Anda di halaman 1dari 16

STATUS ANAK LUAR KAWIN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NO. 46/PUU-VIII/2010



Makalah
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Pembinaan Lembaga dan Pranata Hukum

Dosen Pengampu: Dr. Kuat Puji Prayitno, SH., MH.







Disusun Oleh:
Azim Izzul Islami P2EA 13034
Daryono P2EA 13048

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, serta semakin
kompleksnya permasalahan hidup yang dihadapi manusia, masalah tentang status anak
dalam perkawinanpun terus berkembang. Salah satunya adalah status anak dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang diputus pada hari
Jumat 17 Februari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ini
merupakan hasil dari perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.
1

Pokok permohonan dari pemohon yaitu mengajukan permohonan pengujian
ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, yang pada intinya bahwa menurut para pemohon ketentuan pasal 2
ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon,
khususnya yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anak yang
dihasilkan Pemohon. Berdasarkan permasalahan di atas Penyusun tertarik untuk
menelaah lebih dalam tentang status anak hasil perkawinan sah menurut norma agama
akan tetapi belum sah menurut norma hukum yang ada dalam negara Indonesia
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Agar anak tidak diperlakuan secara
diskriminatif dimuka hukum yang dikarenakan oleh ayah kandung yang tidak jelas.

1
Anak kandung dari Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dengan Drs.
Moerdiono
B. Pokok Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan
diangkat dalam makalah ini adalah Bagaimanakah status anak pasca keluarnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010?
C. Pembahasan
Anak adalah orang yang lahir dari rahim seorang ibu, baik laki-laki maupun
perempuan, sebagai hasil persetubuhan antara dua lawan jenis. Anak yang lahir dari
hasil hubungan perkawinan yang sah
2
adalah anak sah, sedangkan anak yang lahir dari
hubungan yang tidak sah atau perzinaan oleh masyarakat lazim disebut sebagai anak
zina.
Anak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan, anak
juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu, anak pada
hakekatnyaseorang yang berada pada satu masa perkembangan tertentu dan mempunyai
potensi untuk menjadi dewasa.
3


2
Perkawinan yang sah di negara Indonesia adalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.dan (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
3
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 2. (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hlm. 30.
Menurut para ulama ahli fiqh, perkawinan yang mengakibatkan sahnya anak
sebagai salah satu keturunan harus melengkapi empat syarat yaitu
4
:
1. Hamilnya istri dari suaminya itumerupakan suatu hal yang mungkin. Misalnya
suami sudah dewasa. Jika suami masih kecil,sehingga tidak masuk akal bahwa ia
dapat menyebabkan istrinya hamil, maka anak yang dilahirkan itu tidak diakui
memiliki hubungan keturunan dengan suami tersebut. Demikian juga misalnya
jika suami sudah dewasa tetapi sama sekali tidak bertemu dengan istrinya.
5

2. Istri melahirkan anaknya sedikitnya setelah enam bulan dari tanggal
dilangsungkannya akad nikah. Masa enam bulan masa hamil yang paling sedikit
menurut kesepakatan fukaha.
3. Istri melahirkan anaknya dalam waktu yang kurang dari masa hamil terpanjang,
dihitung dari tanggalperpisahannya dengan suaminya. Menurut ulama Mazhab
Hanafi
6
, masa hamil terpanjang adalah dua tahun. Jika wanita itu melahirkan
anaksetelah dua tahun atau lebih dari tanggal perpisahan dengan suaminya, baik
berpisah secar talak bain, atau karena suaminya meninggal dunia, makaanak
yang dilahirkan itu tidak diakui sebagai keturunan suaminya itu, karena diyakini
bahwa anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan. Tetapi jika terjadi ibu

