Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penyakit Diare
2.1.1 Definisi Penyakit Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair
(setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak daripada biasanya lebih
dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Simadibrata dan Daldiyono,
2009).
Diare adalah buang air besar yang disertai banyak air dan merupakan
kumpulan gejala dari berbagai penyakit. Diare biasanya bersamaan dengan
peradangan usus. Diare tidak boleh dianggap sepele, keadan ini harus
dihadapi dengan serius, mengingat cairan banyak keluar dari tubuh,
sedangkan tubuh kita pada umumnya (60%) terdiri dari pada air. Sebab itu bila
seseorang menderita diare berat, maka dalam waktu singkat tubuh penderita
sudah kelihatan sangat kurus (Isselbacher et al., 2000).
Diare merupakan keluhan yang sering ditemukan pada dewasa.
Diperkirakan pada orang dewasa setiap tahunnya mengalami diare akut atau
gastroenteritis akut sebanyak 99.000.000 kasus. Kematian yang terjadi,
kebanyakan berhubungan dengan kejadian diare pada anak-anak atau lenjut
usia, dimana kesehatan pada usia pasien tersebut rentan terhadap dehidrasi
sedang-berat. Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang
termasuk Indonesia lebih banyak 2-3 kali dibandingkan negara maju
(Simadibrata dan Daldiyono, 2009).

2.1.2 Etiologi
Menurut World Gastroenterology Organisation Global Guidelines,
etiologi diare dibagi atas empat penyebab, yaitu bakteri, virus, parasit, dan
non-infeksi.
a. Faktor Infeksi
Enteral
Bakteri: Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibro cholera,
Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, V.parahaemoliticus,
V.NAG., Staphylococcus aureus, Streptococcus, Klebsiella,
Pseudomonas, Aeromonas, Proteus, dll.
Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus,
Cytomegalovirus (CMV), Echovirus, virus HIV.
Parasit: Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Cryptosporidium parvum, Balantidium colli.
Worm: A.lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichiura,
S.stercoralis, cestodiasis dll.
Fungus:
Parenteral: otitis media akut (OMA), pneumonia.
Travelers diarrhea: E.coli, Giardia lamblia, Shigella, Entamoeba
histolytica, dll.
Makanan:
Intoksikasi makanan: makanan beracun atau mengandung logam
berat, makanan mengandung bakteri/toksin seperti Clostridium
perfringens, B.cereus, S.aureus, Streptococcus anhaemolyticus, dll.
Alergi: susu sapi, makanan tertentu.
Malabsorbsi/maldigesti:
Karbohidrat: monosakarida (glukosa, laktosa, galaktosa), disakarida
(sakarosa, laktosa).
Lemak: rantai panjang trigliserida protein seperti asam amino tertentu,
celiacsprue gluten malabsorbtion, protein intolerance, cows milk,
vitamin, dan mineral.
b. Imunodefisiensi: hipogamaglobulinemia, panhipogamaglobulinemia
(Bruton), penyakit granulomatose kronik, defisiensi IgA heavycombination
c. Terapi obat: antibiotik, kemoterapi, antasida, dll.
d. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi
radiasi.
e. Lain-lain: sindrom Zollinger-Ellison, neuropati autonomik/neuropati diabetik
(World Gastroenterology Organisation Global Guidelines, 2005).

Diare dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
a. Keseimbangan mikroflora dalam saluran gastrointestinal
Keseimbangan mikroflora atau mikrobiota dalam saluran
gastrointestinal dapat dikatakan merupakan kunci utama untuk nutrisi dan
kesehatan manusia. Melalui proses fermentasi, mikroflora usus
memetabolisir berbagai macam substrat terutama komponen dari diet,
dengan hasil akhir asam lemak rantai pendek dan gas. Metabolisme
anaerob ini akan membantu memberikan tambahan energi terhadap
pejamu. Dalam keadaan tertentu gangguan keseimbangan dapat
menyebabkan proses fermentasi menghasilkan metabolit yang tidak
diinginkan dan hal ini bisa menyebabkan gangguan gastrointestinal baik
akut maupun kronis, terutama diare (Hamdani, 2009).
b. Obat-obatan terutama antibiotik
Beberapa macam obat terutama antibiotik, dapat juga menjadi
penyebab diare. Antibiotik agaknya membunuh flora normal usus sehingga
organisme yang tidak biasa atau yang kebal terhadap antibiotik akan
berkembang bebas. Di samping itu, sifat farmakokinetik dari antibiotik itu
sendiri juga memegang peran penting. Sebagai contoh ampisilin dan
klindamisin adalah antibiotik yang dikeluarkan di dalam empedu yang
mengubah flora tinja walaupun diberikan secara parenteral (Hamdani,
2009).
Antibiotik dapat pula menyebabkan malabsorbsi, misalnya
tetrasiklin, kanamisin, basitrasin, polimiksin, dan neomisin (Hamdani,
2009).
c. Beberapa keadaan akut bedah, misalnya invaginasi dapat menyebabkan
diare.
d. Diare dapat juga berhubungan dengan penyakit lain misalnya malaria,
schistosomiasis, campak, atau pada infeksi sistemik lain misalnya
pneumonia, radang tenggorok, dan otitis media, serta mungkin akibat
intoleransi ataupun alergi terhadap makanan tertentu (Hamdani, 2009).





