Anda di halaman 1dari 12

Surau Sebagai Sarana Sosialisasi

Anak Minangkabau

Oleh : Elfitra Baikoeni


FISIP Universitas Andalas
(Email : elbaiko69@gmail.com )

Sumatra Barat adalah sebuah propinsi yang terletak di


pantai barat pulau Sumatra dengan luas daerah 42.297 KM2 dan
jumlah penduduk sekitar 4 juta jiwa. Secara etnisitas penduduk
Sumatra Barat bersifat homogen yang sebagian besar adalah
orang Minangkabau. Penduduknya sejak dahulu dikenal sebagai
pemeluk Islam yang taat dan sehari-hari hidup dalam budaya
matrilineal yang unik dan khas. Disamping itu masyarakat
Minangkabau juga dikenal dengan tradisi merantau serta etos
perdagangan yang menonjol di antara etnis-etnis lain di
nusantara. Maka tidak mengherankan kalau orang Minangkabau
dengan mudah dijumpai di berbagai daerah lain, terutama di
kawasan perkotaan dan pusat-pusat perekonomian
(perdagangan).

Untuk saat ini Minangkabau mungkin satu-satunya etnis


yang murni menganut sistem matrilineal, dimana garis
keturunan ditarik berdasarkan keluarga ibu. Anak- anak yang
dilahirkan secara langsung akan menjadi anggota keluarga suku
ibu, demikian juga halnya dengan pewarisan, dimana yang
berhak mendapatkan warisan dan harta pusaka dalam sebuah
suku adalah anak yang perempuan.
Karena anak sudah menjadi anggota kaum suku ibunya,
meskipun ia telah dewasa dan kemudian kawin, dia tidak lebur
kepada kerabat isterinya, melainkan tetap saja sebagai anggota
kerabat ibu dengan segala hak dan tanggung jawabnya.

1
Makanya seorang laki-laki meskipun dia telah membentuk
keluarga, dia tidak bisa melepaskan dirinya dari hubungan
kerabat asalnya, sehingga sehari-hari banyak waktunya
dihabiskan di tengah-tengah kerabatnya. Laki-laki dewasa
mengunjungi rumah isterinya waktu malam hari dan kemudian
pagi hari kembali ke rumah kerabat ibu untuk berladang dan
mengerjakan sawah.

Adapun kaum laki-laki bertindak sebagai pemimpim kaum


yang disebut mamak, yang bertugas menjaga dan memelihara
harta pusaka untuk digunakan sepenuhnya oleh ibu dan saudara
perempuannya. Hal ini pula yang membuat kedudukan wanita
terlihat demikian tinggi, meskipun dalam tatanan dan otoritas
politik dalam masyarakat tetap saja laki-laki yang mendominasi.

Menurut Mochtar Naim (1973), ada hubungan yang jelas


antara tradisi merantau orang Minang dengan sistem matrilineal
yang berlaku, dimana laki-laki merasa “dirugikan” oleh struktur
adat yang berlaku di tengah masyaralat. Laki-laki disatu sisi
bertindak sebagai pemimpin terhadap anggota kaum dan
kerabat perempuannya, sementara ia tidak memiliki hak untuk
menggunakan dan memanfatkan hasil harta pusaka (seperti
sawah dan ladang) tersebut untuk menghidupi anak isterinya.

Tanggung jawab dan kewajiban ganda terhadap kerabat


luasnya yang berat tersebut tidak dikompensasi dengan hak-hak
yang seimbang. Secara tidak langsung laki-laki akhirnya memilih
untuk mengelak dari belenggu adat yang demikian dengan pergi
meninggalkan kampung dengan membawa anak isteri dan
kemudian di daerah rantau mereka cenderung hidup dengan
tradisi kelaurga inti (nuclear familiy). Meskipun demikian kondisi
struktural adat bukan satu-satunya, melainkan banyak faktor
yang mendorong laki-laki pergi merantau di Minangkabau.

Surau Sebagai Wadah Sosialisasi Laki-Laki Minangkabau


Makalah ini mencoba memgemukakan masalah pranata
surau yang dulunya memiliki arti penting sebagai wadah
sosialisasi laki-laki Minangkabau sebelum meninggalkan
kampung halaman pergi merantau. Tulisan ini memiliki asumsi
bahwa eksistensi surau dahulunya dalam masyarakat

2
Minangkabau ikut mengkontribusi terhadap kemandirian sikap
dan cara berpikir serta menonjolnya intelektualisme mereka di
perantauan.

