Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia Gravis yang berarti kelemahan otot yang serius adalah satu-
satunya penyakit neuromuskular yang menggabungkan kelelahan cepat otot volunter
dan waktu penyembuhan yang lama( penyembuhan dapat butuh waktu 10 hingga 20
kali lebih lama daripada normal). Dahulu, angka kematian mencapai 90%. Angka
kematian menurun derastis sejak tersedia pengobatan dan unit perwatan
pernapasan.
Sindrom klinis pertama kali dijelaskan pada tahun 1600. Pada akhir tahun
1800an miastenia gravis (MG) dibedakan dari kelemahan otot akibat palsi bulbaris
sebenarnya. Pada tahun 1920an, seorang dokter yang menderita MG merakan
perbaikan setelah meminum efedrin unutk mengatasi kejang perut saat menstruasi.
Akhirnya pada tahun 1934, dokter lain dari Inggris ( Mary Walker) memperhatikan
kemiripaN gejala pada MG dan keracunan kurare. Dia menggunakan fisostigmin
antagonis kurare untuk mengobati MG dan mengamati perbaikan yang terjadi.
Prevalensi MG diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua walaupun lebih rendah
dari pada yang pertama, terjadi pada laki-laki tua usis dalam dekade tujuhpuluhan
atau delapan puluhan.
Kematian umumnya disebabkan oleh insufisiensi pernapasan, walaupun
dengan perkembangan dalam perawatan intensive pernapasan, komplikasi ini lebih
dapat ditangani. Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20% pasien dan
dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada pasien terntentu. Perempuan muda
yang berada pada stadium dini poenyakit ini ( 5 tahun pertama setelah awitan) dan
yang tidak merespon terapi obat dengan baik sebagian besar mendapat keuntungan
dari prosedur ini.





2

1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi miastenia gravis
1.2.2 Mengetahui etiologi miastenia gravis
1.2.3 Mengetahui patofisiologi miastenia gravis
1.2.4 Mengetahui manifestasi klinis miaatenia gravis
1.2.5 Mengetahui pemeriksaan diagnostik miastenia gravis
1.2.6 Mengetahui komplikasi miastenia gravis
1.2.7 Mengetahui penatalaksanaan miastenia gravis
1.2.8 Mengetahui prognosis miastenia gravis
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada miastenia gravis














3

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
2.1.1 Sel sel Saraf:
Ada dua tipe pada sistem persarafan yaitu sel neuroglia dan neuron.
Sel Neuroglia
Sel neuroglia memberikan makanan, perlindungan dan dukungan
struktur dari neuron-neuron..Ada empat tipe sel neuroglia, yaitu.:
a. Astrosites
Sel ini berfungsi memberikan makanan, menyimpan informasi,
mempertahankan electric potential neural dan membantu
melindungi blood brain barrier yang mengelilingi kapiler-kapiler
sistem saraf pusat.
b. Oligodendroglia
Sel ini berbentuk selubung mielin yang melingkari akson dalam
sistem saraf pusat
c. Mikroglia
Mikroglia berfungsi mengangkat mikroba dan sel-sel debris dari
sistem saraf pusat. Proses ini disebut dengan pagositosis
d. Sel epidermal
Sel sel ini membatasi sistem ventrikel fleksus koroid dan kanalis
sentralis dari medulla spinalis.
Neuron
Neuron mempunyai kemampuan menghantarkan rangsanagan saraf
dan beraksi terhadap rangsanagn. Masing-masing neuron terdiri
badan sel, satu akson dan satu atau beberapa dendrit.

2.1.2 Komponen badan sel neuron
Badan sel dari neuron dikelilingi oleh suatu membran sel yang berisi
sitoplasma. Dalam badan sel terdapat nukleus yang banyak mengandung
4

banyak doexyribonucleic acid (DNA). Di dalam nukleus terdapat nukleolus
yang mengandung ribonucleic acid (RNA). Juga di dalam sel ada mitokondria
yang memberikan energi untuk sel. Badan golgi menyimpan bahan-bahan
sekresi, mensintesakarbohidrat dan membentuk bahan-bahan digestif
Retikulum endoplasma berfungis sebagai sistem transport dalam sel. Badan
nissel tersusun dari retikulum endoplasma dan ribosom mensintesa protein.

