0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
17 tayangan50 halaman
Tiga kalimat:
1. Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal didasarkan pada ru'yah (melihat) hilal dengan mata telanjang, bukan hisab atau perhitungan ilmiah.
2. Ulama berbeda pendapat soal apakah ru'yah hilal hanya berlaku di daerah tempat hilal dilihat atau seluruh negeri, tetapi mayoritas berpendapat ru'yah berlaku umum.
3. Hadits-hadits Nabi menunjukkan bahwa ru
Tiga kalimat:
1. Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal didasarkan pada ru'yah (melihat) hilal dengan mata telanjang, bukan hisab atau perhitungan ilmiah.
2. Ulama berbeda pendapat soal apakah ru'yah hilal hanya berlaku di daerah tempat hilal dilihat atau seluruh negeri, tetapi mayoritas berpendapat ru'yah berlaku umum.
3. Hadits-hadits Nabi menunjukkan bahwa ru
Tiga kalimat:
1. Penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal didasarkan pada ru'yah (melihat) hilal dengan mata telanjang, bukan hisab atau perhitungan ilmiah.
2. Ulama berbeda pendapat soal apakah ru'yah hilal hanya berlaku di daerah tempat hilal dilihat atau seluruh negeri, tetapi mayoritas berpendapat ru'yah berlaku umum.
3. Hadits-hadits Nabi menunjukkan bahwa ru
Senin, 06 Oktober 2003 - 00:20:18 :: kategori Fiqh Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif .: :. 1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara : 1. Ru'yah hilal (melihat bulan sabit). 2. Persaksian atau kabar tentang ru'yah hilal. 3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya'ban. Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini : 1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu `anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya'ban tiga puluh hari." (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081) 2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma : Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari." (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa'I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi) 3. Hadits dari `Adi bin Hatim radhiallahu `anhu : Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila datang bulan Ramadhan, amka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal." (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain) 4. Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (ru'yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya." (HR. An-Nasa'I 4/132, Ahmad 4/321, Ad- Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29) Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu `anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam Irwa'ul Ghalil hadits ke 109. Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu `anhuma ketika beliau berkata : "Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa." (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al- Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187) Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli): 1. Penentuan hilal yang disyari'atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang. 2. Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu astronomi tidak disyari'atkan dalam agama ini (bid'ah), perhatikan hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas. 3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri. 2. Perbedaan Mathla' (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru'yah hilal, bukan dengan hisab. Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu `anhum yang berbunyi : "Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : "Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum'at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal -- : `kapan kamu melihat Hilal?' Akupun menjawab : `Aku melihatnya pada malam Jum'at. Beliau bertanya lagi : `Engkau melihatnya pada malam Jum'at ?' Aku menjawab :'Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.' Dia berkata : `Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).'Aku bertanya : `Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?' Beliau menjawab : `Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.'" (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213) Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata : "Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat : Pendapat Pertama : Setiap negeri mempunyai ru'yah atau mathla'. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At- Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi'i. Pendapat Kedua : Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma' telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru'yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol). Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa... Sebagian pengikut madzhab Syafi'i berpendapat bahwa apabila negeri- negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua : 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi'i. Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat : 1. Dengan perbedaan mathla'. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab. 2. Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi'i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim. 3. Dengan perbedaan iklim. 4. Pendapat As-Sarkhasi : "Keharusan ru'yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal." 5. Pendapat Ibnul Majisyun : "Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain..." berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya. Imam Syaukani menambahkan : "Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah." Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru'yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : "Demikian Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam menyuruh kami." Ibnu Abbas radhiallahu `anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru'yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka. Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla' (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam ,"Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya." Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru'yah itu berlaku bagi mereka semuanya." (Fiqhus Sunah 1/368) As-Shan'ani rahimahullah berkata, "Makna dari ucapan "karena melihatnya" yaitu apabila ru'yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru'yah pada suatu negeri adalah ru'yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib." (Subulus Salam 2/310) Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru'yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa berkata : "Orang- orang yang menyatakan bahwa ru'yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla' seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha'if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal.... Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya'ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim." (Majmu' Fatawa Juz 25 hal 104-105) Shidiq Hasan Khan berkata : "Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa, yaitu "karena melihat hilal dan berbuka karena hilal" (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru'yah itu untuk semuanya ..." (Ar-Raudhah An- Nadiyah 1/146). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru'yah bagi setiap penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda- tandanya mengatakan : "... Saya demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di dalam Al-Fatawa jilid 25, As- Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa berdasarkan ru'yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits) tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru'yah hilal dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104 ...(Tamamul Minnah, hal. 397) 3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ? Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru'yah sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau bersama manusia ? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 25/114 : Pendapat Pertama : Wajib atasnya berpuasa dan ber'iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi'i. Pendapat Kedua : Dia harus berpuasa tetapi tidak ber'iedul fithri kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi. Pendapat Ketiga : Dia berpuasa dan ber'iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam (artinya) : "Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata "hadits gharib hasan". Syaikh Al-Albani berkata : "Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440) Demikian keterangan Syaikhul Islam. Bertolak dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu `Anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini : "Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia." Imam As-Shan'ani berkata : "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru'yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha." (Subulus Salam 2/72) Ibnul Qayyim berkata : "Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu) bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana manusia tidak berpuasa." (Tahdzibus Sunan 3/214) Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : "Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu." Syaikh Al-Albani menegaskan : "Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama'ah. Aisyah berkata : "Nahr adalah hari manusia menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka." (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444) Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' fatawa 25/117. Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan yang tidak syar'i, maka bagaimana hukumnya ? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : "Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru'yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka." Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas." (Majmu' Fatawa, 25/206) Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya'ban ? Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut : "Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiallahu `anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira- kirakanlah." Dengan persempit bulan Sya'ban menjadi 29 hari. Sedangkan Imam Malik, Syafi'I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari'atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : "Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam ." Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya. Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : "Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya . Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama." Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : "Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan kepadanya." Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu). Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : "Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan." Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar : "Tidak boleh puasa pada waktu ragu." At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi'in beramal." Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam. Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya'ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan'ani menegaskan : "Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya'ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya'ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu)." (Subulus Salam 2/308) Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan). Abu Hurairah radhiallahu `anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda : "Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah." (HR. Muslim) Shilah bin Zufar dari Amar berkata : "Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam." (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu `Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28). 4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026). Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza'I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi'I, dll Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla." Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310. Imam As-Shan'ani menyatakan : "hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat." (Subulus Salam 2/133) Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta'ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu A'lam bis Shawab. Catatan : Khusus hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10 bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah hilal nampak. (Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif). Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Hukum-hukum Dalam Puasa Ramadhan Senin, 27 Oktober 2003 - 02:54:42 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami .: :. Ketahuilah wahai hamba ALLAH - mudah-mudahan ALLAH mengajarimu dan mengajariku - bahwasanya ada pahala yang amat besar, kebaikan yang merata, yang tidak bisa menghitungnya kecuali ALLAH, tidak akan didapat kecuali oleh orang yang menunaikan puasa Ramadhan sesuai dengan tuntunan dan sunnah penutup para Nabi Shalallahu 'alaihi Wassalam, yakni dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban yang besar di bulan yang diberkahi ini. Sekarang kami akan mulai menerangkan hukum-hukum tersebut tanpa taklid kepada seorangpun mengambil dari Al Quranul Adzim, hadits- hadist yang shahih dan hasan dari Sunnah yang suci dan pemahaman salafus shalih, imam yang empat dan orang sebelum mereka dari kalangan shahabat dan tabi'in. Cukuplah ini bagimu sebagai dalil. Kami juga telah memilih pendapat-pendapat madzhab fiqih yang paling cocok dengan dalil serta ijtihad mereka yang paling adil. (Dilanjutkan dalam Bab-Bab lainnya, red). Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Petunjuk Berbuka seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi Wassalam Senin, 03 November 2003 - 00:22:40 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh .: :. 1. Kapan orang yang puasa berbuka ? Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya) : "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam" [Al-Baqarah : 187]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda. Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu 'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al- Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al Audi : "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur". 2. Menyegerakan berbuka Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang. a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093]. b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama "berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah". Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban (891) dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia'h Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.]. c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin beriup. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka [1], karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan] Kami katakan : Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut : 1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al- Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj. 2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang artinya) : "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-Baqarah : 208]. Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya ; kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh ! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin. Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka : "Ini perkara-perkara kecil, furu'. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita. Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam, Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah. d. Berbuka sebelum shalat maghrib Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu : "Tiga perkara yang merupakan akhlak para Nabi : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan (kanan, red) di atas tangan kiri dalam shalat" [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata : "..... marfu' dan mauquf shahih adapaun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu']. 3. Berbuka dengan apa ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya) : "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin" [At-Taubah : 128]. Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan. Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba'. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata) : (yang artinya) : "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih]. 4. Yang diucapkan ketika berbuka Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa - mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai-. Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tiga do'a yang dikabulkan : do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir" [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari {..} sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.] Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.] Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. (yang artinya) : "Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak" [Hadits Riwayat Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata : (2/81) ini sanad yang shahih, perawi- perawinya tsiqat.]. Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan "Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru insya Allah" (yang artinya) : "Telah hilang dahaga dan telah basah uart-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata : "sanadnya hasan". Aku katakan : memang seperti ucapannya.] 5. Memberi makan orang yang (berbuka, red) puasa Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : "Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun" [Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.] Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun. Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian" [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum" (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan : Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!] Doa' "Allahumma ath 'im man ath `amanii, wa as qi man saqoonii" (yang artinya) : "Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum" [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad] Do'a "Allahummagh fir lahum warhamhum wa baarak fiima rozaq tahum" (yang artinya) : "Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan" [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin] Footnote : [1]. Hal ini bukan berarti, jika manusia telah terlena dengan dunianya hingga mereka mengakhirkan bbukan mengikuti Yahudi dan Nasrani, kemudian agama ini menjadi kalah, tidak demikian keadaannya, Islam senantiasa akan menang kapanpun juga, dan dimanapun tempatnya. Wallahu a'lam, -ed (Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H) Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Bagaimana Rasulullah sholat Tarawih/Lail Rabu, 13 Oktober 2004 - 07:24:04 :: kategori Fiqh Penulis: AL Ustadz Zuhair Syarif .: :. Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun. Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat." Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu." (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa'i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa' juz 4 hal. 14) Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: "Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?' Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid." (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993) Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah. Sholat Tarawih Berjama'ah Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut: 1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya. 2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam. 3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya. Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik Al- Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid. Beliau bertanya: "Apa yang mereka lakukan?" Seseorang menjawab: "Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur'an, Ubay bin Ka'b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat". Maka beliau bersabda: "Mereka telah berbuat baik", atau "Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka." (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: "Hadits ini mursal hasan." Syaikh Al-Albani berkata: "Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba'sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi). Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: "Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur." (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: "Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.") Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?" Maka beliau pun menjawab: "Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat." (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami' 3/173). Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur'an bersama lima atau enam orang atau kurang atau lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya' yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: "Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?" Aku katakan: "Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau shalat bersama mereka." Maka beliau berkata: "Lipat tikarmu, wahai Aisyah!" Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata "shalat!" sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: "Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan." Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: "Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar." (HR. Bukhari 3/8-10, 4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain). Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri "keadaannya demikian", maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan. Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: "Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok." Syaikh Albani mengatakan: "Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama'ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam- malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali." Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: "Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya' wal `adhamah", kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku' dan ruku'nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku'nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku' dan lamanya berdiri seperti ruku'nya dan mengucapkan: "Rabiyal hamdu". Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku') dan mengucapkan dalam sujudnya "Subhana rabbiyal a`la". Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca "Subhana rabiyal a`la". Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar)." (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain). Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: "Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama kami pada sisa malam ini." Beliau menjawab: "Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam." Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :"Apa falah itu?" Beliau menjawab: "(Falah adalah) Sahur." (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.) Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam "Barang siapa shalat bersama imam..." jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam Al-Masa'il hal. 62, beliau berkata: "Aku mendengar Ahmad ditanya: "Mana yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia (berjamaah) atau yang sendirian?" Beliau menjawab: "Shalat seorang bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: "Aku kagum terhadap seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya seseorang yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya sisa malamnya." Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal. 91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: "Seseorang berkata kepada Ahmad: "Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?" Beliau menjawab: "Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai." Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian, walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang." (Shalatut Tarawih hal. 15) Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi "Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya." Bahkan boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki. Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah, menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka'ab dan bagi wanita Sulaiman bin Abi Khatsmah. Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: "Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam perempuan." Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22. Syaikh Al-Albani menambahkan: "Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu." Jumlah Rakaatnya Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah ini ada dua hadits yang menerangkan: 1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: "Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?" Beliau menjawab: "Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka'at. Beliau shalat empat raka'at dan jangan ditanya betapa bagus dan panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka'at." (HR Bukhari 2/25, 4/205. Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 - 496 dan Ahmad 6/36, 37, 104) 2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: "Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan delapan raka'at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan mengatakan: "Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan kami mengharap engkau shalat bersama kami." Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian." Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka'at, termasuk darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: "Rasulullah biasa shalat di malam hari 13 raka'at." Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek) apabila mendengar adzan subuh. Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: "Dhahir hadits ini menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya'. Hal itu karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek." Syaikh Al-Albani mengatakan: "Inilah yang rajih menurutku, karena riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat, yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas." Kedlaifan Hadits 20 Rakaat Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di atas (Al-Fath 4/205-206): "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu `anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari atau selainnya." Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153. Syaikh Al-Albani menegaskan: "Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari sumber- sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam Mu'jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam Al- Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam'i Bainahu wa Baina Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al- Maudlih 1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu'. At-Thabrani berkata: "Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini". Al-Baihaqi berkata: "Abu Syaibah infirad (bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: "Dia dlaif, pada hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh ucapan Al-Hafidh di depan bahwa "dia matruk". Inilah yang benar. Ibnu Main berkata: "Dia tidak tsiqah" Al-Jauzajani berkata: "Dia saqith (gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya". Al-Bukhari berkata: "Ahli hadits mendlaifkannya." Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal. 118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah. Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`, karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat dari dua hafidh yaitu Az-Zaila'i dan Al-Asqalani. Al- Hafidh Adz-Dzahabi memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar). Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195 setelah menyebutkan hadits tersebut: "Hadits ini sangat dlaif. Ucapan para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan riwayat-riwayat maudlu' seperti hadits "Tidaklah umat hancur binasa kecuali pada bulan Maret" dan "Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada bulan Maret" dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu. Adz-Dzahabi berkata: "Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh." Syaikh Al-Albani berkata: "Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari Al- Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!" Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu Hibban berkata: "Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla' setelah ashar. Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20 rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di atas." Syaikh Al-Albani mengatakan: "Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa', khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil. Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab Syafi'i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah." Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau berkata di dalam Shahihnya 2/1947: "Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai. Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi seseorang sesuatu apapun." Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal. 225-226: "Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam...' jelas menunjukkan bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan." Kemudian beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya: "Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di antaranya dua rakaat fajar." Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu. Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qari' berkata: Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri, ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata: "Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu imam niscaya lebih baik." Kemudian beliau bertekad keras dan mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka'ab. Kemudian aku (Abdurrahman) keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat bersama satu imam. Maka Umar berkata: "Sebaik-baik bid`ah adalah ini dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal malam." (HR. Malik dalam Al- Muwatha' 1/136-137, Al-Bukhari 4/203, Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1. Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar "Sebaik-baik bid`ah adalah ini" atas dua perkara: 1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid'ah, tidak ada pada jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat. 2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid'ah hasanah) dan mereka mengkhususkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi "Setiap bid'ah itu sesat' dan yang semisalnya. Hal ini juga batil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla' 2/591: "Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah dalam keadaan yang demikian --yakni jamaah di masjid dalam keadaan terang atas satu imam-- suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka laksanakan. Hal ini dinamakan bid'ah karena secara bahasa memang demikian dan bukan bid'ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan. Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya." Beliau juga mengatakan dalam Majmu' Fatawa 31/36: "Hukum asal shalat tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid'ah secara bahasa, bukan syariat." Jadi bid'ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat. Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Lafadh atsar di atas "Orang-orang tidur darinya lebih utama daripada..." dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut: "Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah." Syaikh Al-Albani menambahkan: "Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama daripada shalat di akhir malam sendirian." (Shalat Tarawih hal. 42) Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa' 1/137 no. 248 dari Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata: Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama manusia sebanyak 11 rakaat." Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar." Syaikh Al-Albani berkata: "Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid 1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab Shalatut Tarawih". Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan: 1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat. 2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini, walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf. Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh, pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam At- Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil Hadits hal. 407) Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya (Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391). Syaikh Al-Albani mengatakan: "Atsar ini termasuk jenis yang ketiga yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima, walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi. Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu' 4/33 dan beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Al- Baihaqi, akan tetapi mursal karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi'i dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat. Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks) dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya "diriwayatkan", ukhbira "diceritakan" atau "dikisahkan", dan sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Syafi'i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107." Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab, Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada ijma' yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma' atas shalat tarawih 20 rakaat. Ijma' ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan. Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini adalah ijma' penguat yang bathil. Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77: "Dikatakan oleh Al-Ajuri ---dari rekan-rekan kami-- bahwa Imam Malik menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai. Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam." Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: "Yang benar shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam." Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan'ani dalam Subulus Salam bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid'ah dan beliau berkata: "Tidak ada bid'ah yang dipuji, bahkan semua bid'ah itu sesat." (Subulus Salam 1/11-12) Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat, tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka." (HR. Ahmad 4/126-127 Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim 1/95-97). Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah seorang khulafa'ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha' selain mereka, kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid'ah di dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Shalatlah sebagaimana aku shalat." (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad) Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat, mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban- kewajiban shalat seperti tuma'ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang- orang yang tunduk meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif. QUNUT DALAM SHALAT WITIR Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil riwayat Abu Dawud: Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 2/65) Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir bulan Ramadlan .... Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi: Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha' (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar. Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma'bud: "Abu Atikah dlaif." Juga kata Al-Baihaqi: "Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha' 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan Salman dan beliau berkata: "Benar, qunut witir pada pertengahan akhir Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal 133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan pendapat di atas sebagai kesalahan. Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu: Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi'i dan Ahmad Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201) Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan meletakkannya sebelum ruku`." (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud, An-Nasa'i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani, Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian Syaikh Albani). Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua. Syaikh Masyhur berkata: "Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah (kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134) Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid Sabiq: "Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak." (Fiqhus Sunnah 1/166) Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam Al- Baihaqi mengatakan: "Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka." Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: "Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil." (Al-Fatawa hal. 47). Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin (keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal 133. Doa Qunut Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: "Allahummah dinii fiiman hadaita, wa 'aafinii fiiman 'aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a'thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo `alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya'izzuman `aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta'aa laita, laa manja minka illa ilaika." Artinya : "Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu." (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah) Syaikh Masyhur mengatakan: "Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan "falakal hamdu `alaa maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik." Adapun shalawat kepada Nabi shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu `anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134) Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Wallahu `alam bisshawab. Maraji': 1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani 2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani 3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani 4. Irwa'ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani 5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh Nashirudin Al-Albani 6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta'il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman 7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah 8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr 9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq 10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid (Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli "Sholat Tarawih", hal 22-32) Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara: Pertama. Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan. Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat: a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: "Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat." (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr) b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: "Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur'an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain) Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah. c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat- rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu "Qul ya ayyuhal kafirun" dan "Idza zulzilat." Penjelasan. Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : "kemudian ia berwitir" maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah. Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya'nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba'diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya. Kedua Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima). Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan. Penjelasan : Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43. Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi'i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja. Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama' seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba'diyah Isya. Ketiga. Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat. Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: "Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya". Penjelasan: Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas. Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan. Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): "Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat - dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat." Keempat. Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat. Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi. Kelima Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka'at). Kemudian Nabi sholat 2 raka'at sambil duduk. Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa'ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku. Penjelasan Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan Ahmad VI:53,54,168. Keenam. Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk. Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah disebutkan pada cara yang kelima. Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu: "....Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat." Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat. Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara: a. Dengan sekali duduk dan sekali salam b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat c. Memberi salam setiap dua rakaat Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman 119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah "Sabbihisma Rabbikal A'la" dan pada rakaat kedua membaca surah "Al-Kafirun", dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu. Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih. Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya. Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat (kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat. Sedangkan hadits Ubay bin Ka'ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba'ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa'id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah. Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba' kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan. Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi'in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: "Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat." (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110). Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan'aani dalam Subulus Salam II:8. Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama. (Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.) Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
I'tikaf seperti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam Rabu, 20 Oktober 2004 - 04:36:21 :: kategori Fiqh Penulis: yaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid .: :. 1. Hikmahnya Al 'Allamah Ibnul Qayyim berkata: "Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqomah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah 'Azza wa Jalla tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah 'Azza wa Jalla secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan makan dan minum dengan berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya, menghalangi dan menghentikannya. Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari'atkan bagi mereka puasa yang menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hambaNya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah 'Azza wa Jalla, dan disyari'atkannya (I'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dan disyari'atkannya I'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah 'Azza wa Jalla dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah meng-ingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepadaNya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan- betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semua kepada-Nya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan dengan berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur mankala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari I'tikaf yang agung itu".163) [ Zaadul Ma'ad (2/86- 87)] 2. Makna I'tikaf Yaitu berdiam(tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang- orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai Mu'takif dan `Akif.164) [Al Mishbahul Munir (3/424) oleh Al Fayumi, dan Lisanul Arab (9/252) oleh Ibnu Mandhur.] 3. Disyari'atkannya I'tikaf Disunnahkannya pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal.165)[ Riwayat Bukhari (4/226) dan Muslim (1173)] Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam "Wahai Rasulullah (Shalallahu 'alaihi wassalam), sesungguhnya aku ini pernah nadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri'tikaf pada malam hari di Masjidil Haram." Beliau bersabda: "Tunaikanlah nadzarmu." Maka ia (Umar) pun beri'tikaf pada malam harinya. 