Anda di halaman 1dari 50

Artikel Seputar Ramadhan

Penentuan Hilal awal bulan Ramadhan dan Syawal


Senin, 06 Oktober 2003 - 00:20:18 :: kategori Fiqh
Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif
.: :.
1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri
Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara :
1. Ru'yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru'yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya'ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya
(hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah
Sya'ban tiga puluh hari." (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma :
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Janganlah kalian
mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali
seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah
kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal)
terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian
berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari." (HR. Abu Dawud
2327, An-Nasa'I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di
Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari `Adi bin Hatim radhiallahu `anhu :
Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila datang
bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian
melihat hilal." (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad
4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda :
"Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.
Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua
orang saksi mempersaksikan (ru'yah hilal) maka berpuasalah dan
berbukalah kalian karenanya." (HR. An-Nasa'I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-
Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari
sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan
Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum
Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah
bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain
Radliallahu `anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat
mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa'ul Ghalil hadits ke 109.
Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa
dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang
persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang
keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil,
sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja
saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar
radhiallahu `anhuma ketika beliau berkata :
"Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan
kepada Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka
beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa." (HR. Abu
Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-
Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu
Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari'atkan dalam agama ini cukup melihat
bulan dengan mata telanjang.
2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan
ilmu astronomi tidak disyari'atkan dalam agama ini (bid'ah),
perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita
mempersulit diri.
2. Perbedaan Mathla' (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui
masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru'yah hilal, bukan
dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan
hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara
mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits
Ibnu Abbas radhiallahu `anhum yang berbunyi :
"Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada
Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : "Aku sampai di Syam kemudian aku
memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan
aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum'at.
Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas
bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : `kapan
kamu melihat Hilal?' Akupun menjawab : `Aku melihatnya pada malam
Jum'at. Beliau bertanya lagi : `Engkau melihatnya pada malam
Jum'at ?' Aku menjawab :'Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun
berpuasa, begitu pula Muawiyyah.' Dia berkata : `Kami melihatnya pada
malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau
kami melihatnya (hilal).'Aku bertanya : `Tidakkah cukup bagimu ruyah
dan puasa Muawiyyah ?' Beliau menjawab : `Tidak! Begitulah Rasulullah
memerintahkan kami.'" (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud
1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)
Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama
berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari
Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : "Para Ulama berbeda pendapat
tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap negeri mempunyai ru'yah atau mathla'. Dalilnya dengan hadits
Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir
menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-
Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak
menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa
pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi'i.
Pendapat Kedua :
Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus
mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah.
Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma' telah menyelisihinya.
Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru'yah tidak sama
pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia)
dan Andalus (negeri Spanyol).
Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa
apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan
kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu
mengharuskan mereka semua berpuasa...
Sebagian pengikut madzhab Syafi'i berpendapat bahwa apabila negeri-
negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok
ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi'i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla'. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan
dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi
dan dibenarkan oleh Ar-Rafi'i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam
Syarhul Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : "Keharusan ru'yah bagi setiap negeri yang
tidak samar atas mereka hilal."
5. Pendapat Ibnul Majisyun : "Tidak harus berpuasa karena persaksian
orang lain..." berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri
bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak
berpuasa dengan beritanya.
Imam Syaukani menambahkan : "Tidak harus sama jika berbeda dua arah,
yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat
hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim.
Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan
Hadawiyah."
Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan
dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal
(berpuasa) dengan ru'yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir
hadits : "Demikian Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam menyuruh
kami." Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma menghapal dari Rasulullah
Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus
beramal dengan ru'yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla'
(tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu
negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena
sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam ,"Puasalah kalian
karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya." Ucapan ini
umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka
melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru'yah itu berlaku bagi
mereka semuanya." (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan'ani rahimahullah berkata, "Makna dari ucapan "karena
melihatnya" yaitu apabila ru'yah didapati diantara kalian. Hal ini
menunjukkan bahwa ru'yah pada suatu negeri adalah ru'yah bagi semua
penduduk negeri dan hukumnya wajib." (Subulus Salam 2/310)
Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan
bahwasanya ru'yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri
dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa berkata : "Orang-
orang yang menyatakan bahwa ru'yah tidak digunakan bagi semuanya
(negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i,
diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada
yang membatasi dengan perbedaan mathla' seperti Hijaz dengan Syam,
Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha'if) karena jarak qashar
shalat tidak berkaitan dengan hilal....
Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya'ban di suatu
tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau
menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak
(berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau
banyak iklim." (Majmu' Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : "Apabila penduduk suatu negeri melihat
hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi
pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa,
yaitu "karena melihat hilal dan berbuka karena hilal" (Hadits Abu
Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua
ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja
tempatnya, jadilah ru'yah itu untuk semuanya ..." (Ar-Raudhah An-
Nadiyah 1/146).
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari
ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru'yah
bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-
tandanya mengatakan : "... Saya demi Allah- tidak mengetahui apa
yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang
syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih
dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan
sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama
muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As-
Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah
An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar.
Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits
Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani
rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah
bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan
ru'yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan
Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya.
Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya
bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat
hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua
hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap
pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru'yah
hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa
75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397)
3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru'yah
sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa
sendiri atau bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci
oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber'iedul fithri secara sembunyi-sembunyi.
Inilah madzhab Syafi'i.
Pendapat Kedua :
Dia harus berpuasa tetapi tidak ber'iedul fithri kecuali ketika
bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia berpuasa dan ber'iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat
yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa
Sallam (artinya) : "Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan
berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak
berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi
2/37 dan beliau berkata "hadits gharib hasan". Syaikh Al-Albani
berkata : "Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat
Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu diatas, para
ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah
membawakan hadits ini : "Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan
hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia."
Imam As-Shan'ani berkata : "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa
hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied
dengan ru'yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan
mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri
dan Iedul Adha." (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : "Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat
bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui
terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa
dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan
(makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang
apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya,
maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa."
(Tahdzibus Sunan 3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada
riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : "Yang jelas
maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan,
tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan
kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal
sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui
dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu."
Syaikh Al-Albani menegaskan : "Makna inilah yang terambil dari hadits
tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq
melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari
nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya
tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama'ah. Aisyah
berkata : "Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul
Fithri adalah hari manusia berbuka." (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah
1/443-444)
Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada
orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa
karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' fatawa 25/117.
Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal
dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau
membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari
alasan-alasan yang tidak syar'i, maka bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : "Apa yang
sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada
orang yang diikuti dalam ru'yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid
yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila
hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat
bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi
Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka
(para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi
kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa
atas mereka." Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka
bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas."
(Majmu' Fatawa, 25/206)
Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada
saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke
30 dari bulan Sya'ban ?
Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam
menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
"Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa
pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan
membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil
dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu `anhuma yang ada dalam Shahihain
bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila kalian
melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal
Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-
kirakanlah." Dengan persempit bulan Sya'ban menjadi 29 hari.
Sedangkan Imam Malik, Syafi'I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak
disyari'atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah
waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan
hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : "Barang siapa
berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat
kepada Abul Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam ." Pendapat inilah
pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad
menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa,
maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul
ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : "Tidak berpuasa (pada saat
itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa
berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan
puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah
melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya
berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang
disunnahkan adalah meninggalkannya . Kalau dikatakan boleh dua
perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama."
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : "Aku tidak
mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan
memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan
kepadanya."
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih
larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : "Tidak diragukan lagi bahwa para
peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat
tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan."
Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang
puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya
hadits Ammar : "Tidak boleh puasa pada waktu ragu." At-Tirmidzi
mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan
shahabat dan tabi'in beramal."
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan
Sya'ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan
selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu
Imam As-Shan'ani menegaskan : "Ketahuilah bahwa hari yang diragukan
adalah hari ke 30 dari bulan Sya'ban apabila tidak terlihat hilal
pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa
jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya'ban. Dan makna hadits Ammar dan
selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu)." (Subulus
Salam 2/308)
Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya
bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua
hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu
bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu `anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim
Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Janganlah kalian dahului
Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa
berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah." (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata : "Barangsiapa berpuasa pada hari
yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim
Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam." (Lihat Shifatus Shaum Nabi
Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh
Salim Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat
bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan
bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu `Alaihi wa
Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi
pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud,
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi
1/214, hadits ke 1026).
Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat
Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied
kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat
Al-Auza'I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad,
Syafi'I, dll Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari
yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla." Demikian keterangan
Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan'ani menyatakan : "hadits diatas sebagai dalil bahwa
shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan
jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat." (Subulus Salam 2/133)
Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang
menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga
tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi
kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta'ala sedangkan
makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A'lam bis Shawab.
Catatan :
Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru
tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari
mendatang setelah hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz
Zuhair Syarif).
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id



