Anda di halaman 1dari 7

Artikel terapi kanker tulang.

Kanker Tulang
Tak Perlu Amputasi, Bisa Direhabilitasi
Benjolan pada seseorang tidak selalu berkonotasi jelek. Bagi wanita, "benjolan di
bagian dada" boleh jadi bisa menambah seksi, tetapi jika benjolan itu terdapat
pada bagian tubuh yang tak semestinya, tentu harus diwaspadai, jangan-jangan
itu merupakan pertanda awal terjadinya kanker tulang. Benarkah kanker tulang
kini bisa direhabilitasi, tak perlu amputasi?
KANKER tulang, menurut para ahli, belum diketahui penyebabnya. Itulah
sebabnya mengapa penderita harus menjalani amputasi alias dipotong bagian
tubuh yang terkena kanker itu.
Bersyukurlah kita sekarang ini, kemajuan teknologi di bidang kedokteran telah
mampu memberi harapan-harapan baru bagi penderita kanker tulang. Istilah
rehabilitasi, mungkin bisa lebih pas untuk mereka yang menjalani pengobatan
kanker tulang saat ini, dimana dokter akan melakukan penggantian tulang yang
rusak dengan tulang yang baru, dengan cara penyemenan. Cara terakhir ini
praktis bukan tanpa kendala. Sulitnya memperoleh tulang pada orang yang
sudah mati adalah salah satunya. Selain itu, istilah donor tulang pun mungkin
belum terlalu populer di telinga banyak orang. Untuk mengetahui liku-liku
kanker jenis yang satu ini, berikut petikan wawancara penulis dengan Dr
Nicolaas Budhiparama, FICS, ahli Bedah Tulang di RS Kanker Dharmais, Jakarta;
Dapat Anda jelaskan perihal kanker tulang?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa antara tumor dan kanker sama saja artinya.
Ada tiga macam tumor tulang yaitu yang bersifat lunak, ganas dan yang memiliki
lesi di tulang (berlubangnya struktur karena jaringan akibat cedera atau
penyakit). Selain itu ada yang bersifat primer dan skunder. Pada tumor tulang
skunder misalnya, seseorang terkena tumor payudara, kemudian menjalar ke
tulang dan selanjutnya menggerogoti tulang tersebut. Kanker tulang ini
merupakan kelompok tumor tulang yang ganas.
Tingkat bahayanya?
Kanker paling sulit ditangani. Sebagai perbandingan, pada kanker jenis lain,
sebut saja kanker payudara yang memiliki banyak jenis, patologinya mudah
diketahui, sehingga tidak sulit ditangani. Berbeda dengan kanker tulang yang
jenisnya banyak pula, tetapi penangannannya berbeda-beda. Karena terlalu
banyaknya, tak heran terjadi salah diagnosa, akibatnya praktis akan salah pula
pengobatannya.
Bedanya dengan "osteoporotis"?
Jelas berbeda, osteoporotis penyakit yang ditandai dengan adanya kerapuhan di
tulang, desebabkan kekurangan kalsium. Osteoporotis biasanya terjadi pada
orang-orang lanjut usia, sedangkan kanker tulang penyebabnya hingga sekarang
belum diketahui. Celakanya, bisa menyerang semua usia. Karena belum
diketahui penyebabnya, maka sulit kita mencegah. Yang bisa dilakukan sekarang
ini hanyalah mengobati, mengganti dan mengamputasi bagian yang terkena
tumor yang tidak bisa diselamatkan.
Prevalensinya di Indonesia?
Belum diketahui secara pasti. Di negeri ini belum ada pusat data mengenai
kanker tulang secara menyeluruh. Yang bisa saya katakan sekarang, ada rumah
sakit yang baru mengumpulkan jumlah penderitanya, tetapi mereka berdiri
sendiri-sendiri, sehingga jumlah keseluruhan di masyarakat tidak diketahui
pasti. Memang ada rencana RS Kanker Dharmais dengan RS Cipto
Mangunkusumo mendirikan pusat data ini. Kalau ini terwujud nanti pasti
prevalansinya diketahui.
Dapat Anda jelaskan gejala awal penyakit ini?
