermain judi, berzina adalah perbuatan yang dilarang agama. Apakah dia setuju atau tidak dengan perbuatan begitu, dan apakah dia mengerjakan atau tidak pekerjaan tersebut. Contoh lainnya, apakah dia menyumbangkan sebagian hartanya untuk kegiatan agama.

b. Validitas Isi
Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Misalkan seorang peneliti ingin mengukur tingkat religiusitas suatu masyarakat dengan menggunakan konsep Glock dan Stark (1963) sperti diterangkan diatas. Jika di dalam menyusun kuesioner si peneliti hanya memasukkan tiga aspek saja dari ke lima aspek yang merupakan konsep untuk mengukur tingkat religiusitas, maka alat kuesioner yang disusun tidak memiliki validitas isi yang tinggi. Contoh lainnya, misalkan seorang peneliti ingin mengukur keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana dengan metode kontrasepsi yang dipakai. Bila kemungkinan jawaban yang tersedia di dalam kuesioner tidak mencakup semua metode kontrasepsi, maka kuesioner tersebut tidak memiliki validitas isi.

c. Validitas Eksternal
Dalam dunia penelitian sosial sudah cukup banyak alat pengukur yang diciptakan oleh para peneliti untuk mengukur gejala sosial, dan alat pengukur tersebut sudah memiliki validitas. Sebagai contoh misalnya skala pengukur motovasi untuk berprestasi yang di ciptakan oleh Mehrabian (1973). Para peneliti di Amerika Serikat banyak memakai skala pengukur tersebut, karene telah dianggap teruju validitasnya. Di Indonesia, alat ini sudah diteliti dan ternyata memiliki validitas yang cukup tinggi (Ancok,et,al, 1987). Cotoh lain penerapan validitas eksternal adalah sebagai berikut. Untuk mengukur status ekonomi keluarga, banyak cara yang telah dikemukakan ; misalnya penghasilan keluarga, pemilikkan barang berharga, jenis makanan yang di makan , dan pemasukkan kalori tiap hari. Bila sekiranya terdapat korelasi yang tinggi diantara ketiga jenis pengukuran tersebut , dapatlah dikatakan bahwa masing-masing cara pengukuran tersebut sudah memiliki validitas eksternal.

d. Validitas prediktif
Alat pengukur yang dibuat oleh peneliti seringkali dimaksudkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Contoh alat pengukur yang demikian adalah ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi. Ujian masuk tersebut adalah upaya untuk memprediksi apa yang terjadi di masa yang akan datang. Peserta yang lulus ujian dengan nilai baik diprediksi akan dapat mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan sukses.

e. Validitas Budaya
Selain jenis-jenis validitas yang dikemukakan di atas, ada lagi jenis validitas yang perlu diperhatikan, yaitu validitas antar budaya. Validitas ini penting bagi penelitian di negara yang suku bangsanya sangat bervariasi. Selain itu penelitian dilakukan sekaligus di beberapa negara dengan alat ukur yang sama, juga akan menghadapi problem validitas budaya. Suatu alat pengfukur yang sudah valid untuk penelitian di suatu negara, belum tentu akan valid digunakan di negara lain yang budayanya berbeda. Misalnya, kuesioner pengukur interaksi keluarga yang dikembangkan dinegara barat tidak sesuai bila di gunakan di Indonesia. Karena konsep barat mengenai keluarga selalu didasarkan kepada nuclear family yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sedangkan konsep di Indonesia, konsep keluarga

biasanya didasarkan pada extended family, yang tidak hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak , tetapi juga keluarga dekat lainnya.

f. Validitas Rupa
Validitas rupa adalah jenis validitas yang berbeda dengan jenis validitas yang dikemukakan diatas. Berbeda dengan jenis validitas lainnya, validitas rupa tidak menunjukkan apakah alat pengukur mengukur apa yang ingin diukur; validitas rupa hanya menunjukkan bahwa dari segi rupanya suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur. Bentuk dan penampilan suatu alat pengukur menentukan apakah alat ukur tersebut memiliki validitas atau tidak. Untuk mengukur kemampuan sebagai sopir, seorang harus disuruh mengendarai mobil, atau menggunakan alat simulasi yang miripdengan keadaan sesungguhnya. Cara pengukuran kemampuan yang demikian memiliki validitas rupa. Bentuk dan penampilan alat pengukur itu sendiri sudah meyakinkan kalau alat pengukur tersebut mengukur apa yang ingin diukur. Tetapi bila pengukuran kemampuan mengendarai mobil dilakukan ddengan ujian tertulis tentang tehnik mengendarai mobil, maka alat pengukur tersebut kurang memiliki validitas rupa

2. Cara menguji Validitas i. Mencari definisi dan rumusan tentang konsep yang akan diukur yang telah ditulis
para ahli dalam literatur. Kalau sekiranya sudah ada rumusan yang cukup operasional untuk digunakan sebagai alat pengukur, maka rumusan tersebut dapat langsung dipakai. Tetapi bila rumusan belum operasional , maka tugas penelitilah untuk merumuskannya seoperasional mungkin

ii.