2.1.3 Jenis Diare
Berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu:
a. Diare Akut
Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari
(umumnya kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan
dehidrasi merupakan penyebab utama kematian bagi penderita diare.
b. Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat
disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan
kemungkinan terjadinnya komplikasi pada mukosa.
c. Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari
secara terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat
badan dan gangguan metabolisme.
d. Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin
juga disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau
penyakit lainnya (Afriani, 2008).

Diare dibagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya, yaitu:
a. Diare infeksi
Yaitu suatu diare yang disebabkan infeksi kuman-kuman seperti
bakteri, virus, dan parasit.
b. Diare non infeksi
Yaitu suatu diare yang disebabkan bukan oleh infeksi kuman
apapun, tetapi disebabkan oleh karena kurang gizi, alergi maupun intoleran
makanan tertentu (misalnya produk susu tertentu), makanan asing
terhadap individu tertentu yang pedas atau taksesuai kondisi usus, dapat
pula disebabkan penyakit imunodefisiensi (gangguan dalam pembuatan zat
anti, keracunan makanan oleh bahan-bahan kimiawi, dan faktor psikologis)
(Warman, 2008).

Berdasarkan patofisiologinya:
a. Diare Osmotik
Diare osmotik terjadi karena adanya bahan yang tidak dapat
diabsorbsi pada lumen usus sehingga keadaan lumen usus yang
hiperosmoler ini akan menyebabkan air dari dari intraseluler diikuti
hiperperistaltik usus, sebagai contoh adalah akibat defisiensi laktase atau
malabsorbsi glukosa galaktosa (Hamdani, 2009).
b. Diare Sekretorik
Pada diare sekretorik terjadi sekresi cairan dan elektrolit oleh
mukosa akibat stimulan primer oleh enterotoksin atau oleh neoplasma yang
mengeluarkan hormon tertentu yang mempengaruhi sekresi, sedangkan
transport absorbsi dan sekretorik diatur oleh pembawa pesan intraseluler
termasuk ion kalsium bebas, adenosine, monofosfat siklik (cAMP) dan
guanosin monofosfat (cGMP), serta sitoskeleton. Cara kerja enterotoksin
dan toksin lain dari bakteri terutama melalui pembawa pesan intraseluler ini
(Hamdani, 2009).
c. Diare akibat gangguan motilitas usus
Diare ini terjadi akibat adanya gangguan pada kontrol otonomik,
misalnya diabetik neuropati, post vagotomi, post reseksi usus, serta
tiroksikosis (Hamdani, 2009).
2.1.4 Patogenesis Diare
Menurut buku Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, diare dapat
disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut, yakni gangguan
osmotik dan gangguan sekretorik.
a. Gangguan Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan
elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi
usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara
osmotik aktif dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan
hipertonik. Larutan isotonik, air, dan bahan yang larut di dalamnya akan
lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang
diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air, dan elektrolit akan pindah dari
cairan ekstraseluler ke dalam lumen usus sampai osmolaritas dari isi usus
sama dengan cairan ekstraseluler dan darah, sehingga terjadi pula diare
(Isselbacher et al., 2000).
b. Gangguan sekretorik
Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin,
menyebabkan fili gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida
di sel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan sekresi air dan elektrolit ke rongga usus. Isi rongga usus yang
berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare
(Isselbacher et al., 2000).
Patogenesis diare dibagi berdasarkan penyebabnya:
a. Diare karena virus
Virus dapat menyebabkan 40-60% dari semua penyakit diare pada
bayi dan anak yang datang berobat ke rumah sakit, sedangkan untuk