166)[ Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656)] Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sering beri'tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang mana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beri'tikaf selama dua puluh hari. 167)[ Riwayat Bukhari (4/245] Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam seringkali beri'tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 168) [Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari Aisyah] 4. Syarat-syarat I'tikaf a. Tidak disyari'atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta'ala: "Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu169) [ Yakni "Janganlah kamu menjimaki mereka". Pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zadul Masir (1/193) oleh Ibnul Jauzi]. (QS. Al Baqarah: 187) b. Dan masjid-masjid di sini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid, pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shalallahu 'alaihi wassalam : "Tidak ada I'tikaf kecuali pada tiga masjid (saja)."170) [Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan mengenai hal ini pada kitab yang berjudul Al Inshaf fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid] c. Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beri'tikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radiyallahu 'anha yang telah disebutkan.171) [ Dikeluarkan oleh Abdul Razak dalam Al Mushannaf (8037) dan riwayat (8033) dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas]. 5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan: a. Diperbolehkan keluar masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya), Aisyah Radiyallahu 'anha berkata: "Dan sesungguhnya rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang I'tikaf di masjid ["dan aku berada dalam kamarku"] kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: "aku cuci rambutnya") ["dan antara aku dan beliau (ada) utbah pintu"] {"dan waktu itu aku sedang haidh"] dan adalah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I'tikaf."172) [hadits riwayat Bukhari (1/342) dan Muslim (297) dan lihat Mukhtasar Shahih Bukhari no.167 oleh Syaikh kami Al Albani rahimahullah dan Jami'ul Ushul (1/3451) oleh Ibnu Atsir]. b. Orang yang sedang I'tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam: "Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam berwudlu di dalam masjid dengan wudlu yang ringan."173) [Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih]. c. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena Aisyah Radiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf174) [Sebagaimana dalam shahih Bukhari (4/226)] dan hal ini atas perintah Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam 175) [Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)]. d. Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri'tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam jika I'tikaf dihamparkan untuknya kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At Taubah.176) [Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) an Al baihaqi, sebagaiman yang dikatakan oleh Al Bushiri dari dua jalan . Dan sanadnya hasan]. 6.I'tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid a. Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat I'tikaf, dan suaminya diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radiyallahu 'anha berkata: "Dahulu Nabi (Shalallahu 'alaihi wassalam) (tatkala beliau sedang) I'tikaf [pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliau berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki-laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi- pun bersabda: "Tenanglah177)[Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci], ini adalah Shafiyyah bintu Huyay (istri Rasulullah sendiri, red)" , kemudian keduanya berkata: "Subhanallah (Maha Suci Allah), ya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam." Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya syetan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelekan di hati kalian- atau beliau berkata: sesuatu- "178) [Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu daud (7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud)] b. Seorang wanita boleh I'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. Berdasarkan ucapan Aisyah Radiyallahu 'anha: "Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam I'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Al mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau I'tikaf setelah itu."179)[ Telah lewat takhrijnya] berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah-pent): "pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita I'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dali yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah Fiqhiyah: " Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat." (Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul asli Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "I'tikaf". Penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia) Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Hukum-hukum sekitar I'tikaf dalam pandangan Ulama' Ahlusunnah Rabu, 20 Oktober 2004 - 04:42:53 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani .: :. Hukumnya I'tikaf adalah sunnah di bulan ramadhan dan yang lainnya sepanjang tahun, dalilnya adlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Sedang kalian dalam kedaan I'tikaf di masjid". (QS. Al-Baqarah :187) Disertai hadist-hadist shahih tentang I'tikaf Nabi shalallahu `alaihi wasallam. Demikian pula atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah itu. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq. *(Dulu disini pada cetakan yang lalu ada hadist, dalam masalah keutamaannya "Barangsiapa beri'tikaf suatu hari" kemudian aku hilangkan, karena di kemudian hari jelas bagi saya lemahnya. Telah saya takhrij dan saya komentari dengan rinci dalam kitab "Silsilah Dhoifah" 5347. Saya singkap penyakitnya yang sempat tersamarkan kepada saya dan juga kepada Al Haistany sebelum saya). Telah terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu `alaihi wa sallam i'tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal *(Potongan dari hadist Aisyah radhiyallahu `anha, riwayat Bukhari Muslim dan Ibu Khuzaimah , dalam kitab shahih merekatelah ditahkrij dalam shahih Abu Dawud), dan ahwa Umar radhiyallahu `anhu berkata kepada Nabi shalallahu `alaihi wasallam "Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I'tikaf semalam di Masjidil Haram"? Nabi shalallahu `alaihi wasallam bersabda : "Penuhilah nadzarmu". (maka Umar I'tikaf semalam).*(riwayat Bukhari, Muslim dan Ibnu Khuzaimah dan tambahan itu pada Bukhari dalam ssebuah riwayat, seperti terdapat dalam "Mukhtasar Shahih Bukhari" (995) dan telah ditakhrij dalam "Shahih Abu Dawud" juga no: 2136-2137). Dan lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist Abi Hurairah radhiyallahu `anhu, bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam ber i'tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam I'tikaf selama 20 hari. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya telah ditakhrij dalam sumber yang lalu no: 2126-2130). Yang paling utama adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu `alaihi wasallam I'tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari dan Ibnu Khuzaimah 2223 telah ditakhrij dalam Al-Irwa (996) dan "Shahih Abi Dawud" no :2125). Syarat-syaratnya : 1. Tidak disyariatkan kecuali di dalam masjid-masjid berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan janganlah kalian melakukan jima'[1]dengan mereka sedang kalian beri'tikaf di masjid-masjid"). (Al Baqarah 187, Imam bukhari berdalil dengan ayat ini atas apa yang kami sebutkan, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar :" Sisi pendalilan dari ayat itu bahwa kalau seandainya I'tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima' itu hanya padanya, karena jima' itu membatalkan I'tikaf secara ijma', maka diketahui dengan penyebutan masjid bahwa dimaksudkan I'tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid). ["dan jangan kalian melakukan jima..." yakni "Jangan berjima' dengan mereka " ibnu Abbas mengatakan : kata ( ) semuanya berarti jima', akan tetapi Allah mengkinayahkan apa yang Ia kehendaki dengan apa yang Allah kehendaki. Riwayat Baihaqi (4/321) dengan sanad yang perawinya terpercaya.] Berkata Aisyah radhiyallahu `anha : "Disunnahkan, bagi seorang I'tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima' dengan mereka, dan tidak I'tikaf melainkan pada masjid jami' (yang digunakan untuk shalat jamaah). Disunnahkan pula bagi yang I'tikaf untuk berpuasa. (Riwayat Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan, riwayat yang selanjutnya dari Aisyah radhiyallahu `anha, dan telah di takhrij dalam Shahih Abu Dawud (2135) dan Irwa'ul Ghalil no 996.) 