Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

GENERAL ANESTESI-ENDOTRACEAL TUBE RESPIRASI


TERKONTROL PADA PASIEN IDIOPATIC SCOLIOSIS TH
V
-L
III
TRIPLE
MAYOR CURVE YANG AKAN DILAKUKAN WAKE UP TEST



Oleh:
dr. Maya Sapti


KASUS PASIEN

Pasien merupakan seorang perempuan Nn. D usia 21 tahun dengan diagnosa idiopatik
scoliosis Th
V
-L
III
triple mayor curve yang akan dilakukan koreksi dan stabilisasi posterior T
II
-L
III

double curve dengan wake up test. Pasien datang dengan keluhan punggung bengkok sejak 10
tahun yang lalu. Keluhan tersebut disertai dengan nyeri punggung yang kambuh-kambuhan.
Tidak ada sesak, riwayat trauma sebelumnya disangkal, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Pada pemeriksaan pratindakan didapatkan kondisi umum pasien sakit sedang dengan skor
VAS 0, tekanan darah 120/70; laju nadi 84 x/menit, regular, isian cukup; laju pernapasan 20
x/menit; suhu 36,5
o
C; berat badan 55 kg. Pada pemeriksaan punggung didapatkan deviasi
punggung. Pada pemeriksaan rontgen didapatkan ?? (bacaan radiologi? Maaf dok blm pnh dapet
pasien scoliosis pas radio, blum bisa baca radiologinya.. hehe)
Diagnosis: idiopatic scoliosis Th
V
-L
III
triple mayor curve
Kesimpulan Anestesi: setuju penatalaksanaan anestesi pada pasien Nn. D usia 21 tahun
dengan diagnosa idiopatic scoliosis Th
V
-L
III
triple mayor curve yang akan dilakukan koreksi dan
stabilisasi posterior T
II
-L
III
double curve dengan wake up test dengan teknik pembiusan GA-ET
respirasi terkontrol. Status fisik ASA II.


Gambar 1. Foto thorax pasien atas nama Nn. D (21 tahun)

Penatalaksanaan
I. Persiapan :
Persiapan sebelum dilakukan anestesi GA-ET respirasi terkontrol. Cek ulang
identitas pasien dan informed consent, persiapan pasien, ketersediaan darah, persiapan alat
dan obat anestesi, serta monitor dan mesin anestesi termasuk obat-obat emergensi.
Kondisi umum menjelang tindakan :
KU sedang, Kesadaran Compos mentis, VAS : 0
Vital sign : TD 126/66 mmHg HR 80 x/menit, sinus ritmis
RR 20x/menit SpO2 100%

II. Teknik tatalaksana
Dilakukan persiapan di meja operasi untuk GA-ET respirasi terkontrol. Pasien
diposisikan terlentang kemudian dilakukan pengecekan kelancaran infus. Kemudian pukul
09.00 mulai dilakukan premedikasi dengan midazolam 3mg, preemtif analgetik
menggunakan fentanyl 150mcg, induksi propofol 80mg, dan fasilitas intubasi
menggunakan atracurium 40mg.
Kemudian dipasang laringoskop pipa posisi in line manual stabilization, intubasi
dengan ETT non kinking no. 7.0. Kemudian pasien diposisikan dalam posisi prone.
Dilakukan pemeliharaan anestesi menggunakan isofluran 1.2 vol%, O
2
:N
2
O=2:2.

Kondisipasien saat tindakan :

Gambar 2. Hemodinamik pasien durante tindakan dan observasi

0
20
40
60
80
100
120
140
Sistolik
Diastolik
Heart rate
Saturasi
Penggantian cairan durante operasi:
Koloid : 2 HES 130/6%
Kristaloid : -
Darah : -

Wake up test
Operasi berjalan kurang lebih selama 5 jam untuk pemasangan instrumen spinal
lengkap. 35 menit sebelum wake up test intraoperative, anestestik volatile dan pelumpuh
otot di hentikan, infuse RL dengan drip fentanyl 200mcg tetesan 20 tpm dan pasien di
biarkan bangun perlahan. Kemudian pasien diminta untuk mengerakkan kedua kakinya.
Bila pasien sudah memberikan respon positif, anestesi volatile isoflurane dibuka dan di
berikan propofol 30mg, pelumpuh otot atracurium 10mg. Kemudian nafas spontan dari
pasien di tabrak untuk memperdalam anestesi.

