Anda di halaman 1dari 8

Antibiotik

Definisi
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk membunuh infeksi mikroba pada
manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
(khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau
menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain (Munaf, 1994). Antibiotik ialah zat yang
dihasilkan oleh suatu mikroba yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain
(Gunawan et all, 2007).

Aktivitas dan spektrum
Antibiotik mempunyai aktivitas spektrum sempit dan luas. Antibiotik spektrum yang luas
aktif terhadap banyak spesies bakteri manakala antibiotic spektrum sempit hanya aktif terhadap
satu atau beberapa bakteri (Dawson, Taylor, Reide, 2002). Antibiotik spektrum sempit seperti
penisilin-G, eritromisin dan klindamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif manakala
streptomisin, gentamisin dan asam nalidiksat khusus aktif terhadap bakteri gram negatif.
Antibiotik spektrum luas seperti sulfonamida, ampisilin dan sefalosporin bekerja terhadap lebih
banyak bakteri gram positif maupun gram negatif (Tan, 2007).

Penggolongan Antibiotik
Secara garis besar antimikroba dibagi menjadi dua jenis yaitu yang membunuh kuman
(bakterisid) dan yang hanya menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang
termasuk golongan bakterisid antara lain penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar),
kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dan lain-lain. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat
bakteriostatik, dimana penggunaanya tergantung status imunologi pasien, antara lain
sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam
paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence & Bennet,1987).
Pembagian bakteriostatik dan bakterisid ini tidak absolut, tergantung dari konsentrasi
obat, spesies bakteri dan fase perkembangannya. Manfaat dari pembagian ini berguna dalam hal
pemilihan antibiotika, pada pasien dengan status imunologi yang rendah (imunosuppressed)
misalnya penderita HIV-AIDS, pada pasien pembawa kuman (carrier), pada pasien dengan
kondisi sangat lemah (debilitated) misalnya pada pasien-pasien end-stage, maka harus dipilih
antibiotika bakterisid (Utami,2012).
Terdapat pembagian lain dalam klasifikasi antibiotika, yaitu berdasar cara kerja maupun
spektrum kerjanya. Penggunaan pembagian ini secara klinis masih kurang bermanfaat. Dalam
prakteknya, klasifikasi yang paling sering dipakai klinisi adalah berdasar susunan senyawa
kimia. Lebih sering dipakai karena sifatnya yang praktis, nama obat yang dipakai langsung
terkait dengan golongan senyawa kimia masing-masing. Antibiotika yang dibagi berdasar
senyawa kimianya antara lain golongan penicillin, cephalosporin, amfenikol, aminoglikosida,
tetrasiklin, makrolida, linkosamid, polipeptida, dan antimikobakterium (Utami,2012).
Menurut Stephens (2011) walaupun terdapat hampir 100 antibiotik namun mayoritasnya
terdiri dari beberapa golongan. Golongan-golongan tersebut adalah :

1. Golongan penisilin.
Penisilin merupakan antara antibiotik yang paling efektif dan paling kurang toksik.
Penisilin mengganggu reaksi transpeptidasi sintesis dinding sel bakteri. Golongan penisilin dapat
terbagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
- Penisilin natural yaitu yang didapat dari jamur Penicillium chrysogenum. Yang
termasuk di sini adalah penisilin G dan penisilin V.
- Penisilin antistafilokokus, termasuk di sini adalah metisilin, oksasilin dan nafsilin.
Penggunaan hanya untuk terapi infeksi disebabkan penicillinaseproducing
staphylococci.
- Penisilin dengan spektrum luas yaitu ampisilin dan amoksisilin. Ampisilin dan
amoksisilin mempunyai spektrum yang hampir sama dengan penisilin G tetapi lebih efektif
terhadap basil gram negatif.
- Penisilin antipseudomonas yaitu termasuk karbenisilin, tikarsilin dan
piperasilin. Ia dipanggil begitu karena aktivitas terhadap Pseudomonas
aeruginosa (Harvey & Champe, 2009).