Hukum-hukum Dalam Puasa Ramadhan
Senin, 27 Oktober 2003 - 02:54:42 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
.: :.
Ketahuilah wahai hamba ALLAH - mudah-mudahan ALLAH mengajarimu dan
mengajariku - bahwasanya ada pahala yang amat besar, kebaikan yang
merata, yang tidak bisa menghitungnya kecuali ALLAH, tidak akan
didapat kecuali oleh orang yang menunaikan puasa Ramadhan sesuai
dengan tuntunan dan sunnah penutup para Nabi Shalallahu 'alaihi
Wassalam, yakni dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban yang besar di bulan yang diberkahi ini.
Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum tersebut tanpa
taklid kepada seorangpun mengambil dari Al Quranul Adzim, hadits-
hadist yang shahih dan hasan dari Sunnah yang suci dan pemahaman
salafus shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari
kalangan shahabat dan tabi'in. Cukuplah ini bagimu sebagai dalil.
Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab fiqih yang paling
cocok dengan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil.
(Dilanjutkan dalam Bab-Bab lainnya, red).
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak
Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id



Petunjuk Berbuka seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam
Senin, 03 November 2003 - 00:22:40 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh
.: :.
1. Kapan orang yang puasa berbuka ?
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : "Kemudian
sempurnakanlah puasa hingga malam" [Al-Baqarah : 187].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya
malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami
telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed)
agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.
Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau
membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui,
serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu 'anhum telah kau lihat,
mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan
sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-
Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al
Audi : "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir
dalam sahur".
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah
terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di
ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani,
karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai
pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan
mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk
yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul
diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.
a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan.
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Senantiasa
manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [Hadits
Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].
b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafus
Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat
selama "berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang
merubah sunnah".
Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Umatku akan
senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika
berbuka (puasa)" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (891) dengan sanad
Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia'h
Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka
hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua
dari kesesatan.].
c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan
mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena
sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan
memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan
menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk
diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat,
(yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin
kemana saja angin beriup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya) : "Agama ini akan senantiasa menang
selama manusia menyegerakan berbuka [1], karena orang-orang Yahudi
dan Nasrani mengakhirkannya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu
Hibban 223, sanadnya Hasan]
Kami katakan :
Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan
penting, sebagai berikut :
1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan
syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul
Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan
mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak
condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin
atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika,
red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat
demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi
pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan
terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-
Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.
2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci,
berdasarkan firman Allah (yang artinya) : "Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-Baqarah : 208].
Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan
kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan
mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam
lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama
Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang
yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan
mendustakan sebagian yang lainnya ; kita diperintah untuk menyelisihi
mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh ! kita mengetahui
buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya
agama lahir dan batin.
Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak
akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak
menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita
mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka : "Ini perkara-perkara
kecil, furu'. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya,
kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah
shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita.
Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas
basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa
jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang
dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,
Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka
berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk
menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh,
menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut)
sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh
muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu',
khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
d. Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat
Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas
dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya
para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu : "Tiga perkara yang
merupakan akhlak para Nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur
dan meletakkan tangan (kanan, red) di atas tangan kiri dalam shalat"
[Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma
(2/105) dia berkata : "..... marfu' dan mauquf shahih adapaun yang
marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan
Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu'].
3. Berbuka dengan apa ?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau
tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang
dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk
kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang
artinya) : "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin" [At-Taubah : 128].
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih
membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang
sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena
badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air
akan sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung
berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap
hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang
yang berittiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata) :
(yang artinya) : "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka
berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum
dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud
(2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan
dari Anas, sanadnya shahih].
4. Yang diucapkan ketika berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa - mudah-mudahan Allah
memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do'a yang
dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dalam keadaan
engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak
mengabulkan do'a dari hati yang lalai-. Berdo'alah kepada-Nya dengan
apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan
engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tiga do'a yang dikabulkan :
do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan
do'anya musafir" [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu
Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul
Anshari {..} sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi
Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.]
Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka
berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tiga
orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika
berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits
Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada
jahalah Abu Mudillah.]
Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda.
(yang artinya) : "Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka
memiliki doa yang tidak akan ditolak" [Hadits Riwayat Ibnu Majah
(1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua
jalan Al-Bushiri berkata : (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-
perawinya tsiqat.].
Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka
mengucapkan "Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru
insya Allah" (yang artinya) : "Telah hilang dahaga dan telah basah
uart-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat
Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni
(128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia
berkata : "sanadnya hasan". Aku katakan : memang seperti ucapannya.]
5. Memberi makan orang yang (berbuka, red) puasa
Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan
memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk
memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya
banyak.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya) : "Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan
mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa
mengurangi pahalanya sedikitpun" [Hadits Riwayat Ahmad
(4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban
(895), dishahihkan oleh Tirmidzi.]
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena
barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka
kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia harus
berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal
kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah
selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam (yang artinya) : "Telah makan makanan kalian orang-orang
bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas
kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian"
[Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa'i
dalam 'Amalul Yaum" (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari
berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan : Apa yang
ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : "Allah
menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]
Doa' "Allahumma ath 'im man ath `amanii, wa as qi man saqoonii" (yang
artinya) : "Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan,
berilah minum orang yang memberiku minum" [Hadits Riwayat Muslim 2055
dari Miqdad]
Do'a "Allahummagh fir lahum warhamhum wa baarak fiima rozaq tahum"
(yang artinya) : "Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah
barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan" [Hadits Riwayat
Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]
Footnote :
[1]. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan
dunianya hingga mereka mengakhirkan bbukan mengikuti Yahudi dan
Nasrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya,
Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya.
Wallahu a'lam, -ed
(Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak
Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H)
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id



Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail
Rabu, 13 Oktober 2004 - 07:24:04 :: kategori Fiqh
Penulis: AL Ustadz Zuhair Syarif
.: :.
Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah
adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat
tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang
beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat
tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak
mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir
shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu
masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau
berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi
semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa
mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan
dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat."
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan
meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai
kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu
`anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud
1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah
1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua
adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat
Al-Irwa' juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari
Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,
kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku
bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau
adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan,
menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian,
maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang
shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah
3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam
bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih
berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama'ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan
Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal
berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al-
Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada
suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang
shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?"
Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak
bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan
bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah
berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak
dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits
ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah
diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari
Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada
hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu
Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217
dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa
hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia
berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan
sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama
beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau
shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami
tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk
sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr
89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis
min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang
jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk
sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu
`anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.")
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan
Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang
lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di
belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke
rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan
tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai
Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?"
Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku
berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad
yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana
di dalam Al-Jami' 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia
shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan
Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai
sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau
kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi.
Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada
malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun
melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat
Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan
Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah
kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu
saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan
shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang
yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan
manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua
dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia
memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang
menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam
yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu
tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir
bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia
tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah,
bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia
mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi
malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat
bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!"
Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak
dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka.
Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh.
Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan
bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu
bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah
tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan
kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan
atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail
diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk
melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian
tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan."
Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini
berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah
Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu
Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya
demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah
ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa
maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok."
Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas
tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-
malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat
(yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas
mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas
kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang
dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya.
Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum
sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar
radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali."
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu
malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma.
Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau
berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal
kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu
beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada
ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian
beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti
ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama
sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan
mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian
mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud
rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan
membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di
dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan
Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi
Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400,
Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi
dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122,
Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang
keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar
radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan),
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami
sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk
shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama
kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam
kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah,
seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini."
Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama
imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat
sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai
tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada
sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya.
Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu
Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau
menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu
Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237,
Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu
Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih
sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat
bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih
di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di
dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad
ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama
manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat
seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku
kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam.
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang
yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan
menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan
oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud
berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat
tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak,
sunnah kaum muslimin lebih aku sukai."
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih
dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian,
walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam
memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di
masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan.
Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada
jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih
hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid
dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang
berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para
istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain
untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan
manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin
Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib
radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada
bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan
seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam
perempuan."
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq
meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722.
Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93.
Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan
secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan
bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu."
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih
berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah
rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam
masalah ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada
Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di
bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas
raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus
dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25,
4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad
6/36, 37, 104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan
delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami
berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata
beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan
mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan
kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau
berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian."
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang
menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at,
termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain
dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa
shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat
ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat
sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini
menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua
rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu
karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka
shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa
Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena
riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11
rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini
menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas."
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di
atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan
witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah
radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang
yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam
di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan
pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma
ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam
Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu
Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib:
Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber-
sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi
Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid
di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam
Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al-
Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina
Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-
Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan
Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara
marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu
Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah
infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian
juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia
dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah
diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk".
Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani
berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah
darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya."
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits
hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits
mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah.
Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini
maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang
telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al-
Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat
yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa
Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini
sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu
rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan)
bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti
hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret"
dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya
tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar.
As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif
adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa
diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya
jangan ditoleh."
Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al-
Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat
beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!"
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat
Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit
amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada
pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami
memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah
radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam
Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi
bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3
rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya.
Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla'
setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau
melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak
akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka
hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan
seperti di atas."
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang
kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20
rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma
karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah
rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan
Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung
selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu
marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa',
khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus
menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan
tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para
ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena
ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya
dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada
perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga
seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat
tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu
dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan
oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak
ditambah."
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang
jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau
berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh
bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai.
Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan
bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang
dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi
seseorang sesuatu apapun."
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah
hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan
dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan
bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa
yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab
Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab
Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan
dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah
rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian
beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di
antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13
rakaat, di antaranya dua rakaat fajar."
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau
Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah
mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan
berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi
pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu.
Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman
bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin
Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia
berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama
beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat
kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik."
Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai
bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada
malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar
berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih
utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir
malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al-
Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu
Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah
ini" atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada
jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas
batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka
mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini
juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla'
2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau
mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka
jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam
keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak
mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa
memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki
bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir
diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah
halangannya."
Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat
tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam
rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara
bahasa, bukan syariat."
Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat.
Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam
agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama
daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai
berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih
di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat
tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah."
Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih
utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal.
42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat
adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248
dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar
memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama
manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang
membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya
berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar."
Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin
Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan
Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah
shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan
Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid
1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra
1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab
Shalatut Tarawih".
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh
shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag
hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad
bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini,
walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin
Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh,
pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan
berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At-
Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur
hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil
Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak
boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang
sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari
orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya
(Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga
yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum
atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak
diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan
menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau
yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi
dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al-
Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak
bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan
bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga
mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam
membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat
tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya:
ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan
sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa
Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107."
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab,
Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat
semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut
diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana
anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih
20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas
kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif
pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah
2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih
2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam
Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku
sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam."
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah
menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau
berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun
selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau
mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi
tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah
shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam."
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus
Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan
beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah
itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang
erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat,
tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup
sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian
sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah
erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian
dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru
adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam
neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378,
Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah
seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka,
kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui
keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari
membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka
kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang
mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya
kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku
shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11
rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-
kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam
bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-
orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang
dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada
pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga
dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan
dalil riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada
Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia
tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu
Dawud dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir
bulan Ramadlan ....
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad)
yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua,
pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah
Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi
dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak
shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah
Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam
Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh
Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada
pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang
diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah
2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak
dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di
seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang
dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain.
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai
kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan
Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh
sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam
Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang
shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia
berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat
witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah
12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad,
At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih.
Demikian penilaian Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku`
sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi
nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada
atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh
Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan
dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari
sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain
tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al-
Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa
yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,
yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka."
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan
ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal.
47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam
shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin
(keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal
133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan
doa: "Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita,
wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a'thoita,
waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo `alaika,
wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya'izzuman `aadaita,
tabaarokta robbanaa wa ta'aa laita, laa manja minka illa ilaika."
Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau
tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri
keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi.
Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari
kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang
menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak
akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang
Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada
keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu
Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang
dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa
maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin
Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar
radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun
atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan
dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk
menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji':
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli
ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir
lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku
perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua
rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua
rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua
rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua
rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua
rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu
rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh
Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu
beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu
itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau
pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya,
kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka
beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan
tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku,
seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang
ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian
beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat
dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya
Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat
mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab
Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi
Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana
yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat
yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh
lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya,
kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air
wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit
dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-
rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan
gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat
kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat
dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya
ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat."
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian
pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184;
Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri
dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad
V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas
menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa
perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir"
maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul
perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan
dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak
menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan
penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah
sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat)
ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat
terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau
bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk
setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima
rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi
salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan,
beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih
menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim
II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau
mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman
120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya
tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i
1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan
tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh
Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau
kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan
dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat,
sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh.
Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat
dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat
itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1
rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa
juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11
rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu
rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca
50 ayat sebelum mengangkat kepalanya".
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud
I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga
meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari
Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang
shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat.
Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia
shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah
kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385,
MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya:
Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab:
Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat."
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat
salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan
terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua
rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam
Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits
dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak
memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu
lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi
dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk
kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan
bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam,
selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka
genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh
Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan
menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang
yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia
berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya
kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai
Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan
siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat
sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang
kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat
kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam,
kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau
duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat
atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian
memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian
shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam
keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku,
maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau
berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana
yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan
rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud
I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan
Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa
duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau
bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau
dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti
telah disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan
Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang
penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu
tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan,
bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang
lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat,
dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa
ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat."
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu
dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan
hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan
berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail
halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat
malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap
dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di
rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan
pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud
dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan
shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash,
Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad
bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara
yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat
malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua
rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan
yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam
bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga,
seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan
rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat
dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu
tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin
beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung
beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau
justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari
shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan
tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman
sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat,
dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak
adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii
akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul
Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul
Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib
dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang
mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu
tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang
tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga
meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan
tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan
tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba'
kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak
dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat
banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para
shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat
witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir
tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir
lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain
keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada
sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain
dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga
rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun
kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang
demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga
dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik
oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang
disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir
tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya
dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian
tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak
duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan
cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul
asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20
Rakaat.)
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id