2.1.3 Struktur akson dan dendrit
Struktur dendrit mengandung badan nissel, banyak cabang-
cabangnya, jangkauannya pendek. Akson merupakan tanagan yang lain,
jangkauannyapanjang bercabang pada bagian paling akhir dan kurang
mengandungbadan nissel. Pembungkus mielin mengelilingio akson, biasanya
pada serabut-serabut neuron yang lebih lebar. Komposisinya terdiri dari lipid
dan dibentuk oleh sel-sel schwan, sarung mielin sebagai insulator untuk
konduksi rangsangan. Disekitar sarung mielin pada lapisan luar disebut
neurolemma, dimana diperlukan untuk regenerasi akson. Segmen dari sarung
mielin diputus dengan ruang yang disebut node of ranvier.

2.1.4 Konduksi dan Rangsangan Saraf
a. Potensial membran istirahat
Pada keadaan dimana neuron istirahat dan tidak
menghantarkan rangsangan disebut potensial membran istirahat. Ada
muatan listrik positif yang keluar dari membran sel sebagai akibat dari
konsentrasi yang lebih besar ion-ion natrium (Na) dan ion-ion clorida
(Cl) pada ruang intertisial. Didalam sel terdapat listrik muatan negatif
dengan konsentrasi tinggi dari ion-ion kalium (K) dan bahan-bahan
protein organik.

b. Potensial aksi neuron
Penggunaan stimulus yang cukup menyebabkan konduksi dari
suatu rangsangan, sehingga terjadi perubahan premeabilitas
membran sel untuk ion-ion tertentu. Natrium masuk sel dan kalium
pergi menuju keruang interstisial. Pertukaran dan muatan positif dan
muatan negatif ini disebut deplorisasi. Potensial aksi dihantarkan
sepanjang neuron dari satu neuron ke neuron selanjutnya. Perubaha
kmenbali ke istirahat atau polarisasi disebut repolarisasi.

5


c. Konduksi saltatori
Pada serabut-serabut mielin terjadi loncatan potensial akson
dari satu node of ranvier ke node ranvier selanjutnya disebut konduksi
saltatori. Konduksi saltatori akan meningkatkan kecepatan
rangsangan dengan hemat energi.

d. Neurontransmitters
Ada dua tipe neurotransmitter yaitu eksitasi dan inhibisi. Ada
beberapa transmitter eksitasi, yaitu asetikolin adalah yang paling
umum, lainnya adalah norepinephrine, dopamin, dan setoin.
Transmitter inhibisi terdiri dari glycine dan gamma aminobutyric acid.

e. Eksitasi dan inhibisi membran postsinap
Pelepasan suatu transmitter eksitasi menyebabkan
depolarisasi membran postinap dan mengakibatkan pengiriman
rangsangan. Suatu transmitter inhibisi pada tangan yang lain
menyebabkan membran postinap menjadi kurang permeabel terhadap
ion-ion natrium. Akibatnya menjadi keadaan hiperpolarisasi yang
membuat lebih stabil dan kurang peka terhadap rangsangan.

f. Membuat tidak aktifnya neurotransmitter.
Enzim-enzim yang dapat memecah belah atau membuat tidak
aktifnya neurotransmitter pada bagian dari memnbran postinap atau
celah sikap. Beberapa enzim-enzim meliputi cholinesterase,
monoamine oxsidase (MAO), dan catechol omethyltransferase
(COMT). Model yang lain mebuat menjadi tidak aktifnya
neurotransmitter adalah reutake mechanism yang mana
memperbolehkan neuro transmitter ditarik kembali menuju bagian
terminal presinap.