Ini yang penting diketahui. Untuk gejala tumor tulang jinak, biasanya penderita
tidak merasakan sakit sama sekali. Misalnya sedang bermain sepakbola terjatuh,
kemudian setelah difoto rontgen ternyata terdapat tumor jinak. Sementara
tumor ganas mulanya mulanya kecil disertai benjolan. Benjolan itu bisa besar,
bisa juga kecil. Keadaan ini diikuti rasa sakit dan berwarna merah. Kalau
benjolan tadi diurut, sumber tumor tadi akan pecah, akibatnya bisa menyebar ke
bagian lain. Kebiasaan diurut lazim terjadi di masyarakat kita. Padahal ini sangat
riskan, sebab bisa saja tumor tersebut menjadi tidak terlokalisir.
Kalau demikian, mengurut itu berbahaya bagi mereka yang keseleo atau yang
habis terjatuh?
Penyakit timbul bukan karena terjatuhnya yang bersangkutan, melainkan
sebelumnya penderita memang sudah memiliki tumor terlebih dahulu. Kalau
dalam kondisi seperti ini dilakukan pengurutan bisa berakibat tumor tadi pecah
dan menyebar. Dalam keadaan demikian sudah barang tentu harus ditanggulangi
melalui mengganti tulang. Sementara yang rusak diamputasi. Saya tidak
mengatakan dukun urut itu jelek, namun saya lebih menganjurkan si penderita
difoto rontgen dahulu, hingga diketahui jelas, tumor atau bukan. Bagi yang tidak
terdapat tumor dan percaya akan dukun silahkan saja diurut. Sedangkan bagi
yang terdapat tumor, maka tindakan mengurut itu sangat berbahaya.
Tumor seperti itu senangnya di bagian apa?
Biasanya, bisa terdapat di dalam dan di luar tulang. Untuk diketahui, kanker
tulang tidak ada kaitannya dengan makanan. Ada orang menduga akibat
radioaktif yang terdapat di lingkungan masyarakat. Tetapi memang belum
diketahui secara pasti apa penyebabnya.
Mereka yang berisiko tinggi?
Ini terjadi, tergantung dari jenis tumornya. Kalau jenisnya osteosarcoma
misalnya, lebih banyak terjadi pada usia muda (belasan tahun). Sedangkan
kelompok condrosarcoma terjadi pada usia di atas 50 tahun. Yang jelas bisa
mengenai semua kelompok umur.
Pilihan lain selain amputasi?
Hampir setiap kanker tulang ganas dengan segala kondisi apapun, dahulu selalu
dilakukan amputasi untuk menghindari kematian. Sekarang dengan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan cara lain yang lebih
"terhormat". Si penderita yang terkena kanker sebelum diganti tulangnya
terlebih dahulu dimatikan kankernya dengan pengobatan. Kalau masih bisa
ditambal, ya disemen. Atau juga menggunakan metode teknik baru limb salvage,
dimana tulang yang terkena tumor ganas disambung dengan bekas kaki pasien
lain yang baru saja meninggal dunia. Sesuai dengan perkembangan, teknik terapi
baru ini telah dikembangkan di hampir semua pusat penyembuhan kanker di
seluruh dunia. Angka keberhasilannya meningkat 80%. Di Indonesia juga mulai
diterapkan. Pasien terlebih dahulu menjalani kemoterapi, setelah itu baru tumor
ganasnya diangkat. Bila tulang yang bersangkutan perlu diganti, maka diganti.
Tentu saja kerjasama dalam pelaksanaan metode ini menuntut keterampilan
tersendiri.
Namun cara itu membutuhkan biaya tinggi?
Biaya mahal tak begitu problem. Yang menjadi masalah adalah soal donor tulang.
Seperti halnya dengan donor mata, hanya berapa persen pendonornya berasal
dari dalam negeri. Sedangkan sebagian besar pendonor datang dari Srilanka.
Begitu juga dengan pendonor tulang. Berbeda dengan di luar negeri. Di negeri
Belanda misalnya, banyak orang yang mendonorkan tulangnya. Mayatnya
dibedah, diambil tulangnya dan diganti dengan kayu. Oleh sebab itu di Belanda,
soal pengadaan tulang tak menjdi masalah.
* A. Wahab
(http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2002/4/21/i2.html)

Komentar Delyuzar di Analisa tentang Osteosarcoma

Oleh: Adelina Savitri Lubis
ENAM belas bulan lamanya Ester Jesicha (13) menahan sakit atas
penyakit kanker tulang ganas (Osteosarkoma) yang menyerang kaki kirinya.