Kondisi pasien paskatindakan :
Selesai operasi, dilakukan ektubasi sadar di Recovery Room. Kemudian diobservasi selama
satu jam. Setelah hemodinamik stabil, pasien dikirim ke ruang intensive care unit. Pasien
post operasi dirawat di ICU dengan diberikan analgetik syringe pump Fentanyl 3mcg/jam.
Pada 24 jam pertama pasien menunjukkan kondisi yang stabil.
KU baik, Kesadaran Compos mentis, VAS : 0
Vital sign : TD 120/60 mmHg HR : 80x/menit
RR 16x/menit SpO2 100% nasal
Laboratorium :
Hb : 10.3 g/dl
Hct : 31 %
AL : 17.00 rb/ul
AT : 217.000 rb/ul
GDS : 110

TINJAUAN PUSTAKA

A. SKOLIOSIS
Skoliosis merupakan sebuah deformitas tiga dimensi dari tulang belakang dan tulang
rusuk. Hal tersebut dapat membentuk sebuah lengkungan primer (membentuk huruf C) atau
membentuk dua lengkungan (sebuah lengkungan rimer disertai lengkungan sekunder yang
membentuk bentuk huruf S).
1
Skoliosis ditandai dengan adanya deformitas lateral dan adanya
rotasi pada tulang belakang (Gambar 1).
2
Skoliosis dapat muncul hanya pada area thoraks
atau area lumbal, namun sebagian besar muncul pada area antara thoraks dan lumlal (area
thorakolumbal). Dokter mencoba menganalisis skoliosis dari bentuk lengkungnya, lokasinya,
arah dan besarnya, dan jika memungkinkan dari penyebabnya. Keparahan dari skoliosis
dibedakan melalui besarnya lengkungan tulang belakan dan angle of the trunk rotation
(ATR).
1
Verterbra dan prosesus spinosus berotasi pada daerah lengkungan ke arah sisi konkaf dari
lengkungan. Insidensi dari skoliosis di Amerika Utara adalah sebanyak 4 per 1000 orang
dengan perbandingan pria banding wanita sebesar 1:4. Wanita memiliki presentase skoliosis
pada remaja sebanyak 85% dan biasanya memiliki lengkung di sisi kanan.Deformitas
skoliosis signifikan memengaruhi mekanisme pernapasan, pertukaran gas, vaskularisasi paru,
dan regulasi kimia dari ventilasi. Keparahan dari keterlibatan sistem pernafasan dan
kardiovaskular meningkat seiring dengan bertambahnya derajat kelengkungan sehingga dapat
menyebabkan gagal nafas, hipertensi pulmoner, dan cor pulmonale.
1