2. Dan hendaklah pada masjid jami' agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum'at, karena keluar untuk itu adalah wajib. Berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu `anha yang lalu dalam sebuah riwayat. ("dan tidak ada I'tikaf kecuali di masjid jami'".). (Riwayat Baihaqi dari Ibnu Abbas : "Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid'ah dan sesungguhnya termasuk bid'ah adalah I'tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah)". Kemudian saya dapati pada hadist yang shahih dan jelas yang mengkhususkan keumuman makna (masjid-masjid) yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsa dengan hadist Nabi shalallahu `alaihi wasallam : "Tidak ada I'tikaf kecuali pada 3 masjid itu"). (Diriwayatkan oleh Thahawi, isma'ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij dalam "Silsilah shahihah" no :2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain. Dari apa yang saya sebutkan diatas dan semuanya shahih). Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian sebagaimana yang telah saya dapati, adalah sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha' rahimahullah. Akan tetapi `Atha' tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Yang lain mengatakan masjid jami' secara mutlak, tetapi yang lain menyelisihi mereka, dan mengatakan : "Walaupun dalam masjid (atau mushala pent) rumahnya". Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Subhanahu wa Ta'ala a'lam. 3. Disunnahkan untuk yang melakukan I'tikaf agar berpuasa sebagaimana yang lalu dari penjelasan Aisyah radhiyallahu `anha.[2] Yang dibolehkan untuk orang yang berI'tikaf sbb : a. Dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Berkata Aisyah radhiyallahu `anha : "Sesungguhnya Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri'tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya." Dalam riwayat : "Lalu saya cuci kepalanya dan diantara aku dan dia kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau dalam keadaan I'tikaf." (Riwayat Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad dan tambahan lafadz itu dari keduanya. Telah ditakhrij dalam "Shahih Abu Dawud" (2131-2132) ). b. Dibolehkan untuk seorang yang I'tikaf dan yang lain untuk berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu `alaihi wasallam : " Nabi shalallahu `alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid". ( Riwayat Baihaqi dengan sanad baik dan Ahmad (51364) secara ringkas dengan snad yang shahih). c. Dibolehkan pula membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber'tikaf didalamnya, karena Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu `alaihi wasallam [3]. [Disebut "Khiba" salah satu bentuk rumah-rumah orang arab yang terbuat dari bulu unta atau wol, dan bukan dari rambut, dibuat diatas 2 tiang atau 3."Nihayah".] Jika beliau beri'tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu `alaihi wasallam[4]. [Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadist Aisyah radhiyallahu `anha, riwayat perbuatan `Aisyah itu diriwayatkan oleh Bukhari adapun yang menerangkan perintah Nabi shallallahu `alahi wa sallam, ada pada riwayat Muslim. Telah lewat takhrijnya pada hal.34 pada catatan kaki no.39]. Dan pernah beliau shalallahu `alaihi wasallam satu kali beri'tikaf di qubah (semacam payung pent) kecil [5] [aitu tenda kecil yang diatasnya melingkar. "Suddah" artinya semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, yang dimaksud, bahwa beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang, sebagaimana yang dikatakan As-Sindy, lebih utama kita katakan : supaya pikiran orang yang beri'tikaf tidak tersibukkan orang yang lewat didepannya agar mendapatkan maksud dan ruh dari I'tikaf itu, sebagaimana yang diucapkan Ibnu Qoyyim : "Kebalikan dari apa yang dilakukan orang-orag bodoh dimana orang-orang beri'tika membuat semacam ruang tamu dan berbincang-bincang didalamnya. Ini adalah satu macam, sedang I'tikaf Nabi shallallahu `alaihii wa sallam adalah macam yang lain (berbeda, red), Allahlah yang memberi taufiq.] dengan naungan tikar[6]].[Ini adalah ujung hadist Abu Sa'id Al-Khudri, riwayat Muslim dan Ibnu Khuzaimah dalam shahih keduanya dan telah di Tahkrij dalam Shahih Abu Dawud no.1251] Dibolehkannya Wanita beri'tikaf dan menengok suaminya di masjid a. Dibolehkannya seorang wanita menengok suaminya yang ada di tempat I'tikafnya, dan hendaknya suaminya mengantarkannya sampai keluar pintu masjid, berdasarkan ucapan Shafiyah Radhiyallahu `anha : "Ketika itu Nabi shalallahu `alaihi wasallam beri'tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu `alaihi wasallam katakan : " Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan". Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. Shafiyah radhiyallahu `anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Umi Salamah radhiyallahu `anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu `alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu `alaihi wasallam berkata : " Pelan- pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyah binti Huyai" (istri Rasulullah sendiri, red). Lalu keduanya mengatakan : "Subhanallah ! Wahai Rasulullah". Maka Nabi shalallahu `alaihi wasallam mengatakan : "Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.". (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud tambahan, terakhir pada hadist itu dikeluarkan oleh Abu Dawud, telah ditakhrij dalam shahih Sunan Abu Dawud ,2144-2134). b. Bahkan dibolehkan bagi wanita untuk I'tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan `Aisyah radhiyallahu `anha : "Telah I'tikaf bersama Nabi shalallahu `alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat". (Riwayat Bukhari telah ditakhrij dalam Shahih Abu Dawud no.2138, riwayat yang lain adlah riwayat Said bin Manshur seperti terdapat dalam "Fathul Bari"4/281. Akan tetapi Darimi menyebutnya "Zaenab" 1/22 Wallahu a'lam.) `Aisyah juga mengatakan : "Dahulu Rasulullah shalallahu `alaihi wasallam beri'tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri'tikaf setelahnya. (Riwayat Bukhari Muslim dan selain keduanya telah di takhrij hal.35, catatan kaki no.2) Saya katakan : "Bahwa itu terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita I'tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan waki- walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : "Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaukan)". 3. Jima' membatalkan I'tikaf berdasarkan firman Allah : "Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I'tikaf (di masjid)". Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu : "Jika seorang yang I'tikaf melakukan jima' bata; I'tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah 3/920 dan Abdurrazzaq 4/363 dengan sanad yang shahih dan yang dimaksud dari kata (Ista'nafa) dalam lafadz 2 hadist adalah mengulangi I'tikafnya). Dan tidak ada kafarah bagi dia karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu `alaihi wasallam dan para sahabatnya. "Maha suci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tiada Illah yang hak melainkan Engkau, aku minta ampun kepada-Mu dan bertaubat Kepada-Mu." Selesai mengoreksi dan membenahinya, juga menambahnya dengan tambahan- tambahan baru, dengan pena penulisnya pada fajar hari ahad 26 Rajab tahun 1406 H, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan Shalawat dan salam-Nya kepada Nabi shalallahu `alaihi wasallam yang ummi, juga kepada keluarga dan sahabatnya. (Dinukil dari terjemah kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia "Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam ", Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su'aidi, Bab "I'tikaf", Hal : 72 - 84 , Penerbit "Cahaya Tauhid Press") Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Fatwa Syaikh tentang Hukum I'tikaf Ahad, 16 November 2003 - 05:11:25 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Abdullah Bin Abdullah Aziz Bin Baz .: :. Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang hukum I'tikaf Pertanyaan: Apakah hukum I`tikaf bagi laki-laki dan wanita? Apakah berpuasa merupakan syarat untuk syahnya I`tikaf? Kemudian amalan apa saja kah yang baik dilakukan oleh orang yang beri`tikaf? Kapan waktu memasuki tempat i`tikaf dan kapan keluar dari sana ? Jawaban: I`tikaf hukumnya Sunnah bagi laki-laki dan wanita sebagaimana telah datang dari Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam, bahwasanya beliau dulu beri`tikaf di bulan Ramadhan. Kemudian pada akhirnya, i`tikaf beliau tetapkan pada sepuluh hari terakhir. Para istri-istri beliau juga beri`tikaf bersama beliau Shalallahu 'alaihi wassalam, dan juga setelah beliau wafat. Tempat beri`tikaf adalah mesjid-mesjid yang didirikan shalat berjamaah padanya. Apabila waktu i`tikafnya diselingi oleh hari Jumat, maka yang lebih utama adalah beri`tikaf di mesjid yang mengadakan shalat Jumat, jika itu memungkinkan. Tidak ada waktu-waktu tertentu bagi i`tikaf dalam pendapat Ulama yg terkuat .Juga tidak disyaratkan berpuasa walaupun dengan berpuasa lebih utama. Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf agar memasuki tempat beri`tikaf saat dia berniat i`tikaf dan keluar dari padanya setelah lewat masa yang dia inginkannya. Diperbolehkan baginya boleh memotong waktu tersebut jika ada keperluan lain, karena i`tikaf adalah sunnah dan tidak menjadi wajib jika dia telah memulainya, kecuali jika dia bernadzar. Disunnahkan beri`tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan untuk mengikuti Rasululllah Shalallahu 'alaihi wassalam. Disunnahkan bagi seseorang yang beri`tikaf saat itu untuk memasuki tempat i`tikafnya setelah shalat Fajar hari ke-21 dan keluar dari sana apabila telah selesai sepuluh hari. Jika dia memotongnya maka tidak mengapa, kecuali jika i`tikaf nadzar sebagaimana telah dijelaskan. Yang lebih diutamakan adalah menyediakan tempat khusus di dalam mesjid untuk beristirahat jika memungkinkan. Dianjurkan bagi yang beri`tikaf agar memperbanyak dzikir, membaca qur`an,istighfar, berdoa dan mengerjakan shalat-shalat Sunnah selain pada waktu-waktu yang dilarang. Tidak dilarang bagi teman-teman seseorang yang beri`tikaf untuk mengunjunginya dan berbicara dengan mereka sebagaimana Rasululullah Shalallahu 'alaihi wassalam dahulu dikunjungi oleh beberapa istrinya dan berbicara dengan mereka. Pada suatu saat Shofiyah mengunjungi beliau saat I`tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini menunjukan kesempurnaan sifat tawadhu` dan baiknya beliau terhadap istri-istri beliau, semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas beliau. --------------------------------------------- --------------------------- Referensi: Dinukil dari Tuhfatul ikhwan bi ajwibatin muhimmatin tata`allaqu bi arkanil islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Penerjemah Abu Abdillah Alee Masaid As salafee Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Mengawali dan mengakhiri Bulan Ramadhan Ahad, 17 Oktober 2004 - 05:14:36 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hami .: :. Menjelang Bulan Ramadhan 1. Menghitung hari bulan Sya'ban Ummat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan, hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit, bumi dan menjadikan bulan sabit tempat-tempat, agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari. Dari Abu Hurairah radiyallahu `anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda (yang artinya) : "Puasalah kalian karena melihat hilal (bulan baru, red) dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari." (HR Bukhari (4/106) dan Muslim (1081). Dari Abdullah bin Umar Radiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : "Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban." (HR Al Bukhari (4/102) dan Muslim (1080)) Dari Adi bin Hatim Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam bersabda : "Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ketiga puluh." (HR At Thahawi dalam Musykilul Atsar (no 501), Ahmad (4;/377), At Thabrani dalam al Kabir (17/171). Dalam sanadnya ada Musalid bin Said, beliau dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma Az Zawaid (3/146), akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al Irwaul Ghalil (901) karya syaikhuna Al Albany hafidhohullah). 2. Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak [yaitu hari yang diragukan , apakah telah memasuki bulan Ramadhan atau belum, ed] Oleh karena itu, seyogyanya seorang muslim tidak mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pernah bersabda : "Jangan kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seseorang yang telah rutin berpuasa, maka berpuasalah." (HR Muslim (573 mukhtashar dengan muallaqnya). Ketahuilah wahai saudaraku se-Islam, barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qashim Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Shillah bin Zufar meriwayatkan dari Ammar : "Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim." (Yaitu, hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum, ed). (HR Bukhari (4/119), dimaushulkan oleh Abu Daud (3334), Tirmidzi (686), Ibnu Majah (3334), An Nasa'I (2199) dari jalan Amr bin Qais al Mala'l dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni as Sabi'I mudallis dan dia telah `an'anah dalam hadits ini, dia juga tercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukung) dibawakan oleh al Hadits Ibnu Hajar al Atsqalani dalam Ta'liqu Ta'liq (3/141-142) sehingga beliau menghasankan hadits ini. 3. Jika seorang muslim telah melihat hilal hendaknya kaum muslimin berpuasa atau berbuka Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam : "Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah." (HR An Nasa'I (4/133), Ahmad (4/321), Ad Daruquthni (2/167) dari jalan Husain bin Al Harits al Jadali dari Abdurrahman bin Zaid bin Al Khattab dari para shahabat Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah para riwayat An Nasa'I, Ahmad menambahkan : "Dua orang muslim." Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa)., dalam satu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : "Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa." (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187). (Dikutip dari Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, Bab "Menjelang Bulan Ramadhan", penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia ) Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id
Niat dalam berpuasa wajib di bulan Ramadhan Senin, 27 Oktober 2003 - 03:12:26 :: kategori Fiqh Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly .: :. 1. Wajibnya Niat Puasa Wajib Sebelum Terbit Fajar Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi'ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma'anil Atsar 1/54 : "Niat di malam hari" dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa'i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya shahih] Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) : "Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya" [Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada 'an- anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya]. Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya) : "Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154]. Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda', Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu 'Abbas, Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhum dibawah benderanya Sayyidnya bani Adam [Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta'liq 3/144-147] Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta'ala a'lam 2. Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari'at Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha'). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari'at yang telah ditetapkan : "Kemampuan adalah dasar pembebanan syari'at. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia berkata) (yang artinya) : "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/212 dan Muslim 1135] Dan dari Salamah bin Al-Akwa' Radhiyallahu, ia berkata (yang artinya) : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura" [Hadits Riwayat Bukhari 4/216, Muslim 1135]. Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun. 3. Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa' tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : "Apakah kalian puasa pada hari ini ?" sebagian mereka menjawab : "Ya" dan sebagian yang lainnya menjawab : "Tidak" (Kemduian) beliau bersabda : "Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini". Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka" [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa'i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As- Sya'bi darinya, dengan sanad yang Shahih] Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas'ud [Hadits Riwayat Muslim 1127] : "Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura". Dan ucapan Aisyah [Hadits Riwayat Muslim 11225] : "Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura (berartti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent) Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a'lam. Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) : 1. Wajibnya puasa Asyura 2. Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan 3. Barangsiapa makan dan minum kemudian tahu di sisa hari tersebut, maka tidak wajib mengqadha' Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Walalhu a'lam. Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata : "Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : "Kalian puasa hari ini?" Mereka menjawab, "Tidak" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha'lah kalian". Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu : 1. Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah.Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567 : "(Dia) tidak dikenal" Al- Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239 : "Keduanya majhul". Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta'dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta'dil. 2. Ada 'an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis. Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H. Cetak >>
Right to copy - 2006 (Silakan disalin dgn menyertakan URL sumber) www.salafy.or.id