Anda di halaman 1dari 11

PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM

DALAM PERSPEKTIF LEGAL SYSTEM



MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pembinaan Lembaga dan Pranata Hukum

Pengampu: Dr. Kuat Puji P., SH., M.Hum.





Oleh:
Azim Izzul Islami
(P2EA 13034)



PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2014


1. Pendahuluan
Secara konseptual, maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap,
mengejewantah, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
1

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum adalah upaya
mewujudkan norma-norma hukum menjadi nyata, dalam artian penegakan hukum
berupaya menjalankan amanat dan pesan-pesan dari hukum. Menurut Esmi Warassih,
hukum mengandung ide-atau konsep-konsep yang abstrak, namun ia dibuat untuk
diimplementasikan pada masyarakay. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu kegiatan
untuk mewujudkan ide tersebut. Upaya mewujudkan ide hukum yang abstrak menjadi
kenyataan inilah yang disebut penegakan hukum.
2
Namun permasalahan muncul
dikarenakan adanya gap (kesenjangan) antara norma (substansi hukum) dengan realita
yang ada di masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum memang hidup dalam 2
dunia yang berbeda: yakni Das Sollen (yang seharusnya) dan Das Sein (yang
senyatanya).
Kesenjangan antara norma dengan penerapannya di lapangan mengakibatkan
hukum tidak berfungsi optimal. Di Indonesia, penegakan hukum belum menemukan
bentuk yang diharapkan. Korupsi dan kasus suap-menyuap yang melibatkan pejabat
birokrasi, legislasi dan bahkan penegak hukum menjadi tanda bahwa penegakan
hukum mengalami masalah. Masalah dalam penegakan hukum ini bisa kita lihat pada
sistem hukum Indonesia.
Berbicara mengenai sistem hukum, Lawrence Friedman mengemukakan
tentang komponen-komponen sistem hukum. Antara lain: Substansi (Substance),
struktur (Structure) dan Budaya/Kultur (Culture).
3
Ketiga komponen ini menentukan
tempat sistem hukum di tengah kultur bangsa secara keseluruhan. Melalui makalah

1
Zudan Arif Fakrulloh, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan
Keadilan, dalam Jurisprudence, Makalah, Vol. 2, No. 1, Maret 2005, hlm. 22-23.
2
Esmi Warassih, Pranata Hukum (Sebuah telaah Sosiologis). Cetakan Kedua. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro,2010. Hlm. 68.
3
Dikutip oleh Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya,
Cetakan Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005, hlm. 1.
ini, penulis mencoba menganalis masalah-masalah yang ada pada penegakan hukum
dengan menggunakan kacamata komponen-komponen sistem hukum.

2. Pokok Masalah
Berdasar latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka pokok masalahnya
adalah:
Bagaimanakah penegakan hukum di Indonesia dalam persepektif Teori Legal
System?

3. Pembahasan

Terdapat tiga unsur dalam sistem hukum menurut Lawrence Friedman, yakni
Struktur (Structure), substansi (Substance) dan Kultur Hukum (Culture).
4

Keterpurukan penegakkan hukum di Indonesia disebabkan oleh pergeseran dari cita-
cita dalam UUD 1945 dalam tiga unsur sistem hukum yang mengalami. Ketiga
hukum itu akan dipaparkan secara lebih komprehensif sebagai berikut:
1. Substansi Hukum (legal substance)
Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada
dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
5
Idealnya
tatanan hukum nasional mengarah pada penciptaan sebuah tatanan hukum nasional
yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan relasi antara warga negara,
pemerintah dan dunia internasional secara baik. Tujuan politik hukum yaitu
menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang rasional, transparan, demokratis,
otonom dan responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat,
bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik.
6

Substansi hukum berkaitan dengan proses pembuatan suatu produk hukum
yang dilakukan oleh pembuat undang-undang. Nilai-nilai yang berpotensi

