Anda di halaman 1dari 49

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang masih
menimbulkan masalah kesehatan yang besar di negara yang sedang berkembang,
khususnya Indonesia. Di Indonesia, sejak penyakit ini pertama kali ditemukan
yaitu pada tahun 1968, memperlihatkan peningkatan baik dalam jumlah maupun
luas wilayah yang terjangkit serta tingginya kematian yang ditimbulkan. Di
samping itu penyakit ini sering muncul sebagai KLB (Rampengan, 1997).
Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate) dan kematian (mortality
rate) DBD di kawasan Asia Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia
berada di urutan kedua terbesar setelah Thailand (WHO, 2004).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di RS DR. Wahidin
Sudirohusodo di Bagian Ilmu Kesehatan Anak selama kurun waktu Januari 1998
sampai dengan Desember 2005 di Bagian Ilmu Kesehatan Anak diperoleh data
pasien DBD yang dirawat sebanyak 1157 orang. Empat ratus lima puluh sembilan
orang (40%) adalah penderita Dengue Syock Syndrom (DSS) dan 698 (60%)
adalah penderita DBD

tanpa renjatan (Ganda dan Bombang, 2000).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, jika dilihat
secara total kasus DBD sepanjang tahun terus meningkat. Dalam beberapa tahun
terakhir misalnya, angka peningkatan jelas, yakni kasusnya 79.462 dan meninggal
957 tahun 2004, 95.000 kasus dan meninggal 1.350 tahun 2005, 113.640 kasus
dan meninggal 1.184 tahun 2006 dan terakhir 140.000 kasus dengan 1.380
meninggal tahun 2007 (Anonim, 2008).
Berdasarkan data yang disampaikan di atas, penulis ingin mengetahui
prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode
Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009. Alasan pemilihan RSUP Fatmawati
sebagai tempat penelitian dikarenakan rumah sakit tersebut tempat dimana penulis
melakukan pendidikan dan RSUP Fatmawati sebagai rumah sakit rujukan wilayah
Jakarta Selatan dan sekitarnya. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan dapat
menjadi masukan untuk RSUP Fatmawati sehingga diperlukan adanya upaya
2


untuk memperbaiki tingkat pelayanan rumah sakit dalam hal promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif DBD pada anak dikalangan masyarakat umum.

1.2. Rumusan Masalah
Berapa prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP
Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009 ?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui prevalensi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP
Fatmawati peride Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

1.3.2. Tujuan khusus
1. Mengetahui fluktuasi kasus perbulan
2. Mengetahui distribusi umur terbanyak.
3. Mengetahui frekuensi penderita laki-laki dan perempuan.
4. Mengetahui angka kematian yang timbul.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Menjadi dasar bukti medis secara ilmiah tentang prevalensi penderita
DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus
2008 sampai dengan Juli 2009.
2 Sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam menyelesaikan program
sarjana kedokteran.








Comment [M1]: distribusi
Comment [M2]: yg timbul?
3


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teori
2.1.1. Definisi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus (Anonim, 2007).

2.1.2. Virus Penyebab DBD
DBD disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus
Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30
nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10
6
.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti dengan serotipe DEN-2
(Anonim, 2007).
Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip satu dengan yang lain,
tetapi antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat saling memberikan
perlindungan silang. Hal tersebut karena variasi genetik yang berbeda pada
keempat serotipe ini tidak hanya menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam
serotipe itu sendiri tergantung waktu dan daerah penyebarannya. Pada masing-
masing segmen kodon, variasi diantara serotipe dapat mencapai 2,6-11,0% pada
tingkat nukleotida dan mencapai 1,3-7,7% untuk tingkat protein (WHO, 2000).
Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam sifat
biologis dan antigenitasnya. Virus Dengue yang mempunyai genom dengan berat
molekul 11 Kb tersusun dari protein struktural yang terdiri dari protein envelope
(E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari total
protein dan protein non-struktural yang merupakan bagian terbesar yaitu 75% dari
total protein terdiri dari NS-1 dan NS-5. Dalam merangsang pembentukkan
antibodi diantara protein struktural, urutan imunitas tertinggi adalah protein E,
4


kemudian diikuti protein prM dan selanjutnya protein C. Sedangkan pada protein
nonstruktural yang paling berperan adalah protein NS-1 (Soegiyanto, 2000).

2.1.3. Masa Inkubasi Virus Dengue
Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi ekstrinsik. Masa
inkubasi ekstrinsik merupakan periode waktu perkembanganbiakan virus dalam
kelenjar liur nyamuk sampai menularkan pada manusia yang berkisar antara 8-10
hari. Masa inkubasi intrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus
di dalam tubuh manusia sejak masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang
berkisar antara 4-6 hari (PPMPL Depkes RI, 2004).

2.1.4. Sumber dan Cara Penularan DBD
2.1.4.1. Nyamuk Penular
1. Anatomi Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti mudah dikenali dengan memperhatikan warna
tubuhnya, tanda-tanda yang dapat digunakan adalah: merupakan lalat
kecil dengan tubuh halus, lunak dan langsing, yang terbagi menjadi tiga
bagian yaitu: caput (kepala), toraks (dada) dan abdomen (perut), pada
caput terdapat sepasang antena dengan mulut tipe menusuk dan
menghisap, bernafas dengan menggunakan sistem trakea yang langsung
berhubungan dengan jaringan tubuh,dengan mata faset yang tersusun atas
omnatidia dan mata tunggal (ocelli), sedangkan pada daerah toraks
terdapat tiga pasang kaki, tubuh dan kaki berwarna gelap diselingi
belang-belang putih, pada permukaan atas punggung terdapat semacam
huruf Y dan terdapat sepasang garis membujur, mempunyai sepasang
sayap (Diptera), sayap muka transparan dengan beberapa pembuluh darah
dan sayap belakang mengalami reduksi berubah bentuk seperti halter
dan mempunyai sistem saraf tangga tali yang terdiri atas ganglion-
ganglion pada setiap ruas tubuhnya, organ kelamin yang bersifat tunggal
bermuara pada ujung abdomen dan nyamuk betina bersifat ovivar (Borror
dan Delong, 1970).

