Anda di halaman 1dari 18

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Upaya Pelayanan Kesehatan Kerja
Salah satu upaya dalam rangka menjamin kesehatan tenaga kerja secara
optimal adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan sebaik mungkin terhadap
tenaga kerja disertai pengelolaan lingkungan dan peralatan kerja yang baik. Karena
tidak dapat disangkal bahwa kesehatan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh sistem
pelayanan kesehatan yang diberikan dan kondisi tempat kerja serta cara atau proses
kerja yang dihadapi tenaga kerja.

Sesuai undang- undang yang berlaku (Permenakertrans No.: Per 03/Men/1982
tentang Pelayanan Kesehatan Kerja), poliklinik perusahaan sebagai salah satu bentuk
pelayanan kesehatan kerja harus dibawah tanggung jawab seorang dokter yang telah
memenuhi persyaratan antara lain telah mengikuti pelatihan hiperkes bagi dokter
perusahaan, demikian juga paramedis di poliklinik perusahaan diwajibkan mengikuti
pelatihan hiperkes. Hal ini dimaksudkan agar poliklinik perusahaan dapat melakukan
pencegahan dan pengobatan penyakit umum dan penyakit akibat kerja. Poliklinik
perusahaan harus melaksanakan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
sesuai kondisi dan karakterisktik perusahaan.


Ada beberapa sistem pelayanan kesehatan terhadap tenaga kerja seperti
poliklinik sendiri dan dilaksanakan oleh pihak luar perusahaan seperti sistem asuransi
seperti Jamsostek, perusahaan jasa pelayanan kesehatan tenaga kerja, fasilitas
kesehatan umum (puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan dan lain- lain). Di antara
sistem pelayanan tersebut, poliklinik perusahan merupakan salah satu pilihan yang
tepat. Poliklinik perusahaan dapat menjadi salah satu sub sistem dari manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahan sehingga dua aspek yaitu
pelayanan kesehatan tenaga kerja dan pengelolaan lingkungan kerja dapat dilakukan
bersama. Berbeda dengan sistem pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pihak luar
yang hanya menekankan pada aspek pelayanan kesehatan di segi kuratif.

5


Aspek promotif dan preventif dapat juga menekan angka kecelakaan dan
penyakit akibat kerja, sedang aspek kuratif dan rehabilitatif dapat menangani
kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut secara cepat tepat sehingga kapasitas
kerja dapat dipulihkan atau dioptimalkan. Fungsi poliklinik perusahaan tidak akan
maksimal sesuai yang diharapkan tanpa adanya dukungan atau kaitan langsung dari
manajemen perusahaan dan kerjasamanya dengan subsistem lain dalam rangka
pelaksanaan manajemen K3 secara keseluruhan di perusahaan.
Adapun upaya klinik perusahaan antara lain sebagai berikut:

1. Upaya Preventif
Upaya kesehatan preventif di perusahaan sangat penting karena sangat
berpengaruh terhadap kinerja karyawan yang berkaitan dengan kualitas
produk dan produktivitas perusahaan. Dari segi ekonomi juga akan
menghemat keuangan perusahaan karena upaya preventif tidak akan menekan
angka kejadian penyakit dan cedera di tempat kerja, tetapi juga angka
kecelakaan kerja. Sedangkan penyakit, cedera dan kecelakaan kerja
memerlukan biaya yang tidak ringan untuk mengatasinya dan di sisi lain
produktivitas perusahaan akan terganggu. Upaya preventif antara lain
meliputi:
a. Pemeriksaan kesehatan awal terhadap calon tenaga kerja
Tujuannya antara lain memperoleh tenaga kerja dengan tingkat
kesehatan yang setinggi-tingginya, memperoleh tenaga kerja yang sesuai
dengan pekerjaannya, menghindari tenaga kerja dari penyakit menular
serta mempunyai data kesehatan semua tenaga kerja sewaktu mulai
bekerja. Pemeriksaan kesehatan awal meliputi pemeriksaan fisik lengkap,
rontgen toraks, laboratorium rutin dan untuk pekerjaan tertentu perlu
dilakukan pemeriksaan sesuai kebutuhan guna mencegah bahaya yang
mungkin terjadi.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala pada semua karyawan
Tujuannya antara lain mempertahankan tingkat kesehatan karyawan
dan deteksi dini gangguan kesehatan akibat pekerjaannya. Pemeriksaan
6

