Anda di halaman 1dari 4

Reaksi masyarakat saat Stalin meninggal

Suatu hari mereka baru selesai menonton bagian kedua film Pertempuran Stalingrad Petrov di
Kedutaan Kuba.
Bung tahu apa yang terjadi setelah Stalin meninggal?
hmm. Tentunya dia disemayamkan di Lapangan Merah?jawab Kardi sekenanya.
Ya, kata Bhisma, tapi maksud saya bagaimana reaksi masyarakat. Mereka menangis, Bung,
menangis di sepanjang jalan, seperti ribuan anak-anak yang mendadak yatim, tidak hanya di
Moskow, tapi juga di seluruh Eropa Timur, di Praha, di Budapest, di Berlin, bahkan di
Leipzigdan kemudian ada kekosongan besar sekali, sampai ke langit. Tapi juga ada rasa
bebas.

Waktu itulah Bhisma sadar bahwa di Leipzig, bukan di Jakarta, orang bisa leluasa
memperbincangkan Stalin, pemujaan gila-gilaan kepadanya dan suasana represif yang
berkembang karena itu. Di oplet itu ia mengalihkan pembicaraan: aku akan membantu klinik di
Tanjung Priok. Kawan-kawan Germani meminta aku membantu mereka.
Akhirnya ia kembali lebih banyak berada di anatar sanak saudranya sendiri. Keluarganya.
Di sini pu sebenarnya ia tak bangga. Tujuh tahun di Leipzig meskipun ada Gewandhaus,
yang kemudian ia sukai seakan-akan ia sudah jadi bagian dari dunia itu, meskipun ada tempat-
tempat yang baginya istimewa di sekitar Pleisseburgmasa tujuh tahun telah mengajarkan
kepadanya arti rasa puas. Tetapi kebahagiaan adalah sesuatu yang lain (Pamuntjak, 2012: 198)


Suasana Leipzig
Lalu ia bercerita bahwa tiap kota berbeda, dan Leipzig sama sekali berbeda dari Leiden
yang didiaminya selama tiga tahun, juga dari kota-kota lain mana pun di Eropa Barat. Leipzig
adalah sebuah taman rahasia yang berdinding, sebuah tempat yang lenyap ke balik batu. Di
mana-mana tertera sisa kematian: di jalan-jalan yang menikung tajam, di lorong-lorong lekang
yang tiba-tiba berkait dengan blok berikutnya, di plengkung-plengkung pendek yang memayungi
bar-bar bawah tanah. Ia masih bisa merasakan degup jantungnya ketika melalui jalan-jalan pintas
tersembunyi di antara gedung-gedung, tapak yak bertanda di antara blok, ketika ia harus
mengihindari pengawasan Stasi untuk bertemu dengan teman-temannya: penulis sandiwara radio
yang tak pernah disiarkan, professor antropologi yang Yahudi dan kesepian, pematung bermata
juling yang selalu meragukannyakamu seorang dokter Indonesia, mana mungkin kamu
menyukai dunia kami (Pamuntjak, 2012: 199)..
Lalu ia bercerita, dengan hati-hati, tentang Monica, penyiar Rundfunk der DDR yang
sehabis jam siaran malamnya memperkenalkan Bhisma pada sajak-sajak cinta Brecht sebelum
gadis itu melarikan diri ke Barat (Pamuntjak, 2012: 199).


Gerard sudah lima tahun di Holland, sebelum Liz dan orangtuanya datang bersama
rombongan tentara KNIL yang didemoblisasi dan sebagiannya ditempatkan di sudut Provinsi
Drente itu. Seperti Liz, maka Gerard pipih dan tubuhnya lebih menonjolkan tulang yang kuat
ketimbang daging. Umurnya 23, dan dengan bahasa Belanda yang manis ia bercerita bahwa
selama hampir setahun indekos di Leiden baru sekali itu Liz pulang ke rumah orangtuanya.
Saya tahu ia malu. Papa dan mamanya tidak tinggal di Westerbork, tetapi di sebuah kamp
sepuluh kilometer dari sana. Kamp penampungan bekas KNIL.Lalu Gerard menambahkan
dengan senyu kecil yang pahit, tempat tinggal mereka dulu adalah kamp Nazi Jerman yang
dipakai untuk menahan orang-orang Yahudi sebelum dikirim kemkamar gas di Polandia.Anne
Frank pernah ditempatkan di salah satu gubuk di situ, tak jauh dari tempat tinggal keluarga
Manuhutu/ Jerman menguasai tempat itu beberapa belas tahun yang lalu. Di tanah seluas 3.000
meter persegi, mereka praktis terisolir. Di sekitar mereka hanya hutan dan padang terbuka, dan
desa terdekat yang ditempati orang Belanda 25 kilometer jaraknya dari sana. Ya, itulah balas
budi Beanda kepada orang-orang Maluku yang telah setia kepada Kerajaan berabad-abad, Door
de Eeuwen Trouw. Mimpi oom saya dan teman-temannya kamp itu tentang Republik Maluku
Selatan adalah mimpi orang-orang yang ditolak di dua sisi (Pamuntjak, 2012: 220).