Gambar 3. Gambaran tulang belakang skoliosis

Menentukan skoliosis dari bentuk dari lengkungan.Skoliosis sering dikategorikan
berdasarkan bentuk dari lengkungan, baik secara struktur maupun tidak.Pada struktur
skoliosis, tulang belakang tidak hanya melengkung dari sisi ke sisi, tetapi tulang belakang
juga mengalami perputaran. Satu sisi tulang rusuk didorong keluar sehingga ruang antara iga
rusuk melebar dan tonjolan bahu (membentuk deformitas rusuk, atau penonjolan); setengah
bagian rusuk lainnya melingkar ke dalam, menekan bagian dalam rusuk.
1
Kelainan lain dari tulang belakang dapat muncul secara tunggal atau kombinasi dengan
skoliosis termasuk hiperkifosis (sebuah abnormalitas berlebihan pada lingkar belakang tulang
belakang) dan hiperlordosis (sebuah lengkungan berlebihan ke depan dari tulang belakang
bagian bawah, juga disebut dengan swayback). Skoliosis juga dibedakan berdasarkan
lokasinya.Lokasi dari bentuk lengkungan dibedakan berdasarkan lokasi vertebra apikal,
tulang pada apeks (titik tertinggi) pada spinal hump. Bagian vertebra ini juga akan
mengalami rotasi yang paling parah.
1
Keparahan skoliosis dan kebutuhan terapi ditentukan oleh lengkung tulang belakang, dan
oleh angle of the trunk rotation (ATR).Keduanya dihitung dalam derajat.Dua faktor tersebut
biasanya berkaitan, maka dari itu, contohnya, seorang pasien dengan lengkung tulang
belakang sebesar 20 derajat biasanya memiliki ATR sebesar 5 derajat. Sebagai sebuah
perhitungan yang digunakan sebagai criteria rekomendasi terapi, meskipun hal ini diketahui
bahwa 80% lengkungan 20 derajat tidak bertambah buruk. Skoliosis didiagnosis ketika
lengkungan dengan 11 derajat atau lebih, tetapi terapinya biasanya tidak dibutuhkan hingga
lengkungan mencapai 30 derajat dan ATR sebesar 7 derajat.
1
Observasi pada skoliosis dilakukan apabila lengkungannya kurang dari 20 derajat dan
dipertimbangkan untuk diterapi apabila lengkungannya lebih besar dari 25 derajat atau yang
memiliki progresifitas sebesar 10 derajat pada saat dilakukan observasi. Namun, keputusan
untuk menentukan bahwa skoliosis perlu diterapi secepatnya atau diobservasi bukan
merupakan hal yang mudah. Persentase dari kasus yang berkembang sebanyak lebih dari 5
derajat dapat sebesar 5% pada kasus tertentu dan sebesar 50 hingga 90% tergantung pada
keparahan lengkungan atau faktor-faktor predisposisi lainnya seperti usia, jenis kelamin,
lokasi lengkungan, keparahan lengkungan, adanya masalah kesehatan lain.
1
Meskipun penyangga direkomendasikan untuk lengkungan dengan keparahan sedang,
pembedahan untuk skoliosis yang parah, pilihan terapinya bisa bervariasi tergantung
kasusnya. Penyangga cenderung digunakan pada anak dengan lengkungan antara 25 dan 40
derajat yang masih akan bertumbuh secara signifikan. Pembedahan disarankan untuk pasien
dengan lengkungan di atas 50 derajat, pada pasien yang tidak ditangani atau ketika adanya
ketidakberhasilan setelah ditangani dengan penyangga. Pada orang dewasa, skoliosis jarang
berkembang menjadi di atas 40 derajat, tetapi pembedahan dapat dibutuhkan apabila pasien
merasa sangat kesakitan atau apabila terdapat permasalahan neurologis.
1
Target dari pembedahan skoliosis adalah meluruskan tulang belakang semaksimal namun
seaman mungkin, untuk menyeimbangkan area torso dan pelvis, dan untuk mempertahankan
koreksinya.Target-target ini dicapai dengan menyatukan tulang belakang sepanjang
lengkungan dan mendukung tulang yang telah disatukan tadi dengan instrumen (batang,
sekrup, pengait dan alat-alat lainnya) sehingga melekat pada tulang belakang.Banyak
terdapat variasi.Seluruh operasi membutuhkan keterampilan teliti.Sejumlah variasi dari
pembedahan skoliosis menggunakan instrumen dan prosedur yang berbeda. Teknik
pencitraan tiga dimensi yang sudah maju memperhitungkan rancangan dari instrumen dan
teknik invasif yang minimal yang dapat menunjukkan masalah dari lengkungan dalam cara
yang komprehensif dengan efek yang tidak lebih parah. Pada sebagian besar pembedahan
skoliosis, kesuksesannya kurang bergantung pada tipe operasinya jika dibandingkan dengan
pengalaman dan kemampuan dokter bedah.Orang tua dari pasien atau pasien dewasa
seharusnya tidak malu untuk menanyakan dokter bedah dan rumah sakit mengenai
pengalaman mereka dengan prosedur spesik sebagai pertimbangan. Rumah sakit yang
berpengalaman memiliki tingkat komplikasi yang rendah dan pasien-pasiennya memiliki
durasi rawat inap yang lebih singkat di rumah sakit.
1
Komplikasi dari pembedahan dapat bermacam-macam, yaitu: perdarahan, nyeri pasca
operasi, infeksi, kerusakan nervus, pseudoarthrosis, degenerasi diskus, dan nyeri pinggang
bawah. Kerusakan neurologis dapat muncul pada 0.6% pasien.Risiko terjadinya tinggi pada
orang dewasa.Kerusakan neurologis dapat menyebabkan kelemahan motorik dan, pada kasus
yang sangat jarang, terjadi paralisis komplit ireversibel.Komplikasi yang sangat serius ini
dicegah dengan menggunakan teknik pengamatan selama operasi. Beberapa dokter bedah
menggunakan sebuah pemeriksaan yang dinamakan wake up test, dimana pasien dikeluarkan
dari efek anestesi pada tengah-tengah operasi dan diminta untuk menggerakan jempolnya.
Kami menggunakan potensial bangkitan motorik dan sensorik, metode yang lebih canggih
yang menghitung aktivitas elektrik dari medulla spinalis; jika monitor mengindikasikan
ketiadaan respon elektrik dan kemungkinan cidera, dokter bedah harus menyesuaikan
tekniknya untuk menghindari kerusakan lebih lanjut terhadap medulla spinalis.
1


B. STAGNARA WAKE UP TEST
Karena adanya resiko iskemia korda spinalis selama pembedahan skoliosis, metode untuk
deteksi cedera korda spinalis telah dikembangkan. Metode paling tua dari penilaiaan fungsi
korda spinalis adalah wake up testintraoperatif yang diperkenalkan oleh ahli bedah spinal
terkenal, Pierre Stagnara, pada tahun 1973 dengan bantuan ahli anestesinya, Mme Vauzelle.
Walaupun pada beberapa hal penggunaannya masih konroversial, wake up testintraoperatif
masih menjadi standar emas untuk penilaian fungsi motorik selama operasi skoliosis. Tes ini
dilakukan dengan membangunkan pasien setelah distraksi spinal untuk melihat apakah fungsi
motorik masih terjaga. Selama wake up test, pasien dibangunkan sampai pada titik dimana
mereka dapat mengikuti perintah untuk menggerakkan kaki mereka dan menggenggam
tangan ahli anestesi. Anestesi kemudian diperdalam untuk menyelesaikan pembedahan.
9