kesehatan berkala meliputi pemeriksaaan fisik lengkap, tes kesegaran
jasmani, rontgen toraks (bila perlu), laboratorium rutin dan pemeriksaan
lain sesuai indikasi.
c. Pemeriksaan kesehatan khusus
Tujuannya antara lain adalah menilai pengaruh pekerjaan tertentu
terhadap karyawan, menentukan ada tidaknya gangguan kesehatan pada
tenaga kerja yang diduga menderita gangguan kesehatan, memantau
tenaga kerja yang beresiko tinggi terhadap gangguan kesehatan akibat
pekerjaan misalnya usia lebih dari 40 tahun, karyawan pasca kecelakaan
atau sakit yang memerlukan perawatan yang lebih dari 2 minggu, tenaga
kerja wanita, tenaga kerja cacat, serta tenaga kerja usia muda yang
melakukan pekerjaan tertentu.
d. Melaporkan adanya penyakit akibat kerja yang ditemukan.
e. Penempatan dan pemindahan tenaga kerja pada tempat kerja yang sesuai
dengan kondisi kesehatannya.
f. Membuat laporan bulanan penyakit.
g. Pemantauan dan pengendalian lingkungan kerja dan alat-alat produksi.
h. Pemberian menu makanan sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi.
2. Upaya Promotif
a. Pendidikan dan pelatihan tentang K3
Dilakukan secara berkala dengan materi disesuaikan dengan kondisi
perusahaan.
b. Safety talk
Diberikan oleh seorang supervisor atau ketua regu setiap akan memulai
pekerjaan, ini dilakukan terutama pada tempat atau jenis pekerjaan dengan
resiko kecelakaan kerja yang tinggi.




7

3. Upaya Kuratif
a. Pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K)
Pelayanan P3K dilaksanakan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung poliklinik perusahaan memberikan pelayanan
P3K terhadap karyawan yang dibawa ke poliklinik. Secara tidak langsung
poliklinik harus memberikan pelatihan P3K terhadap beberapa atau semua
karyawan agar segera dapat memberikan pertolongan P3K kepada teman
yang mengalami kecelakaan kerja.
b. Pengobatan tenaga kerja yang sakit
Pengobatan dilakukan secara komprehensif dengan sedapat
mungkin mencari kausanya. Pengobatan dilakukan terhadap karyawan
berkunjung ke poliklinik maupun karyawan yang dideteksi menderita sakit
pada waktu pemeriksaan berkala atau pemeriksaan khusus.

4. Upaya Rehabilitatif
Upaya rehabilitatif dilakukan dengan tujuan pengobatan yang
dilakukan lebih tuntas dengan mengembalikan atau mengoptimalkan fungsi
atau kemampuan yang masih ada. Rehabilitasi yang dapat dilakukan antara
lain berupa pemberian protesa atau ortosa, fisioterapi dan konsultasi
psikologis. Selain hal-hal tersebut poliklinik perusahaan harus dapat
menganalisis permasalahan K3 di perusahaan dan didiskusikan dengan
departemen terkait untuk dirumuskan solusinya dan dilaporkan ke pihak
manajemen untuk ditindaklanjuti. Pola penyakit tenaga kerja di suatu
perusahaan akan berbeda pola penyakitnya tergantung potensi bahaya di
tempat kerjanya. Untuk itu diperlukan pengetahuan kesehatan kerja agar
dalam mengelola poliklinik perusahaan menggunakan pendekatan yang tepat
sesuai kondisi dan karakteristik lingkungan kerja yang ditangani.



8

2.2 Noise I nduced Hearing Loss (NIHL)
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras
dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja (tuli akibat kerja/occupational deafness). Sifat ketuliannya adalah
tuli sensorineural koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Orang dengan tuli
sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang (background noise),
sehingga apabila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapati
kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut cocktail party
deafness. Jadi seseorang dikatakan tuli sensorineural koklea apabila lebih mudah
berkomunikasi di tempat yang sunyi atau tenang.
Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik
bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan
intensitas 85 desibel (dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor
pendengaran Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat
Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz (Hz) sampai dengan 6000
Hz dan yang terberat adalah kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 4000 Hz.
Banyak faktor yang mempermudah seseorang dapat menjadi tuli akibat
pajanan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi,
lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadapat
telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan
aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain.
Seperti halnya dalam lingkungan industri, semakin tinggi intensitas
kebisingan, semakin lama pemaparan kebisingan yang dialami oleh pekerja maka
semakin berat gangguan yang ditimbulkan pada para pekerja tersebut.