I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam
Rabu, 20 Oktober 2004 - 04:36:21 :: kategori Fiqh
Penulis: yaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
.: :.
1. Hikmahnya
Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: "Manakala hadir dalam keadaan sehat
dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza
wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut
kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut
kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati
tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza
wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan
berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur,
termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan
(kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal
tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan
melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk
mensyari'atkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan
makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan
syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi
perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyari'atkannya
(I'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga
seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Dan disyari'atkannya I'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta
ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan
kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan
(segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada
Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan
penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-
betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah
keinginan semua kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan
mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu
yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan
berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk,
yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya
tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala
sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala)
tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka
inilah maksud dari I'tikaf yang agung itu".163) [ Zaadul Ma'ad (2/86-
87)]
2. Makna I'tikaf
Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-
orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya
sebagai Mu'takif dan `Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al
Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.]
3. Disyari'atkannya I'tikaf
Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang
tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beri'tikaf
pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari
(4/226) dan Muslim (1173)]
Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam "Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam),
sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu),
(yaitu) aku akan beri'tikaf pada malam hari di Masjidil Haram."
Beliau bersabda: "Tunaikanlah nadzarmu." Maka ia (Umar) pun
beri'tikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan
Muslim (1656)]
Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu
Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam sering beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari
dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya,
beliau (pun) beri'tikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari
(4/245]
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beri'tikaf pada sepuluh (hari)
terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia
mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173)
dari Aisyah]
4. Syarat-syarat I'tikaf
a. Tidak disyari'atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya
Ta'ala: "Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [
Yakni "Janganlah kamu menjimaki mereka". Pendapat tersebut merupakan
pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi].
(QS. Al Baqarah: 187)
b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid,
pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu)
sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : "Tidak ada I'tikaf kecuali
pada tiga masjid (saja)."170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan
oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta
pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi
Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid]
c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beri'tikaf (yaitu) hendaknya
berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang
telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al
Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas].
5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan:
a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan
kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah
Radiyallahu 'anha berkata: "Dan sesungguhnya rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku,
padahal beliau sedang I'tikaf di masjid ["dan aku berada dalam
kamarku"] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: "aku cuci
rambutnya") ["dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu"] {"dan
waktu itu aku sedang haidh"] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat
(manusia) ketika sedang I'tikaf."172) [hadits riwayat Bukhari (1/342)
dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh
Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jami'ul Ushul (1/3451) oleh
Ibnu Atsir].
b. Orang yang sedang I'tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk
berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam: "Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam
berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan."173) [Dikeluarkan
oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih].
c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan
tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia
beri'tikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah
(yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga
tiang) apabila beliau beri'tikaf174) [Sebagaimana dalam shahih
Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)].
d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri'tikaf untuk
meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam jika I'tikaf dihamparkan untuknya kasur
atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176)
[Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi,
sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan
sanadnya hasan].
6.I'tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid
a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang
berada di tempat I'tikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri
sampai ke pintu masjid.
Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: "Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi
wassalam) (tatkala beliau sedang) I'tikaf [pada sepuluh (hari)
terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari
[ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira
ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk
kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai
aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk
mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah
bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di
samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki
dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-
pun bersabda: "Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini
bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay
(istri Rasulullah sendiri, red)" , kemudian keduanya
berkata: "Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam."
Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak
Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan
bersarangnya kejelekan di hati kalian- atau beliau berkata: sesuatu-
"178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan
tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul
Ma'bud)]
b. Seorang wanita boleh I'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun
sendirian.
Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: "Nabi Shalallahu 'alaihi
wassalam I'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan
sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau I'tikaf
setelah itu."179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): "pada atsar
tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita
I'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan
catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah,
berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan
kaidah Fiqhiyah: " Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada
mengambil manfaat."
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak
Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi
Indonesia)
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id




Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah
Rabu, 20 Oktober 2004 - 04:42:53 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani
.: :.
Hukumnya
I'tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang
tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Sedang
kalian dalam kedaan I'tikaf di masjid". (QS. Al-Baqarah :187)
Disertai hadist-hadist shahih tentang I'tikaf Nabi shalallahu `alaihi
wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf
dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf,
karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan
yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya "Barangsiapa
beri'tikaf suatu hari" kemudian aku hilangkan, karena di kemudian
hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari
dengan rinci dalam kitab "Silsilah Dhoifah" 5347. Saya singkap
penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al
Haistany sebelum saya).
Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu `alaihi wa sallam
i'tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari
hadist Aisyah radhiyallahu `anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu
Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu
Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu `anhu berkata kepada Nabi
shalallahu `alaihi wasallam "Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah
untuk I'tikaf semalam di Masjidil Haram"? Nabi shalallahu `alaihi
wasallam bersabda : "Penuhilah nadzarmu". (maka Umar I'tikaf
semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan
itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat
dalam "Mukhtasar Shahih Bukhari" (995) dan telah ditakhrij
dalam "Shahih Abu Dawud" juga no: 2136-2137).
Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi
Hurairah radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi
wasallam ber i'tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun
dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam I'tikaf
selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih
keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130).
Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi
shalallahu `alaihi wasallam I'tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan
Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu
Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan "Shahih Abi
Dawud" no :2125).
Syarat-syaratnya :
1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Dan janganlah kalian melakukan jima'[1]dengan mereka sedang kalian
beri'tikaf di masjid-masjid"). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil
dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu
Hajar :" Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I'tikaf
itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima'
itu hanya padanya, karena jima' itu membatalkan I'tikaf secara ijma',
maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I'tikaf itu
tidak boleh kecuali di masjid). ["dan jangan kalian melakukan
jima..." yakni "Jangan berjima' dengan mereka " ibnu Abbas
mengatakan : kata ( ) semuanya berarti jima',
akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa
yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang
perawinya terpercaya.]
Berkata Aisyah radhiyallahu `anha : "Disunnahkan, bagi seorang
I'tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia
lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh
wanita, tidak pula jima' dengan mereka, dan tidak I'tikaf melainkan
pada masjid jami' (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan
pula bagi yang I'tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad
yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang
selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu `anha, dan telah di takhrij
dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa'ul Ghalil no 996.)
2. Dan hendaklah pada masjid jami' agar tidak terpaksa keluar masjid
untuk melaksanakan shalat jum'at, karena keluar untuk itu adalah
wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu `anha yang lalu dalam
sebuah riwayat. ("dan tidak ada I'tikaf kecuali di masjid jami'".).
(Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : "Sesungguhnya perkara yang paling
Allah benci adalah bid'ah dan sesungguhnya termasuk bid'ah adalah
I'tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)".
Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang
mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam
ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi,
Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu `alaihi wasallam :
"Tidak ada I'tikaf kecuali pada 3 masjid itu"). (Diriwayatkan oleh
Thahawi, isma'ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah
bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam "Silsilah shahihah" no :2787
bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan
diatas dan semuanya shahih).
Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang
telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id
bin Al Musayyib juga 'Atha' rahimahullah. Akan tetapi `Atha' tidak
menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami' secara
mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan
mengatakan : "Walaupun dalam masjid (atau mushala pent) rumahnya".
Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai
dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta'ala
a'lam.
3. Disunnahkan untuk yang melakukan I'tikaf agar berpuasa sebagaimana
yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu `anha.[2]
Yang dibolehkan untuk orang yang berI'tikaf sbb :
a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan
kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah
radhiyallahu `anha : "Sesungguhnya Rasulullah shalallahu `alaihi
wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam
keadaan beri'tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya
sisir rambutnya." Dalam riwayat : "Lalu saya cuci kepalanya dan
diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid,
dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia,
ketika itu beliau dalam keadaan I'tikaf." (Riwayat Bukhari, Muslim,
Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya.
Telah ditakhrij dalam "Shahih Abu Dawud" (2131-2132) ).
b. Dibolehkan untuk seorang yang I'tikaf dan yang lain untuk berwudhu
dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi
shalallahu `alaihi wasallam : " Nabi shalallahu `alaihi wasallam
berwudhu ringan di dalam masjid". ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik
dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih).
c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu
ber'tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi
shalallahu `alaihi wasallam [3]. [Disebut "Khiba" salah satu bentuk
rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan
bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3."Nihayah".] Jika
beliau beri'tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu `alaihi
wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah
radhiyallahu `anha, riwayat perbuatan `Aisyah itu diriwayatkan oleh
Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu `alahi wa
sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34
pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu `alaihi
wasallam satu kali beri'tikaf di qubah (semacam payung pent) kecil
[5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. "Suddah" artinya
semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang
dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya
agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang
dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang
yang beri'tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar
mendapatkan maksud dan ruh dari I'tikaf itu, sebagaimana yang
diucapkan Ibnu Qoyyim : "Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag
bodoh dimana orang-orang beri'tika membuat semacam ruang tamu dan
berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I'tikaf
Nabi shallallahu `alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda,
red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini
adalah ujung hadist Abu Sa'id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu
Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu
Dawud no.1251]
Dibolehkannya Wanita beri'tikaf dan menengok suaminya di masjid
a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat
I'tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar
pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah
Radhiyallahu `anha : "Ketika itu Nabi shalallahu `alaihi wasallam
beri'tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku
datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang
sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat
lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu `alaihi
wasallam katakan : " Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan".
Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah
radhiyallahu `anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada
di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah
radhiyallahu `anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka
melihat Nabi Shalallahu `alaihi wasallam keduanya mempercepat
(langkahnya). Maka Nabi shalallahu `alaihi wasallam berkata : " Pelan-
pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai" (istri
Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : "Subhanallah !
Wahai Rasulullah". Maka Nabi shalallahu `alaihi wasallam
mengatakan : "Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti
mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan
pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.".
(Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist
itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan
Abu Dawud ,2144-2134).
b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I'tikaf bersama suaminya, atau
sendirian. Berdasarkan ucapan `Aisyah radhiyallahu `anha : "Telah
I'tikaf bersama Nabi shalallahu `alaihi wasallam seorang wanita yang
isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara
isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan,
kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya
dalam keadaan dia tetap shalat". (Riwayat Bukhari telah ditakhrij
dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said
bin Manshur seperti terdapat dalam "Fathul Bari"4/281. Akan tetapi
Darimi menyebutnya "Zaenab" 1/22 Wallahu a'lam.)
`Aisyah juga mengatakan : "Dahulu Rasulullah shalallahu `alaihi
wasallam beri'tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai
Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri'tikaf
setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di
takhrij hal.35, catatan kaki no.2)
Saya katakan : "Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita
I'tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki-
walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat
(menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal
ini, dan kaidah fiqih mengatakan : "Menghindari keruskan itu lebih
didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)".
3. Jima' membatalkan I'tikaf berdasarkan firman Allah :
"Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I'tikaf
(di masjid)".
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu : "Jika seorang yang I'tikaf
melakukan jima' bata; I'tikafnya, dan hendaklah dia memulainya
kembali." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363
dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista'nafa)
dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I'tikafnya). Dan tidak ada
kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi
shalallahu `alaihi wasallam dan para sahabatnya.
"Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu,
aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta
ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu."
Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan-
tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab
tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan Shalawat
dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu `alaihi wasallam yang ummi, juga
kepada keluarga dan sahabatnya.
(Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia "Shalat Tarawih Bersama
Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ", Penerjemah : Al-Ustadz
Qomar Su'aidi, Bab "I'tikaf", Hal : 72 - 84 , Penerbit "Cahaya Tauhid
Press")
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id



Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf
Ahad, 16 November 2003 - 05:11:25 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdullah Aziz Bin Baz
.: :.
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang hukum I'tikaf
Pertanyaan: Apakah hukum I`tikaf bagi laki-laki dan wanita? Apakah
berpuasa merupakan syarat untuk syahnya I`tikaf? Kemudian amalan apa
saja kah yang baik dilakukan oleh orang yang beri`tikaf? Kapan waktu
memasuki tempat i`tikaf dan kapan keluar dari sana ?
Jawaban: I`tikaf hukumnya Sunnah bagi laki-laki dan wanita
sebagaimana telah datang dari Rasululullah Shalallahu 'alaihi
wassalam, bahwasanya beliau dulu beri`tikaf di bulan Ramadhan.
Kemudian pada akhirnya, i`tikaf beliau tetapkan pada sepuluh hari
terakhir. Para istri-istri beliau juga beri`tikaf bersama beliau
Shalallahu 'alaihi wassalam, dan juga setelah beliau wafat.
Tempat beri`tikaf adalah mesjid-mesjid yang didirikan shalat
berjamaah padanya. Apabila waktu i`tikafnya diselingi oleh hari
Jumat, maka yang lebih utama adalah beri`tikaf di mesjid yang
mengadakan shalat Jumat, jika itu memungkinkan. Tidak ada waktu-waktu
tertentu bagi i`tikaf dalam pendapat Ulama yg terkuat .Juga tidak
disyaratkan berpuasa walaupun dengan berpuasa lebih utama.
Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf agar memasuki tempat
beri`tikaf saat dia berniat i`tikaf dan keluar dari padanya setelah
lewat masa yang dia inginkannya. Diperbolehkan baginya boleh memotong
waktu tersebut jika ada keperluan lain, karena i`tikaf adalah sunnah
dan tidak menjadi wajib jika dia telah memulainya, kecuali jika dia
bernadzar.
Disunnahkan beri`tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan
untuk mengikuti Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam. Disunnahkan
bagi seseorang yang beri`tikaf saat itu untuk memasuki tempat
i`tikafnya setelah shalat Fajar hari ke-21 dan keluar dari sana
apabila telah selesai sepuluh hari. Jika dia memotongnya maka tidak
mengapa, kecuali jika i`tikaf nadzar sebagaimana telah dijelaskan.
Yang lebih diutamakan adalah menyediakan tempat khusus di dalam
mesjid untuk beristirahat jika memungkinkan. Dianjurkan bagi yang
beri`tikaf agar memperbanyak dzikir, membaca qur`an,istighfar, berdoa
dan mengerjakan shalat-shalat Sunnah selain pada waktu-waktu yang
dilarang. Tidak dilarang bagi teman-teman seseorang yang beri`tikaf
untuk mengunjunginya dan berbicara dengan mereka sebagaimana
Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam dahulu dikunjungi oleh
beberapa istrinya dan berbicara dengan mereka.
Pada suatu saat Shofiyah mengunjungi beliau saat I`tikaf di bulan
Ramadhan. Hal ini menunjukan kesempurnaan sifat tawadhu` dan baiknya
beliau terhadap istri-istri beliau, semoga shalawat dan salam
dilimpahkan atas beliau. ---------------------------------------------
---------------------------
Referensi: Dinukil dari Tuhfatul ikhwan bi ajwibatin muhimmatin
tata`allaqu bi arkanil islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Rahimahullah. Penerjemah Abu Abdillah Alee Masaid As salafee
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id



