A. Penyelesaian Kasus Dari kasus tersebut bisa dilihat bahwa para konglomerat memiliki niat yang tidak baik karena jika mempertahankan skema MSAA, maka jelas-jelas sangat merugikan negara. Apalagi tindakan para konglomerat yang niatnya tidak me-mark up asetnya tetapi ternyata setelah ditinjau ulang terdapat mark up yang sangat tinggi terhadap asetnya, misalnya GROUP SALIM yang mmenikmati dana BLBI sebesar Rp. 52,62 triliun, menilai pengembalian 109 asetnya sebesar Rp. 52 triliun padahal ditawar oleh perusahaan malaysia hanya sebesar Rp. 20 triliun. Hal ini sudah jelas sangat merugikan negara dan terlihat jelas bahwa ada unsur yang tidak baik dari para konglomerat ini. Apalagi isi klausul yang sangat menguntungkan pihak konglomerat. Tindakan BPPN juga sangat tidak rasional yang menerima penandatangan MSAA yang klausulnya merugikan negara. Semua kerugian ini tidak bisa hanya dibebankan ke APBN, karena jumlahnya yang sangat besar dan mengorbankan kepentingan rakyat. Untuk menyelesaikan kasus ini, seharusnya para konglomerat mengembalikan jumlah dana BLBI sesuai dengan yang diterimanya. Tidak bisa hanya mengembalikan sepihak dimana negara yang dirugikan. Dalam perjanjian pun seharusnya ada perubahan klausul yang berbunyi bila ternyata nilainya kurang dari itu, dia menjadi tanggungan pemerintah dirubah menjadi bila ternyata nilainya kurang dari itu, maka harus menambah kekurangan pengembalian aset tersebut kepada pemerintah sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Cara lain yang bisa digunakan yaitu perjanjian yang memiliki kepastian hukum yang kuat sehingga dana BLBI bisa dikembalikan secara utuh. Meskipun penandatangan telah dilakukan, pemerintah bisa menempuh jalur hukum, dimana pe-mark up-an yang dilakukan para konglomerat dijadikan bukti untuk menjerat mereka. Jadi tidak bisa hanya menerima kondisi tersebut, pemerintah perlu melakukan tindakan tegas untuk menyelamatkan keuangan negara. Pemerintah juga bisa membatalkan perjanjian ini untuk kepentingan rakyat. BPPN seharusnya mengedepankan kepastian pengembalian dan BLBI bukan hanya mementingkan penyelesaian kasus tanpa ada pengembalian yang jelas. Memang terdapat perkara ambigu dalam kasus ini, yaitu meski dijerat hukum dengan adanya pe-mark up-an tetapi isi klausul dapat memperkuat posisi konglomerat dimana berbunyi bila ternyata nilainya kurang dari itu, dia menjadi tanggungan pemerintah.
B. Implikasi Hukum Kemungkinan besar BLBI yang diterima konglomerat tidak dikembalikan sebesar yang diterimanya. Penyelesaian BLBI melalui perjanjian MSAA ini merupakan pilihan kebijakan politik yang tidak mengedepankan kepastian hukum. Jadi dampaknya adalah pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa jika dilakukan MSAA untuk mengembalikan dana BLBI dari para konglomerat karena klausul MSAA itu sah secara hukum. Maka dari itu, pada saat pengembalian aset harus ada proses valuasi untuk menilai aset agar sesuai dengan dana BLBI yang diterima. Permasalahan yang utama adalah menyangkut kepastian hukum dalam suatu kontrak. Ada preseden, kontrak-kontrak yang dibuat pada zaman pemerintahan Soeharto dan Habibie harus dibatalkan karena ada nuansa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pembuatannya. Meski begitu, pemerintah bisa menjerat secara hukum dengan bukti pe-mark up-an aset yang dilakukan para konglomerat maupun unsur korupsi didalamnya.
C. Keberadaan BPPN Jika dilihat dari peran yang dilakukan oleh BPPN dalam kasus ini, keberadaan BPPN tidak efektif. Keputusan BPPN tidak rasional karena badan ini seharusnya memahami bahwa penyelesaian melalui MSAA dapat merugikan negara dalam jumlah besar. Ini bukan penyelesaian yang efektif, seharusnya BPPN memastikan dana BLBI harus kembali utuh kepada pemerintah melalui kebijakan yang lebih baik. BPPN terlalu mengutamakan kebijakan politik sehingga negara yang dirugikan. BPPN seharusnya menyelesaikan kasus tersebut dengan kepastian hukum yang jelas sehingga dana BLBI dikembalikan ke negara.