Akan tetapi, metode penilaian ini dikritisi karena tes ini hanya memberikan penilaian
singkat terhadap fungsi motorik pasien. Beberapa pasien mungkin tidak dapat bekerja sama
atau mengikuti perintah.Selain itu, dengan adanya penyakit neurologis yang ada sebelum
operasi, dapat membuat wake up test menjadi negative.Disamping penggunaannya yang luas,
teknik ini memiliki beberapa keterbatasan.Penilaian intraoperatif dari fungsi motorik secara
sukarela hanya memberikan penilaian singkat dari kondisi pasien, dan metode dapat gagal
untuk mendeteksi onset cedera, iskemia, atau cedera syaraf. Pelosi et al menulis bahwa
Stagnara wake up test mungkin lebih akurat dari SSEP (Somato Sensory Evoked Potential) ,
tetapi tidak lebih baik dari MEP (Motor Evoked Potentials) dalam memprediksi hasil fungsi
motorik, sehingga metode ini tidak memberikan informasi deficit sensorik yang dapat
diantisipasi dengan benar oleh SSEP pada sebagian besar kasus, dan wake up test tampaknya
tidak memberikan informasi tambahan untuk dikombinasikan dengan monitoring MEP dan
SSEP.
9

Wake up test, pertama kali dideskripsikan oleh Vauzelle et al, yaitu membangunkan
pasien intraoperatif setelah instrumentasi spinal lengkap. Anestesi bedah biasanya
menggunakan teknik yang seimbang antara nitrit oksida, agen volatile, dan opioid, walaupun
penggunaan opioid dan anestetik volatile kerja pendek (contohnya sevofularan) tunggal
mungkin dilakukan. Opioid penting untuk memberikan analgesi ketika pasien bangun dan
membuat pasien dapat memberikan toleransi pada endotracheal tube.Selama 30-45 menit
sebelum wake up test intraoperatif, anestetik volatile dan pelemas otot dihentikan dan pasien
dibiarkan untuk bangun perlahan.Pasien ditanya namanya dan diminta untuk menggerakkan
kedua tangan, dan setelah mendapat respon positif, diminta untuk menggerakkan kedua
kaki.Pasien biasanya memberikan respon dalam 5 menit.Jika terdapat pergerakan yang
memuaskan dari tangan, tetapi tidak pada kaki, distraksi pada punggung dikendorkan 1
derajat, dan wake up test diulang.
8

Walaupun recallterhadap peristiwa tersebut hanya terjadi pada 0-20% pasien dan jarang
terlihat sebagai kejadian yang tidak menyenangkan, penting untuk mendeskripsikan apa yang
akan dilakukan kepada pasien sebelum pembedahan sehingga kecemasan pasien dapat
diminimalisir. Sangat jarang bagi pasien yang intak secara neurologis ketika bangun selama
pembedahan memiliki deficit neurologis setelah menjalani prosedur lengkap. Akan tetapi,
terdapat beberapa risiko dari wake up test, diantaranya adalah recall, nyeri, emboli udara,
dislokasi instrumentasi spinal, dan ekstubasi endotrachea yang tidak disengaja atau lepasnya
akses intravena dan arteri.
8