Suasan Paris saat 1871
Pada suat hari, di Paris, ketika mereka sedang duduk berdua di sebuah bangku di Taman
Luxemburg, tiba-tiba Gerard bertanya, Kau tahu apa yang terjadi di sini di musim semi
1871?Sebelum Bhisma menggeleng, Gerard memberinya sebuah cerita tentang ribuan kaum
buruh yang berontak dan dibunuh di taman itu. Dan juga di sana, Gerard menambahkan, di
belakang Hotel de Ville. Itu akhir sebuah revolusi yang kalah tetapi mengagumkan, Komune
Paris. Yang tertindas akan selalu melawan, dan meskipun tak jarang hancur dan dibantai
akhirnya dunia kan berubah untuk kemenangan mereka.
Bhisma diam; ia sungguh-sungguh mendengarkan. Dan ketika seminggu kemudian
Gerard meminjaminya buku Tens Days That Shook the World, laporan tentang Revolusi Oktober
1917 di Rusia yang ditulis seorang wartawan Amerika, John Reed, ia makin tahu apa yang
membuat Gerard begitu kuat untuk tidak hanya mengeluh dan marah: ia yakin akan sebuah masa
depan, ia yakin pada yang akan diberikan komunisme kepada manusia.Saudara-saudara saya di
kamp marah kepada orang putih, benci kepada orang Indonesia, tapi saya tidak,kata
Gerard.Kenapa. Karena Rosa Luxemburg,jawab Gerard (Pamuntjak, 2012: 221).

Kekaguman sosok Schweitzer
Waktu itu ia baru saja lulus sekolah menengah atas di Leiden, 18 tahun dan tidak begitu
jelas mau segera melakukan apa, meskipun ia tahu ia ingin jadi sokter. Kamu bisa seperti Albert
Schweitzer,kata Gerard., ketika ia menyebut keinginannya masuk jurusan kedokteran.
Schweitzer meninggalkan Jerman dan mendirikan rumah sakit di Gabon, di antara rakyat miskin,
menolong mereka.Kau juga begitu. Bhisma tersenyum. Ia tahu, seperti dia, Gerard mengagumi
Schweitzer, tetapi tak menganggapnya sebagai seorang tokoh pembebasan. Di Afrika,
Schweitzer mengabdi dengan sangat mengagumkan, tapi gabon tetap dikuasai Prancis.
Kebaikan hati sering menutupi penindasan yang seenarnya, kata Gerard, itu yang sudah
kuperhatika sejak kecil. Papaku, asisten administrator perkebunan adalah orang yang murah hati
kepada buruh dan para penakik karet. Tapi akhirnya mereka tetap saja korban pengisapan
Tjikadoe Rubber Plantage.
Bhisma memandang wajah Gerard agak lama, dan ia mengerti: Schweitzer, palagi dirinya
yang bahkan belum jadi dokter, hanya berarti jika jadi bagian usaha pembebasan yang lebih
besar. Pengorbana diri adalah mereka membicarakan Raymonde Dien, anggota partai komunis
Prancis yang dalam dingin Februari meletakkan tubuh, telungkup, di rel kerta api yang
menyangkut tank-tank Prancis yang kan dikirimkan ke Vietnam untuk melindas perang
kemerdekaan di sana. Dia lebih muda daripada kamu, kata Bhisma kepada Gerard
mengangguk, tertawa.Ia mengerti apa artinya solidaritas internasional, katanya. Ia melakukan
itu untuk negeri yang melawan negerinya sendiri (Pamuntjak, 2012: 232).

Suasana Berlin Timur
Tapi yang paling mengesankan buatku adalah Berlin Timur sendiri. Kota itu kota
sosialis, dan kau tahu, di belahan kota yang Barat, Berlin tak mengenal sosialisme. Kehidupan
Makmur, mobil-mobil yang mengilat, toko-toko yang semarak, tetapi aku merasa hidup
digerakkan untuk menyembah iklan dan toko dalam ibadah yang sendiri-sendiri. Memang
lambat, tidak semarak, tetapi orang tidak disuruh menyembah toko, orang memeluk ide dan masa
depan yang juga untuk orang lain. Aku melihatnya demikian demikianya, waktu itu aku belum
20 tahundan aku putuskan untuk hidup di Jerman Timur. Aku memilih bersekolah di Leipzig,
dan ke sanalah aku akhirnya pergi membawa koperku pada tahun 1953 (Pamuntjak, 2012: 233-
234).