komunitas sebesar 15%. Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan
virus (misal Rotavirus) adalah sebagai berikut :
Virus masuk ke dalam tubuh bersama makanan dan minuman.
Setelah virus sampai ke dalam eritrosit dan sel epitel usus halus akan
menyebabkan infeksi serta kerusakan jonjot-jonjot (fili) usus halus. Eritrosit
usus yang rusak diganti oleh eritrosit yang fungsinya masih belum baik.
Jonjot-jonjot usus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan
dan makanan dengan baik, cairan dan makanan yang tidak terserap dan
tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus, sehingga usus
meningkatkan motilitasnya (hiperperistaltik) dan menyebabkan cairan dan
makanan yang tidak terserap akan didorong keluar usus melalui anus dan
terjadilah apa yang disebut diare.
Diare karena virus ini biasanya tak berlangsung lama, hanya
beberapa hari (3-4 hari) dapat sembuh tanpa pengobatan (self limiting
disease). Penderita akan sembuh kembali setelah eritrosit usus yang rusak
diganti oleh eritrosit yang baru dan normal serta sudah matang (mature),
sehingga dapat menyerap dan mencerna cairan serta makanan dengan
baik (Hamdani, 2009).
b. Diare karena bakteri
Bakteri penyebab diare dapat dibagi dalam dua golongan besar,
ialah bakteri non invasif dan bakteri invasif.
Bakteri non invasif
Yang termasuk dalam bakteri golongan ini adalah Vibrio cholera
dan E.Coli patogen.
Terjadinya diare karena bakteri non invasif (misal V.cholerae)
adalah sebagai berikut:
Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau
minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Bakteri tertelan dan masuk
ke lambung, di dalam lambung bakteri akan dibunuh oleh asam lambung,
namun bila jumlah bakteri cukup banyak maka ada yang lolos sampai
usus 12 jari (duodenum). Di dalam duodenum bakteri akan berkembang
biak sehingga jumlahnya mencapai seratus juta koloni atau lebih per mili
cairan usus halus. Dengan memproduksi enzim mucinase, bakteri
berhasil mencairkan lapisan lender yang menutupi permukaan sel epitel
usus sehingga bakteri dapat masuk ke dalam membran atau dinding sel
epitel. Di dalam membran bakteri mengeluarkan toksin yang disebut
subunit A dan subunit B. Subunit B akan melekat di dalam membrane
dari subunit A dan akan bersentuhan dengan membran sel serta
mengeluarkan cAMP (cyclic adenosine monophosphate). cAMP
berkhasiat merangsang sekresi cairan usus di bagian kripta fili dan
menghambat absorbsi cairan di bagian apikal fili, tanpa menimbulkan
kerusakan sel epitel tersebut sebagai akibat adanya rangsangan sekresi
cairan dan hambatan absorbsi cairan tersebut, volume cairan di dalam
lumen usus akan bertambah banyak. Cairan ini akan menyebabkan
dinding usus menggelembung dan tegang dan sebagai reaksi dinding
usus akan mengadakan kontraksi sehingga terjadi hipermotilitas atau
hiperperistaltik untuk mengalirkan cairan ke bawah atau ke usus besar.
Dalam keadaan normal, usus besar akan meningkatkan kemampuannya
untuk menyerap cairan yang bertambah banyak, tetapi tentu saja ada
batasnya. Bila jumlah cairan meningkat sampai dengan 4.500 ml (4,5 L),
masih belum terjadi diare, tetapi bila jumlah tersebut melampaui
kapasitasnya untuk menyerap, maka akan terjadi diare. Jadi diare ini
sebenarnya merupakan proses fisiologis tubuh untuk mengeluarkan
cairan yang berlebih di dalam lumen usus, sama seperti halnya dengan
terjadinya proses batuk, flatus, bersin, dsb.
Toksin V.cholerae dapat bertahan di dalam tubuh sehingga 36-72
jam dan masih akan tetap menyebabkan diare walaupun kumannya telah
mati. Diare karena kolera ini dapat berlangsung sangat cepat sehingga
kehilangan cairan dapat mencapai 5-10 L dalam sehari dan
menyebabkan kematian yang cukup banyak. Kolera biasanya terjadi
dalam bentuk KLB (kejadian luar biasa) atau wabah, misalnya karena
banjir, adanya pengungsian besar-besaran karena bencana alam, atau
perang dan sebagainya (Hamdani, 2009).