Tidak mengherankan pada masa-masa pergerakan


nasional dan kemerdekaan putra-putra Minang sudah mengecap
pendidikan tinggi untuk kermudian ikut ambil bagian sebagai
arsitek negara kesatuan Republik Indonesia. Sebutlah misalnya,
Tan Malaka, Haji Agus Salim, M.Yamin, Muhammad Hatta, Sutan
Syahrir, Abdul Muis, Mr.Assaat, M.Natsir, AK.Gani, untuk
menyebut beberapa nama.

Di bidang kebudayaan, ketika kesusteraan modern


Indonesia mulai bangkit pada awal abad ini, sebagian besar
pelopornya adalah penyair, sastrawan dan budayawan asal
Minang. Pada saat yang bersamaan, Sumatra Barat menjadi
salah satu pusat intelektual Indonesia dengan berdirinya
penerbit-penerbit buku sampai di pelosok kota-kota kecil.
Dalam bidang keagamaan waktu itu sudah berdiri
perguruan-perguruan agama Islam yang sudah menerapkan
metoda pendidikan modern (sistem madrasah) dan di kawasan
pelosok-pelosok sudah meninggalkan pengajaran agama dengan
cara-cara tradisional.Tidak mengherankan ketika berdirinya
Muhammadiyah sebagai simbol organisasi keagamaan modern di
Indonesia, masuknya di Sumatra Barat mendapat respon yang
antutias. Meskipun kelahirannya di Yogyakarta, akan tetapi
Muhammadiyah dalam perkembangan berikutnya justru banyak
dirintis oleh ulama-ulama asal Minang. Banyak juga pengurus
organisasi Muhammadiyah dari dulunya berasal dari negeri
Sumatra Barat.

Surau Sebagai Pranata Sosial


P.B.Horton dan C.L. Hunt (1996) mengartikan institusi
sebagai suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau
kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Institusi juga
bisa berarti sistem hubungan sosial yang terorganisisr yang
mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam masyarakat. Dalam
definisi ini, nilai-nilai umum mengacu kepada cita-cita dan tujuan
bersama, prosedur umum adalah pola prilaku yang dibakukan

3
dan diikuti dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta
status yang menjadi wahana untuk melakukan prilaku tersebut.
Sementara dalam kasanah antropologi, istilah institusi
sering disebut dengan istilah pranata. Menurut Koentjaraningrat
(1990), pranata adalah suatu sistem norma khusus yang menata
suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu
keperluan khusus dari manusia dalam masyarakat. Terdapat
bermacam-macam pranata, memberi kita suatu pengertian
bahwa hal tersebut sangat tergantung pada keperluan dan
kompleksitas struktur sebuah masyarakat (komunitas). Pranata
yang berfungsi memenuhi kehidupan kekerarabatan disebut
pranata kekerabatan, pranata yang berfungsi memenuhi
keperluan manusia untuk mata pencarian, produksi dan distribusi
disebut paranata ekonomi.
Merujuk kepada konsep diatas maka surau dapat dikatakan
sebagai salah satu atau bagian dari pranata penting dalam
masyarakat Minangkabau, karena surau berfungsi memenuhi
salah satu keperluan masyarakat akan sosialisasi dan
pendidikan. Koentjaraningrat mencoba menghubungkan konsep
pranata dengan konsep kedudukan (status) dan peranan sosial
(social role). Karena pranata merupakan kompleks tindakan
berinteraksi yang menyebabakan terwujudnya pola-pola sosial
dalam masyarakat.
Manusia melakukan tindakan interaksi biasanya
menganggap dirinya berada dalam suatu kedudukan sosial
tertentu yang juga dikonsepsikan untuknya norma-norma yang
menata semua tindakan tadi. Dalam rangka kedudukan dalam
suatu pranata itulah para individu bertindak menurut norma-
norma khusus dari pranata yang bersangkutan. Tingkah laku
individu mementaskan suatu ke dudukan tersebutlah yang
dinamakan peranan sosial (social role).

Bentuk, Aktivitas dan Fungsi Surau


Ada dua pengertian dalam masayarakat tentang surau.
Yang pertama surau dalam pengertian sempit, yaitu rumah
ibadah tempat orang melakukan sembahyang dan zikir dengan
bangunan yang berukuran kecil (sama dengan langgar). Yang
kedua surau dalam pengetian luas, yaitu bangunan yang
didirikan secara bersama-sama oleh anggota kaum atau suku
yang kegunaannya bukan semata-mata tempat ibadah