2. Golongan sefalosporin.
Golongan ini hampir sama dengan penisilin oleh karena mempunyai cincin beta laktam.
Secara umum aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum anti kuman
dari masing-masing antibiotik sangat beragam, terbagi menjadi 3 kelompok, yakni:
- Generasi pertama bertindak sebagai subtitut penisilin G. Termasuk di sini misalnya
sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefradin. Generasi pertama kurang aktif terhadap kuman
gram negatif.
- Generasi kedua agak kurang aktif terhadap kuman gram positif tetapi lebih aktif
terhadap kuman gram negatif, termasuk di sini misalnya sefamandol dan sefaklor.
- Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap kuman gram negatif, termasuk
Enterobacteriaceae dan kadang-kadang peudomonas. Termasuk di sini adalah sefoksitin
(termasuk suatu antibiotik sefamisin), sefotaksim dan moksalatam.
- Generasi keempat adalah terdiri dari cefepime. Cefepime mempunyai spektrum
antibakteri yang luas yaitu aktif terhadap streptococci dan staphylococci (Harvey &
Champe, 2009).
3. Golongan tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakteriostatik yang
menghambat sintesis protein. Golongan ini aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram
negatif. Tetrasiklin merupakan obat pilihan bagi infeksi Mycoplasma pneumonia, chlamydiae
dan rickettsiae. Tetrasiklin diabsorpsi di usus halus dan berikatan dengan serum protein.
Tetrasiklin didistribusi ke jaringan dan cairan tubuh yang kemudian diekskresi melalui urin dan
empedu (Katzung, 2007).
4. Golongan aminoglikosida
Aminoglikosida termasuk streptomisin, neomisin, kanamisin dan gentamisin. Golongan
ini digunakan untuk bakteri gram negatif enterik. Aminoglikosida merupakan penghambat
sintesis protein yang ireversibel (Katzung, 2007).
5. Golongan makrolida
Golongan makrolida hampir sama dengan penisilin dalam hal spectrum antikuman,
sehingga merupakan alternatif untuk pasien-pasien yang alergi penisilin. Bekerja dengan
menghambat sintesis protein kuman. Antara obat dalam golongan ini adalah eritromisin.
Eritromisin efektif terhadap bakteri gram positif (Katzung, 2007).
6. Golongan sulfonamida dan trimetropim
Sulfonamida menghambat bakteri gram positif dan gram negatif. Trimetropim
menghambat asam dihidrofolik reduktase bakteri. Kombinasi sulfamektoksazol dan trimetoprim
untuk infeksi saluran kencing, salmonelosis dan prostatitis (Katzung, 2007).
7. Golongan flurokuinolon
Flurokuinolon merupakan golongan antibiotik yang terbaru. Antibiotik yang termasuk
dalam golongan ini adalah ciprofloksasin (Stephens,2007).

Mekanisme Kerja
Antibiotik menghambat mikroba melalui mekanisme yang berbeda yaitu dengan cara
mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu
permeabilitas membran sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba dan menghambat
sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Antibiotik yang menghambat metabolisme sel
mikroba ialah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan
mekanisme kerja ini diperoleh efek bakteriostatik(Gunawan et all, 2007).
Antibiotik yang merusak dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau
inaktivasi enzim, sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan sel lisis
meliputi penisilin, sepalosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan basitrasin. Antibiotik ini
menghambat sintesis dinding sel terutama dengan mengganggu sintesis peptidoglikan (Gunawan
et all, 2007).
Obat yang termasuk dalam kelompok yang mengganggu permeabilitas membran sel
mikroba ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik
umpamanya antiseptic surface active agents. Polimiksin sebagai senyawa ammonium-kauterner
dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel mikroba
(Gunawan et all, 2007).
Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroba ialah golongan aminoglikosid,
makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Sel mikroba perlu mensintesis berbagai
protein untuk kehidupannya. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara.
Streptomisin berikatan dengan komponen 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca
oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan
nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosid dan lainnya yaitu gentamisin,
kanamisin dan neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama namun potensinya berbeda
(Gunawan et all, 2007).
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba termasuk rifampisin dan
kuinolon. Rifampisin adalah salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim polymerase-
RNA sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon
menghambat enzim DNA girase pada kuman yang fungsinya menata kromosom yang sangat
panjang menjadi bentuk spiral sehingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil (Gunawan et all,
2007).