Kalau sekiranya didalam literatur tidak dapat diperoleh definisi atau rumusan konsep yang akan diukur, maka tugas penelitianlah untuk membuat definisi dan rumusan konsep tersebut. Untuk lebih mematangkan definisi dan konsep tersebut, si peneliti harus mendiskusikannya dengan para ahli lain. Pendapat para ahli lain ini kemudian disarikan ke dalam bentuk rumusan yang operasional. Menanyakan langsung kepada calon responden penelitian mengenai aspek-aspek konsep yang akan diukur. Misalnya untuk merumuskan konsep nilai anak, peneliti menanyakan kepada calon responden tentang keuntungan dan kerugian apa yang diperoleh, peneliti dapat membuat kerangka konsep dan kemudian menyusun pertanyaan yang operasional.

iii.

RELIABILITAS
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat tersebut reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama.

Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Pada alat pengukur fenomena fisik seperti berat dan panjang badan, konsistensi hasil pengukuran bukanlah hal yang sulit dicapai. Tetapi untuk pengukuran fenomena sosial seperti sikap, opini dan persepsi, pengukuran yang konsisten agak sulit untuk dicapai.

1. Teknik Perhitungan Reliabilitas


Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas, yakni : teknik pengukuran ulang, teknik belah dua, dan teknik pararel (Anastasi, 1973). Dalam buku ini teknik yang akan dibicarakan hanyalah teknik pengukuran ulang (testretest). Untuk mengetahui reliabilitas suatu alat pengukur dengan pengukuran ulang, kita harus meminta responden yang sama agar menjawab semua pertanyaan dalam alat pengukur sebanyak dua kali. Selang waktu antara pengukuran pertama dan pengukuran kedua sebaiknya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Selang waktu antara 15-30 hari pada umumnya dianggap memenuhi persyaratan tersebut. Kalau selang waktu terlalu dekat, responden masih ingat dengan jawaban yang diberikannya pada waktu pengukuran pertama. Seddangkan kalau selang waktu terlalu lama, kemungkinan terjadi perubahan pada fenomena yang diukur. Kedua hal ini akan mempengaruhi hasil pengujian reliabilitas.

2. Teknik Belah Dua


Bila kita ingin menggunakan teknik belah dua sebagai cara untuk menghitung reliabilitas alat pengukur, maka alat pengukur yang kita susun haruslah memiliki cukup banyak item (pernyataan/pertanyaan) yang mengukur aspek yang sama. Jumlah item sekitar 50-60 adalah jumlah yang cukup memadai. Makin besar jumlah item, reliabilitas yang diperoleh akan makin bertambah baik. Langkah kerja yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut : a. Menyajikan alat pengukur kepada sejumlah responden, kemudian dihitung validitas itemnya. Item-item yang valid dikumpulkan jadi satu, yang tidak valid dibuang. b. Membagi item-item yang valid tersebut menjadi dua belahan. Untuk membelah alat pengukur menjadi dua dilakukan ddengan cara : 1. Membagi item dengan cara acak (random), separuh masuk belahan pertama, yang separuh lagi masuk belahan dua ; 2. Menbagi item berdasarkan nomor genap ganjil. Item yang bernomor ganjil dimasukkan dalam belahan pertama, sedangkan yang bernomor genap dikelompokkan dalam belahan kedua. c. Skor untuk masing-masingitem pada tiap belahan dijumlahkan. Langkah ini akan menghasilkan dua skor total untuk masing-masing responden, yakni skor total untuk belahan pertama dan skor total belahan kedua. d. Mengkorelasikan skor total belahan pertama dengan skor total belahan kedua dengan menggunakan teknik korelasi product moment yang rumus dan cara penghitungannya sudah dijelaskan sebelumnya. e. Karena angka korelasi yang diperoleh adalah angka korelasi dari alat pengukur yang dibelah, maka angka korelasi yang dihasilkan lebih rendah daripada angka korelasi yang diperoleh jika alat pengukur tersebut tidak dibelah, seperti pada

teknik pengukuran ulang. Karena itu harus dicari angka reliabilitas untuk keseluruhan item tanpa dibelah. 3. Teknik Bentuk Pararel Selain disebut dengan nama diatas, teknik ini juga dinamakan equivalent form atau alternative form. Pada teknik ini, penghitungan reliabilitas dilakukan dengan membuat dua jenis alat pengukur yang mengukur aspek yang sama. Kedua alat pengukur tersebut diberikan pada responden yang sama, kemudian dicari validitasnya untuk masing-masing jenis. Untuk menghitung reliabilitas, perlu mengkorelasikan skor total dari kedua jenis alat pengukur tersebut. Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi product moment yang rumus serta perhitungannya telah dibahas sebelumnya. Angka korelasi yang diperoleh adalah indeks reliabilitas alat pengukur yang telah disusun. Apakah angka korelasi ini signifikan atau tidak, harus dicek dengan tabel korelasi r-product moment.

PENUTUP
Cara mengukur validitas dan reliabilitas yang dikemukakan dimuka hanyalah sebagian teknik dari sejumlah teknik yang dipakai dalam penyusunan alat-alat pengukur gejala sosial. Masih ada teknik-teknik lain yang tidak dikemukakan dalam tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas Gadjah Mada, 1987. Faturochman dan Ridwan Handoyo. Penelitian Kualitas Kekaryaan : Studi Pendahuluan pada Suku Jawa dan Suku Sunda. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan , Universitas Gadjah Mada, 1987.

TUGAS METODE PENELITIAN ADMINISTRASI PUBLIK Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Rizki Zakaria

(105030101111046)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

Anda mungkin juga menyukai