4
Ibid, hlm. 1
5
Ibid, hlm. 2.
6
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2008. Hlm. 72.
menimbulkan gejala hukum dimasyarakat dirumuskan dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Sedangkan pembuatan suatu produk perundang-undangan
dipengaruhi oleh suasana politik dalam suatu negara.
Seringkali substansi hukum yang termuat di dalam suatu produk
perundang-undangan dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu. Sehingga hukum yang dihasilkan tidak responsif terhadap perkembangan
masyarakat. Akibat yang lebih luas adalah hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan
dan bukan sebagai pengontrol kekuasaan atau membatasi kesewenangan yang
sedang berkuasa.
Peraturan perundang-undangan dibuat oleh kekuasaan yang diberikan
wewenang oleh undang-undang. Menurut UUD 1945 kekuasaan membuat undang-
undang diberikan kepada DPR sebagai legislatif dan Presiden sebagai Eksekutif.
Dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden berhak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
7
Rancangan undang-undang
tersebut dibahas secara bersama-sama antara DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan secara bersama.
DPR sebagai lembaga legislatif yang salah satu tugasnya adalah membuat
undang-undang. Produk undang-undang yang dihasilkan harus sesuai dengan
aspirasi dan kebutuhan masyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak
bertentangan dengan konstitusi negara. Untuk saat ini, hampir sebahagian besar
produk perundang-undangan yang dihasilkan lembaga DPR masih jauh dari
harapan. Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang tidak relevan dan
cenderung dipaksakan serta tidak responsif. Bahkan dalam UU kesehatan yang
baru dikeluarkan salah satu contoh, ayat yang mengatur tentang tembakau tidak
tercantum. Tidak diaturnya (hilangnya) ayat tentang tembakau dalam UU
Kesehatan mencerminkan bahwa kualitas dari anggota DPR patut diragukan.
Menurut Satjipto Rahardjo yang mengutib dari Radbruch, terdapat nilai-
nilai dasar dari hukum, yaitu Keadilan, Kegunaan (kemanfaatan) dan Kepastian

7
Amandemen pertama UUD 1945.
hukum.
8
Tidak jarang ketiga nilai dasar hukum tersebut saling bertentangan dalam
penegakkan hukum. Bila hal tersebut terjadi maka yang harus diutamakan adalah
keadilan, mengingat tujuan hukum adalah terciptanya rasa keadilan dimasyarakat.
Peraturan perundang-undangan yang tidak responsif dan demokratis hanya
akan menimbulkan opini di masyarakat yang dapat menggangu stabilitas hukum,
keamanan ekonomi dan politik. Sehingga untuk membentuk peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat harus bebas
dari intervensi dan kepentingan pihak-pihak atau kelompok tertentu.

2. Struktur Hukum (legal structure)
Struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan,
bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan secara keseluruhan.
9
Struktur
hukum merupakan institusionalisasi dalam keberadaan hukum. Struktur hukum
di sini meliputi lembaga negara penegak hukum seperti Pengadilan, Kejaksaan,
Kepolisian, Advokat.
10
dan lembaga penegak hukum yang secara khusus diatur
oleh undang-undang seperti KPK, dan lain-lain. Kewenangan lembaga penegak
hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lain.
Terdapat adagium yang menyatakan fiat justitia et pereat
mundus (meskipun dunia ini binasa hukum harus ditegakkan). Hukum tidak dapat
berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas,
kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-
undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka
keadilan hanya angan-angan.
Sudah terlalu sering kita mendengar bahkan melihat di berbagai
pemberitaan media massa, adanya oknum aparat penegak hukum yang melakukan

8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Cetakan kelima. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.hlm.
19.
9
Achmad Ali, Keterpurukan hlm. 2.
10
Lihat Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Rajawali Press, 1983. Hlm. 19

penyelewengan terhadap perkara-perkara tertentu demi kepentingan pribadi
maupun kelompoknya. Ketika penegak hukum memiliki kepentingan terhadap
suatu perkara maka sejak saat itulah hukum dikesampingkan. Sungguh ironis,
disaat masyarakat menghendaki terciptanya keadilan tercoreng oleh perbuatan
yang dilakukan oknum aparat penegak hukum.
Kebebasan peradilan adalah merupakan esensi daripada suatu negara
hukum, sehingga oleh karena tegaknya prinsip-prinsip daripada suatu negara
hukum sebagian besar adalah tergantung dari ada atau tidaknya kebebasan
peradilan didalam negara tersebut.
11
Sebagai sarana parameter penerapan
demokrasi, kebebasan badan peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara
harus dijamin oleh konstitusi.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi yang bukan saja
sebagai tempat terakhir menentukan hukum dalam arti konkret akan tetapi juga
sebagai tempat melahirkan asas dan kaedah hukum baru serta teori-teori baru
mengenai hukum.
12
Makamah Agung juga memiliki kewenangan membatalkan
putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan
pada tingkat kasasi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 5
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Makamah
Agung.
Penegak hukum yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang
lingkup yang sangat luas, meliputi: petugas strata atas, menengah dan bawah.
Maksudnya adalah sampai sejauhmana petugas harus memiliki suatu pedoman
salah satunya peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugasnya. Dalam
penegakkan hukum, kemungkinan penegak hukum mengahadapi hal-hal sebagai
berikut:
13

a. Sampai sejauhmana petugas terikat dengan peraturan yang ada,
b. Sampai batas-batas mana petugas berkenan memberikan kebijakan,