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Grottke et al. (2004), untuk membandingkan wake
up test menggunakan agen anestesi inhalasi dan intravena, metode yang digunakan untuk
wake up test adalah sebagai berikut
7
:
Pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0,1mg/kg dan clonidine 2 g/kg per
oral 90 menit sebelum induksi anestesi umum. Setelah pemberian oksigen 100%, anestesi
diinduksi dengan bolus propofol (konsentrasi plasma terkontrol 4 g/mL) dan remifentanil
(konsentrasi plasma 0,5g/kg) atau sufentanil (bolus 0,5-1 g/kg). Bolus cisatracurium 0,1
mg/kg diberikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Paru-paru diventilasi dengan FiO2
0.35 untuk mempertahankan konsentrasi CO2 end-tidal 35-40 mmHg
7
.
Setelah induksi anestesi, akses arteri dimasukkan ke dalam arteri radialis untuk
pengukuran tekanan darah arteri invasive.Selama operasi, MAP dipertahankan antara 60-70
untuk mencegah peningkatan perdarahan dari luka operasi dan untuk memperkuat kedalaman
anestesi.Jika nilai MAP <60 mmHg, atau bradikardi, cafedrin/theoadrenalin atau atropin
diberikan.Kateter vena sentral dimasukkan ke dalam vena jugular kanan untuk pengukuran
tekanan vena sentral kontinyu dan pemberian cairan dan obat
7
.
Untuk pemeliharaan anestesi, pada grup propofol/sufentanil, propofol (konsentrasi
plasma2-4 g/mL) dikombinasikan dengan pengulangan bolus sufentanil 0.1-0.2 g/kg yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien sampai 60 menit sebelum wake up test pertama (sesuai
petunjuk ahli bedah sedini mungkin tetapi jangan terlambat dari perkiraan waktu yang
dibuat) atau di akhir operasi. Pada grup propofol/remifentanil, infuse target terkontrol dengan
propofol (konsentrasi plasma 2-4 g/mL) dikombinasikan dengan remifentanil 0.2-0.5
g/kg/menit. Pada grup desfluran/remifentanil, desfluran/end-tidal udara 3-4 vol%
menggunakan aliran gas segar dengan kecepatan 2L/menit dikombinasikan dengan
remifentanil 0.2-0.5 g/kg/menit
7
.
Setelah ahli bedah meminta untuk wake up test intraoperatif, infuse propofol , atau
inhalasi desfluran dihentikan. Kecepatan infuse remifentanil dikurangi hingga konsentrasi
plasma 0.05 g/kg/menit, dan dosis ini diteruskan selama durasi wake up test intraoperatif
untuk mencegah nyeri selama operasi. Pasien ditanya berulang-ulang selama wake up test,
minimal setiap 30 detik, untuk membuka mata mereka dan untuk menggerakkan tangan dan
kaki mereka. Setelah wake up test selesai, pemeliharaan anestesi dilanjutkan seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya
7
.
Tiga puluh menit sebelum operasi selesai, semua pasien mendapat novaminsulfon
intravena 15 mg/kg sebagai analgesic yang beraksi di perifer.Pada akhir pembedahan,
anestesi dihentikan, dan wake up test postoperative dilakukan
7
.
Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa waktu mulai dari onset anestesi sampai waktu
wake up test tidak berbeda diantara kelompok. Kemunculan tanda awal wake up test pada
grup propofol/sufentanil secara numerik lebih lambat dibandingkan grup
propofol/remifentanil.Subjek yang menerima propofol/sufentanil memiliki onset yang lebih
lama dalam onset napas, mengangkat kepala, dan pergerakan kaki dibanding subjek yang
mendapat propofol/remifentanil atau desfluran/remifentanil
7
.
Distraksi dari tulang belakang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah pada arteri
spinalis anterior sehingga menyebabkan iskemik dari medulla spinalis.Wake up test
digunakan untuk mengamati fungsi medulla spinalis. Adanya reduksi pada aliran darah arteri
spinalis anterior menyebabkan iskemia pada region anterior dari medulla spinalis; hal ini
dapat menyebabkan kelemahan motorik dari ekstremitas bawah. Pada beberapa kasus hal ini
tidak terdeteksi dengan somatosensory evoked potential (SSEP), oleh karena itu, wake up test
digunakan pada pembedahan skoliosis. Wake up test relatif mudah pada pasien yang
dianestesi menggunakan nitrous oxide dan opioid. Apabila anestesi inhalasi poten digunakan,
harus menunggu lebih lama dari saat menghentikan anestesi hingga pasien mulai
memberikan respon.
3
Stagnara wake up test memberikan evaluasi langsung dari fungsi motorik pasien tanpa
bergantung pada computer atau perlengkapan khusus. Wake up test dengan cepat menjadi
gold standard untuk menilai integritas medulla spinalis. Di ruang operasi saat ini, wake up
test digunakan lebih jarang dibandingkan pada masa lalu. Namun, baik untuk melakukan
wake up test ketika terdapat pertanyaan atau kebingungan mengenai keluhan pada jalur
motorik yang terjadi setelah adanya perubahan neuromotoring yang terdeteksi atau
dilaporkan kepada tim bedah.
Wake up testcukup untuk memeriksa motorik ekstremitas bawah, tetapi tidak sensorik,
untuk deteksi awal terjadinya cidera medulla spinalis setelah koreksi deformitas. Meskipun
konfirmasi dari fungsi dapat menenangkan, namun hilangnya fungsi dapat bersifat
ireversibel.Jendela tunggal dari observasi tidak memberikan korelasi dari hilangnya fungsi
dan pembedahan.Jika positif, dokter bedah harus melepas seluruh implan.Kerjasama pasien
dibutuhkan dan gerakan kuat dari pasien data menyebabkan kecelakaan pada ekstubasi atau
hilangnya akses intravena, sedangkan usaha inspirasi dapat membentuk emboli udara pada
vena, trauma dari pergerakan berlebihan, batuk-batuk, imobilisasi instrumen, gangguan
mental dari memori perioperatif, dan iskemik miokard.Namun, hal tersebut dapat
diminimalisir dengan penjelasan yang jelas, penggunaan pilihan obat yang tepat, dan anestesi
secara berhati-hati.
4,6
Wake up test tidak membutuhkan adanya peralatan atau personil
tambahan dan pemeriksaan ini bersifat ekonomis dan mudah dilakukan.
5,6
Metode kontemporer untuk monitoring fungsi korda spinalis juga telah ada.Diantaranya
termasuk monitoring SSEP dan MEP. Respon fisiologis dari sistem saraf pusat terhadap
stimulasi sensorik atau motorik dikenal dengan evoked potentials (EPs). Monitoring EPs
intraoperatif memberikan informasi mengenai fungsi integritas jalur neural pada pasien yang
tidak sadar selama menjalani pembedahan.Monitoring EPs dapat digunakan sebagai
pengganti, atau sebagai tambahan, terhadap metode wake up test.
9