Comment [M3]: Spasi cukup satu,
memang mau disingkat?
5


2. Asal dan Penyebaran Nyamuk
Nyamuk ini pertama kali ditemukan di kawasan Timur Tengah yaitu
daerah Mesir, sehingga nama petunjuk spesies nyamuk ini aegypti,
berasal dari kata egypt. Nyamuk hidup dengan subur di belahan dunia
yang mempunyai iklim tropis dan subtropis seperti Asia, Afrika, Australia
dan Amerika (Hadinegoro dan Satari, 2002).
3. Karakteristik Nyamuk
Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih
darah untuk mematangkan telurnya. Sedangkan nyamuk jantan dapat
hidup dengan cara menghisap sari bunga tumbuh-tumbuhan. Struktur
mulut nyamuk betina lebih panjang dengan struktur khusus untuk
menusuk dan menghisap darah, sungut berbulu jarang, sedangkan pada
nyamuk jantan sungut berbulu tebal dengan struktur mulut lebih lemah dan
tidak mampu menembus kulit manusia atau binatang. Nyamuk betina
mempunyai kebiasaan menggigit berulang-ulang kepada orang yang
berbeda-beda secara bergantian dalam waktu yang singkat (multiple
bitters), hal tersebut terjadi karena nyamuk ini sangat sensitif dan mudah
terganggu, kebiasaan ini sangat memungkinkan nyamuk untuk
menyebarkan dan menularkan virus kepada banyak orang sekaligus,
sehingga sering dilaporkan terdapat penderita penyakit demam berdarah
dalam keluarga atau keluarga-keluarga yang berdekatan rumahnya atau
terdapat dalam satu lingkungan (Brotowidjoyo, 1987).
Umur nyamuk Aedes aegypti betina berkisar antara 2 minggu sampai 3
bulan atau rata-rata 1 bulan, tergantung dari suhu kelembaban udara di
sekelilingnya. Kemampuan terbangnya berkisar antara radius 50-100 mil,
tetapi jarak efektif dihitung dari tempat perindukan dengan sumber
makanan berupa darah jadi kurang lebih sekitar 40 meter. Nyamuk Aedes
aegypti hidup dan berkembang biak pada tempat-tempat penampungan air
bersih yang tidak berhubungan dengan tanah seperti: bak mandi/wc,
minuman burung, air tempayan/gentong, kaleng, ban bekas, dan lain-lain.
Tempat istirahat yang disukainya adalah benda-benda yang tergantung
yang ada di dalam rumah, seperti gordyn, kelambu dan baju/pakaian di
6


kamar yang gelap dan lembab. Nyamuk betina hanya menggigit pada
waktu tertentu, biasanya pada pagi atau sore hari. Sedangkan nyamuk Ae
albopictus hidup dan berkembang biak di pohon-pohon, kebun atau
semak-semak. Menggigit pada waktu siang hari dan memiliki jarak
terbang 50 meter (Kadarsan dkk., 1983).
4. Siklus hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk umumnya mulai dari telur, larva (jentik), pupa
(kepompong), dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Telur nyamuk bisa
mencapai ratusan butir dengan ukuran 0,5 milimeter per butir dan dapat
bertahan hidup selama tiga sampai empat minggu. Nyamuk biasanya
meletakkan telur di atas dinding kontainer tepat di atas permukaan air
yang tenang. Telur-telur nyamuk akan menetas sekitar dua hari kemudian
menjadi jentik-jentik nyamuk. Jentik nyamuk ini akan berkembang biak di
permukaan air yang jernih. Dalam waktu 4 hingga 5 hari kemudian akan
berubah menjadi pupa. Pupa nyamuk masih dapat aktif bergerak didalam
air, tetapi tidak makan. Sedangkan untuk berubah menjadi nyamuk
dewasa, kepompong membutuhkan waktu sekitar dua hari. Perkembangan
hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur hingga dewasa memerlukan waktu
sekitar 10-12 hari (Depkes RI, 2004).


Gambar 2.1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Sumber: Soedarmo, 1988




7


2.1.4.2. Cara Penularan DBD
Penularan DBD terjadi ketika nyamuk terinfeksi virus pada saat
menggigit manusia yang pada darahnya mengandung virus dengue (viremia),
selanjutnya pada usus nyamuk virus akan mengalami replikasi dan berkembang
biak kemudian akan migrasi sampai pada kelenjar ludah. Virus memasuki tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk menembus kulit, dengan waktu inkubasi empat
hari virus akan bereplikasi dan berkembang biak pada jaringan dekat titik
inokulasi atau Lymph node dengan cepat dan apabila jumlahnya sudah cukup
virus akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang akan ditandai gejala klinis berupa
demam (Silalahi, 2004).


Gambar 2.2. Penularan Penyakit DBD
Sumber: Soedarmo, 1988

2.1.5. Gambaran Epidemiologi DBD
2.1.5.1. Morbiditas dan Mortalitas
Di Indonesia DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya
dan Jakarta. Pada epidemi DBD yang terjadi 1998, sebanyak 47.573 kasus
dilaporkan dengan 1.527 kematian. Selama tahun 2004, dilaporkan setiap bulan
dengan jumlah 78.690 kasus dengan 954 kematian (CFR=1,2% ). Wabah
Desember 2004-Februari 2005 dilaporkan sebanyak 10.517 kasus dengan 182
kematian (CFR=1,73%) untuk 30 Provinsi. Pada tahun 2005, Indonesia
merupakan kontributor utama kasus DBD di Asia Tenggara (53%) dengan jumlah
kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian (CFR = 1,36%). Jumlah kasus meningkat
menjadi 17% dan kematian 36% dibanding tahun 2004. Jumlah kasus yang
8


dilaporkan merupakan yang terbesar dalam sejarah DBD di Indonesia (Nicolas et
al., 2007).

2.1.5.2. Umur dan Jenis Kelamin
Di Indonesia penderita DBD terbanyak ialah anak berumur 5-11 tahun.
Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984 meningkat
(Hadinegoro dan Satari, 2002). Berdasarkan jenis kelamin DBD secara
keseluruhan tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi kematian
ditemukan lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki-laki
(Rampengan, 1997).

2.1.5.3. Musim
Di negara-negara di wilayah tropis, DBD umumnya meningkat pada
musim hujan, sehingga banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat
berkembang biak nyamuk Aedes aegypti (Suroso, 1983, Suroso dan Umar, 1999).
Secara nasional penyakit DBD di Indonesia setiap tahun terjadi pada bulan
September sampai dengan Februari dengan puncak pada bulan Desember atau
Februari.

Akan tetapi untuk kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan
Surabaya musim penularan terjadi pada bulan Maret sampai dengan Agustus
dengan puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli (Siregar, 2004).

2.1.6. Penyebaran Penyakit DBD
Penyebaran penyakit DBD di daerah perkotaan lebih intensif dari pada di
daerah pedesaan. Hal ini disebabkan kepadatan jumlah penduduk yang tinggi di
daerah perkotaan. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sangat
berdekatan sehingga memudahkan nyamuk penular DBD (Aedes aegypti)
menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada di sekitarnya.
Selain itu mobilitas penduduk kota pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan
di pedesaan (Suroso, 1983).



9


2.1.7. Faktor Risiko
Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain
faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri (Depkes RI,
2004).