4
melainkan juga sebagai tempat tinggal untuk para anak-anak
laki-laki yang beranjak remaja atau orang tua (laki-laki) untuk
menghabiskan sisa-sisa umurnya.
Dalam sebuah nagari akan dijumpai puluhan banyaknya
surau. Setiap kampung (jorong) terdiri dari beberapa suku dan
masing-masing suku biasanya memiliki surau sendiri-sendiri.
Suku yang ada di Minangkabau terbagi dua suku besar yaitu
chaniago dan piliang yang masing-masing punya sub-suku lagi
seperti; jambak, koto, malayu, tanjung, pili, pisang, sipingai,
kampai, guci, sikumbang, kutianyia, dll. Pengertian suku di
Minangkabau sama seperti marga di daerah Batak, akan tetapi
kalau marga biasanya terkonsentrasi pada daerah-daerah
(kabupaten) tertentu, sementara suku menyebar di seluruh
hukum adat Minangkabau (Sumatera Barat). Artinya suku yang
beragam tersebut akan dijumpai di setiap kabupaten, kecamatan
sampai unit terkecil, yaitu tiap nagari. Dalam tulisan ini
pengertian surau lebih mengacu kepada pengertian yang
terakhir.
Dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem
matrilineal ada kebiasaan laki-laki lebih banyak menghabiskan
waktunya di luar rumah. Sebuah rumah yang dibangun oleh
sebuah keluarga terutama diperuntukkan bagi anak-anak wanita.
Tidak mengherankan kalau mereka memiliki tiga orang anak
perempuan maka rumah yang dibangun hanya menyediakan
kamar untuk anak perempuan. Laki-laki memang lebih banyak
menghabiskan waktuya di luar rumah, kecuali bagi anak-anak
yang masih kecil. Bila anak-anak tersebut telah akil balikh dan
menginjak remaja biasanya tidak lagi menginap dan tidur
dirumah, melainkan tidur di surau.
Ada anggapan yang negatif dari masyarakat, kalau anak
laki-laki yang sudah remaja masih juga tidur di rumah, mereka
akan dicemooh oleh teman-teman sebaya dan dikatakan sebagai
anak padusi (anak perempuan). Jadi yang tinggal di rumah
hanyalah ibu, bapak, serta saudara-saudara perempuan atau
urang sumando (suami saudara perempuan). Memang urang
sumando seharian banyak menghabiskan waktunya untuk
bekerja di luar rumah atau di kampungnya dan kembali ke rumah
isteri pada malam hari. Jadi bagi anak laki-laki tinggal di rumah
dan berinteraksi dengan keluarga hanya dilakukan pada saat

5
siang hari dan apabila malam telah tiba mereka akan segera
turun dari rumah orang untuk pergi menuju surau.
Seperti yang dikatakan di atas setiap suku memiliki satu
atau beberapa buah surau yang dibangun secara bersama-sama
oleh anggota suku. Bentuk surau hampir sama dengan rumah
kebanyakan, walaupun sebagian besar tidak memiliki kamar dan
ruang interiornya hanya berupa ruangan lepas. Banyak juga
rumah-rumah kosong yang tidak lagi ditempati kemudian dihuni
dan dijadikan sebagai surau.
Di surau anak-anak belajar mengaji Al Quran dan tafsirnya
berupa uraian dari setiap ayat-ayat yang dibaca. Yang bertindak
sebagai guru adalah mereka yang lebih tua. Disamping itu di
surau juga mempelajari falsafah hidup adat istiadat
Minangkabau, bagaimana menjaga etika dan sopan santun
dalam kerabat dan masyarakat luas.
Belajar falsafah adat bermaterikan paparan ilmu
pengetahuan dan etika yang digali dari tambo dan nilai-nilai
historis kandungan adat Minangkabau. Biasanya orang yang
mengajarkan adalah mereka yang bergelar datuk dengan ilmu
dan wawasan falsafah adat istiadat yang luas. Termasuk juga
pantun dan petitih yang mengajari kebijakan dan kearifan dalam
hidup. Disamping itu juga dipelajari pidato adat dan titah serta
mufakat. Belajar pidato adat dan bertitah lebih banyak
mengandalkan kemampuan menghapal bait-bait titah yang
sudah standar, akan tetapi untuk memperkaya kosa kata dan
kalimat titah serta maknanya membutuhkan banyak latihan
secara langsung pada saat kenduri-kenduri adat. Mengerti dan
terampil bertitah adat sangat diperlukan bagi laki-laki dewasa,
terutama kelak setelah mereka berumah tangga (sebagai urang
sumando). Karena mereka sering diundang dalam dilibatkan
dalam berbagai ritual dan upacara adat kerbat isterinya
(perkawinan, kematian, dll), dimana dalam upacara tersebut
akan diawali dan diakhiri dengan pidato atau titah adat. Bagi
urang sumando yang tidak bisa bertitah akan merasa tersisih
dan setidak-tidaknya akan menanggung malu di hadapan orang
ramai, terutama terhadap anggota kerabat isterinya.
Memang tidak semua materi pelajaran dalam surau
disosilisasi dengan cara formal, banyak juga pelajaran adat dan
seni yang diajarkan secara simulasi dan santai, seperti misalnya
saluang, bakaba dan randai. Disamping itu, tidak jarang juga