Meski sudah berulangkali berobat, namun benjolan pada kaki kirinya tak
kunjung sembuh. Malah semakin membesar dan membesar.
Awalnya benjolan hanya sebesar guli. Lambat laun bertambah besar, hingga
sebesar bola basket. Anak pertama dari pasangan suami isteri, Disel Sibuea (44)
dan Renti Simorangkir (38), warga Jalan CJT Salib Kasih, Kecamatan Siatas
Barita, Tapanuli Utara (Taput) ini pun, terpaksa berhenti dari sekolah tatkala
indahnya masa remaja mulai bersemi.
Jesicha sangat ingin sembuh. Apa daya, orangtuanya tak memiliki biaya untuk
perobatannya. Ayah Jesicha bekerja sebagai petani, sedangkan ibunya berkerja
sebagai penenun ulos. Upah yang mereka terima hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan dapur sehari-hari. Jesicha pasrah.
"Mungkin ini sudah kehendak Tuhan," katanya. Suatu waktu, Parlin Pakpahan,
warga Malang, Jawa Timur, mendatangi kediaman Jesicha. Melalui jejaring sosial,
Facebook, Parlin menggalang Dana Gotong Royong Kemanusiaan untuk
kesembuhan Jesicha. Melewati proses yang sulit, Parlin atas dukungan para
Facebooker pun berhasil membawa dara yang akrab disapa Jessi ini, menjalani
perobatan di Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Haji Adam Malik Medan
pada 4 Juni 2010. Ini bukanlah kunjungan pertama Jessi ke rumah sakit milik
Pemerintah tersebut. Sebelumnya pada April 2009, Jessi sudah pernah menjalani
perobatan di RSUPH Adam Malik Medan, berdasarkan rujukan dari Rumah Sakit
Umum (RSU) Swadana Tarutung. Sayang, saat itu orang tua Jessi tidak
memahami pentingnya penanganan medis terhadap penyakit yang diderita Jessi.
Akirnya Jessi pun dibawa pulang kembali ke rumahnya.
Setelah menjalani opname selama dua minggu di RSUPH Adam Malik Medan,
atas pemeriksaan keadaan penyakit Jessi, sulung dari lima bersaudara ini
kemudian menjalani operasi amputasi pada kaki kirinya olehTim Bedah
Orthopedi RSUPH Adam Malik Medan, 16 Juni 2010. Penyakit yang diderita Jessi
pun, sudah menyebar, hingga ke paru-parunya. Tim Bedah Orthopedi RSUPH
Adam Malik Medan terpaksa mengambil tindakan mengamputasi, hingga ke
pangkal paha Jessi. Operasi berlangsung selama dua jam, dimulai pada pukul
14.30 WIB - pukul 16.30 WIB. Pada pukul 19.30 WIB, Jessi masuk ke ruang ICU.
Saat bertemu dengan ibunya, Jessi terus mengerang kesakitan.
"Sakit sekali Ma, tolong ambilkan minuman, haus kali kurasakan saat ini,"
erangnya. Tepat pada pukul 23.00 WIB, Jessi pun masuk ke ruang inap Rindu B
kamar 23. Sementara itu, Disel, ayah Jessi pada pukul 21.00 WIB kembali pulang
ke Siatas Barita membawa potongan kaki milik Jessi untuk dikuburkan di
halaman rumah mereka.
Kini dara berkulit putih ini, sedang menjalani perawatan luka pascatindakan
operasi. Tak banyak kalimat yang keluar dari bibir mungil Jessi, kala Analisa
menemuinya di ruangan Rindu B kamar nomor 23 RSUPH Adam Malik Medan.
Jessi lebih sering mengangguk dan menjawab sekenanya. Remaja ini malah
terlihat asyik dengan boneka Teddy Bear, pemberian salah satu Facebooker yang
menyambanginya beberapa pekan lalu. Tangannya asyik mengelus boneka
beruang berpita merah itu.
Jessi tampak bahagia. Jari-jemari kaki kanan Jessi samar-samar terlihat
bergoyang dari balik selimut yang menutupi tubuhnya. Sebelumnya hari
pertama pascaoperasi, Jessi belum bisa melihat bekas amputasi pada kaki
kirinya. Saat ini Jessi sudah bisa menunjukkan bekas luka operasinya. Jika
sebelumnya, dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dalam posisi duduk. Kini, Jessi
sudah mulai melatih diri untuk menggerakkan tubuh. Jessi bilang, kalau luka
bekas operasi sudah benar-benar kering, dia berkeinginan untuk kembali ke
bangku sekolah.