9

Secara umum pengaruh bising pada pekerja dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu:
1. Pengaruh auditorial berupa tuli akibat bising (NIHL) dan umumnya terjadi
dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan tingii.
2. Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan
kominikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan
darah dan lain sebagainya.
Gejala yang ditemukan seperti kurangnya pendengaran disertai tinitus
(berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar
menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan dikatan sudah berat apabila
percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ
pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift/TTS) dan peningkatan ambang dengar menetap
(permanent threshold shift/PTS). Lebih rinci gambaran klinis pajanan bising pada
organ pendengaran dijelaskan sebagai berikut:
1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi
dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena
fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.
2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya
peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang cukup
tinggi. Seseorang yang pertama kali terpapar suara bising akan mengalami
berbagai perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran
bertambah tinggi pada frekuensi tinggi. Pada gambaran audiometric tampak
sebagai notch yang curam pada frekuensi 4000 Hz, yang juga disebut acoustic
notch. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi
pemulihan dalam satuan hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas
sangat tinggi berlangsung singkat (explosive) atau berlangsung lama yang
10

menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan
organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dan lainnya. Dikatakan bahwa untuk
merubah TTS menjadi PTS diperlukan waktu bekerja di lingkungan bising
selama 10-15 tahun, tetapi hal ini juga bergantung pada tingkat suara bising dan
kepekaan seseorang terhadap bising.
2.2.1 Klasifikasi bising
Ada beberapa jenis bising yang dapat menyebabkan ketulian dan penyakit
lainnya pada tenaga kerja, antara lain:

a. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas
Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap, dalam batas amplitudo
kurang lebih 5 dB untuk priode 0,5 detik berturut- turut. Contoh : dalam kokpit
pesawat, helicopter, gergaji sirkuler, katup mesin gas, kipas angin, suara dapur
pijar.
b. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit
Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (5000, 1000 atau
400 Hz), misalnya suara katup gas, gergaji sirkuler.
c. Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut intermittent noise, yaitu kebisingan yang tidak
berlangsung secara terus menerus dan memiliki interval tanpa bising. Contoh:
suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.
d. Bising impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu
sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh: suara ledakan
petasan, tembakan meriam.
e. Bising impulsif berulang- ulang
Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin
tempa.
11

Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang
bersifat kontinu, terutama memiliki spektrum frekuensi lebar dan intensitas yang
tinggi. Di Indonesia intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah
85 dB untuk waktu kerja 8 jam per hari, seperti yang diatur dalam surat edaran
Menteri Tenaga Kerja No. SE.01/Men/1987 tentang Nilai Ambang Batas (NAB)
untuk kebisingan di tempat kerja.
2.2.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan
fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti
audiometri. Dari anamnesis didapatkan riwayat pernah bekerja atau sedang bekerja di
lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau
lebih. Dari pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan
audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga
yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketulian
adalah sensorineural yang biasanya mengenai kedua telinga.
Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi antara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik
(notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB
(alternate binaural loudness balance), MLB (monoaural loudness balance),
audiometri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), dimana hasil menunjukan
adanya fenomena rekrutmen (recruitment phenomenon) yang patognomonik untuk
tuli sensorineural koklea.
Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana
telinga yang tuli menjadi lebih sensitive terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil
pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang
yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila
12

sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada
rekrutmen akan mendapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut.