4
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
hlm.112-113.
5
Hal itu menurut ulama Mazhab Maliki, syafii dan Hanbali. Berbeda dengan Mazhab Hanafi
yang berpendapat bahwa hal di atas mungkin terjadi karena hal-hal yang luar biasa, seperti karena
kekeramatan suami
6
Mereka mendasarkan pendapatnya pada pernyataan Aisyah binti Abu Bakar RA: Masa hamil
seorang wanita tidak lebih dari dua tahun, kira-kira sama dengan masa berubahnya bayang-bayang dari
tiang alat pemintal benang.(HR. Ahmad bin Hanbal)
melahirkan anak setelah terjadi talak raji (talak satu atau dua),maka diakui
adanya hubungan anak itu dengan suaminya, meskipun sudah melewati masa
dua tahun atau lebih dari tanggal dijatuhkan talak raji . pengakuan adanya
hubungan keturunan antara dan suami ditetapkan dengan syarat bahwa wanita
itu tidak mengakui iddahnya dari suami tersebut sudah habis. Hal ini ditetapkan
dengan landasan bahwa suami mungkin sudah rujuk pada masa istri masih alam
masa iddahdan anak tersebut terjadi dalam hubungan suami istri yang sah yang
terjadi setelah rujuk. Fukaha yang lain masih berbeda pendapat dalam
menetapkan masa hamil yang terpanjang itu. Menurut Mazhab Maliki, masa
hamil terpanjang adalah empat tahun yang dihitung dengan tahun kemarin dan
menurut Mazhab Az-Zahiri maksimal adalah sembilan bulan.
4. Suami tidak mengingkari hubungan anak tersebut dengan dirinya. Jika
suami mengingkari hubungan, maka harus diadakan Lian.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya,
yaitu: hak nasab (keturunan), hak radla (menyusui), hak hadlanah (pemeliharaan), hak
walyah (wali), dan hak nafkah (alimentasi). Dengan terpenuhinya lima kebutuhan ini,
orang tua akan mampu mengantarkan anaknya dalam kondisi yang siap untuk mandiri.
Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum,
7
dengan resminya seorang anak
menjadi anggota keluarga melalui garis nasab, ia berhak mendapatkan berbagai macam
hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak
anak yang harus ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua

7
Deasy Caroline Moch. Djais, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan Agama,
(Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999),
hlm. 39.
terhadap anaknya. Hak Radla adalah hak anak untuk di susui,ibu bertanggung jawab di
hadapan Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun,
8
baik
masih dalam tali perkawinan dengan ayahsi bayi atau pun sudah bercerai. Hadlanah
adalah tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayi/anak yang masih kecil sejak ia lahir
sampai mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Walyah disamping bermakna hak
perwalian dalam pernikahan juga berarti pemeliharaan diri anak setelah berakhir periode
hadlanah sampai ia dewasa dan berakal, atau sampai menikah dan perwalian terhadap
harta anak. Hak nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan di atas yang
didasarkan pada hubungan nasab.
9

Hak dan tanggung jawab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, anak
memiliki hak dari orang tuanya dan orang tua dibebani tanggung jawab terhadap
anaknya. Jika digolongankan hak anak dapat diketagorikan dalam empat kelompok
besar, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapat
perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Sebaliknya anak keturunan sudah seharusnya
berbuat baik dan berkhidmat kepada orang tuanya secara tulus, orang tualah yang
menjadi sebab terlahirnya ia ke dunia. Agama memerintahkan supaya anak
memperlakukan orang tua dengan sebaik-baiknya.
Anak dalam Syariat Islam secara garis besar dibagi menjadi dua kategori
yaitu
10
:

8
Q.S. al-Baqarah (2): 233.
9
Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X
1999), hal. 7-19.
10
Wahbah al-zuhaili,al-fiqh al-Islami wa Adilatuh, VII (Beirut : Dar al-Fikr, 1968), hlm. 698.
1. Anak Syari yaitu anak yang mempunyai hubungan nasab (secara hukum)
dengan orang tua laki-lakinya.
2. Anak Tabii yaitu anak yang tidak mempunyai hubungan nasab dengan
orang tua laki-lakinya.
Hukum di Indonesia telah mengatur bahwa, anak yang memperoleh hubungan
keperdataan dengan bapaknya adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
pernikahan yang sah(sesuai dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 42).
Pernikahan yang sah di Indonesia adalah sesuai dengan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yakni apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu besrta penegasan pada ayat (2) menyatakan
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan orangtua yang menurut hukum masing-masing agama belum cukup
bagi anak untuk mendapatkan nasab/hubungan keperdataan dengan seorang bapak
kandungnya. Akan tetapi harus memenuhi pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan nomor 1
Tahun 1974 yakni perkawinan orangtuanya tersebut harus dicatatkan menurut Undang-
undang yang berlaku. Apabila perkawinannya itu tidak dicatatkan maka konsekuensi
yang harus ditanggung oleh anak tersebut adalah anak tersebut hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja(hal ini sesuai dengan Pasal
43 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974).
Mahkamah KonstitusiRepublik Indonesia berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d dalam
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, mempunyai wewenang yang
Pertama menguji undang-undang terhadap UUD 1945; Kedua memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; Ketiga
memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat
(2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban
Mahkamah Konstitusiadalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atauWakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela,
atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam UUD 1945.
Pada perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 42 dan 43 tentang perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H.
Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono. Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan dikabulkan sebagian atas permohona pemohon dalam
Putusan perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 bahwa Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan ini merupakan sebuah langkah progresif dengan membongkar paradigm
positivistic menuju penegakan hukum berbasis perlindungan HAM. Indonesia
meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 melalui Kepres No. 36 Tahun 1990
dan 12 Tahun kemudian Indonesia melahirkan Undang-undang No. 23 tahun 2002
tentang Hak Asasi Manusia. Namun, kenyataannya Indonesia yang telah meratifikasi
Konvensi tersebut belum mempunyai dampak yang positif dan siginifikan bagi
pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak-hak anak. Khususnya hak-hak anak di
luar perkawinan atau anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah (anak hasil
nikah siri, hasil zina/selingkuh) mengalami ketidak-adilan, diskriminasi serta
pelanggaran terhadap HAM anak. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan salah satu
unsur dan cita-cita Negara Hukum, yakni perlindungan HAM.
11
Putusan MK ini,
memberikan angin segar bagi penegakan HAM dan pencapaian menuju cita-cita Negara
hukum.
Meskipun cita-cita dari putusan MK ini sangat mulia, yakni untuk melindungi
kepentingan-kepentingan anak, tetap saja ada beberapa pihak yang tidak menyetujui
perubahan terhadap UUP ini. Alasannya bahwa Undang-undang Perkawinan Indonesia
dirumuskan melalui penyesuaian-penyesuaian dengan hukum agama yang bersifat
transeden (dalam hal ini hukum Islam). Undang-undang perkawinan Indonesia dan
Kompilasi Hukum Islam dibuat dengan merujuk pada konsep fiqh klasik dengan
merujuk pada pandangan empat imam madzhab besar: SyafiI, Hanafi, Hanbali dan
Maliki. Oleh karena itu, merubah undang-undang perkawinan sama saja menyimpangi
ijtihad ulama-ulama klasik yang tidak diragukan kredibilitas dan kapasitasnya sebagai
ulama yang membawa pesan-pesan dan keadilan Tuhan. Hal ini jugalah yang menjadi
sebab kenapa undang-undang perkawinan (khususnya pasal 43) ini dipertahankan.

11
Habib Sulthon Asnawi, Politik Hukum Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang Status
Anak di Luar Nikah: Upaya Membongkar Positivisme Hukum Menuju Perlindungan HAM. Jurnal
Konstitusi, Volume 10, Nomor 2, Juni 2013, hlm. 241.
Rio Satrio menjelaskan bahwa dasar hukum yang digunakan oleh kelompok
yang kontra terhadap putusan ini adalah dalil hukum Islam yang juga digunakan oleh
ulama-ulama fiqh klasik,
12
antara lain:
1. Al-Quran (al-Baqarah:233)


Artinya :Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Hadis
Hadis dari Abu Hurairah:

Artinya : Nasab anak tersebut adalah kepada ayah sedangkan bagi pezina
adalah hukuman rajam (H.R. Bukhari dan Muslim)