1. Faktor host yaitu kerentanan (susceptibility) dan respon imun.
2. Faktor lingkungan (environment) yaitu:
a. Geografi
Lingkungan yang dapat meningkatkan perkembangan nyamuk Aedes
aegypti adalah lingkungan yang lembab dan gelap. Kondisi lingkungan
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan jentik nyamuk antara
27 hingga 30 derajat Celsius, dengan kelembaban udara antara 70 hingga
74 persen, dan pH rata-rata 7. Sedangkan nyamuk dewasa idealnya
berkembang pada suhu 20 hingga 30 derajat Celsius dan kelembaban
udara di atas 60 persen. Pada kondisi normal seperti ini nyamuk dapat
menghasilkan telur antara 50 hingga 100 butir, sedangkan apabila terjadi
peningkatan suhu lingkungan bisa meningkat mencapai 400 butir.
Pada umumnya nyamuk dapat menyelesaikan siklus hidupnya (dari telur
hingga nyamuk dewasa) membutuhkan waktu selama 10-12 hari. Namun,
siklus ini bisa lebih singkat apabila terjadi peningkatan suhu. Perubahan
cuaca karena pemanasan global akibat dari efek rumah kaca (seperti akibat
yang dirasakan saat berada di rumah kaca) akan menyebabkan
meningkatnya populasi nyamuk hingga dua kali lipat. DBD berkembang di
wilayah beriklim tropis terutama pada saat musim hujan.
b. Demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi
penduduk).
3. Jenis nyamuk sebagai vektor penular penyakit juga ikut berpengaruh. Faktor
agen yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis
serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3 dan 4.
Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan
bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi
dan serotipe virusnya.

10


2.1.8. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis terjadinya DBD hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
imunopatologis berperan dalam terjadinya DBD dan sindrom renjatan dengue
(Suhendro dkk., 2007).
1. Mekanisme imunopatologis
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a. Respon humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.
Hipotesis ini disebut Antibody Dependent Enhancement (ADE).
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
TH1 akan memproduksi INF, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.
c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan sekresi sitokin oleh makrofag.
d. Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a (Gambar 2.3).



Gambar 2.3. Imunopatogenesis DBD
Sumber: Rothman, 2009
11


2. Secondary Heterologous Infection
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary
Heterologous Infection dapat dilihat pada Gambar 2.4 yang dirumuskan oleh
Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue
yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi
limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Selain itu,
replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan
akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang
selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan pasien dengan syok berat, volume plasma dapat
berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapat cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu,
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian (Suhendro dkk.,
2007).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu
virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi
dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah (Suhendro dkk., 2007).
Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk
menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data
epidemiologis dan laboratoris. Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus
dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen,
juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (Gambar 2.5). Kedua faktor
Comment [M4]: Disamping
gunakan kata lain
12


tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin Diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
Koagulasi Intravaskular Diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(Fibrinogen Degredation Product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan (Suhendro dkk., 2007).
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi
baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor
Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan
kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat
syok yang terjadi (Suhendro dkk., 2007).



Gambar 2.4. Patogenesis terjadinya syok pada DBD
Sumber: Suhendro dkk., 2007
13




Gambar 2.5. Patogenesis Perdarahan pada DBD
Sumber: Suhendro dkk., 2007


Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit keluar
dari kompartemen intravaskular ke dalam kompartemen ektravaskular (B).
Dengan adanya protein dalam kompartemen ektravaskular tekanan osmotik
cairan ekstravaskular meningkat yang menyebabkan penarikan masuk air dan
elektrolit dari kompartemen intravaskular ke kompartemen ekstravaskular.
Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen intravaskular
menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskular, hemokonsentrasi,
viskositas darah meningkat, aliran darah menurun, perfusi jaringan berkurang
dan mungkin terjadi renjatan dengan komplikasi yang berat yaitu Koagulasi
Intravaskular Diseminata (KID). Terkumpulnya cairan di kompartemen
ektravaskular dapat bermanifestasi sebagai cairan pleura dan asites (Tatang
dkk., 1997).
Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskular membaik,
kebocoran plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih ada di
kompartemen ekstravaskular dan perbedaan tekanan intra dan ekstra vaskular
belum kembali normal sehingga masih mungkin terjadi keseimbangan negatif
antara cairan yang keluar dan yang masuk kembali ke dalam kompartemen
intravaskular (D). Pada saat semua sisa protein/albumin ekstravaskular telah
14


dimetabolisme maka perbedaan tekanan osmotik intra dan ekstra vaskular
menjadi normal kembali (E). Cairan ekstravaskular (efusi pleura, asites dll)
diserap kembali dan menghilang (Tatang dkk., 1997).

Virus dengue
Air , elektrolit
Albumin
Air, elektrolit
Air, elektrolit
KELAINAN UTAMA PADA DBD:
Permeabi litas vaskuler meningkat
Perbedaan tekanan onkot ikintravaskuler
dan extravaskuler menur un
(B dan D)
Cairanekstravaskuler bertambah
* Ef usi pleura, asites, dll
Cairanmasuk intravaskuler
menurun (hipovolemi)
* Hemokonsentrasi
* Viskositas darah meningkat
* Aliran darah menurun (lambat)
** agregasi trombosit
* Perfusi jaringan perif er menurun
** asidosis metabolik
* Syok hipovolemik
* KID
C


Gambar 2.6. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma pada DBD
Sumber: Tatang dkk., 1997

2.1.9. Gambaran Klinik
Spektrum klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi 1) gejala klinis paling
ringan atau tanpa gejala (silent dengue infection), 2) demam dengue (DD), 3)
demam berdarah dengue (DBD), dan 4) demam berdarah disertai syok (Dengue
Syock Syndrom) (Rampengan, 1997, Anonim, 2007).

15




Gambar 2.7. Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue
Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

1. Anamnesis
Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, terus
menerus, berlangsung 2-7 hari, umumnya bifasik, naik turun, tidak turun
dengan obat antipiretik. Kadang-kadang suhu tubuh sangat tinggi sampai 40
o
C
dan dapat terjadi kejang demam. Gejala klinis lain yang tidak khas lesu, tidak
mau makan, dan muntah. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot
dan nyeri perut. Kadang terdapat diare. Perdarahan yang paling sering
dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan. Gejala klinis DBD diawali
demam mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan
sendi, nyeri tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga
kanan. Gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD daripada DBD.



Gambar 2.8. Kurva Suhu Demam Dengue
Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002
16





Gambar 2.9. Kurva Suhu Demam Berdarah Dengue
Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

2. Pemeriksaan Fisik
a. Hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan pada DBD.
b. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan perembesan
plasma, hipovolemia dan syok.
c. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
d. Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun dan dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan
namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
e. Tanda-tanda perdarahan
Karena manipulasi
Uji Turniket/Rumpel Leede tes positif. Cara melakukan uji turniket
sebagai berikut (Hadinegoro dan Satari, 2002):
- Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset sesuaikan
dengan umur anak, yaitu lebar manset = 2/3 lengan atas).
- Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik dan tekanan
diastolik.
- Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan antara sistolik
dan diastolik selama 5 menit (bila telah terlihat adanya bintik-bintik
17


merah >10 buah, pembendungan dapat dihentikan).
- Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar) dan atau daerah
lipatan siku (fossa cubiti), apakah timbul bintik-bintik merah, tanda
perdarahan (petekie).
- Hasil uji turniket dianggap positif (+) bila ditemukan > 10 bintik
perdarahan (petekie), pada luas diameter 2,8 cm
2
.
Perdarahan spontan
- Petekie/ekimosis
- Perdarahan gusi (gum bleeding)
- Epistaksis
- Hematemesis/melena
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/l biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul
dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal
tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi.
Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit dapat menurun (leukopenia)
atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering
ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemia
akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan
gangguan koagulasi tampak pada penggunaan fibrinogen, protrombin,
faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD. Asidosis metabolik dan
peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.