Sebagai tambahan atau alternative dari wake up test adalah monitoring
neurofisiologi.Monitoring neurofisiologi diantaranya adalah SSEP, MEP, dan
elektromiografi. Stimulasi somatosensori mengikuti jalur propiosepsi dan sensorik raba
kolum dorsalis: jalur disuplai oleh arteri spinalis anterior. Jalur motorik, yang disuplai oleh
arteri spinalis anterior, tidak dimonitor.Sebaliknya, MEP memantau jalur motorik tetapi
secara teknis lebih sulit digunakan.Relaksan otot tidak dapat digunakan pada pasien yang
menggunakan monitoring MEP. Sangat penting dicatat bahwa paraplegi postoperative terjadi
pada minimal 1 pasien yang SSEP intraoperatifnya terjaga.
8

Perubahan akut pada amplitudo atau latensi SSEP menunjukkan gangguan medulla
spinalis dan mungkin dapat disebabkan oleh trauma langsung, iskemia, kompresi, atau
hematoma. Jika terjadi perubahan, operasi direkomendasikan tidak dilanjutkan, tekanan
darah dikembalikan ke normal atau 20% di bawah normal, dan agen volatile diturunkan atau
dihentikan. Gas darah arteri sebaiknya dibuat untuk melihat adanya perubahan metabolic.Jika
bentuk gelombang tidak menjadi normal, ahli bedah sebaiknya melepaskan distraksi pada
medulla.Wake up test harus dilakukan pada waktu ini untuk mengeklusi adanya deficit
neurologis.
8

Somatosensory Evoked Potentials (SSEPs) adalah modilatas yang paling banyak
digunakanuntuk monitoring integritas korda spinalis selama operasi skoliosis.Akan tetapi,
ahli anestesi harus mengingat, bahwa penilaian SSEP hanya pada integritas traktus sensorik
ascending dari kolum dorsal.Monitoring SSEP tidak memberikan informasi mengenai jalur
motorik spinal yang juga dapat cedera selama operasi korektif.Hal ini karena jalur motorik
terletak pada traktus kortikospinal descenden anterior dan lateral, dibandingkan traktus
ascenden dari kolum spinal dorsal.
9

SSEPs merepresentasikan reproduksi aktivitas elektrik yang merefleksikan aktivasi
struktur kortikal dan subkortikal setelah stimulasi elektrik dari saraf tepi.Impuls elektrik ini
dirata-rata dengan computer untuk menghasilkan bentuk gelombang yang merepresentasikan
waktu (dalam detik) vs voltage (dalam microvolt).Bentuk gelombang SSEP diukur dalam
amplitude dan latensi. Amplitude menunjukkan perbedaan voltasegelombang evoked
potential dari puncak ke puncak. Latensi merepresentasikan waktu dari stimulus sampai
respon puncak.
9

Selama operasi, impuls elektrik diberikan pada nervus medianus dan nervus tibialis
posterior melalui electrode superficial.Impuls kemudian disebarkan ke arah sentral melalui
saraf tepi ke kolum dorsalis medulla spinalis dimana kemudian naik dari kolum dorsal ke
medulla.Di medulla, impuls melewati garis tengah ke thalamus kontralateral dan kemudian
berjalan ke korteks somatosensory primer.
9

Ketika fungsi medulla spinalis terganggu, biasanya ada peningkatan latensi dan
penurunan amplitude.Peningkatan latensi lebih dari 10% atau penurunan amplitudo lebih dari
50% adalah signifikan. Perubahan tersebut menggambarkan kehilangan integritas dari jalur
neural dan merupakan alasan untuk memberikan intervensi bagi tim bedah.
9

SSEP diproduksi dengan menstimulasi saraf tepi dan merekam responnya dari elektroda
yang memonitor transmisi EP melalui jalur somatosensori.Saraf biasanya distimulasi pada
nervus medianus, ulnaris, peroneal, atau tibialis posterior.Electrode superficial diletakkan
untuk merekam sinyal dari saraf tepi, pleksus, akar saraf, dan kolum dorsalis, jalur batang
otak lemniskus ke thalamus, dan korteks sensorik.
8

Monitoring SSEP merupakan indicator yang sensitive pada integritas fungsi medulla
spinalis.Disamping fakta bahwa monitoring SSEP tidak mengevaluasi fungsi jalur motorik,
SSEP berguna selama pembedahan spinal, terutama untuk koreksi skoliosis. SSEP
intraoperatif sebaiknya dianggap sebagai kepanjangan dari pemeriksaan neurologis sensorik
selama perawatan anestesi, tetapi mungkin tidak dapat secara total menggantikan wake up
test. Selama anestesi, monitoring area yang beresiko dan jalur kontralateral membantu
mengidentifikasi perubahan yang terjadi akibat pembedahan, untuk mengecualikan dari
akibat variable global lain seperti efek anestesi.
8