12
Penulis artikel ilmiah ini adalah Rio Satrio. Dalam artikel ini penulis hanya mencantumkan 2
dasar hukum,, yakni dalil al-Quran dan Hadis. Sedang dasar hukum ketiga, yakni fatwa, dikeluarkan
oleh lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta. Lihat : Rio Satrio, Tinjauan tentang Keudukan Anak Luar Kawin
dalam Sistem Hukum Perkawinan
Indonesia,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Tinjauan%20Keberadaan%20Anak%20Luar%20Kawi
n.pdf, akses pada 24 Mei 2014.
3. Fatwa
Lembaga Fatwa Mesir menyebutkan sebuah fatwa tentang anak
luar hasil zina bahwa nasab seorang anak pada seorang lelaki adalah bagian
dari akad nikah yang sah. Jika hakim tidak melihat adanya akad yang sah
atau akad yang kurang rukun atau syaratnya, maka ia tidak boleh
menbisbatkan nasab anak pada lelaki yang menzinai ibu si anak. Hal ini
meskipun bias dilakukan melalui tes DNA karena nasab anak kepada bapak
hanya didasarkan pada pengakuan syariat bukan semata-mata hubungan
alamiah.
13

Paradigma positivistik-legalistik hukum Islam inilah yang seharusnya
dihilangkan. Karena sesungguhnya pengertian fiqih adalah pemahaman atau apa
yang dipahami dari Syariah atau al-nusus al-muqaddasah. Dengan demikian, fiqih
merupakan hukum Islam yang mengandung ciri intelektual manusia. Oleh
karenanya fiqih ini bersifat relatif dan temporal.51Secara teologis, hukum Islam
adalah sistem hukum yang bersifat ilahiah sekaligus transenden. Akan tetapi,
mengingat hukum tersebut diperuntukkan untuk mengatur manusia baik dalam
hubungan vertikal dengan Tuhannya maupun dalam hubungan horizontal dengan
sesama manusia dan lingkungannya. Maka pada tingkat sosial, hukum Islam tidak
tidak dapat menghindarkan diri dari sebuah perubahan.
14
Perubahan hukum Islam

13
Website Dar al-Ifta (Lembaga Fatwa Mesir), Fatwa: Menetapkan Nasab bagi Anak,
http://www.dar-alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=124&LangID=5&MuftiType=0, akses pada 24 Mei 2014.
14
Habib Sulthon Asnawi, Politik Hukum Putusan MK. (hlm. 256)
sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi: Hukum berubah sesuai dengan kondisi
zaman dan tempat
15

Langkah politik hukum MK dalam mereformasi Pasal 34 UU. No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya menjadianak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya merupakan sebuah langkah politik hukum yang progresif. MK
telah mendobrak sekat-sekat positivisme hukum yang sekian lama telah
membelenggu keadilan serta hak-hak asasi anak. Politik hukum MK tersebut telah
sesuai dengan amanat konstitusi Indonesia. Oleh karena itu, hakim-hakim peradilan
di Indonesia harus menggunakan putusan MK dalam memutus perkara terkait hak
anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
16

Anak di luar nikah sering menjadi objek cacian di tengah masyarakat,
dengan sebuah sebutan anak haram. Kondisi seperti itu memberikan sebuah
ketidak adilan bagi seorang anak, di samping ketidakadilan dari segi tanggung

15
Pernyataan ini sejalan dengan konsep Nazariyah Itibar al-mal (sebagaimanadikutip oleh
Fuad Zan) yang diterapkan oleh Umar bin Khattab, yang menerapkan Hukum Islam yang disesuaikan
dengan kondisi tertentu tanpa meninggalkan ruh nash (maqashid syariah). Lihat Fuad Zen, Ijtihad dan
Nazariyah Itibar al-Mal. Hand Out Mata Kuliah Fiqh Kontemporer di Jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SunanKalijaga Yogyakarta TA 2011/2012, tidak diterbitkan.
16
Habib Sulthon Asnawi, Politik Hukum Putusan MK. (hlm. 256)
jawab orang tua yang telah menyebabkan dia lahir ke dunia juga ketidakadilan
disebabkan tekanan psikis yang dialaminya disebabkan dosa orang tua biologisnya.
Kenyataan ini bertentangan dengan hadis hukum Islam yang lain yang berarti setiap
anak dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa dosa).
Merupakan suatu ketidakadilan jika seorang laki-laki yang telah melakukan
suatu hubungan dengan seorang perempuan terlepas dari tanggung jawab. Apalagi
selama ini anak yang di lahirkan di luar perkawinan mendapat stigma yang tidak
baik di tengah masyarakat. Seorang anak yang seperti itu mesti mendapat perlindungan
hukum dari Negara walaupun status perkawinan orang tuanya masih
dipersengketakan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa bunyi pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 harus
dibaca: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki -laki sebagai ayahnya yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya.
17