"Kalau sudah sembuh, aku akan sekolah lagi," ucap remaja yang bercita-cita ingin
menjadi bidan ini, polos.
Selanjutnya, dalam masa penyembuhan bekas luka operasi, Jessi pun harus
menjalani serangkaian perawatan demi kesembuhannya. Sebut saja, melakukan
penyinaran terhadap luka bekas operasi di Ruang Instalasi Chemo Theraphy
RSUPH Adam Malik Medan. Sekaligus juga dilakukan Fisio Theraphy, dimana
Jessi mulai dilatih menggerakkan pangkal paha kirinya yang tersisa. Termasuk
juga, Jessi dilatih membalikkan badannya ke kiri dan ke kanan. Proses
penyinaran dan Fisio Theraphy ini berlangsung selama satu jam.
Tak Bisa Tidur Menahan Rasa Sakit
Renti Simorangkir, ibu Jessi, mengaku tidak menyangka kalau benjolan pada
lutut kaki kiri Jessi kian membesar. Benjolan itu muncul tepat pada bekas luka
saat Jessi pernah terjatuh. Renti masih ingat, saat itu Jessi masih berusia 10
tahun. Dia terjatuh saat sedang asyik bermain dengan kawan-kawannya. Sebagai
pertolongan pertama, Renti pun mengobati luka Jessi dengan memberikan obat
salep. Beberapa hari kemudian luka itu pun sembuh. Pada Februari 2009, Jessi
mengalami demam. Renti juga melihat anaknya ini berjalan tertatih-tatih, Jessi
seperti menahan sakit. Rupanya saat dilihat oleh Renti, terdapat benjolan
sebesar guli pada bekas luka terjatuh itu.
Saat itu perempuan berambut ikal ini membawa Jessi ke pengobatan tukang
pijat, namun dikatakan tukang pijat, kalau engsel lutut Jessi lari. Renti bersama
suaminya pun lantas melarikan Jessi ke RSU Swadana Tarutung. Jessi sendiri
mengaku sebenarnya sudah lama merasakan sakit pada kakinya itu. Hanya saja
ditahan dan dibiar-biarkan Jessi saja. Dipikirnya, saat itu, yang penting dia masih
bisa berjalan.
Setidaknya selama Jessi dirawat di RSUPH Adam Malik Medan, anaknya ini sudah
menjalani transfusi darah sebanyak 8 kantong. Tiga kantong darah kembali
ditransfusikan kepada Jessi pascaoperasi yang dijalaninya. Hal ini dilakukan
karena Haemoglobin (HB) di tubuh Jessi menunjukkan penurunan, dari HB 10,50
menjadi HB 7. Pasca operasi, Jessi pun harus mengalami proses adaptasi rasa
sakit pada luka bekas operasi.
"Jessi tak pernah bisa tidur di malam hari, akibat rasa sakit yang dialaminya. Dia
pun terus-terusan menangis," ujar Renti. Malah asupan obat yang diberikan
kepada Jessi pun sekarang diganti, yang tadinya obat suntik sekarang berganti
menjadi obat pil. "Dokter bilang, obat suntik dapat membahayakan Jessi karena
mengandung zat morphin," sahutnya.
Diungkapkan Renti juga, hingga saat ini dia dan suaminya sedang menunggu
hasil laboratorium (lab) RSUPH Adam Malik Medan terkait penyakit anaknya ini.
Kabar terakhir yang diterima Renti dari pihak rumah sakit, hasil pemeriksaan di
laboratorium akan keluar pada Jumat (25/6). Dalam hal ini, pihak rumah sakit
akan memutuskan penanganan yang tepat untuk tahapan penyembuhan Jessi.
Apakah akan dilakukan kemoterapi atau ada cara lain selain upaya itu. Selain itu,
dalam masa perawatan dan penyembuhan bekas luka operasi, seperti yang
diungkapkan Renti, pihak rumah sakit berharap perawatan Jessi pascaoperasi ini
juga didukung dengan terapi makanan dan asupan gizi demi kemajuan
kesembuhan luka operasi yang dialami Jessi. Jadi tidak sekadar berharap pada
kekuatan obat dan makanan di rumah sakit semata. Karena itu, Renti pun kerap
memberikan asupan susu berkalsium tinggi ditambah dengan asupan buah-
buahan. Apalagi sejak menderita sakit pada Februari 2009 lalu, berat badan Jessi
semakin kurus. Saat ini saja, berat badannya hanya 35 kilogram.