Gambar 2.1 Pemeriksaan audiometric pada NIHL, pada frekuensi 400 Hz
sering terdapat takik (notch) yang patognomonik
2.3 Pencegahan
Jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang
sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun tindakan pembedahan,
maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan
terjadinya ketulian.
Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan
lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber
bunyi, misalnya berasal dari generator dipisah dengan menempatkannya disatu
ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti
mesin tenun, mesin pengerolan baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan
13

sendiri oleh pekerja seperti ditempat penempaan logam, maka pekerja tersebut yang
harus dilingungi dengan alat pelindung bising seperti sumbat belinga, tutup telinga
dan pelindung kepala.
Alat pelindung diri dari kebisingan wajib digunakan. Hal ini berdasarkan
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Republik Indonesia No.
555.K/26/M.PE/1995 tahun 1995 Pasal 85 ayat (3) disebutkan bahwa pekerja yang
tak terlindung terhadap kebisingan yang melebihi nilai ambang batas harus memakai
alat pelindung pendengaran.
11
Kita menggunakan 85 dB sebagai NAB, mengacu pada
Standar Nasional Indonesia SNI16-7063-2004 tentang Nilai Ambang Batas Iklim
Kerja (Panas), kebisingan,getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultraviolet di
tempat kerja.
12
Alat pelindung pendengaran merupakan penghalang antara suara dan
telinga atau fungsinya menyerap gelombang suara sebelum memasuki telinga. Orang
dengan fungsi pendengaran normal selalu tetap bisa mendeteksi beberapa suara
sewaktu menggunakan alat pelindung pendengaran, karena tulang pada kepala juga
menghantar suara.


Ada tiga jenis alat pelindung pendengaran (hearing protection). Pertama, ear
plug dimasukkan untuk memblokir saluran telinga. Ear plug berbentuk premolded
(preformed) atau moldable (busa). Ear plug umumnya dijual sebagai produk sekali
pakai (disposable) atau dapat digunakan kembali (reusable). Kedua, semi-insertear
plugs terdiri dari dua ear plug yang dipasang diujung head band. Ketiga, ear muff
berupa penutup telinga yang terbuat dari bahan yang lembut yang dapat menurunkan
kebisingan dengan cara menutupi semua bagian telinga dan ditahan/dipegang oleh
head band.


Produsen memberikan informasi tentang kemampuan pengurangan kebisingan
dari alat pelindung pendengaran atau dikenal dengan NRR (Noise Reduction Rating).
Nilai NRR didasarkan pada pengurangan kebisingan yang diperoleh dalam kondisi
laboratorium. NIOSH merekomendasikan menggunakan data sesuai dengan subjek
berdasarkan ANSI S12.6-1997 untuk memperkirakan redaman kebisingan pelindung
14

pendengaran. Jika data sesuai subjek tidak tersedia, NIOSH merekomendasikan de-
rating pelindung pendengaran dengan faktor yang sesuai dengan data yang tersedia.
Secara khusus, NIOSH merekomendasikan bahwa label NRRakan de-rated sebagai
berikut:


Ear Muff Kurangi 25% dari label NRR produsen
Formable ear plug Kurangi 50% dari label NRR produsen
Semua jenis ear plug yang lain Kurangi 70% dari label NRR produsen
Actual Noise Reduction Rating (NRR) juga dapat dihitung dengan rumus berikut:
Actual NRR = (NRR 7) / 2

Ketiga alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising yang
berfrekuensi tinggi dan masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup
telinga memberikan proteksi lebih baik daripada sumbat telinga, sedangkan helm
selain sebagai pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung
kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang
terbaik.
Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan
pekerja dilingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa menimbulkan
ketulian. Berikut intensitas kebisingan dengan lama paparan bising yang
diperkenankan pada suatu tempat kerja, dapat dilihat pada tabel berikut ini:




15

Tabel 2.1 Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan
Skala ukur
waktu
Lama pajan/hari
Intensitas dalam
dB
Jam 24 80
16 82
8 85
4 88
2 91
1 94
Menit 30 97





Detik
15
7,50
3,75
1,88
0,94
28,12
14,06
7,03
3,52
1,76
0,88
0,44
0,22
0,11
100
103
106
109
112
115
118
121
124
127
130
133
136
139

Klasifikasi Kebisingan dan Tuli Akibat Kerja, menurut ISO adalah sebagai berikut:

Jika peningkatan ambang dengar antara 0- < 25 dB, masih normal
Jika peningkatan ambang dengar antara 26- 40 dB, disebut tuli ringan
Jika peningkatan ambang dengar antara 41- < 60 dB, disebut tuli sedang
Jika peningkatan ambang dengar antara 61- < 90 dB, disebut tuli berat
Jika peningkatan ambang dengar antara > 90 dB, disebut tuli sangat berat