Agar anak luar perkawinan benar-benar mendapat perlindungan hukum,
tidak ikut serta menanggung dosa turunan dari orang tuanya, dalam pasal 43 UU Nomor
1 tahun 1974 mesti di tambahkan satu ayat yang secara khusus mengikat orang tua
biologis anak tersebut untuk bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap
anak biologisnya. Sehingga walaupun agama anak atau ayah biologis anak
tersebut menentukan tidak ada hubungan keperdataan antara anak luar perkawinan
dengan ayah biologisnya tetapi secara asas kemanusiaan dia dibebani kewajiban untuk

17
Rio Satrio, Tinjauan tentang Keudukan Anak. Hlm. 9-10.
memberikan perlindungan terhadap anak biologisnya dari diskriminasi, eksploitasi
baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.
D. Kesimpulan
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2013 yang diputus pada 17 Fecruari 2012 ini
mengakibatkan akibat hukum status anak luar nikah yang semula hanya mempunyai
nasab dengan ibu menjadi memiliki nasab juga dengan ayah biologis melalui
pembuktian dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya, anak
dan ibu bias mendapatkan hak-hak keperdataan dari ayah biologis seperti nafkah
(hadhanah) dan hak waris. Putusan ini merupakan langkah progresif penegakan hukum
di Indonesia dalam bidang perkawinan. Langkah MK dengan mengeluarkan putusan
untuk merubah pasal 43 UUP ini merupakan politik hukum yang sejalan dengan
konstitusi. Dimana bunyi pasal baru ini mengakomodir kepentingan-kepentingan anak
yang lahir di luar perkawinan yang sah agar memiliki hak-hak yang sama dengan anak-
anak yang lain. Hak anak ini merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh
Negara hukum.
Kelompok yang kontra akan putusan hukum ini, khususnya orang-orang yang
menganut hukum Islam secara tekstual, harus lebih memahami bahwa upaya MK
merubah UUP bukan berarti menyimpangi fiqh klasik hasil interpretasi terhadap hukum
Tuhan, yang telah diformalkan dalam undang-undang tertulis, melainkan perubahan ini
merupakan upaya untuk mencapai tujuan hukum yakni keadilan dan kemanfaatan .


DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Aplikasi Android versi 4.0.0 oleh Yuku 2009-2013.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
Caroline, Deasy Moch. Djais, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan
Agama, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999
Effendi, Satria, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum
Keluarga Islam, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999
az-Zuhaili, Wahbah, al-fiqh al-Islami wa Adilatuh, VII, Beirut : Dar al-Fikr, 1968
Asnawi, Habib Sulthon, Politik Hukum Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Tentang
Status Anak di Luar Nikah: Upaya Membongkar Positivisme Hukum Menuju
Perlindungan HAM. Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 2, Juni 2013
Satrio, Rio, Tinjauan tentang Keudukan Anak Luar Kawin dalam Sistem Hukum
Perkawinan Indonesia, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Tinjauan%20
Keberadaan%20Anak% 20Luar%20Kawin.pdf, akses pada 24 Mei 2014.
Website Dar al-Ifta (Lembaga Fatwa Mesir), Fatwa: Menetapkan Nasab bagi Anak,
http://www.dar-
alifta.org/ViewFatwa.aspx?ID=124&LangID=5&MuftiType=0, akses pada
24 Mei 2014.
Zain, Fuad. Nazariyah Itibar al-Maal, Hand Out Mata Kuliah Fiqh Kontemporer di
Jurusan al Ahwal al Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN
SunanKalijaga Yogyakarta TA 2011/2012, tidak diterbitkan.
Witanto, DY. Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta:
Prestasi Jakarta, 2012.

Anda mungkin juga menyukai