Resistensi Antibiotika
Antibiotika dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, dan penggunaanya dapat melalui
jalur topical, oral, maupun intravena. Banyaknya jenis pembagian, klasifikasi, pola kepekaan
kuman, dan penemuan antibiotika baru seringkali menyulitkan klinisi dalam menentukan pilihan
antibiotika yang tepat ketika menangani suatu kasus penyakit. Hal ini juga merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya resistensi (Utami,2012).
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan
pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat
minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua
atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat
yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi
ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya
efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau
mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan
lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal
yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008).
Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih
mekanisme berikut :
1.Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika . Misalnya
Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat
tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.
2.Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun
dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
3.Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya
resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan)
protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada
organisme yang rentan.
4.Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat.
Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA
ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
5.Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi
metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang
rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase,
mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).
Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional.
Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan
ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan
sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa
factor yang mendukung terjadinya resistensi,antara lain : (Utami,2012)
1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu
rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
2. Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan pengetahuan yang salah akan
cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun
disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di
masyarakat. Pasien dengan kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan terapi
antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli
antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan
kemampuan financial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen
terapi.
3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan
seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal
belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena
kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan
monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah
memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
6. Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemic atau epidemic memicu penggunaan
antibiotika yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di intensive care
unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama dengan
adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi
nosokomial.
7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotic juga dipakai untuk mencegah
dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic
digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan
ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung
pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah
antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas
terhadap antibiotika
9. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika
baru (Bisht et al, 2009)
10. Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan
pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika
meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi
terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi
(Kemenkes RI, 2011).

Bari, S. B., Mahajan, B. M., Surana, S. J. 2008. Resistance to antibiotic : A challenge in
chemotherapy. Indian journal of pharmaceutical education and research.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan sedunia.
Munaf, S., Chaidir, J. 1994. Obat antimikroba. Farmakologi UNSRI. EGC, Jakarta.
Bisht, R., Katiyar, A., Singh, R., Mittal, P. 2009. Antibiotic resistance- A global issue of
concern. Asian journal of pharmaceutical and clinical research. Volume 2. Issue 2.
Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology.
Third edition. Appleton and Lange, Norwalk.
Tripathi, K. D. 2003. Antimicrobial drugs : general consideration. Essential of medical
pharmacology. Fifth edition. Jaypee brothers medical publishers.
Laurence, D. R., Bennet, P. N. 1987. Clinical Pharmacology. Sixth edition. Churchill
livingstone, Edinburgh.
Utami,Eka Rahayu. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis, Volume 1,
Nomor 1, April September 2012.
Gunawan, S. G., Setiabudy R., Nafrialdi, Elysabeth, 2007. Antimikroba. Dalam: Setiabudy R.,
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: 585-731.
Tan, H. T., dan Rahardja, K., 2007. Antibiotika. Dalam: Obat-obat Penting. 6th ed.Jakarta: PT
Elex Media Komputindo.
Harvey, R. A., and Champe, P. C., 2009. Lippincotts Illustrated Reviews Pharmacology. 4th
ed. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
Katzung, B. G., 2007. Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. Singapore: Mc
Graw Hill.
Stephens,E.2011.Antibiotics. Available from : http://www.emedicinehealth.com. Diakses
tanggal 20 Maret 2014.

Anda mungkin juga menyukai