2.1.5 Saraf perifer
a. Saraf kranial
Saraf olfactori (N 1) (Sensorik)
Saraf ini tanggap terhadap sensasi penciuman, kemudian
meneruskan ke hidung dan terus ke lobus frontal.
Saraf Optik ( N II ) (Sensorik)
6

Saraf ini respon terhadap penglihatan. Saraf optik ini meneruskan
rangsang dari retina menuju lobus oksipital.
Saraf Oculomotrik (N III) (Motorik dan Otonom)
Saraf ini mempengaruhi empat dari enam otot pergerakan bola
mata, mengangkat kelopak mata, dan kontriksi pupil.
Saraf Troklear (N IV) (Motorik)
Saraf troklear mengontrol otot bola mata untuk menggerakkan mata
ke bawah dan keluar.
Saraf Trigeminal (N V) (Motorik dan Sensorik)
Saraf ini menerima sensasi nyeri, temperature dan sentuhan dari
muka, kulit kepala, nasal, dan rongga mulut. Saraf ini juga
mengontrol otot untuk mengunyah dan refleks kornea.
Saraf Abdusen (N VI) (Motorik)
Saraf ini mengontrol otot untuk menggerakkan bola mata kearah
luar.
Saraf Facial (N VII) (Sensorik dan Motorik)
Saraf facial mempengaruhi otot ekspresi muka. Juga tanggap
terhadap sensasi rasa (pengecap) pada 2/3 lidah bagian anterior.
Saraf Akustik (N VIII) (Sensorik)
Saraf akustik mempunyai dua cabang, yaitu cabang koklear
responsif untuk pendengaran dan cabang vestibular untuk
keseimbangan.
Saraf Glosofaringeal (N IX) (Sensorik, Motorik, dan Otonom)
Saraf ini menerima sensasi dari faring dan sensasi dari rasa pada
1/3 posterior lidah. Saraf ini juga mengontrol sekresi dari saliva dan
dengan saraf Vagus berperan dalam menelan. Saraf ini juga
responsif untuk reflek gag.
Saraf Vagus (N X) (Sensorik, Motorik dan Otonom)
Saraf Vagus ini mempengaruhi organ-organ dalam ruang torak dan
abdominal. Saraf ini juga responsif terhadap sensasi pada
tenggorokan dan laring. Saraf vagus ini juga berperan dalam
menelan dan produksi suara.
Saraf Akssesori (N XI) (Motorik)
Saraf akssesori responsif terhadap kemampuan dalam mengangkat
bahu dan rotasi kepala.
Saraf Hipoglossal (N XII) (Motorik)
7

Saraf ini mengatur pergerakan lidah yang diperlukan untuk
berbicara dan menelan.
b. Saraf Spinal
Akar-akar saraf dorsal
Akar-akar saraf dorsal dari sraf spinal membawa impuls sensori
(Aferen) dari berbagai macam reseptor menuju medulla spinalis.
Segmen-segmen kulit dipengaruhi oleh akar-akar saraf dorsal yang
disebut Dermatome. Impils-impuls dihantarkan melalui akar-akar
saraf dorsal menuju ganglia dorsal, dimana badan-badan sel
sensorik terdapat disana.
Akar-akar saraf Ventral
Akar-akar saraf Ventral dari saraf spinal adalah penghantar impuls
motorik (eferen) dari medulla spinalis menuju ke otot-otot kelenjar-
kelenjar tubuh.
Fleksus
Ada 4 fleksus utama. Fleksus servikal terdiri dari 4 saraf servikal
pertama. Fleksus servikal mempengaruhi bagian belakang kepala,
leher dan bahu, dan memberikan rangsangan pada saraf frenik.
Fleksus brak-hial yang terdiri dari 4 saraf serfikal yang terakhir dan
sraf torakal pertama yang merangsang bagian ekstremitas atas.
Fleksus Lumbal tersusun atas 4 saraf lumbal pertama dan juga
meliputi kedua belas saraf torakal. Fleksus ini mempengaruhi
bagian-bagian bawah tubuh dan ekstremiotas bawah, serata
merangsang saraf femoral. Fleksus sakral terdiri dari dua saraf
lumbal terakhir dan 3 saraf sakral pertama. Fleksus merangsang
ekstremitas bawah dan memberikan rangsangan kepada sraf skiatik.
Lengkung reflek.
Reflek sederhana, seperti pada lutut mewakili sirkuit saraf sederhana
di medulla spinalis dan tidak mempengaruhi pusat otak yang lebih
tinggi. Tiga lengkung reflek saraf mempengaruhi reseptor sensorik,
neuronsensori, interneuron (gabungan dari neuron ) dalam medulla
spinalis dan neuron motorik. Reseptor sensorik mendeteksi
rangsangan yang akan menuju Medulla spinalis melalui neuron
sensori. Aktivitas interneuron ini akan menimbulkan aktivitas motor
neuron untuk menimbulkan suatu respon motorik seperti gerkan
menari dari sumber nyeri. Pada dua lengkung reflek neuron, sinap
8