18




Gambar 2.10. Perubahan Ht, Trombosit & LPB
Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah
kanan (Gambar 2.11). Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan
berat ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura
dapat ditemukan bilateral. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya
dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (RLD). Indikasi
pemeriksaan foto dada RLD (1) Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun
perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma
20-40%, (2) Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan
(Suhendro dkk., 2007). Kelainan radiologi yang dapat terjadi dilatasi
pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih
radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi
daripada kanan (Gambar 2.11). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG (Suhendro dkk., 2007).

19




Gambar 2.11. Foto toraks pasien DBD derajat III
Sumber: Hadinegoro dan Satari, 2002

c. Diagnosis Laboratoris Lain
Uji laboratorium merupakan uji yang sangat penting dalam memberikan
konfirmasi diagnosis klinis dari infeksi virus dengue. Uji laboratorium
tersebut meliputi isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam
serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi spesifik dalam serum
pasien (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dalam arti sangat
menentukan, tetapi diperlukan peralatan dan teknik yang canggih,
sehingga tidak dipakai secara rutin (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Uji serologi dengan mendeteksi kenaikan antibodi jauh lebih sederhana
dan lebih cepat, tetapi kros reaksi antibodi antara virus dengue dan virus
dari kelompok flavivirus dapat memberikan hasil positif palsu. Selain itu
dengan kebanyakan uji serologi yang ada tidak dapat menentukan serotipe
dari virus dengue yang menginfeksi. Cara ini banyak dipakai secara rutin
sebagai uji laboratorium untuk konfirmasi (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Dengan kemajuan teknologi pada saat ini tersedia uji baru untuk
konfirmasi infeksi virus dengue seperti immunohistochemistry pada
jaringan otopsi dan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi
virus RNA di dalam serum atau jaringan (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Comment [M5]: Selain itu?
Gunakan kata yg baku jgn
disamping
20


Uji Mac Elisa
Uji ini cukup sederhana dan tidak memerlukan alat canggih. Uji ini banyak
dipakai orang. Sesuai namanya, tes tersebut akan mengetahui kandungan
IgM dalam serum pasien (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Antibodi anti-dengue IgM akan timbul lebih dulu dari pada antibodi anti-
dengue IgG, dan biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke 4-5. Perlu
diketahui pula timbulnya IgM ini dapat bervariasi pada beberapa orang.
Pada beberapa orang dapat timbul pada hari ke 2-4 dari jalannya penyakit
tetapi dapat pula timbul pada hari ke 7-8 (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Pada infeksi primer, titer IgM dapat juga lebih tinggi dibandingkan pada
infeksi sekunder. Pada beberapa infeksi primer IgM dapat bertahan di
dalam darah sampai 90 hari setelah infeksi, tetapi pada kebanyakan
penderita IgM sudah akan menurun dan hilang pada hari ke-60. Untuk
memperjelas hasil uji IgM dapat pula dilakukan uji terhadap IgG
(Hadinegoro dan Satari, 2002).
Dari uraian di atas jelas bahwa uji IgM Mac-Elisa tidak selalu dapat
menentukan secara pasti adanya infeksi dengue baru. Jika pengambilan
spesimen akut terlalu dini ada kemungkinan IgM belum timbul sehingga di
dalam uji hasilnya akan negatif, dalam hal seperti ini perlu diulang.
Demikian juga sebaliknya apabila IgM positif, masih belum tentu juga
karena ada kemungkinan infeksi terjadi 60-90 hari yang lalu. Disinilah
diperlukan kehati-hatian di dalam menginterpretasikan hasil tersebut
(Hadinegoro dan Satari, 2002).

2.1.10. Dengue Syock Syndrom (DSS)
2.1.10.1. Definisi Dengue Syock Syndrom (DSS)
Dengue Syock Syndrom (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada
penderita demam berdarah dengue. DSS bukan saja merupakan suatu
permasalahan kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba,
tetapi juga merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita DBD
akan mengalami renjatan dan berakhir dengan suatu kematian terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat. Renjatan yang berlangsung lama (prolonged
21


shock) dan dalam (profoun shock) makin sulit diatasi dan ini merupakan penyebab
kematian yang terbesar bagi penderita DSS (Rampengan, 1997, Nhan dkk., 1997,
Soni dkk., 2005, Ganda, 2005).

2.1.10.2. Manifestasi Klinik DSS

DSS menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan DBD derajat III dan IV
atau DBD dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan
(Rampengan, 1997).

1. Renjatan
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadi pada saat atau setelah demam
menurun yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada
hari ke-10. Menurut Wong dkk, (1973) renjatan terjadi pada hari ke-5 (39%),
hari ke-4 (23%). Sumarmo (1983) mendapatkan 39,2% pada hari ke-5 dan
25% pada hari ke-4. Renjatan yang terjadi pada saat demam mulai turun dapat
diterangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis (The
Immunological Enhancement Hypothesis).
2. Tanda-tanda syok
a. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah sampai terjadi penurunan
kesadaran menjadi apatis, sopor dan koma.
b. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung. Capillary Refill test menurun.
c. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba.
d. Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHg.
e. Diuresis menurun sampai anuria.
Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa
asidosis metabolik dan perdarahan hebat.






22


2.1.11. Diagnosis
Menurut WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria
klinis dan laboratorium (Anonim, 2007).

1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari.
b. Manifestasi perdarahan, termasuk Uji Turniket positif, petekie, ekomosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena.
c. Pembesaran hati.
d. Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopenia (< 100.000/l).
b. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit > 20% menurut
standar umur dan jenis kelamin.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan dua kriteria klinis pertama ditambah
trombositopenia dan hemokonsentrasi.

2.1.12. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi diantaranya (Rampengan, 1997):
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal
akut.
3. Edema paru seringkali terjadi akibat overloading cairan.

2.1.13. Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO membagi menjadi 4
derajat, yaitu (WHO, 1997):
1 Derajat I
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi
perdarahan satu-satunya adalah Uji Turniket positif.

23


2 Derajat II
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan atau
manifestasi perdarahan yang lebih berat.
3 Derajat III
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan
lembab, gelisah.
4 Derajat IV
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur.

Tabel 2.1. Derajat DBD

DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 atau lebih gejala:
sakit kepala, nyeri retroorbital,
mialgia artralgia dll
Leukopenia
Trombositopenia
(<100.000/ l), tidak
ditemukan bukti
kebocoran plasma
Serologi
dengue
positif
DBD I Gejala di atas ditambah Uji Turniket
positif
Trombositopenia
(<100.000/ l), bukti
ada kebocoran plasma
Serologi
dengue
positif
DBD II Gejala di atas ditambah perdarahan
spontan
Trombositopenia
(<100.000/ l), bukti
ada kebocoran plasma
Serologi
dengue
positif
DBD III Gejala di atas ditambah kegagalan
sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah)
Trombositopenia
(<100.000/ l), bukti
ada kebocoran plasma
Serologi
dengue
positif
DBD IV Syok berat disertai dengan tekanan
darah dan nadi tidak terukur
Trombositopenia
(<100.000/ l), bukti
ada kebocoran plasma
Serologi
dengue
positif

Sumber: Suhendro dkk., 2007

2.1.14. Penatalaksanaan
Terapi DBD dibagi menjadi 4 bagian, (1) Tersangka infeksi dengue, (2)
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit, (3) DBD derajat II dengan
peningkatan hematokrit > 20%, (4) DBD derajat III dan IV (Dengue Syock
Syndrom) (Anonim, 2007). Lihat bagan 1,2,3,dan 4 dalam lampiran.


