Anda di halaman 1dari 3

Krisis Global Tak Bisa

Diharap Segera Teratasi



PERTEMUAN BILATERAL - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan pertemuan bilateral dengan Presiden Bank
Dunia Robert Zoelick, di Hotel Ritz Carlton, Washington, AS, Sabtu (15/11) waktu setempat, usai mengikuti KTT G-20.
Saat melakukan pertemuan dengan Robert Zoelick, Presiden didampingi Mensesneg Hatta Rajasa, Menlu Hassan Wirajuda,
dan Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga. (Rumgapres/Muchlis)
Senin, 17 Nopember 2008
JAKARTA (Suara Karya): Hasil pertemuan puncak negara-negara anggota Kelompok Dua
Puluh (G-20) di Washington tak bisa diharapkan segera menyelesaikan krisis keuangan
global. Pertama, karena berbagai kesepakatan yang tertoreh dalam pertemuan tersebut
masih membutuhkan pembahasan lebih mendalam untuk bisa menjadi langkah operasional
bersama.
Kedua, karena perbedaan kepentingan kelompok negara maju dan negara
berkembang telanjur tajam sehingga kerja sama antarnegara dalam mengatasi krisis
keuangan global sulit untuk bisa mulus.
Demikian rangkuman pendapat ekonom Pande Raja Silalahi dan Aviliani, serta
pengamat masalah keuangan Muslimin Anwar secara terpisah di Jakarta, kemarin,
menanggapi hasil pertemuan puncak G-20 di Washington yang berakhir Minggu WIB.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri yang mengikuti pertemuan
puncak itu menyatakan, krisis keuangan global belum akan berakhir hingga
beberapa tahun ke depan. Pertemuan G-20 kali ini, katanya, sekadar menyatukan
komitmen bersama untuk mengintegrasikan langkah-langkah penanganan krisis
keuangan global.
Berfokus pada pasar finansial dan ekonomi dunia, pertemuan puncak itu
menghasilkan sejumlah butir deklarasi. Antara lain G-20 sepakat meneruskan
berbagai upaya dan langkah nyata yang diperlukan untuk menstabilkan sistem
keuangan global. Untuk itu, G-20 menyetujui kebijakan yang diperluas dalam kerja
sama makro ekonomi guna memperbaiki pertumbuhan dan mendukung ekonomi
negara berkembang maupun negara maju.
G-20 beranggotakan negara maju dan negara berkembang. Pertemuan puncak G-20
di Washington merupakan yang pertama. Selama ini, forum G-20 hanya dihadiri
menteri keuangan dan gubernur bank sentral masing-masing anggota G-20.
Pertemuan puncak G-20 digelar kembali pada 30 April 2009, kemungkinan besar di
Inggris atau Jepang.
Presiden SBY mengakui, pertemuan puncak pemimpin negara-negara anggota G-20
di Washington belum akan menyelesaikan krisis keuangan global karena memang
dirancang bukan untuk itu. "Mungkin perlu satu atau dua pertemuan puncak untuk
bisa memikirkan semua dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi dunia saat ini,"
katanya.
Menurut Presiden, pertemuan itu hanya berupaya mencari jalan bersama dan
mengintegrasikan program mengatasi krisis keuangan di tiap negara. Dengan itu,
pertemuan G-20 kali ini memberikan kepastian mengenai langkah-langkah yang
perlu dilakukan.
"Komitmen para pemimpin dalam forum G-20 cukup kuat untuk bersama-sama
dikelola. Semua juga menyatakan kesanggupan untuk melakukan apa yang harus
dilakukan segera," kata Presiden. Atas dasar itu, dia menilai pertemuan puncak G-20
kali ini memiliki manfaat nyata menyangkut kerja sama global mengatasi krisis
keuangan.
Presiden mengusulkan agar dibentuk paket stimulus global untuk menjaga
pertumbuhan ekonomi dunia tidak terus merosot. "Stimulus itu tidak bisa diberikan
sendiri-sendiri karena kemampuan keuangan tiap negara saling berbeda. Perlu satu
global stimulus package untuk menjaga pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
Sementara itu, Pande Radja Silalahi mengatakan, secara umum hasil pertemuan
puncak G-20 di Washington masih dalam tataran wacana dan terlalu global. Masih
perlu spesifikasi dan langkah nyata yang bisa dilakukan tiap negara dalam waktu
dekat.
"Jadi, tidak banyak yang bisa dicapai karena (hasil pertemuan G-20) baru masuk
tahap melihat masalah," kata Pande. Menurut dia, kesepakatan G-20 seharusnya