Bakteri invasif
Yang termasuk dalam bakteri golongan ini adalah Salmonella sp.,
Shigella sp., E.coli invasif (EIEC), E.coli hemorrhagic (EHEC), dan
Campylobacter sp.
Terjadinya diare karena bakteri invasif adalah sebagai berikut:
Patogenesis terjadinya diare oleh Salmonella, Shigella, E.coli agak
berbada dengan pathogenesis diare oleh V.cholerae, tetapi prinsipnya
hampir sama. Bedanya bakteri Salmonella dan Shigella dapat
mengadakan invasi (menembus) sel mukosa usus halus sehingga dapat
menyebabkan reaksi sistemik (demam, kram perut, dsb). Toksin Shigella
sp. juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak dan juga
menyebabkan kejang. Diare oleh Salmonella dan Shigella sering juga
menyebabkan adanya darah dalam tinja, suatu keadaan yang disebut
disentri.
Teori lain mengenai proses invasi, spreading, dan modulasi dari
permeabilitas usus halus dari bakteri adalah konsep mengenai
perubahan susunan sitoskeleton dari eritrosit. Perubahan susunan itu
berhubungan dengan modifikasi fungsional epitel usus halus, yaitu
mempermudah komunikasi antara kuman-kuman yang patogen pada
usus dengan eritrosit (Hamdani, 2009).

2.1.5 Menifestasi Klinis Diare
Gejala-gejala diare adalah sebagai berikut:
Tinja encer, berlendir atau berdarah
Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
Lecet pada anus
Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang
Muntah sebelum dan sesudah diare
Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
Dehidrasi (kekurangan cairan) (Afriani, 2008).
Manifestasi klinis diare adalah sebagai berikut:
Mula-mula suhu badan meningkat, nafsu makan berkurang,
kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan
darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena tercampur
empedu, karena seringnya defekasi, anus dan sekitarnya lecet karena tinja
makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam laktat, yang berasal dari
laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare. Gejala muntah dapat
terjadi sebelum dan atau sesudah diare (Warman, 2008).
Jika seseorang tidak mendapatkan perawatan yang baik selama
diare akan jatuh pada keadaan-keadaan seperti berikut:
Dehidrasi
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat
pengeluaran cairan tinja berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat
kehilangan air dan elektrolit yang melebihi pemasukannya (Wulandari,
2009).
Gangguan keseimbangan asam-basa
Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah
metabolik asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-
bikarbonat bersama tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya
anoksia jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat
karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, pemindahan ion Na dari cairan
ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler (Wulandari, 2009).
Hipoglikemia
Pada seseorang dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang
terjadi, lebih sering terjadi pada seseorang yang sebelumnya sudah
menderita kekurangan kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia tersebut
dapat berupa: lemas, apatis, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang
sampai koma (Wulandari, 2009).
Gangguan gizi
Sewaktu seseorang menderita diare, sering terjadi gangguan gizi
dengan akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang
singkat. Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan
diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik (Wulandari, 2009).
Gangguan sirkulasi
Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock
hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia,
asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak,
kesadaran menurun dan bila tidak segera ditolong penderita dapat
meninggal (Wulandari, 2009).

2.1.6 Epidemiologi Diare
Menurut WHO memperkirakan tidak kurang dari 1 milyar episode diare
terjadi tiap tahun di seluruh dunia, 25-35 juta diantaranya terjadi di Indonesia.
Di Negara berkembang, anak mengalami episode diare lebih dari 12 kali setiap
tahun, diperkirakan 4-6 juta penderita diare meninggal setiap tahunnya (WHO,
2005).
Penyakit diare ditularkan secara fekal-oral melalui makanan dan
minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Prevalensi diare yang tinggi di negara berkembang merupakan kombinasi dari
sumber air yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya
daya tahan tubuh (Amaliah, 2010).