24


1. DBD tanpa syok (derajat I dan II)
a. Medikamentosa
i. Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.
ii. Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misal
antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam
hati.
iii. Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
iv. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
b. Suportif
i. Kehilangnan cairan plasma perlu diatasi sebagai upaya meningkatkan
permeabilitas dinding pembuluh darah.
ii. Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu dengan baik.
iii. Cairan intravena diperlukan apabila a) Anak terus menerus muntah,
tidak mau minum, demam tinggi, dehidrasi dapat mempercepat
terjadinya syok, b) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala.
2. DBD disertai syok (Dengue Syock Syndrom, derajat III dan IV)
a. Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat
10-20 ml/kg secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.
Apabila syok belum teratasi tetap diberikan ringer laktat 20 ml/kg
ditambah koloid 20-30 ml/kg/jam, maksimal 1500 ml/hari.
b. Pemberian cairan 10 ml/kg tetap diberikan sampai 24 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg dan selanjutnya 5 ml, dan 3 ml
apabila tanda vital baik dan adanya penurunan Ht.
c. Jumlah urin > 2 ml/kg/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
d. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
e. Oksigen diberikan 2-4 l/menit pada DBD syok.
f. Perlu koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.
25


g. Indikasi pemberian darah:
i. Terdapat perdarahan secara klinis.
ii. Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap,
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar
10 cc/kg.
iii. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil.
iv. Plasma segar beku dan suspensi trombosit digunakan untuk koreksi
gangguan koagulopati pada kadar trombosit < 50.000/mm yang
disertai perdarahan atau KID pada syok berat yang menimbulkan
perdarahan masif.
v. Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
dengan plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk
mencegah perdarahan lebih berat.
3 DBB Ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO
3
-
dan
jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan
larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.
4 Pemantauan
Hal yang vital dalam tata laksana DBD derajat apapun adalah pemantauan.
a. Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran
hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor
dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan.
b. Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, maksimal tiap 12
jam.
c. Keseimbangan cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung
dan jumlah perdarahan.
Pada DBD dengan syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi
darah apabila diperlukan. Pasien DBD perlu dirujuk ke ICU anak atas
indikasi:
a. Syok berkepanjangan (syok yang tidak teratasi > 60 menit).
26


b. Syok berulang (pada umumnya disebabkan oleh perdarahan internal).
c. Perdarahan saluran cerna berat.
d. DBD ensefalopati.

2.1.15. Langkah Promotif/Preventif

Jumlah kasus biasanya meningkat bersamaan dengan peningkatan curah
hujan maka puncak jumlah kasus berbeda tiap daerah. Pada umumnya di
Indonesia meningkat saat musim hujan, sejak bulan Desember sampai April-Mei
setiap tahun (Hadinegoro dan Satari, 2002).

Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian
vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu (Wahono,
2004):


1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
a. Menguras bak mandi atau penampungan air sekurang kurangnya sekali
seminggu.
b. Mengganti atau menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu
sekali.
c. Menutup rapat tempat penampungan air.
d. Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah
dan lain sebagainya.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik
(ikan cupang, ikan kepala timah, ikan guppy), jamur (Tolypocladium
cylindosporum, Culicinomyces clavisporus, Metarhizium sp).



27


3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan :
a. Pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malation dan fention),
berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu
tertentu.
b. Memberikan bubuk abate (temephos) sesuai dengan dosis 1 sendok makan
peres (10 gram) abate untuk 100 liter air pada tempat-tempat
penampungan air seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
Setelah dibubuhkan abate maka selama tiga bulan bubuk abate dalam air
tersebut mampu membunuh jentik atau larva nyamuk Aedes aegypti,
selama tiga bulan apabila tempat penampungan air tersebut akan
dibersihkan atau diganti airnya, sebaiknya dinding bagian dalam tidak
disikat karena akan membuang abatenya dan air dalam penampungan yang
mengandung abate dengan takaran yang benar cukup aman dan tidak
berbahaya untuk digunakan sebagai air minum.
Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan
mengkombinasikan cara-cara di atas, yaitu disebut dengan 3M plus, yaitu
menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus
seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan
kelambu pada waktu tidur, menyemprot dengan insektisida, memasang obat
nyamuk, memeriksa jentik berkala, dan lain-lain sesuai dengan kondisi
setempat.

2.1.16. Program DBD Di Indonesia
Di Indonesia ada beberapa program yang dilakukan untuk menekan angka
kejadian DBD, yaitu: Angka Bebas Jentik (ABJ) minimal 95%, penyelidikan
epidemiologi bila ada penderita, abatisasi, pemberantasan nyamuk, fogging focus,
dan peran serta masyarakat (Depkes RI, 2009). Strategi program DBD, meliputi:
1. Kewaspadaan Dini penyakit DBD, guna membatasi terjangkitnya KLB atau
wabah penyakit DBD.


28


2. Pemberantasan intensif penyakit DBD di daerah endemis DBD, melalui
pelaksanaan (Siregar, 2004):

a. Penyemprotan masal di desa atau kelurahan endemis sebelum musim
penularan disertai abatisasi selektif.
b. Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD melalui penyuluhan dan
motivasi dengan memanfaatkan berbagai jalur komunikasi dan informasi
yang ada, melalui kerja sama lintas program dan sektor dan
dikoordinasikan oleh kepala daerah atau wilayah.

2.1.17. Prognosis
Bila tidak disertai renjatan maka prognosis baik, biasanya dalam 24-36
jam cepat menjadi baik. Apabila lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda
perbaikan maka kemungkinan sembuh kecil dan prognosis menjadi jelek
(Rampengan, 1997).


2.2. Kerangka Konsep

Gambar 2.12. Kerangka Konsep







29


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologis secara deskriptif
dengan desain potong lintang/cross sectional (Sastroasmoro dan Sofyan, 2005).


3.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medik RSUP Fatmawati. Waktu
penelitian adalah pada bulan September sampai dengan Oktober 2009.