Oleh karena itu, faktor anestesi, fisiologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan pola
perubahan ini harus dikontrol ketika merekam EP.Semua agen anestesi yang telah diteliti
mempengaruhi EP dengan berbagai variasi.Sensitivitas EP terhadap efek obat bervariasi
dengan modalitas sensorik yang digunakan. Secara umum, untuk mendapatkan rekaman SEP
intraoperatif yang memuaskan, penting untuk memelihara kadar obat anestesi yang konstan.
Terutama pemberian bolus agen intravena dan menambah perubahan konsentrasi inspirasi
agen inhalasi sebaiknya dihindari, terutama ketika terjadi cedera neurologis.
8
Tabel 1. Efek agen intravena dan inhalasi pada SEPs


Secara umum, agen volatile menyebabkan peningkatan latensi dan penurunan amplitudo
yang bergantung-dosis pada SSEP kortikal atau VEP.Seperti yang dicontohkan dalam
penelitian oleh Peterson et al, reduksi amplitude SSEP lebih dari 50% ketika diobservasi
dengan halotan 1 MC, enfluran 0.5 MAC, dan isofluran 0.5 MAC, semua diberikan dengan
nitrit oksida 60% dalam oksigen. Penulis menyimpulkan bahwa halotan paling sedikit
mempengaruhi SSEP, dan enfluran paling banyak mempengaruhi SSEP.Pada dosis
sevofluran dan desfluran 1.5 MAC, terjadi peningkatan latensi kortikal dan penurunan
amplitudo.Desfluran sampai 1 MAC tanpa nitrit okasida sesuai dengan monitoring SSEP
nervus medianus kortikal selama pembadahan skoliosis.Pada dosis 1.5 MAC tanpa nitrit
oksida, amplitude SSEP kortikal terjaga pada baseline 60% dengan desfluran. Ketika nitrit
oksida diberikan dalam kombinasi bersama agen volatile, hal ini akan menyebabkan efek
penurunan SSEP dan VEP yang besar.
8

Penelitian pada agen intravena menunjukkan bahwa dosis induksi thiopental, etomidat,
dan fentanil mempertahankan rekaman SSEP.Peningkatan dosis thiopental menyebabkan
peningkatan latensi dan penurunan amplitudo yang bergantung dosis pada SSEP kortikal.
Dosis thiopental yang sangat tinggi, melebihi dosis yang menyebabkan EEG isoelektrik, akan
mengubah prediktabilitas SSEP, tetapi mempertahankan bentuk gelombang. Baik itu
pemberian bolus atau infuse intravena, etomidat menyebabkan penurunan latensi dan
peningkatan amplitudo SSEP kortikal dan sedikit penurunan amplitude pada potensial
servikal. Propofol meningkatkan latensi dan menurunkan amplitude pada SSEP kortikal.
8

Opioid memberikan perubahan minimal pada bentuk gelombang SEP. contohnya,
fentanil menyebabkan pemanjangan latensi minimal dan penurunan depresi dari bentuk
gelombang SSEP.Dibandingkan dengan kombinasi fentanil dan nitrit oksida, teknik
remifentanil/isofluran mempertahankan amplitude kortikal lebih baik dan sedikit variabilitas
dalam latensi dan amplitude. Infuse kontinyu dosis kecil opioid cenderung menurunkan SEP
lebih sedikit dibandingkan dengan injeksi bolus intermiten.
8

Karena opioid mempertahankan rekaman SEP baik itu pada dosis besar, mereka
direkomendasikan untuk digunakan sebagai infuse selama monitoring intraoperatif.
Sebagaimana semua agen intravena yang digunakan, pemberian bolus sebaiknya dihindari
selama waktu kritis ketika cedera neurologis mungkin terjadi.
8

Klonidin dan dexmedetomidine adalah agonis reseptor 2 yang digunakan untuk
menurunkan kebutuhan anestetik.Pemberian klonidin tunggal atau ditambahkan pada
isofluran 1 MAC tidak mengubah latensi atau amplitude SSEP kortikal.Dexmedetomidine
mempengaruhi amplitude SSEP minimal dan menumpulkan efek isofluran pada amplitude
SSEP.Kedua agen tersebut dapat digunakan sebagai anestesi ajuvan tanpa mengganggu
monitoring SSEP.
8
Faktor fisiologis seperti suhu, tekanan darah sistemik, PaO2, dan PaCO2 dapat
mengubaha SEP dan harus dikontrol selama perekaman intraoperatif.Hipotermi dan
hipertermi dapat mengubah SEP. Penggunaan cairan untuk mengirigasi otak atau medulla
spialis dapat menyebabkan perubahan yang jelas pada rekaman dan pengukuran suhu
inti.Oleh karena itu, cairan pengirigasi yang sesuai dengan suhu tubuh sebaiknya digunakan.
Hipotensi sistemik dibawah kadar sutoregulasi otak menyebabkan penurunan progresif
amplitude pada SSEP kortikal selama bentuk gelombang menghilang. Selama pembedahan
spinal, perubahan SSEP telah diobservasi dan kembali dengan peningkatan tekanan darah
sistemik, menunjukkan bahwa manipulasi medulla spinalis selama level aman dari
hipotensi dapat menyebaban iskemia yang minimal. Perubahan pada PaO2 dan PaCO2 juga
mengubah SEP, mungkin menunjukkan perubahan pada aliran darah atau pemberian oksigen
kepada struktur neural.
8