16

Gradasi gangguan pendengaran karena bising itu sendiri dapat ditentukan
menggunakan parameter percakapan sehari- hari sebagai berikut:

Tabel 2.2 Gradasi gangguan pendengaran berdasarkan parameter percakapan
sehari- hari
Gradasi Parameter
Normal Tidak mengalami kesulitan percakapan biasa (6 meter)
Sedang Kesulitan dalam percakapan sehari- hari mulai jarak > 1,5 meter
Menengah Kesulitan dalam percakapan keras sehari-hari mulai jarak > 1,5
meter
Berat Kesulitan dalam percakapan keras/ berteriak pada jarak > 1,5
meter
Sangat berat Kesulitan dalam percakapan keras/ berteriak pada jarak < 1,5
meter
Tuli total Kehilangan kemampuan pendengaran dalam berkomunikasi

2.4 Program Konservasi Pendengaran
Program Konservasi Pendengaran/ Hearing Conservation Programme (HCP)
adalah program formal sebuah perusahaan untuk mencegah terjadinya kehilangan
pendengaran akibat kebisingan pada pekerja (noise induced hearing loss/ NIHL).


Tujuan umum program konservasi pendengaran yaitu meningkatkan
produktivitas pekerja melalui pencegahan ketulian akibat bising di tempat kerja
dengan melaksanakan program konservasi pendengaran yang melibatkan seluruh
unsur perusahaan.




17

Tujuan khusus program konservasi pendengaran, yaitu:

1. Mengetahui tingkat kebisingan di tempat kerja sesuai karakteristik
kegiatannya.
2. Meningkatkan upaya pencegahan ketulian akibat bising melalui upaya
mengurangi paparan terhadap pekerja, baik secara teknis maupun
administratif.
3. Deteksi dini adanya NIHL dan mencegah Temporary Threshold Shift (TTS)
yang timbul secara permanen.
4. Meningkatkan pengetahuan karyawan mengenai kebisingan dan pengaruh
terhadap kesehatan.
5. Meningkatkan disiplin dan kesadaran dalam menggunakan APD terhadap
kebisingan.
6. Menumbuhkan perubahan perilaku karyawan dan semua unsur terkait ke arah
yang mendukung program tersebut, melalui promosi kesehatan di tempat
kerja.
Aktivitas Program Konversi Pendengaran antara lain adalah melakukan
identifikasi sumber bising melalui survey kebisingan di tempat kerja (walk through
survey), melakukan analisis kebisingan dengan mengukur kebisingan menggunakan
Sound Level Meter (SLM) atau Octave Band Analyzer, melakukan control kebisingan
dengan berbagai cara peredaman bising, melakukan tes audiometri secara berkala
pada bekerja yang berisiko, menerapkan system komunikasi, informasi, dan edukasi,
serta menerapkan APD secara ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data.
Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Monitoring paparan bising
Tujuan utama dari melaksanakan penilaian kebisingan adalah:
a. Mendefinisikan area di mana pekerja akan terpapar kebisingan yang
melebihi ambang batas.
18

b. Memilih alat pelindung pendengaran yang sesuai berdasarkan
sumber/level/ atau lingkungan kerja dan pertimbangan lainnya.
2. Control engineering dan administrasi
Kontrol engineering termasuk, tapi tidak terbatas pada pemeliharaan,
modifikasi atau penggantian peralatan; isolasi alat yang memiliki tingkat
kebisingan tinggi dari area sekitar; dan pengunaan material akustik. Kontrol
administrasi mencakup pemisahan proses kerja dan area bising;
penjadwalan/rotasi pekerjaan; dan kebijakan pembelian/desain peralatan tidak
melebihi batas kebisingan maksimal.
3. Tes audiometri dan evaluasi
Audiogram menghitung tingkat pendengaran pada frekuensi pembicaraan
sehari-hari, dan mampu mendeteksi kehilangan pendengaran sebelum terpapar
ke area dengan tingkat kebisingan tinggi.
4. Penggunaan APD
Ketika kontrol engineering dan administrasi tidak mampu mengurangi
paparan pekerja terhadap pekerja, maka alat pelindung pendengaran harus
digunakan. Pemilihan alat pelindung pendengar harus tepat dan layak yang
bergantung pada operasi, preferensi pekerja dan redaman yang dibutuhkan.
5. Pendidikan dan motivasi
Pekerja yang bekerja di lingkungan dengan kebisingan yang melebihi
batas OHSA harus mengikuti HCP. Pelatihan mencakup pengetahuan tentang
efek kebisingan, tujuan dan manfaat dari alat pelindung pendengaran dan
prosedur tes audiometri.
6. Evaluasi program
Program akan terus memantau rekam medis dari pekerja dengan
melaksanakan penilaian bahaya kebisingan dan tes audiometri.
7. Audit program
Program konservasi pendengaran dievaluasi paling tidak sekali dalam dua
tahun dan diperbaharui apabila diperlukan.