6
diajarkan seni bela diri silat, sehingga karena kebiasaan tesebut
pula maka sampai sekarang pun belajar silat selalu dilakukan di
malam hari.
Pelajaran-pelajaran yang didapatkan dari surau ini
dimaksudkan sebagai modal bagi seorang anak laki-laki kelak
apabila mereka meninggalkan kampung untuk mengadu nasib di
negeri orang. Banyak petuah adat yang mengisaratkan agar
setiap anak laki-laki Minang sebaiknya meninggalkan kampung
untuk menuntut ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di
negeri orang. Dengan banyak ilmu dan dan pengalaman
tesebutlah yang kemudian dibawa ke pulang untuk membangun
kampung halaman. Sebagaimana pepatah adat yang
mengatakan:
“Karatau madang di hulu,
babuah bangungo balun.
Ka rantau bujang dahulu,
di rumah panguno balun”.

7
Eksistensi dan Perubahan Surau serta Faktor-faktor yang
Mempengaruhinya
Sekarang, keberadaan surau dalam masyarakat
Minangkabau semakin susut baik secara kuantitas maupun
kualitas. Sekarang hampir tidak ada lagi anak-anak yang mau
tidur di surau, mereka sudah tinggal di rumah orang tuanya
masing-masing. Nyaris punah pranata surau menurut hemat
penulis ada hubungannya dengan perubahan struktur keluarga
yang semakin lama semakin cenderung menuju keluarga inti
(nuclear familiy). Eksistensi keluarga inti semakin mengukuhkan
posisi bapak sebagai kepala kelaurga, dan semakin tinggi pula
perhatiannya untuk mendidik anak dengan caranya sendiri.
Sebaliknya sebagai akibat semakin tinggi kecemasan mereka
untuk menyerahkan pengasuhan anak kepada pranata
kekerabatan luas, yang sebelumnya dimainkan oleh surau.
Demikian juga dengan masuknya pengaruh pendidikan
modern. kian menuntut orang tua untuk menyekolahkan mereka
pada sekolah-sekolah formal yang sudah memiliki metoda
pengajaran standar dengan materi ajar yang bersifat keilmiahan
rasional (science). Kesibukan anak-anak untuk bersekolah (dan
sekarang juga dengan berbagai macam kursus), menyebabkan
alokasi waktu mereka banyak dihabiskan untuk itu dan tak
banyak lagi waktu senggang yang tersedia untuk sosialisasi
pendidikan informal.
Fungsi surau dalam keagamam juga mulai digantikan
dengan hadirnya TPA/TPSA oleh program pemerintah
(Departemen Agama) di setiap nagari-nagari. Memang di satu
sisi metoda pendidikan modern menawarkan materi-materi
pelajaran yang canggih dan ilmiah yang diharapkan anak-anak
(peserta didik) semakin cerdas dan intelektual. Akan tetapi
pendidikan ini kurang memiliki sentuhan terhadap psikomotorik
dan aspek sikap, apalagi yang mengajarkan untuk kemandirian
anak-anak. Apalagi yang berhubungan dengan pengajaran dan
kearifan akan nilai-nilai dalam masyarakatnya (etika dan budaya
lokal) kurang mendapat perhatian. Terlepas dari kekuarngan-
kekurangan tersebut, disini pula yang membedakan (sekaligus
menjadi kelebihan ) pendidikan ala surau.

8
Faktor lain yang juga berhubungan dengan memudarnya
surau adalah perubahan pola merantau orang Minang saat ini.
Kalau sebelumnya merantau dilakukan sebagai implementasi
nilai-nilai adat yang diinternalisasi sebagai keinginan untuk
mengasah kepribadian dan aktualisasi kemandirian dengan
menimba ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya di negeri
orang, tetapi sekarang telah berubah. Sebelumnya merantau
dipersiapkan secara matang dan sadar, modal yang didapat dari
pendidikan merupakan instrumen adaptasi terhadap lingkungan
di rantau. Sebagaimana kata pepatah Melayu ; Yu beli belanak
beli, ikan panjang cari dahulu / Ibu cari, dunsanak cari, induk
semang cari dahulu.
Pepatah ini secara ekplisit mengajarkan kepada perantau
pemula, bagaimana pentingnnya menciptakan interaksi dan
hubungan baik dengan lingkungan (baik pada tataran person,
lembaga maupun komunitas) yang akan ditempati. Sekarang
faktor ekonomi dan alasan melanjutkan sekolah yang lebih
banyak mendominasi motivasi anak-anak muda pergi merantau.
Kedua alasan tersebut memang secara konsekuensi akan
mengabaikan minat dan perhatian anak laki-laki akan arti
penting “mekanisme adaptasi” sebagaimana yang ditawarkan
oleh pranata tradisional pada masa lampau.