3.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang dirawat di instalasi
rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.
Sedangkan populasi terjangkaunya adalah seluruh pasien DBD di instalasi rawat
inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.
Sampel yang ditargetkan pada penelitian ini minimal sebanyak 106 orang.
Dihitung dengan rumus yang menggunakan ketetapan absolut:



Ket:
n : besar sampel
P : proporsi penyakit yang akan dicari
Q : (1-P)
d : ketepatan absolut yang diinginkan
Tingkat kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95% dan ketepatan absolut yang
diinginkan sebesar 10%.
P=0,50; Z=1.96; d=0,10
n= (1.96)
2
x0.50x(1-0.50) = 106
(0.10)
2

Pada penelitian ini, sampel yang diambil adalah total populasi terjangkau.
N = Z
2
PQ
d
2

Comment [M6]: Buat pada hal
baru
Comment [M7]: Definisi
operasional harus masuk ya nita
Comment [M8]: Plus 10 % jadi 106
....*
30


3.4. Kriteria Penelitian
3.4.1. Kriteria Inklusi:
1. Mendapat persetujuan rumah sakit.
2. Data pasien anak yang terdiagnosis pasti DBD
3. Data pasien DBD di instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati
periode bulan Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.
4. Data pasien anak berumur 0-18 tahun

3.4.2. Kriteria Eksklusi:
1. Tidak mendapat persetujuan dari rumah sakit.
2. Data pasien anak yang tidak terdiagnosis pasti DBD
3. Data pasien DBD anak yang menjalani rawat jalan.
4. Data pasien yang berumur >18 tahun

3.5. Cara Kerja Penelitian
1. Izin Pengambilan Data Sekunder penelitian
Data sekunder penelitian berupa rekam medik pasien anak yang
terdiagnosis DBD dan mendapat izin dari RSUP Fatmawati setelah
diajukan permohonan.
2. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian


31


3.6. Managemen Data
3.6.1. Pengumpulan Data
Data diperoleh dari bagian rekam medik RSUP Fatmawati Jakarta Selatan.
Data berupa rekam medik pasien DBD di instalasi rawat inap anak RSUP
Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009.

3.6.2. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS for
Windows versi 15,0.

3.6.3. Analisis Data
Pada penelitian ini tidak dilakukan anlisis data melainkan menyajikan
data secara deskriptif.

3.6.4. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk tekstural, grafikal, dan tabular.
















Comment [M9]: Turunkan ke hal
brikut saja
32


3.7. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Istilah Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil
Prevalensi Jumlah semua kasus baru
dan lama dari suatu
penyakit atau kejadian
dari suatu peristiwa
dalam periode tertentu
(Mosby, 2009).
Data sekunder Telaah data sekunder Nominal
DBD Penyakit demam akut
yang disebabkan oleh
virus dengue, melalui
perantara nyamuk Aedes
aegypti (Anonim, 2007).
Kriteria DBD
menurut WHO
1997
Telaah data sekunder Nominal
Anak Orang yang berusia
kurang dari 18 tahun
(Annex, 2003).
Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal
Umur Durasi atau lamanya
seseorang ada (Dorland,
2007).
Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal
Jenis
Kelamin
Klasifikasi jenis kelamin
seseorang menjadi
perempuan laki-laki, atau
ambivalen (Mosby,
2009).
Data Sekunder Telaah data sekunder Nominal
Bulan Sebuah periode yang
terbentang dari tanggal
dalam satu bulan
kalender dengan tanggal
yang sesuai pada bulan
berikutnya (Collins,
2003).
Data sekunder Telaah data sekunder Nominal
Kematian Angka kematian, yang
mencerminkan jumlah
kematian per satuan
penduduk di setiap
wilayah tertentu,
kelompok usia, penyakit,
atau klasifikasi lain,
biasanya dinyatakan
sebagai kematian per
1000, 10.000 atau
100.000 (Mosby, 2009).
Data sekunder Telaah data sekunder Nominal






33


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Prevalensi Penderita DBD di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP
Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009

Berdasarkan data yang diperoleh, prevalensi penderita DBD di Instalasi
Rawat Inap Anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli
2009 adalah 1517 orang dengan jumlah seluruh pasien anak pada saat itu
sebanyak 4363 orang.
Data yang diperoleh dari instalasi rawat inap RSUP Fatmawati tahun
sebelumnya, prevalensi DBD anak adalah 1237 orang. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Ganda (2005) diperoleh data pasien DBD yang dirawat di
Perawatan Anak RSWS menunjukan jumlah yang terus meningkat yaitu 241
orang pada tahun 1998, 65 orang tahun 1999, 84 orang tahun 2000, 189 orang
tahun 2001, 129 orang tahun 2002, 138 orang tahun 2003, 94 orang tahun 2004
dan 281 orang tahun 2005.

Dari data diatas didapatkan bahwa prevalensi DBD
anak terus meningkat.

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan
antara lain terdapat manifestasi klinik demam, terdapat minimal satu dari tanda
perdarahan, trombositopenia < 100.000/l dan peningkatan Ht > 20%. Karena
keterbatasan, peneliti hanya memperoleh nilai trombosit dan hematokrit pasien.
Selain itu, peneliti tidak memperoleh nilai trombosit dan hematokrit secara
berkala untuk mengetahui perkembangan pasien DBD yang datang dengan
trombositopenia ringan dan tanpa peningkatan hematokrit. Dari 1517 orang yang
terdiagnosis DBD, didapatkan 1145 orang (75,5%) dengan nilai trombosit <
100.000/l dan peningkatan hematokrit > 20%, 372 orang (24,5%) dengan nilai
trombosit antara 101.000-149.000 tanpa peningkatan hematokrit.
Trombositopenia dan hemokonsenrasi adalah temuan tetap pada DBD. Penurunan
jumlah trombosit sampai di bawah 100.000/l biasanya ditemukan antara hari ke
tiga sampai ketujuh. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa
jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. Pemeriksaan dilakukan
pertama pada saat pasien diduga menderita DBD, bila perlu diulang setiap hari
Comment [M10]: Tlg semua
diperbaiki lai out
34


sampai suhu turun. Penurunan nilai trombosit sering sebelum atau bersamaan
dengan perubahan hematokrit. Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi
selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma; sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara
berkala. Perlu mendapat perhatian bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh
penggantian cairan atau perdarahan (Hadinegoro dan Satari, 2002).
Pada penelitian di RSCM (1995) persentase penderita DBD yang dirawat
di

Bagian Anak Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta tahun 1985-1986
yang mempunyai trombosit kurang dari 100.000/l ialah 64%.

Pada penelitian
Suglanto D (1992), trombositopenia dan hemokonsentrasi didapat sekitar

50%-
60% kasus sesuai dengan peneliti-peneliti sebelumnya (Kho dkk., 1969, Sumarno,
1990, Tatang dan Susanto, 1987).

Pasien dengan penurunan kadar trombosit < 100.000/l dan peningkatan
hematokrit > 20% merupakan indikator yang jelas bahwa pasien tersebut
menderita DBD dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Pasien dengan
trombosit turun tetapi belum mencapai < 100.000/l dan tanpa peningkatan
hematokrit kemungkinan yang terjadi adalah pengukuran nilai trombosit dan
hematokrit dilakukan pada saat awal pasien mengeluh sakit, sehingga perlu
dilakukan pengukuran ulang. Berikut data penderita DBD tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Data Penderita DBD Berdasarkan Nilai Trombosit dan Hematokrit



4.2. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Bulan
Berdasarkan distribusi penderita DBD di instalasi rawat inap anak RSUP
Fatmawati berdasarkan bulan dapat diketahui bahwa kejadian DBD paling tinggi
pada bulan Juni sebesar 229 orang (15%) dan paling rendah pada bulan September
sebesar 23 orang (1,5%). Gambaran fluktuasi kasus perbulan tidak menunjukkan
karakteristik musim yang konsisten. Menurut Siregar (2004), di kota besar seperti
Jakarta puncak kasus terjadi pada bulan Maret sampai dengan Agustus dengan
Trombosit
Nilai Lab < 100.000/ul 101.000-149.000/ul
Ht meningkat 1145 (75.5%) -
Ht tidak meningkat - 372 (24.5%)
35


puncak terjadi pada bulan Juni atau Juli.