PEMBAHASAN

Scoliosis merupakan sebuah deformitas tiga dimensi dari tulang belakang dan tulang rusuk.
Hal tersebut dapat membentuk sebuah lengkung primer ( membentuk huruf C ) atau membentuk
dua lengkungan ( sebuah lengkungan primer disertai lengkungan sekunder yang membentuk
bentuk huruf S ).
Wake up test adalah metode paling tua dari penilaian fungsi korda spinalis. Di perkenalkan
pertama kali pada tahun 1973 oleh ahli bedah spinal, Pierren Stagnara dengan bantuan ahli
anestesinya MmeVauzelle.
Somatosensory evoked potensials (SSEP) adalah modalitas yang di gunakan untuk
monitoring integritas korda spinalis. Akan tetapi ahli anestesi harus mengingat bahwa penilaian
SSEP hanya pada traktus sensorik ascending dari kolum dorsal. Monitoring SSEP tidak
memberikan informasi mengenai jalur motorik spinal yang juga dapat cedera selama operasi
korektif.

DAFTAR PUSTAKA

(1) Shah SA. Scoliosis.Pediatric Orthopaedic and Scoliosis Surgery. Dapat diakses dengan URL:
http://www.nemours.org/content/dam/nemours/wwwv2/filebox/service/medical/spinescoliosi
s/scoliosisguide.pdf Diakses 23 September 2013.
(2) Hoda MQ, Zafar Su. Anaesthesia for surgical correction of Scoliosis with Spinal Cord
Monitoring a case series. Karachi. JPMA 54: 565; 2004. Dapat diakses dengan URL:
http://www.jpma.org.pk/PdfDownload/524.pdf Diakses 23 September 2013.
(3) European Society of Anaesthesiologists. Anaesthesia for Scoliosis Surgery in
Children.Warsawa, 2003. Dapat diakses dengan URL:
http://www.euroanaesthesia.org/sitecore/content/Education/~/media/Files/Publications/Refr
esherCourse/rc2003glasgow/10rc3.ashx . Diakses 23 September 2013.
(4) Gibson PRJ. Anaesthesia for Correction of Scoliosis in Children.Anaesthesia and Intensive
Care, Vol 32, No. 4.2004; 32: 548-552. Dapat diakses dengan URL:
http://www.aaic.net.au/pdf/2003512.pdf Diakses 23 September 2013.
(5) Rodola F, DAvolio S, Chierichini A, Vagnoni S, Forte E, Iacobucci T. Wake-up test during
major spinal surgery under Remifentanil balanced anaesthesia. European Review for Medical
Pharmacological Sciences 2000;4: 67-70. Dapat diakses dengan URL:
http://www.europeanreview.org/wp/wp-content/uploads/202.pdf Diakses 23 September
2013.
(6) Seol TK, Han MK, Lee HJ, Cheong MA, Jun JH. Bispectral index and their relation with
consciousness of the patients who receive desflurane or sevoflurane anesthesia during wake-
up test for spinal surgery for correction. Korean J Nesthesiol 2012 Januari 62(1): 13-18.
Dapat diakses dengan URL :http://ekja.org/Synapse/Data/PDFData/0011KJAE/kjae-62-
13.pdf Diakses 23 September 2013.
(7) Grottke O, Dietrich PJ, Wiegels S, Wappler F. 2004. Intraoperative Wake Up test and
Postoperative emergence in Patients Undergoing Spinal Surgery: A Comparison of
Intravenous and Inhaled Anesthetic Techniques Using Short-Acting Anesthetics. Anesthesia
& Analgesia (99): 5. http://journals.lww.com/anesthesia-
analgesia/Fulltext/2004/11000/Intraoperative_Wake_Up_Test_and_Postoperative.44.aspx
(Diakses 22 Februari 2014)
(8) Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. 2006. Clinical Anesthesia, 5th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins
(9) Gambrall, Melissa A. 2007. Anesthetic Implication for Surgical Correction of
Scoliosis.AANA Journal (75): 4.
https://www.aana.com/newsandjournal/Documents/scoliosisp277-285.pdf (Diakses 22 Februari
2014)

Anda mungkin juga menyukai