19

2.5 Kerangka Teori Peningkatan Mutu
Metode yang digunakan pada proyek peningkatan mutu ini melalui metode
Plan, Do, Check and Action (PDCA Cycle) yang didasari atas masalah yang dihadapi
(problem faced) kearah penyelesaian masalah (problem solving). Konsep PDCA ini
dikembangkan oleh Walter Shewhart, seorang pionir statistik yang mengembangkan
control process statistic di Bell Laboratories, USA pada tahun 1930 yang dikenal
dengan The Shewhart Cycle. Konsep ini telah berkembang dan diperkenalkan
secara efektif sejak tahun 1950 oleh W. Edward Deming sehingga lebih dikenal
dengan Deming Wheel.

Ada beberapa tahap yang dilakukan di PDCA yaitu:
a. Plan
1. Pengidentifikasian out put pelayanan, siapa pelanggannya dan harapan
pelanggan tersebut melalui analisis suatu proses tertentu
2. Mendeskripsikan proses yang dianalisis saat ini:
a. Pelajari proses dari awal hingga akhir, identifikasi siapa saja yang
terlibat dalam proses tersebut.
b. Teknik yang dapat digunakan: brainstorming
3. Mengukur dan menganalisis situasi tersebut
a. Menentukan data apa yang dikumpulkan dalam proses tersebut
b. Bagaimana mengolah data tersebut agar membantu memahami
kinerja dan dinamika proses
c. Teknik yang digunakan adalah observasi dan wawancara
4. Focus pada peluang peningkatan mutu
a. Pilih salah satu permasalahan yang akan diselesaikan
b. Kriteria permasalahan: menyatakan efek atas ketidakpuasan,
adanya gap antara kenyataan dengan yang diinginkan, spesifik dan
dapat diukur
5. Mengidentifikasi akar penyebab masalah
a. Menyimpulkan penyebab
b. Teknik yang digunakan : brainstorming
20

c. Alat yang digunakan: fish bone analysis ishikawa
6. Menemukan dan memilih penyelesaian
a. Mencari berbagai alternatif pemecahan masalah
b. Teknik yang dapat digunakan: brainstorming
b. Do
a. Merencanakan suatu proyek uji coba
b. Merencanakan sumber dana
c. Merencanakan kegiatan
d. Melaksanakan pilot project, dilaksanakan dalam skala kecil dengan
waktu yang relatif singkat (1 hari)
c. Check
a. Evaluasi hasil project yang bertujuan untuk efektivitas proyek tersebut
b. Membandingkan target dengan hasil pencapaian proyek ( data yang
dikumpulkan dan teknik pengumpulan data harus sama)
c. Target yang ingin dicapai
d. Membuat kesimpulan proyek
e. Hasil menjanjikan namun perlu perubahan. Jika proyek gagal, cari
penyelesaian lain, jika proyek berhasil selanjutnya dibuat menjadi
rutinitas
d. Action
a. Standarisasi perubahan
b. Pertimbangkan area mana saja yang mungkin diterapkan
c. Revisi prose yang sudah diperbaiki
d. Modifikasi standar, prosedur dan kebijakan yang ada
e. Komunikasikan pada seluruh staf, pelanggan dan supplier atas
perubahan yang dilakukan
f. Lakukan latihan bila perlu
g. Mengembangkan rencana dengan jelas
h. Dokumentasikan proyek
i. Memonitor perubahan
21

j. Melakukan pengukuran dan pengendalian proses yang teratur
k. Alat yang digunakan: kamera digital

Anda mungkin juga menyukai