implementatif dan tidak berbentuk pernyataan global sehingga tidak memerlukan
waktu dan pembahasan lagi untuk menentukan arah penanganan krisis keuangan
global. Misalnya soal kucuran bantuan dana ke negara berkembang, seharusnya itu
tak dibatasi.
Pande menjelaskan, kesepakatan menyangkut kerangka kerja sama dalam rangka
merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara juga masih banyak kendala.
Terutama terkait dana yang dibutuhkan masing-masing negara.
"Karena itu, Indonesia jangan terlalu berharap terhadap hasil pertemuan puncak G-
20 ini, untuk jangka pendek maupun jangka panjang, karena masih terdapat
perbedaan pandang antara Eropa dan AS yang mesti dicarikan titik temu," tutur
Pande.
Begitu juga mengenai upaya mewujudkan kerja sama untuk melindungi pasar dan
pembangunan di negara-negara berkembang. Ini sulit bisa mulus terlaksana karena
terkendala kepentingan negara maju yang memang masih terlampau kuat. "Jangan-
jangan negara maju hanya mau melakukan intervensi terhadap negara berkembang.
Seharusnya biarkan negara berkembang maju dengan cara dan strategi masing-
masing," ucap Pande.
Sementara itu, Aviliani mengatakan, setiap negara perlu melakukan pengawasan
terhadap produk-produk derivatif agar krisis keuangan seperti sekarang bisa
dihindari.
Selain itu, lembaga peringkat efek internasional juga harus diawasi karena mereka
tidak adil. "Misalnya produk-produk keuangan dari AS diberi peringkat A, tapi kita
hanya diberi peringkat B plus," katanya.
Bagi Aviliani, penanganan krisis keuangan global menuntut reformasi di tubuh Dana
Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, terutama menyangkut kepemilikan AS
di kedua lembaga keuangan dunia tersebut. "AS tisak boleh terus mendominasi,"
katanya. Untuk itu, dia berpendapat, negara-negara lain perlu aktif mereformasi IMF
dan Bank Dunia ini. China dan Jepang, misalnya, harus diberi ruang untuk lebih
berperan di IMF maupun Bank Dunia.
Sedangkan Muslimin Anwar menilai, IMF terkesan tidak tergerak untuk mengatasi
krisis keuangan global sekarang ini. IMF, katanya, seolah tutup mata bahwa negara-
negara maju perlu digiring meneken dan melaksanakan program pemulihan dalam
bentuk letter of intent (LoI). "IMF hanya pandai memaksa negara-negara
berkembang," katanya.
Sementara itu, Presiden AS George W Bush mengkhawatirkan beberapa negara
memproteksi perekonomian masing-masing dalam rangka mengatasi dampak krisis
keuangan. Dia mengingatkan, kenyataan tersebut membahayakan.
Menurut Bush, krisis keuangan memang belum akan berakhir sehingga masih perlu
banyak kebijakan bersama. Bush mengaku senang atas beberapa kebijakan yang
telah dikeluarkan dunia untuk mengatasi krisis keuangan global. "Saya gembira atas
kemajuan pembicaraan untuk memastikan krisis keuangan ini tidak terjadi lagi,"
katanya.
Bush juga menyatakan gembira karena pemimpin banyak negara menegaskan lagi
dukungan terhadap prinsip pasar terbuka dan perdagangan bebas.
Forum pertemuan puncak G-20 sendiri sepakat meneruskan berbagai upaya dan
langkah nyata yang diperlukan untuk menstabilkan sistem keuangan global. Para
pemimpin ke-20 negara anggota menyetujui kebijakan yang diperluas dalam kerja
sama makro ekonomi guna memperbaiki pertumbuhan dan mendukung ekonomi
negara berkembang maupun negara maju.
Kesepakatan lain, semua anggota G-20 secara bersama mengenali pentingnya
dukungan kebijakan moneter yang dianggap cocok untuk kondisi domestik,
menggunakan sisi fiskal untuk merangsang permintaan domestik untuk
mempercepat efek, membantu negara ekonomi maju dan berkembang mendapatkan
akses keuangan dalam kondisi likuiditas yang sulit ini.
Selain itu mendorong Bank Dunia dan lembaga keuangan multilateral lainnya untuk
menggunakan kapasitas keuangan mereka secara penuh dan mendukung
dikeluarkannya berbagai fasilitas baru dari Bank Dunia.
G-20 juga memastikan kembali bahwa IMF, Bank Dunia dan lembaga keuangan
lainnya yang memiliki sumber dana yang cukup untuk melanjutkan perannya dalam
upaya menangani krisis. (AP/Kentos/Agus/Indra)

Anda mungkin juga menyukai