neuron sensorik secara langsung berhubungan dengan neuron
motorik pada medulla spinalis, salah satunya adalah reflek lutut.
c. Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf simpatis
Sistem saraf simpatis terdiri dari suatu rantai dari ganglia
(kelompok dari badan-badan sel) dan sraf pada salah satu bagian
dari medulla spinalis. Rantai meluas dari bagian servikal terus
menuju ke daerah lumbal, dimana preganglion neuron berasal di
torakal dan segmen-segmen lumbal atas dari medulla spinalis.
Sistem ini menunjukkan sebagai bagian torakollumbal.
Neurotransmitter dari neuron preganglion, yang mana berakhir
pada ganglia simpatis acetylcoline, selanjutnya serabut-serabut
preganglion cholinergic.
Neuron postganglion berasal dari ganglia simpatis dan berakhir
pada jaringan otot yang tidak sadar (otot polos) atau jaringan
glandular. Neuron-neuron postganglion neurotransmitter adalah
norepinephrine, hingga serabut-serabut adrenergic. Selama stres,
bagian adrenergic berperan sebagai unit total untuk menghasilkan
suatu respon yang benar.
Sistem saraf parasimpatis
Serabut-serabut preganglion dari sistem ini meninggalkan batang
otak melalui saraf cranial III, VII, IX, X dan keluar dari medulla
spinalis melalui segmen sakral kedua, ketiga dan keempat.
Selanjutnya pembagian bagian ini juga disebut bagian
kraniosakral. Serabut-serabut preganglion panjang dan neuron
postganglion terletak organ yang dipengaruhinya. Keduanya baik
itu pre dan postganglion neuron melepaskan acetycoline,
membuat serabut-serabu cholinergic. Sebab aceyicoline dengan
cepat di nonaktifkan oleh cholinesterase. Respon parasimpatis
cenderung menjadi singkat.

9

2.2 Defenisi Miastenia Gravis

Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi
neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi
saraf cranial (Brunner and Suddarth 2002).
Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik Miastenia gravis merupakan bagian
dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis dlah gangguan yang mempengaruhi
transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran
seseorang(volunter). Miastenia grafis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antar cepatnya terjadi kelelahan
otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih
lama dari normal)
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit gangguan autoimun yang mengganggu
sistem sambungan saraf (synaps). Pada penderita miastenia gravis, sel antibodi tubuh
atau kekebalan akan menyerang sambungan saraf yang mengandung acetylcholine
(ACh), yaitu neurotransmiter yang mengantarkan rangsangan dari saraf satu ke saraf
lainnya. Jika reseptor mengalami gangguan maka akan menyebabkan defisiensi,
sehingga komunikasi antara sel saraf dan otot terganggu dan menyebabkan kelemahan
otot.