11
Abdurrahman, Aneka Masalah dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung:
Alumni, 1980, hlm. 1.
12
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH. UI Press, 2004. Hlm. 116.
13
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. hlm. 95.

c. Teladan macam apakah yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada
masyarakat,
d. Sampai sejauhmanakah derajat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada
para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.

Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan
hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyak faktor yang mempengaruhi
lemahnya mentalitas aparat penegak hukum diantaranya lemahnya pemahaman
agama, ekonomi, proses rekruitmen yang tidak transparan dan lain sebagainya.
Sehingga dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran
penting dalam memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
penegak hukum rendah maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila
peraturannya buruk sedangkan kualitas penegak hukum baik, kemungkinan
munculnya masalah masih terbuka.

3. Budaya Hukum (legal culture)
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap manusia
terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
14

Hukum dipercaya sebagai suatu lembaga penyeimbang yang kuat terhadap
ancaman disintegrasi dalam hidup bermasyarakat akibat benturan kekuatan yang
sama-sama ingin berkuasa dan sekaligus membatasi kesewenangan yang sedang
berkuasa. Hukum dalam bentuknya yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan
berusaha untuk memungkinkan terjadinya keseimbangan dalam hidup
bermasyarakat. Berbeda dengan kekuasaan yang agresif dan ekspansionis, hukum
cendrung bersifat kompromistis, damai dan penuh dengan kesepakatan-
kesepakatan dalam kehidupan sosial dan politik.
15


14
Achmad Ali, Keterpurukan., hlm. 2.
15
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2009. hlm.
83.

Hukum bisa bekerja sesuai dengan fungsinya jika masyarakat patuh dan
tunduk terhadap hukum yang berlaku. Hal ini bukan berarti penyelesaian sengketa
dimasyarakat diluar institusi hukum tidak dibenarkan. Konstitusi sendiri mengakui
hal tersebut, yakni dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang.
16


Peristiwa penyelesaian sengketa diluar institusi hukum oleh masyarakat
dibenarkan dan dijamin oleh konstitusi sepanjang penyelesaian tersebut sesuai
dengan undang-undang yang berlaku serta norma-norma yang ada di masyarakat.
Sengketa masyarakat adat yang telah diselesaikan melalui mekanisme hukum adat
hendaknya negara tidak mencapurinya, dalam arti tidak diproses kembali lewat
pengadilan. Bila hal tersebut terjadi akan menimbulkan sengketa antara
masyarakat adat dengan negara.
Masyarakat yang menyerahkan sengketa atau permasalahan hukumnya
kepada institusi hukum kecuali didorong oleh kepentingan terlihat juga adanya
faktor-faktor seperti ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai
hukum. Orang secara sadar datang kepada hukum (pengadilan) disebabkan oleh
penilaian yang positif mengenai institusi hukum. Dengan demikian, keputusan
untuk membawa sengketa tersebut kedepan pengadilan pada hakikatnya
merupakan hasil positif dari bekerjanya berbagai faktor tersebut.
17

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan merupakan wujud kepercayaan
masyarakat terhadap tegaknya hukum di Indonesia. Kepercayaan masyarakat
terhadap hukum akan bergeser manakala hukum tersebut tidak dapat memberikan
jaminan keadilan dan menimbulkan kerugian baik materi maupun non materi.
Berbelit-belitnya proses peradilan menyebabkan para pihak yang terlibat
menghendaki penyelesaian secara cepat dengan berbagai cara. Adapun cara yang
ditempuh tersebut terkadang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan

16
Amandemen kedua UUD 1945.
17
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hlm. 154 155.

aparat penegak hukum sendiri membuka peluang terhadap cara yang dilakukan
para pihak. Sehingga dampak yang lebih luas adalah budaya hukum yang
terbentuk dimasyarakat tidak selaras dengan tujuan dan cita-cita hukum. Hukum
dijadikan bisnis bagi para pihak yang terlibat beserta aparat penegak hukum yang
didalamnya terdapat tawar-menawar perkara.
Sebagai contoh kecil rusaknya budaya hukum dimasyarakat yakni
penyelesaian terhadap pelanggaran lalu lintas yang dilakukan melalui proses
damai antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang melanggar. Proses
damai tersebut berisi tawar-menawar harga sebuah pelanggaran. Selain itu juga
usaha masyarakat untuk menghidar bila sudah berhadapan dengan permasalahan
hukum. Hal tersebut lebih disebabkan karena masyarakat tidak percaya terhadap
proses hukum di Indonesia.
Baik substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling
keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam
pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling
mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai. Begitu juga
dalam penegakan hukum ketiga unsur ini memegang peranan yang signifikan
untuk menciptakan penegakan hukum yang yang berorientasi pada keadilan
sebagaiman yang dicita-citakan oleh sebagian besar para pencari kebenaran via
pengadilan atau melalui lembaga penegakan hukum lainnya.
Beranjak dari fenomena-fenomena yang terjadi khususnya dalam
penegakan hukum, maka dapat diasumsikan bahwa penegakan hukum di
Indonesia saat ini belum berjalan secara efektif dan efisien. Hal ini karena
beberapa unsur yang telah disebutkan di atas belum menampakkan keselarasan
dalam mewujudkan tujuan yang paling mendasar dari penegakan hukum yaitu
untuk menciptakan keadilan yang dicita-citakan masyarakat. Kenyataan ini dapat
dibuktikan dengan banyaknya kasus besar seperti korupsi yang menjamur
menggerogoti negeri ini, namun para pelakunya sedikit sekali yang dijatuhi
hukuman dan sanksi yang tegas.
Bahkan yang lebih mencengangkan dan membuat ngilu hati masyarakat
ketika kasus besar tersebut dibandingkan dengan kasus yang menimpa rakyat kecil
yang begitu cepat diselesaikan dengan penjatuhan hukuman, terkadang
hukumannya pun jauh dari rasa keadilan. Akibatnya sudah pasti banyak
menimbulkan protes dan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Fenomena
semacam ini apabila terus berlanjut tentu akan mengakibatkan tingkat
kepercayaan masyarakat kepada hukum semakin luntur bahkan bisa hilang. Untuk
membendung kemungkinan tersebut, maka penegakan hukum harus dilakukan
dengan menjunjung tinggi rasa keadilan, bukan hanya keadilan berdasarkan
undang-undang (yuridis) semata tetapi juga dengan rasa keadilan yang dicita-
citakan masyarakat.

4. Penutup
Berdasarkan pemaparan mengenai penegakan hukum dalam kacamata legal
system di atas maka dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum di Indonesia harus
melihat pada 3 aspek sistem hukum (substansi, struktur dan kultur). Pertama,
Pembaharuan pada aspek substansi hukum dilakukan pada proses legislasi. Para
legislator hendaknya meminimalisir kepentingan-kepentingan yang bersifat politis
dalam proses legislasi. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang dibuat bisa
memberikan keadilan pada masyarakat. Kedua, pembaharuan pada aspek struktur
dilakukan dengan pembinaan-pembinaan pada lembaga hukum. Pembaharuan itu
dilakukan melalui pendidikan moral dan mental, penyejahteraan, ketelitian dalam
rekruitmen dan sebagainya. Dan yang ketiga, pembaharuan pada aspek kultur
dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat, baik melalui jalur pendidikan formal
maupun sosialisasi (penyuluhan) hukum yang dilakukan secara langsung kepada
masyarakat. Pembinaan pada aspek kultur ini juga bertujuan untuk membangun
kesadaran masyarakat dalam berhukum.
Ketiga aspek ini harus berjalan secara beriringan. Apabila salah satu
komponen ini tidak berjalan sebagaimana mestinya maka tujuan hukum (keadilan,
kemanfaatan dan kepastian) akan sulit untuk dicapai.









DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
Abdurrahman, Aneka Masalah dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia.
Bandung: Alumni, 1980, hlm. 1.
Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Cetakan
Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia, 2005
Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Fakrulloh, Zudan Arif, Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan
Keadilan, dalam Jurisprudence, Makalah, Vol. 2, No. 1, Maret 2005
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH. UI Press, 2004.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenada Media Group,
2009.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. Cetakan kelima. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2000.hlm. 19.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Rajawali Press, 1983.
Syaukani, Imam, A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2008
Warassih, Esmi, Pranata Hukum (Sebuah telaah Sosiologis). Cetakan Kedua.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,2010

Anda mungkin juga menyukai