Menurut Hadinegoro dan Satari (2004),
puncak kasus DBD diketahui pada permulaan musim kemarau.

Dengan perubahan cuaca di Indonesia yaitu berada dalam musim kemarau
basah, kasus DBD tetap meningkat. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut
memungkinkan adanya genangan air yang menjadi tempat berkembang biak
nyamuk Aedes aegypti (Anonim, 2008, Soegiyanto, 2000, PPMPL Depkes RI,
2004).
Disamping itu suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan mempersingkat
masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan
virus dengue (Depkes RI, 2004).

Sebaran pasien tiap bulan tertera pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Data Penderita DBD Periode Agustus 2008 sampai Juli 2009

No Bulan Jumlah Persentase (%)
1 Agustus 46 3.0
2 September 23 1.5
3 Oktober 48 3.2
4 November 74 4.9
5 Desember 138 9.1
6 Januari 204 13.4
7 Februari 180 11.9
8 Maret 94 6.2
9 April 112 7.4
10 Mei 197 13.0
11 Juni 229 15.1
12 Juli 172 11.3
Total 100 100

4.3. Distribusi Penderita DBD Anak Berdasarkan Umur
Bedasarkan Provisional Guidelines On Standard International Age
Classification (1982) distribusi penderita DBD di rawat inap anak RSUP
Fatmawati periode Agustus 2008 sampai Juli 2009 dapat lihat bahwa DBD
tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-14 yaitu sebanyak 1048 orang (69,1%)
dengan rata-rata umur menurut nilai median adalah 11 tahun. Kelompok umur
yang sering terkena infeksi adalah umur 4-10 tahun (Anonim, 2007).
Sumanno

(1983), Azhali

(1988) dan Gama

(1986) mendapatkan distribusi
umur penderita DBD terbanyak berada pada kisaran 5-10 tahun. Menurut Dit.Jen
PPM dan PLP Depkes RI (2004), didapatkan 46,1% kasus DBD mengenai anak
pada kelompok umur 5-14 tahun.
36


Pada penelitian yang dilakukan Nicolas Duma S. dkk (2007) umur
penderita DBD yang terbanyak berada pada umur 5-14 tahun (32,6%), yang
terendah berada pada umur 0-4 tahun dan 55 tahun masing-masing 1 orang
(0,4%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hefeni (2005), yang mendapatkan
sebagian besar penderita DBD berada pada kelompok umur 5-14 tahun sebanyak
19 orang (45,2%) dari 42 penderita DBD dan dari 200 responden, dimana hasil ini
juga sejalan dengan laporan dari Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun 2005 yang
mendapatkan kelompok umur yang banyak terserang penyakit DBD di Kota
Kendari adalah umur 5-14 tahun sebanyak 323 orang. Menurut Azhali (1998),
menyatakan bahwa penyakit DBD utamanya banyak diderita anak dibawah usia
15 tahun dan kebanyakan terjadi pada daerah tropis.

Pada penelitian lain tahun
2008 di Palu distribusi umur penderita terbanyak < 15 tahun (46,60%).

Nyamuk betina hanya menggigit pada waktu tertentu, biasanya pada pagi
atau sore hari.

Dengan pola seperti itu, anak-anak kelompok umur 5-14 mudah
terkena DBD dikarenakan pada waktu-waktu tersebut anak-anak sedang giat
beraktivitas baik di sekolah maupun di tempat-tempat bermain. (Hadinegoro dan
Satari, 2002). Data penderita DBD berdasarkan umur tertera pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Data Penderita DBD Berdasarkan Umur

Kelompok umur Frekuensi Persentase (%)
<1 16 1.1
1-14 1048 69.1
15-24 453 29.9
Total 1517 100

4.4. Distribusi Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.4, memperlihatkan distribusi jenis kelamin penderita DBD di
instalasi rawat inap anak RSUP Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan
Juli 2009. Dapat dilihat bahwa jumlah pasien yang terjadi pada laki-laki sebesar
730 orang (48,1%) dan perempuan 787 orang (51,9%). Hal ini menunjukkan
perbedaan yang tidak terlalu besar.
Sumarmo

(1983), Azhali

(1998) dan Gama

(1986) mendapatkan bahwa
DBD menyerang laki-laki dan perempuan hampir sama banyak sesuai dengan
hasil yang dilaporkan Dit.Jen. P3M Depkes RI (1976), Muchlastriningsih

(1992)

Comment [M11]: Bisa susun
kalimat sendiri? Shg tdk
sepenuhnya bahasa salinan/
copas.
37


mendapatkan secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin
penderita DBD. Pada sejumlah golongan umur penderita laki-laki lebih banyak
daripada penderita perempuan, tetapi pada sebagian golongan umur lainnya
sebaliknya, sehingga tidak tampak perbedaan bermakna dalam jumlah penderita
berdasarkan jenis kelamin.

Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Kendari tahun
2005 yang mendapatkan penderita DBD kebanyakan anak perempuan sebanyak
33 orang (63,5%).

Jenis kelamin penderita DBD diperoleh proporsi perempuan
lebih besar yaitu sebesar 118 orang (52,0%) dibandingkan dengan proporsi laki-
laki yaitu 109 orang (48,0%).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Daud (2008) di
Palu distribusi penderita DBD terbanyak laki-laki (52,48%).

Data penderita DBD
berdasarkan jenis kelamin tertera pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Data Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 730 48.1
Perempuan 787 51.9
Total 1517 100

4.5. Angka Kematian Anak Akibat DBD
Berdasarkan tabel 4.5, selama periode Agustus 2008 sampai Juli 2009
didapatkan bahwa jumlah pasien yang hidup setelah perawatan di RSUP
Fatmawati mencapai 98,9% atau 1501 orang dan pasien yang mati mencapai 1,1%
atau 16 orang. Data dari WHO yang melaporkan dari beberapa senter menyatakan
bahwa persentase kematian penderita DBD/SSD adalah antara 1-5% namun angka
ini dapat meningkat menjadi 44% jika terjadi renjatan yang menetap (Suroso,
1983).

Dari data yang diperoleh dari RSUP Fatmawati tahun sebelumnya, pasien
anak yang mati akibat DBD sebesar 0,7%. Target pemerintah yaitu CFR <1%
belum tercapai (Depkes RI, 2002). Case Fatality Rate (CFR) masih cukup tinggi
disebabkan keterlambatan diagnosis, pertolongan tidak segera dan mutu
pelayanan dan perawatan rendah (Nisa, 2006).