2.3 Etiologi
Kelainan primer pada MG dihubungkan dengan gangguan transmisi pada
neuromuscular junction,yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada
ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan
penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel
globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya sarafi yang
kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi
ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation,
terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti
gangguan transmisi neromuskuler pada MG tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada MG
terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir,
faktor imunologik yang berperanan.


10

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi :
a. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan, tidak ada kasus kematian
b. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan( onset) lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke
otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
c. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan
dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak
terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas
pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah
d. Kelompok III: Miastenia berat fulminan akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang
berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya
penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap
obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan
keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi
e. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan
gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan
prognosis buruk.
2.4.2 Bentuk varian miastenia gravis, antara lain:
a. Miastenia neonates
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari
bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia
gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya
antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta
b. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia
gravis pada dewasa
11

c. Miastenia congenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak
ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak
ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif
d. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak
jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada
miastenia gravis dewasa
e. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh
terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali
berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma).
Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada
umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa
disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok,
dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita
mengeluh mulutnya kering.
f. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak
menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian
terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi
menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap
pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi
g. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis
rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita
menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia
gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P
dihentikan.
h. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium
botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung
saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam
waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling
sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut
(see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan
dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
12

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah
terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan
disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola
desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil
(plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan
bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot
ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi
otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.4.3 Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe :
a. Oeular miastenia
terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia
sangat ringan dan tidak ada kematian
b. Mild generalized myiasthenia
Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan
meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena.
Respon terhadap otot baik Moderate generalized myasthenia.
Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap
obat tidak memuaskan
c. Severe generalized myasthenia :
Acute fulmating myasthenia
Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot
pernafasan, progesi penyakit biasanya komlit dalam 6 bulan.
Respon terhadap obat kurangmemuaskan, aktivitas penderita
terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma
Late severe myasthenia
Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II
progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau
mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis jelek
d. Myasthenia crisis
Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis
dapat disebabkan:
pekerjaan fisik yang berlebihan
emosi
infeksi
melahirkan anak
13

progresif dari penyakit
obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler,
misalnya streptomisin, neomisisn, kurare, kloroform, eter,
morfin sedative dan muscle relaxan
Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena
hilangnya kalium

2.5 Manifestasi Klinik
1) Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
- Ptosis
- Diplobia
- Otot mimik
2) Kelemahan otot bulbar
- Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal
Kesulitan dalam mengunyah
Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang
terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan
batuk dan tercekik saat minum
- Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot
ekstensor
3) Kelemahan otot anggota gerak
4) Kelemahan otot pernafasan
- Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi
CO
2
hipoventilasi menyebabkan kedaruratan neuromuskular
- Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas
Atas.
2.6 Patofisiologi
Dasar ketidak normalan pada mestenia grafis adalah adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otak karena kehilangan kemampuanatau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuro muscular.
Otot kerangka atau otot lurik di persarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal dari
sel kornum anterior medula spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini mengirimkan
aksonnya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan kranial menuju ke perifer. Masing-
14

masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu merangsan sekitar 2.000
serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang di
persarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap neuron motorik mempersarafi banyak
serbut otot, tetapi setiap serabut otot di persarafi oleh hanya satu neuron motorik.
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik dan
serabut otot disebut sinaps neuromuskular dan hubungan neuromuskular. Hubungan
neuromuskukar merupakan suatu sinap kimia antara saraf dan otot yang terdiri atas
tiga komponen dasar, yaitu unsur prasinaps, elemen postsinaps, dan celah sinaps
yang mempunyai lebar sekitar 200 A. Unsur prasinaps terdiri atas akson terminal
dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan neurotransmiter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma
akson terminal diebut membran prasinaps. Unsur prosinaps terdiri dari membran
membran post sinaps ( post functional membrane ) atu lempeng akhir motorik
serabut otot. Membran post sinaps dibentuk oleh invaginasi selaput otot atau
sarkolema yang dinamakan alur atau palung sinaps tempat akson terminal menonjol
masuk ke dalamnya. Bagian ini mempunyai banyak lipatan ( celah- celah subneular )
yang sangat menambah luas permukaan. Membran post sinaps memiliki reseptor
reseptor asetilkolin dan sanggup menghasilkan potensial lempeng akhir yang
selanjutny dapat mencetuskan potensial aksi otot. pada membran post sinaps juga
terdapat suatu enzim yang dapat menghancurkan asetilkolin yaitu asetilkolinerase.
Celah sinaps adalah ruang yang terdapat antara membran pra sinaps dan post sinaps.
Ruang tersebut terisi macam zat gelatin dan melalui gelatin ini cairan ekstrasel dapat
berdifusi.
Bila impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular maka mebran akson
terminal prasinaps mengalami depolaisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam
celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan
reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium maupun kalium pada membran postsinaps.
Infulks ion natrium dan pengeluaran ion kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeg akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak
berhubungan dengan sarf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi
ini memicu serangkaian reaksi yang melibatkan kontraksi serabut otot. Setelah
transmisi melewati hubungan neuromuskular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh
enzim asetilkolinesterase.


15

Pada orang normal jumlah asetilkolin yang dilepaskan sudah lebih dari cukup
untuk menghasilkan potensial aksi. Pada miastenia gravis, konduksi
neuromuskular terganggu. Jumlah resiptor asekotilkolin berkurang, mungkin akibat
cidera autoimun. Antibodi terhadap protein reseptor asetilkolin banyak ditemukan
dalam serum penderita miestenia gravis. Akibat dari kerusakan reseptor primer atau
sekunder oleh suatu agen primer yang belum di kenal merupakan faktor yang penting
nilainya dalam penentuan patogenesis yang tepat dari miastenia gravis.
Pada klien miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya tampak normal.
Jika ada atrofi, maka itu disebabkan karena otot tidak di pakai.secara mikroskopis
beberapa kasus dapat ditemukan infiltrasi limfosit dalam otot rangka tidak dapat
ditemukan kelainan yang konsisten(price dan Wilson 1995).
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan
neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi
sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps.
Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan
kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai
potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk
potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan
disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang
mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan
neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat
dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh
lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua
faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan kelenjar
timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas
terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan
pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia
timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan
terus-menerus.

16



































17



































18

2.7 Komplikasi :
a) Gagal nafas
b) Disfagia
c) Krisis miastenik
d) Krisis cholinergic
e) Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama :
Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii

2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a) Test serum anti bodi receptor Ach yang positif
b) Test tensilon / injeksi edrofonium, akan menunjukkan positif bila 30 menit
setelah injeksi edrofonium kekuatan otot klien meningkat / normal, namun
setelah reaksi obat habis kelemahan otot terjadi lagi
c) Test elektro fisiologis, menunjukkan penurunan respon saraf
d) CT Scan, menunjukkan adanya hiperplasia yang dianggap respon autoimun

2.9 Penatalaksanaan
a) Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
b) Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap
hari untuk mencegah keletihan dan kolaps otot.
c) Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
d) Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan
pernapasan jika perlu.
e) Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda
sampaikadar toksik obatb diatasi.
f) Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun
diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan untuk membedakan
dua gangguan tersebut.

19

2.10 Prognosis
a) Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b) MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c) 40% hanya gejala okuler

