Diakui Renti, terkadang terbersit bagaimana nasib masa depan puteri sulungnya
itu. Saat ini, dia dan suaminya hanya mengharapkan total, kesembuhan Jessi.
Renti juga sangat mengharapkan dukungan dari masyarakat terhadap Jessi.
Apalagi sebagai anak pertama, Jessi merupakan panutan dari keempat adiknya,
yakni, Monasari Aprilia (11), anak kedua, baru tamat SD, Puteri Rey Monica (9),
anak ketiga, kelas 4 SD, Sriwiarni Cinta Marito (7), anak keempat, kelas I SD, dan
Joshua (1 tahun 6 bulan), anak kelima, belum sekolah. "Adik-adiknya sudah
rindu pada kakak mereka," ucap Renti tersenyum.
Kepala Sub Bagian Humas RSUPH Adam Malik Medan, Sairi M Saragih, DCN,
Mkes mengutarakan, masa pemulihan atas kesembuhan Jesicha menunjukkan
perkembangan yang membaik. Meskipun belum bisa dipastikan sampai berapa
lama Jessi dirawat di RSUPH Adam Malik Medan pasca operasi yang dijalani.
Setidaknya kadar HB Jessi meningkat, dari dua menjadi 10,50.
Waspadai Benjolan dan Luka
Terlepas dari itu, Osteosarkoma, merupakan penyakit kuno yang sulit dipahami.
Istilah Sarcoma diperkenalkan oleh ahli bedah Inggris, John Abernathy pada
1804 dan ini berasal dari akar Yunani yang berarti gemuk atau pembesaran.
Pada 1805, Ahli Bedah Perancis, Alexis Boyer; Ahli Bedah pribadi untuk
Napoleon yang pertama kali menggunakan istilah Osteosarcoma. Dr. H. Delyuzar
Sp. PA (K), Spesialis Patologi Anatomik Konsultan Urogenital mengungkapkan,
tumor pada tulang itu ada yang bersifat jinak dan ganas. Osteoma misalnya, ini
merupakan jenis kanker tulang yang bersifat jinak. Sedangkan Osteosarkoma
merupakan jenis kanker tulang yang bersifat ganas. Selain itu, ungkapnya, ada
juga Condrosarkoma, jenis kanker tulang yang menyerang tulang rawan. Khusus
untuk Osteosakroma, dijelaskan Delyuzar, secara umum menyerang usia muda
yakni, mulai usia 10-25 tahun. Dalam beberapa kasus ada juga yang dijumpai
penderita Osteosarkoma berusia 60 tahun.
Pada penderita anak-anak, dikatakan Delyuzar, dalam kasus kebanyakan
disebabkan oleh faktor genetic (keturunan). Meskipun sampai sekarang belum
juga bisa diketahui kepastiannya.
"Selain itu, anak-anak yang memiliki bawaan menderita penyakit kanker mata
(Retinablaskoma) juga cenderung meningkatkan insiden pada Osteosarkoma,"
katanya. Diakui Delyuzar, pada Osteosarkoma memang ada kelainan gen yang
disebut di kromosom 13. Kelainan inilah yang menjadi penyakit Osteosakroma.
Sampai saat ini, ada beberapa faktor lain yang diidentifikasi dapat menyebabkan
kelainan-kelainan Osteosakroma. Sebut saja, seperti radiasi yang dilakukan saat
seseorang menjalani keadaan rontgen atau adanya paparan zat-zat radioaktif
yang lain.
Melihat gejala penyakit ini memang bermacam-macam. Salah satunya adalah
tumbuh benjolan pada tulang dengan rasa sakit atau tanpa rasa sakit.
"Benjolan ini tumbuh sangat cepat dan mudah sekali untuk menjalar melalui
aliran darah. Pada banyak kasus, biasanya tumor ini akan metathasis
(menyebar) ke beberapa tempat dan paling banyak menyebar ke paru-paru,"
jelas Delyuzar.