2.1.7 Pencegahan Diare
Tindakan dalam pencegahan diare ini antara lain dengan perbaikan
keadaan lingkungan, seperti penyediaan sumber air minum yang bersih,
penggunaan jamban, pembuangan sampah pada tempatnya, sanitasi
perumahan dan penyediaan tempat pembuangan air limbah yang layak
(Wulandari, 2009).
Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang
kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan lingkungan
sosialnya menjadi sehat (Hiswani, 2003).
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
a. Penggunaan air bersih untuk konsumsi sehari-hari.
b. Mencuci tangan dengan sabun. Kebiasaan yang berhubungan dengan
kebersihan perorangan yang penting dalam penularan kuman diare adalah
mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang
air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare.
c. Penggunaan jamban yang benar. Pengalaman di beberapa negara
membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang
besar dalam penurunan resiko terhadap penyakit diare (Bumulo, 2012).
2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Diare
2.2.1 Faktor Lingkungan
Ada beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya
penyakit diare, yaitu :
a. Sumber air
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan
hampir 70% tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan
makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk
keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk
hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok
manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit
menular termasuk diare (Hamdani, 2009).
Sumber air minum utama merupakan salah satu sarana sanitasi
yang tidak kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian
kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka
dapat ditularkan dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda
yang tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan
makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar
(Afriani, 2008).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih
sebagai berikut:
1. Mengambil air dari sumber air yang bersih.
2. Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup
serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil air.
3. Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh binatang
dan sumber pengotoran. Jarak antara sumber air minum dengan
sumber pengotoran seperti septictank, tempat pembuangan sampah
dan air limbah harus lebih dari 10 meter.
4. Mengunakan air yang direbus.
5. Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang bersih
dan cukup (Wulandari, 2009).
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari
sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus
jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari
sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan
pengambilan air dalam wadah menggunakan gayung yang bersih, dan
untuk air minum harus dimasak terlebih dahulu. Masyarakat yang
terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare
lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan
air bersih (Hamdani, 2009).

b. Penggunaan Jamban
Jamban adalah sarana pembuangan kotoran manusia yang
menjamin kesehatan dan tidak mencemari lingkungan. Tempat
pembuangan kotoran manusia merupakan hal yang sangat penting, dan
harus selalu bersih, mudah dibersihkan, cukup cahaya, dan cukup ventilasi,
harus rapat sehingga terjamin rasa aman bagi pemiliknya, dan jaraknya
cukup jauh dari sumber air (Armanji, 2010).
Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan yaitu:
Harus tertutup, dalam arti bangunan tersebut terlindungi dari
pandangan orang lain, terlindung dari panas atau hujan.
Bangunan kakus ditempatkan pada lokasi yang tidak sampai
mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, serta tidak menjadi
tempat hidupnya berbagai macam binatang.
Bangunan kakus mempunyai lantai kuat, mempunyai tempat berpijak
yang kuat, yang terutama harus dipenuhi jika mendirikan kakus model
cemplung.
Mempunyai lubang closet yang kemudian melalui saluran tertentu
dialirkan pada sumur rembesan (Rendita, 2009).
Diare dapat disebabkan melalui pembuangan kotoran manusia yang
kurang baik dan pada umumnya penyakit tersebut merupakan penyakit
yang disebabkan oleh air yang tercemar (water born disease) yang
menyerang saluran pencernaan, antara lain diare yang disebabkan oleh
bakteri dan virus. Penyakit diare dapat ditularkan secara langsung atau
tidak langsung baik karena cara pembuangan kotoran manusia yang tidak
memenuhi persyaratan kesehatan maupun melalui air yang terkontaminasi
kotoran manusia. Pembuangan kotoran manusia apabila tidak dikelola
dengan baik seringkali mencemari air bersih sehingga air tersebut dapat
menjadi media penyebaran penyakit. Hubungan kepemilikan jamban dan
penggunaan sarana air bersih merupakan salah satu upaya menurunkan
jumlah kasus diare, karena air yang terkontaminasi tinja menjadi salah satu
media bakteri dalam penyebaran penyakit diare (Zulkifli, 2003).
Peranan tinja dalam penyebaran penyakit diare sangat besar.
Disamping langsung mengkontaminasi makanan dan minuman, juga air
tanah, serangga (lalat, kecoa, dsb), dan bagian-bagian tubuh kita dapat
terkontaminasi oleh tinja tersebut (Zulkifli, 2003).

c. Pengelolaan sampah
Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai
baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis
sampah yaitu:
Sampah anorganik
Sampah yang umumnya tidak dapat membusuk seperti logam/besi,
pecahan gelas, plastik, dll.
Sampah organik
Sampah yang pada umumnya dapat membusuk seperti sisa makanan,
daun-daunan, buah-buahan, dll (Wijayanti, 2009).