20

2.11 Konsep Asuhan Keperawatan
2.11.1 Pengkajian
a. Biodata :
Nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, dan lain-lain.
b.Riwayat keperawatan :
Kelemahan otot ( meningkat dengan pengerahan tenaga, membaik
bila istirahat, tiba tiba cepat lelah) ; kesulitan menelan dan
mengunyah; dislopia ; tumor kelenjar timus.
c.Pengkajian Pola Gordon
1) Pola Nutrisi dan Metabolik
DS : pasien mengatakan pasien merasa lemah, tidak kuat
mengunyah dan menelan
DO : Pasien tampak lemas, nampak pasien susah menelan
makanan yang diberikan
2) Pola aktivitas dan latihan
DS : Pasien mengatakan bahwa dia merasa lemas dan lelah
sehingga tidak mampu untuk melakukan aktivitas
DO : Pasien tampak dibantu makan, mandi , BAK, BAB.
3) Pola tidur dan istirahat
DS : Pasien mengatakan susah bergerak miring kanan dan ke
kiri
DO : pasien tampak tidur terlentang di tempat tidur
d.Pemeriksaan fisik :
Kelemahan motorik pada lengan dan tungkai; kesulitan senyum,
mengunyah, menelan ; berbicara lambat, disartrik;ptosis; gangguan
keseimbangan ; status pernafasan.
e.Psikososial :
Usia ; jenis kelamin ; pekerjaan ; peran dan tanggung jawab yang bisa
dilakukan; penerimaan terhadap kondisi ; koping yang biasa
digunakan ; status ekonomi dan penghasilan.
f.Pengetahuan klien dan keluarga :
Pemahaman tentang penyakit, komplikasi, prognosa dan pengobatan
; kemampuan membaca dan belajar.
g.Pemeriksaan fisik :
Seperti telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga
merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin
21

dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering
bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat.
Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok otot tertentu
saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-
masisng klien, maka prognosisnya sulit ditentukan.

B1 (breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut dan
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi dan stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi sekret pada jalan napas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernapasan
B2 (blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan
tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi
tidak membaikya status pernapasan,Hipotensi / hipertensi, takikardi /
bradikardi
B3(brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Kelemahan otot ektraokular
yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia
intermien, bicara klien mungkin disatrik
B4 (bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine,ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Pemeriksaan lainnya berhubungan
dengan Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya
sensasi saat berkemih.
B5 (bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan maknan sekunder dari kelemahan otot-otot
22

menelan.pemeriksaan lainnya berhubungan dengan kelemahan otot
diafragma dan peristaltic usus turun.
B6 (bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktifitas perawatan diri. Pemeriksaan lainnya
berhubungan dengan Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot
yang berlebihan.

Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik

Fungsi serebral
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya
bicara dan observasi ekspresi wajah, aktifitas motorik yang mengalami
perubhan seperti adanya gangguan perilaku, alam perasaan, dan
persepsi.

Pemeriksaan syaraf cranial
Saraf I : Biasanya pada klien epilepsi tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan
Saraf II : Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda
Saraf III, IV dan VI : Sering didaptkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoglegia (dapat dilihat pada gambar 8-5), mimik dari
pseudointernuklear oftalmoglegia akibat gangguan motorik pada saraf VI
Saraf V : Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan
pada otot-otot wajah.
SarafVII : Persepsi pengecapan teganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah/triple-furrowed lidah
Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X : Ketidakmampuan dalam menelan
Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternoklidomastoideus dan trapezius
Saraf XII : Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah/triple-furrowed lidah



23

Sistem motorik
Karakteristik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari sistem
motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka memberikan
manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi aktivitas klien.

Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respon normal.

Sistem sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsi biasanya didapatkan perasaan raba
normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh.


2.11.2 Diagnosa
a. Hambatan mobilitas fisik b/d menurunnya otot-otot neuromuskular
b. Ketidakefektifan pola napas b/d kelemahan otot-otot pernafasan
c. Ketidakseimbangan nurisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesukaran
mengunyah dan menelan
d. Gangguan citra diri b/d ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal

2.11.3 Intervensi
Diagnosa 1 : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
menurunnya otot-otot neuromuskular
Tujuan : Tidak adanya keterbatasan ruang gerak
Kriteria : - Klien mudah mobilisasi
- Otot-otot tidak kaku
- Mempertahankan integritas kulit

Intervensi :
1. Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan
menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan / munculnya kembali tanda yang
menghambat tercapainya rasa nyaman
2. Beri posisi yang memberikan rasa nyaman
24