Perspektif Fungsionalis terhadap Perubahan


Salah satu persepktif sosiologis yang bisa menjelaskan
kenapa semakin menyusutnya keberadaaan dan fungsi surau
dalam masyarakat Minangkabau adalah teori fungsional. Dalam
perspektif ini masyarakat dilihat sebagai sebuah jaringan
kelompok yang bekerja sama secara terorganisir dalam cara
yang yang agak teratur menurut seperangkat aturan dan nilai
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Setiap
kelompok atau pranata dilihat melaksanakan tugas tertentu
dalam masyarakat secara fungsional. (Horton dan Hunt, 1996)
Walaupun perubahan sosial menganggu kesimbangan
masyarakat yang stabil, namun kemudian akan terjadi lagi
kesimbangan baru dengan adanya penyesuaian. Jadi,
keberadaaan surau dalam masyarakat Minangkabau tempo dulu
adalah sesuatu yang fungsional, akan tetapi sejalan dengan
perubahan waktu akan terjadi pergeseran fungsi, yang semakin
lama fungsi yang semula dimainkan oleh surau digantikan secara

9
perlahan-lahan oleh keberadaan pranata lain atau pranata yang
baru tumbuh.
Kalau sebelumnya surau adalah wadah sosialisasi bagi
anak laki-laki, dengan hadirnya pendidiikan formal (sekolah dan
TPA/TPSA) di kampung-kampung lewat modernisasi dan berbagai
program pemerintah sejak masa Pemerintahan Orde Baru, surau
dipandang masyarakat tidak lagi efektif. Apalagi sistem sekolah
menawarkan cara, metoda dan kurikulum yang sistematis yang
sangat berbeda dengan sistem surau yang sangat tidak formal.
Apalagi sekolah memiliki fungsi ganda, disamping sebagai
prosedur logis memperoleh ilmu pengetahuan sekaligus juga
sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan yang pada
akhirnya akan meningkatkan status sosial seseorang di tengah-
tengah masyarakat.
Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi keberadaan
surau di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang sudah
disinggung di atas. Faktor tersebut terutama terkait dengan
perubahan bentuk dan fungsi pranata lain, seperti
kecenderungan munculnya keluarga inti, diferensiasi struktur
ekonomi, perubahan pola merantau, hadirnya modernisasi
pendidikan, dan berbagai proram pemerintah. Kondisi ini,
menurut teoritsi fungsionalis mesti dilihat sebagai perubahan
yang positif, akan terjadi penyesuaian-penyesuaian secara
gradual yang pada akhirnya masyarakat (paranata, budaya dan
nilai-nilai Minangkabau) nantinya secara natural akan stabil dan
seimbang (equilibrium).

Penutup
Demikian tulisan ini dibuat berdasarkan pada studi
kepustakaan dan pengamatan (obeservation), meskipun tidak
dilakukan dengan studi lapangan yang terencana. Hal ini tentu
karena terbatasnya waktu yang tersedia untuk menulisnya.
Analisa yang digunakan pun tidak banyak berdasarkan kepada
teori sosiologi antropologi. Terlepas dari berbagai kelemahan
yang ada, mudah-mudahan tulisan ini cukup memadai sebagai
bahan diskusi bagi mereka yang tertarik mereview eksistensi
pranata-pranata tradisonal dalam masyarakat yang berubah.


10
11
Daftar Pustaka
Anwar, Kairul, Hukum Adat Indonesia; Meninjau Hukum Adat
Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, Pustaka Panjimas, Jakarta,


1984.

Horton, Paul B dan Chester L Hunt, Sosiologi (Jilid 1), Penerbit


Erlangga, Jakarta, 1996.
Kaplan, David, Teori Budaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antroplogi, Rineka Cipta,
Jakarta, 1990.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers,
Jakarta, 1990.
Taneko, Soleman B, Struktur dan Proses, Rajawali Pers, Jakarta,
1984.
Zed, Mestika (et.al), Perubahan Sosial di Minangkabau, PSPPSB
Universitas Andalas, Padang, 1992.

12

Anda mungkin juga menyukai