Terkait pengobatan yang dilakukan terhadap penderita Osteosarkoma, hingga
saat ini diungkapkan Delyuzar dengan melakukan amputasi. Selain itu, dapat
juga dilakukan pemberian kemoterapi. Menurut Delyzar khusus pada penderita
anak-anak, dalam waktu lima tahun, bila dilakukan tindakan yang cepat,
kemungkinan hidup bisa mencapai 80 persen. Seringkali dalam banyak kasus,
penanganan terhadap pasien Osteosarkoma ini, sering terlambat.
Ditegaskan Delyuzar, Osteosarkoma merupakan tumor sangat agresif. Selain
mengalir melalui aliran darah, Osteosarkoma juga bisa metathesis melalui
pembuluh limfa.
"Kalau di Patologi sendiri memiliki tingkatan-tingkatannya, disebut grade 1-4.
Kalau pada grade satu, kemungkinan hidup penderita bisa lebih lama, sedangkan
bila menunjukkan grade empat, kemungkinan hidup penderita semakin kecil,"
jelasnya. Karena itu, Delyuzar menghimbau masyarakat agar tidak
menyepelekan tumbuhnya benjolan pada kaki. Sebagai contoh kasus, dia
mengumpamakan bila anak terjatuh saat bermain bola, lalu terjadi luka patah
pada kaki. Diharapkan untuk segera memeriksakan ke dokter.
Perlu diketahui sambungnya, luka patah yang terjadi pada kaki bukanlah
semata-mata disebabkan akibat terjatuh karena main bola. Karena sudah ada
tumor di dalam tulang, sehingga memudahkan terjadinya patah tersebut.
Sederhananya, tumor itu memang sudah ada di dalam tulang, lalu jatuh saat
bermain bola, hanya merupakan pemicu sehingga tumor itu baru dapat
diketahui.
"Karena salah satu tanda dari pada kanker tulang disebut faktur pathologis, jadi
ada tulang yang seharusnya tidak patah, namun karena sudah lemah diakibatkan
Osteosarkoma, tulang pun menjadi patah," bilang Delyuzar.
Selain itu masyarakat juga diharapkan dapat mewaspadai luka. Menurut
Delyuzar, luka tidak hanya terdapat pada kanker tulang, tapi ada jenis luka yang
tak sembuh-sembuh. Misalnya pada kanker kulit, kanker pada otot. Atau ada
luka yang jenisnya berbentuk tahi lalat. Singkatnya, benjolan mau pun luka yang
tak sembuh-sembuh, harus diwaspadai keganasannya. Beberapa kasus
menunjukkan, bila penderita Osteosarkoma cepat diamputasi dan segera
mengasup obat kanker, penderita dapat diselamatkan.
Banyak penderita Osteosarkoma yang mengulur waktu dan menahan lama
tindakan amputasi. Ya, pilihan amputasi bukanlah hal yang mudah. Apalagi
penderitanya harus menanggung resiko cacat pasca amputasi. Padahal, secara
medis dijelaskan Delyuzar, apabila tindakan amputasi tidak dilakukan secara
cepat, kanker dapat menyebar ke paru-paru, dan kemungkinan besar tak bisa
ditolong lagi. Sebagai alternatifnya, pasca operasi dapat dilakukan kemoterapi.
"Kepada masyarakat setiap ada pembesaran benjolan baik sakit atau tidak sakit
sebaiknya diwaspadai. Rasa sakit yang muncul bisa saja karena terjadinya
infeksi. Harus dipahami juga, infeksi tulang juga mirip dengan kanker tulang,
namun kalau infeksi tulang lebih menonjol rasa sakitnya. Sedangkan kanker
tulang lebih sering tidak terasa sakit. Justru ini yang berbahaya kan," ujar
Delyuzar.
Menurut Delyuzar, saat ini masyarakat tidak perlu harus menunggu lama untuk
mendapatkan kepastian penyakit Osteosarkoma. Kalau dulu harus melakukan
operasi, diambil tulangnya lalu menunggu seminggu untuk dapat mengetahui
penyakit ini. Sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi medis yang
semakin canggih, menurut Delyuzar, penderita tinggal dibawa ke tempat
praktek, kemudian dilakukan Aspirasi Biopsy. Pada saat pasien menunggu
sebentar, hasilnya pun sudah dapat diketahui. "Saat ini sudah sangat maju
diagnostic untuk mengetahui Osteosarkoma," tandasnya.(Dari Analisa Minggu
tanggal 27 Juni 2010)
(http://ihcdelyuzar.blogspot.com/2010/06/komentar-delyuzar-di-analisa-
tentang.html)

Anda mungkin juga menyukai