Cara pengolahan sampah antara lain:
Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari
bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup
rapat, dan ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh
dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) (Rendita,
2009).
Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Ada banyak cara antara lain:
Ditanam (landfill)
Dibakar (inceneration)
Dijadikan pupuk (composting) (Rendita, 2009).
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, saluran
pembuangan air limbah (SPAL) adalah suatu bangunan yang digunakan
untuk membuang air buangan dari kamar mandi, tempat cuci, dapur dan
yang lainnya dan bukan dari jamban, dimana SPAL yang sehat hendaknya
memenuhi persyaratan antara lain: tidak mencemari sumber air bersih,
tidak menimbulkan genangan air yang dapat digunakan untuk sarang
nyamuk, tidak menimbulkan bau dan tidak menimbulkan becek (Dinkes
Jatim, 2008).

2.2.2 Faktor Sosiodemografi
Demografi adalah ilmu yang mempelajari persoalan dan keadaan
perubahan-perubahan penduduk yang berhubungan dengan komponen-
komponen perubahan tersebut seperti kelahiran, kematian, migrasi sehingga
menghasilkan suatu keadaan dan komposisi penduduk menurut umur dan jenis
kelamin tertentu (Hamdani, 2009).
Dalam pengertian yang lebih luas, demografi juga memperhatikan
berbagai karakteristik individu maupun kelompok yang meliputi karakteristik
sosial dan demografi, karakteristik pendidikan dan karakteristik ekonomi.
Karakteristik sosial dan demografi meliputi: jenis kelamin, umur, status
perkawinan, dan agama. Karakteristik pendidikan meliputi: tingkat pendidikan.
Karakteristik ekonomi meliputi jenis pekerjaan, status ekonomi dan pendapatan
(Warman, 2008).
Dalam kasus diare ini, faktor sosiodemografi yang sangat berperan
adalah faktor pendidikan dan faktor ekonomi:
a. Faktor pendidikan
Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam
kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan
mereka sulit diberi tahu mengenai pentingnya higiene perorangan dan
sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular,
diantaranya diare. Dengan sulitnya mereka menerima penyuluhan,
menyebabkan mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan penyakit
menular (Adisasmito, 2007).
Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih
berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang
masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada
perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka
kematian bayi dan kematian ibu (Hiswani, 2003).
Pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah merupakan salah
satu masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap cara penanganan diare,
sehingga sikap hidup dan perilaku yang mendorong timbulnya kesadaran
masyarakat masih rendah. Semakin tinggi pendidikan maka mortalitas (angka
kematian) dan morbiditas (angka kesakitan) semakin menurun (Afriani, 2008).

b. Faktor ekonomi
Pendapatan keluarga menentukan ketersediaan fasilitas kesehatan
yang baik. Dimana semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas
dan cara hidup mereka yang terjaga akan semakin baik (Marlini, 2005).
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
fasilitas kesehatan di suatu keluarga. Tingkat pendapatan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidup, dimana status ekonomi yang baik akan
berpengaruh pada fasilitas yang diberikan (Hamdani, 2009).
Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan dalam
menjaga kebersihan dan penanganan yang selanjutnya berperan dalam
prioritas penyediaan fasilitas kesehatan (misal membuat kamar kecil yang
sehat) berdasarkan kemampuan ekonomi atau pendapatan pada suatu
keluarga. Bagi mereka yang berpendapatan sangat rendah hanya dapat
memenuhi kebutuhan berupa fasilitas kesehatan apa adanya, sesuai dengan
kemampuan mereka. Apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas
kesehatan mereka, khususnya di dalam rumahnya akan terjamin misalnya
dalam penyediaan air bersih, penyediaan jamban sendiri, atau jika mempunyai
ternak akan dibuatkan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya.
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak
mampu memenuhi fasilitas kesehatannya sesuai kebutuhannya (Warman,
2008).

Anda mungkin juga menyukai