Surat Bhisma kepada orangtuanya tentang Suasana Leipzig tanggal 21 Agustus
1959
Makin lama rasanya aku makin menyukai Leipzig. Mungkin karena di sini harus terus-
menerus kreatif. Leipzig tidak seperti Leiden. Di sini paling-paling hanya ada dua pub yang
buka. Para mahasiswa harus dapat menciptakan tempat minum mereka sendiri, dengan sekadar
bertemu di satu ruangan kosong berulang kali. Teman-temanku membuatnya di sebuah sudut di
belakang Sekolah Tinggi Musik Mendelssohn-Akademie, di Grasistrabe.
Rasanya penduduk hidup dengan kenangan tentang masa lalu, kenangan yang dirusa
oleh zaman ini, dan sebab itu harus menciptakan sesuatu yang baru. Aku sekarang mengerti
kata-kata Bung Karno kenapa ia lebih memilih menyukai Uni Soviet daripada Amerika; Amerika
negeri yang sudah selesai, sedang Uni Soviet negeri yang masih membangunmasih dengan
brutto kracht yang segar (Pamuntjak, 2012: 402).
Tapi Papa dan Mama jangan bayangkan Leipzig hanya puing-puing, seperti Dresden.
Malah di antara kota besar Jerman lain, kota ini yang paling sedikit terkena bom Perang Dunia
II. Bangunan-bangunan dari masa Grunderzeit abad ke-19 masih banyak sekali, yang membuat
Leipzig seperti bukan bagian dari negeri sosialis.
Tetapi mungkin aku tak perlu menyesal. Akalu aku tidak bisa menjawab pertanyaan
Papa, setidak-tidaknya aku tidak pura-pura memahami ekonomi. Yiap kali aku lewat di depan
gedung baru yang megah dari Fakultas Ilmu Ekonomi, aku bertanya apa sebenarnya yang
mereka temukan dengan ilmu itu. Kata temanku, justru di Universitas Karl Marx ini mereka
baca Marx dengan melucu: jika sistem sosialisme diberlakukan di Sahara, maka selama 10
tahun tidak akan terjadi apa-apa. Lalu setelah itu pasir mulai habis (Pamuntjak, 2012: 404-405).

Bagaimana aku akan lupa? Teman-temanku di sini masih berbcicara dengan geram, meskipun
dengan berbisik-bisik, tentang Ausfstand des 17 Juni. Entah berepa puluh orang, banyak yang
mereka kenal, yang dijebloskan penjara setelah kerusakan itu. Aku ingat, bagaimana kagert
dan ngeri: baru beberapa minggu menetap di Leipzig, aku melihat tank-tank IS-2 Rusia menderu
memasuki Beethovenstrfe (Pamuntjak 2012: 406).

Surat Bhisma di Leipzig tanggal 8 Maret 1960
Aneh atau tidak aneh, di sini jazz adalah bagian dari Perang Dingin. Kalau yang nyanyi
orang Negro, seprti Paul Robeson, itu boleh, itu disebut Ur-jazz; tetapi selebihnya adalah
nyanyian yang berparfum dari Amerika. Begitulah kategorisasi yang seenaknya dibikin oleh
teoretikus musik Partai. Ersnt hermann Meyer. (Sebagai balasan, karena tahu bahwa jazz
dilarang di Timur, di barat mereka mempropagandakannya dengan agresif, tentu saja dengan
dukungan Amerika. )
Sebenarnya di kalangan SED ada usaha mengubah itu. Tiga tahun yang lalu aku pernah
dengarkan satu cermaha di Nikolaikirche (pastor0pastor gereja ini dikenal tidak jinak secara
politik. Menarik sekali. Pembicarannya Reginal Rudolf, seorang anggota Partai yang gila jazz;
menurut dia, jazz adalah musik kauum yang tertindas yang juga bersifat internasional. Tetapi
kemudian aku tahu, beberapa hari sehabis ceramah itu Rudolf ditangkap, ia dijatuhi hukuman
dua tahun. Aku dengar tahun lalu dia lari ke Barat.
Dalam soal musik, dalam soal seni, Parati seharusnya berubah haluan setelah Stalin
mangkat. Di Rusia sendiri doktrin Stalin yang membuat segala ekspresi seni jadi perkara politik
sudah ditertawakan, dan di kalangan seniman dan intelektual Jerman semenjak itu juga ada
rasa lega lebih bebas. Tetapi akhirnya tetap terbukti kekuasaan Ulbricht adalah kekuasaan
Stalin kecil. Maka tetap saja musik adalah persoalan politik, artinya urusan partai. Kamu pasti
merasa geli bahwa Bach, yangbresmi jadi komponis kebanggaan Leipzig, tidak boleh disebut
sebagai komponis religius, melainkan progresif. Seolah-olah dengan sebuatn itu musiknya
bisa terdengar berbeda (Oamuntjak, 2012; 408).

Anda mungkin juga menyukai