R/ : menurunkan kelelahan dan meningkatkan relaksasi
3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah
kehilangan fungsi sendi
4. Lakukan latihan tentang gerak grafis
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan
mobilisasi sendi

Diagnosa 2 : Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan
kelemahan otot-otot pernafasan
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi
pola pernapasan klien kembali efektif


Kriteria :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas
normal
Bunyi nafas terdengar jelas

Intervensi :
1. Kaji Kemampuan ventilasi
R/ : Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi, perawat
mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan bunyi nafas,pantau
hasil tes fungsi paru-paru tidal, kapasitas vital, kekuatan
inspirasi),dengan interval yang sering dalam mendeteksi masalah pau-
paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan sebelum tampak
gejala klinik.
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan kedalaman pernapasan,laporkansetiap
perubahan yang terjadi
R/ : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dankedalaman pernapasan,
kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi klien.
3. Baringkan klien dalamposisi yang nyamandalam posisi duduk
R/ : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga
ekspansi paru bisa maksimal
4. Observasi tanda-tanda vital (nadi,RR)
R/ : Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru
25



Diagnosa 3 ; Ketidakseimbangan nurisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d
kesukaran mengunyah dan menelan

Tujuan : - Klien tidak kekurangan nutrisi
- Klien dapat mengunyah dan menular
Kriteria : - BB tidak turun
- 1 porsi habis dalam sekali makan dalam 3x sehari
Intervensi :
1.Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan
mengatasi sekresi
R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga klien harus
terlindungi dari aspirasi

2. Timbang berat badan sesuai indikasi
R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian
nutrisi
3.Tinggikan kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian
makan lewat selang NG
R/ : menurunkan resiko regurgitasi dan waktu terjadinya aspirasi
4. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering (3x sehari,
1 porsi) dengan teratur
R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi
yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan

Diagnosa 4 : Gangguan citra diri b/d ptosis, ketidakmampuan komunikasi
verbal
Tujuan :
Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
26

Intervensi :
1. Kaji perubahan darigangguan persepsi danhubungan dengan derajat
ketidakmampuan
R/ : Menentukan bantuan individual dalammenyusun rencana
perawatan ataupemilihan intervensi
2. Identifikasi arti dari Kehilangan atau disfungsi pada klien
R/ : Beberapa klien dapat menerima dan mengatur beberapa fungsi
secara efektifdengan sedikit penyesuaian diri, sedangkanyang lain
mempunyai kesulitanmembandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.
3. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki
kebiasaan
R/ : Membantu meningkatkan perasaan hargadiri dan mengontrol
lebih dari satu areakehidupan
4. Anjurkan orang yang Terdekat untuk mengizinkan klien melakukan
hal untuk dirinya sebanyak-banyaknya
R/ : Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu
perkembanganharga diri serta mempengaruhi prosesrehabilitasi
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi dan konseling bila ada
indikasi.
R/ : Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk
perkembangan perasaan












27
























28

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Myasthenia Gravis ( MG ) adalah penyakit kelemahan otot grave dengan
karateristik remisi dan eksarbasi . MG merupakan penyakit kronis, neuromuskular,
autoimun yang bisa menurunkan jumlah dan aktivitas reseptor Acethylcholine (ACH)
pada Neuromuscular junction. Myasthenia gravis dapat mempengaruhi orang-orang
dari segala umur. Namun lebih sering terjadi pada para wanita, yaitu wanita berusia
antara 20 dan 40 tahun. Pada laki-laki lebih dari 60 tahun. Dan jarang terjadi selama
masa kanak-kanak.



















29

DAFTAR PUSTAKA


Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika : Jakarta.
TIM. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan gangguan sistem Persarafan. Trans
Info Media : Jakarta.
http://wariortaktil.blogspot.com/2012/03/konsep-dan-askep-miastenia-
gravis.html

Anda mungkin juga menyukai