Jumat, 22/09/2006 M
28 1427 Menu Utama
Home

Tentang Kami

Mengapa Salafy

Info Kajian Salafy

Arabic Tool

Download Center

Free Webmail

Site Map

Kategori
Aqidah [116]
Manhaj [205]
Fiqh [101]
Kewanitaan [16]
Firqoh-Firqoh [51]
Fatwa-Fatwa [92]
Info Dakwah [70]

Link Salafy
Indonesia

Ahlussunnah Jakarta

An Nashihah

Al Qur'an Online

Darus Salaf

FDAWJ Corner

Hadits Online

Majalah AsySyariah

Maktabah As Sunnah

Mereka Adalah Teroris

Salafy Corner

Thullabul Ilmiy

Arabic

Live Dars (YE)

Sahab.cc (QA)

Sahab.com (QA)

Sahab.fm (QA)

Sahab.ms (QA)

Sahab.net (QA)

Sahab.org (QA)

Sahab.ws (QA)

Syaikh Ibn Baz (SA)

Syaikh Ibnu Utsaimin (SA)

Syaikh Muqbil (YE)

Syaikh Rabi' Ibn Hadi (SA)

Syaikh Yahya (US)

Salafi Durus (SA)

English

Al Baseerah (UK)

Al Qur'an Online (UK)

As Salafi (US)

Authenticstatements (USA)

Bakkah (SA)

Fatwa Islam (US)

Fatwa Online

Islam For Kids (UK)

Salafitalk (UK)

Salafi Publications (UK)

Salaf.com (UK)

Salafi Cast (UK)

Shahih Muslim (UK)

Shahih Bukhari (UK)

Troid (CA)

Therighteouspath (CA)

The Wahhabi Myth (UK)

xhtml . css . rss


Mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan
Ahad, 17 Oktober 2004 - 05:14:36 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami
.: :.
Menjelang Bulan Ramadhan
1. Menghitung hari bulan Sya'ban
Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan
memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan
hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai)
ketika melihat hilal bulan Ramadhan.
Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan
menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah
tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah radiyallahu `anhu, ia berkata : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : "Puasalah
kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena
melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan
Sya'ban tiga puluh hari." (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081).
Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : "Janganlah kalian puasa hingga
melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban."
(HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080))
Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : "Jika datang bulan Ramadhan
puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari
ketiga puluh." (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad
(4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada
Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami
dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai
banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al
Albany hafidhohullah).
2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang
diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed]
Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan
puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan
alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang
biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata :
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : "Jangan
kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari
sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka
berpuasalah." (HR Muslim (573 mukhtashar dengan muallaqnya).
Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari
yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar
meriwayatkan dari Ammar : "Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang
diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim." (Yaitu, hari yang
masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed).
(HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi
(686), Ibnu Majah (3334), An Nasa'I (2199) dari jalan Amr bin Qais al
Mala'l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam
sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi'I mudallis dan dia
telah `an'anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan
tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid
(pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam
Ta'liqu Ta'liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini.
3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin
berpuasa atau berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil,
berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi
wassalam : "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah
kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal,
jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan
Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah
kalian dan berbukalah." (HR An Nasa'I (4/133), Ahmad (4/321), Ad
Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari
Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah
para riwayat An Nasa'I, Ahmad menambahkan : "Dua orang muslim."
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam
satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak,
oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap
teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat
yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : "Manusia
mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku
melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh
manusia berpuasa." (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban
(871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni
dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu
Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan,
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir
(2/187).
(Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak
Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan
Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia )
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id




Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan
Senin, 27 Oktober 2003 - 03:12:26 :: kategori Fiqh
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly
.: :.
1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau
persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi
tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk
niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Barangsiapa yang
tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa
baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi
4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari
Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin
Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat
Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari"
dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi
730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih]
Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang
artinya) : "Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam
harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i
4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari
Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an-
anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya].
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah
yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan
baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk
puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau
bersabda (yang artinya) : "Apakah engkau punya santapan siang ? Maka
jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu
Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman
Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah
dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147]
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan
wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib.
Wallahu Ta'ala a'lam
2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu
sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus
menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa
lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di
qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu
sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada
malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak
tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang
telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang
artinya) : "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan,
maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka
dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135]
Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang
artinya) : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari
bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa
yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang
belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura"
[Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135].
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus
kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan
dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah
puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih
wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa
puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari
tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban
ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan
perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi)
sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits
Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau
bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka
menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak"
(Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa
hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk
Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka"
[Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192,
Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-
Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih]
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits
Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan
ditinggalkanlah Asyura".
Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun
kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan
ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi
hukumnya -pent)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan,
sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu
Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada,
sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib
telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang
menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura
menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
1. Wajibnya puasa Asyura
2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib
sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak
puasanya, dan
3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut,
maka tidak wajib mengqadha'
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah
sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum
tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari
jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia
berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau
bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak"
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah
sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian".
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu :
1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi
berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al-
Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan
oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak
disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil.
2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis.
Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii
Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H.
Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh
terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak
Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.
Cetak
>>


Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber)
www.salafy.or.id

Anda mungkin juga menyukai