Berikut data kematian anak akibat
DBD tertera pada tabel 4.5.
Dilihat dari jenis kelamin, angka kematian pada anak perempuan lebih
38


banyak daripada laki-laki yaitu perempuan 11 (0,7%) dan laki-laki 5 (0,3%).
Secara keseluruhan penderita DBD anak tidak berbeda antara laki-laki dan
perempuan, tetapi kematian ditemukan lebih banyak pada anak perempuan
daripada anak laki-laki (Rampengan, 1997). Laporan dari Dinas Kesehatan Kota
Kendari (2005) didapatkan jumlah kematian anak akibat DBD sebesar 11 orang
dan rata-rata berjenis kelamin perempuan.
Pada penelitian yang dilakukan Sarwanto di Bagian Anak RSUD Dr.
Soetomo (2001) dengan jumlah penderita 282 anak, didapatkan data jumlah
kematian anak sebanyak 17 orang, 14 diantaranya perempuan dan 3 lainnya laki-
laki. Berikut data kematian anak akibat DBD berdasarkan jenis kelamin tertera
pada tabel 4.6.

Tabel 4.5. Data Kematian Anak Akibat DBD

Kondisi Akhir Perawatan Frekuensi Persentase (%)
Pulang 1501 98.9
Mati 16 1.1
Total 1517 100


Tabel 4.6. Data Kematian Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Kondisi Akhir Perawatan Total
Pulang Mati
Jumlah (%) Jumlah (%)
Laki-laki 725 (47.8) 5 (0.3)
Perempuan 776 (51) 11 (0.7)
1517(100%)









39


BAB 5
PENUTUP

5.I. Kesimpulan
1. Prevalensi penderita DBD di Instalasi Rawat Inap Anak RSUP
Fatmawati periode Agustus 2008 sampai dengan Juli 2009 adalah 1517
orang.
2. Distribusi DBD terbanyak terjadi pada bulan Juni yaitu 15,1% dan
terendah pada bulan September yaitu 1,5%.
3. Distribusi DBD terbanyak mengenai kisaran umur 1-14 tahun yaitu
sebesar 69,1% dengan rata-rata umur 11 tahun.
4. Distribusi DBD pada laki-laki sebesar 48,1% dan perempuan 51.9%.
5. Angka mortalitas penderita DBD anak sebesar 1,1% dan kasus
terbanyak terjadi pada perempuan yaitu sebesar 0,7%.

5.2. Saran
1. Diharapkan dalam penelitian selanjutnya dapat diperoleh data pasien
dengan lengkap sehingga diperoleh diagnosis penyakit dengan jelas.
2. Diharapkan dalam penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi DBD pada anak.
















Comment [M12]: Turunkan ke hal
baru
Comment [M13]: Kesimpulan
harus sesuai dengan tujuan khusus
40


DAFTAR PUSTAKA


Annex. 2003. Convention on The Rights of The Child. Artikel diakses tanggal 21
Februari 2011 dalam
http://www.hrweb.org/legal/child.html

Anonim. 1995. Demam Berdarah Dengue Aspek Klinis dan Penatalaksanaan.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anonim. 2007. Draft Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak RSCM, Jakarta.

Anonim. 2008. Laporan Media Tracking YPHA. Kondisi Kesehatan Anak
Indonesia: Di Bawah Ancaman Gizi Buruk, DBD, Hiv/Aids, dan Flu Burung.

Anonim. 1982. Provisional guidelines On standard international Age
Classification. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam
http://unstats.un.org/unsd/publication/SeriesM/SeriesM_74e.pdf

Azhali, MS. 1998. Aspek klinik dan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue
pada anak. Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD. Bandung: 29-47.

Borror, D.J. and Delong M. 1970. An Introduction To The Study of Insect, Holt,
Rine Hart and Winston, New York.

Brotowidjoyo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT. Media Sarana
Press.

Collins English Dictionary. 2003. HarperCollins Publisher.

Daud, Oslan., Hartono dan Satoto, TBT. 2008. Studi Epidemiologi Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Pendekatan Spasial Sistem Informasi
Geografis di Kecamatan Palu Selatan Kota Palu. Artikel diakses tanggal 26
Oktober 2009 dalam http://www.scribd.com/doc/16349352/Studi-Epidemiologi-
Kejadian-Penyakit-Demam-Berdarah-Dengue-Dengan-Pendekatan-Spasial-
Sistem-Informasi-Geografis-Di-Kecamatan-Palu-Selatan-Kota-Palu

Depkes RI. 2009. Kasus Demam Berdarah Mulai Meningkat. Artikel diakses
tanggal 26 Oktober 2009 dalam
http://www.penyakitmenular.info/def_menu.asp?menuID=18&menuType=1&Sub
ID=2&DetId=404

Depkes RI. 2004. Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Artikel
diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam
http://www.depkes.go.id/downloads/Bulletin%20Harian%2011032004.pdf

41


Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2002. Profil Kesehatan 2001. Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Dinas Kesehatan Kota Kendari. 2006. Profil Kesehatan Kota Kendari.

Dit.Jen. P3M, Depkes RI. 1976. Proyek Pemberantasan Penyakit yang Ditularkan
Binatang. Sub Proyek Arbovirus: Penyakit Demam Berdarah di Indonesia dan
Pemberantasannya. Bahan Penataran Pelaksanaan Pemberantasan Demam
Berdarah Tingkat Propifisi se-Indonesia. Jakarta.

Dorlands Medical Dictionary. 2007. Philadelphia: Saunders Company.

Gama H, Azhali MS. 1986. Tinjauan kasus Demam Berdarah Dengue selama 5
tahun di Lab I UPF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung. Pekan Ilmiah
FKUP/RSHS.

Ganda, Idham Jaya dan Bombang, Hasniah. 2005. Morbiditas dan Mortalitas
Sindrom Syok Dengue di Pediatric Intensive Care Unit ( Picu) Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit DR.Wahidin Sudirohusodo Makasssar Januari
1998-Desember 2005. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam
http://med.unhas.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=254:m
orbiditas-dan-mortalitas-sindrom-syok-dengue&catid=114&Itemid=48

Hadinegoro, Sri Rezeki., Satari, Hindra Irawan. 2004. Demam Berdarah Dengue,
Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: FKUI.

Kadarsan, S., A. Salim, E Purwaningsih, H.B. Munaf, I Budiarti dan S. Hartini.
1983. Binatang Parasit. Jakarta: LBN.

Kho, LK., Wulur, Hamsa., Karsono, Agung., Thaib, Suprapto 1969. Dengue
Hemorrhagic Fever in Jakarta. Jakarta: MKI, 19:417.

Kristina, Isminah dan L. Wulandari. 2004. Kajian Masalah Kesehatan: Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Litbang Depkes.

Mosbys Medical Dictionary. 2009. 8
th
edition. Elsevier.

Muchlastriningsih, Enny., Susilowati, Sri., Hutauruk, Diana Siti., Saragih, John
Master. 1992. Analisis Hasil Test Hemaglutinasi. Artikel diakses tanggal 12
Oktober 2009 dalam
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/05AnalisisHasilTestHemaglutinasi119.pdf/0
5AnalisisHasilTestHemaglutinasi119.html

Nhan T, Phuong C, Kneen R, et. Al. 2001. Acute management of dengue shock
syndrome. Clinical Infectious Diseases 2001;32:204-213. Accessed December 10,
2005.

42


Nicolas, Duma S. et al. 2007. Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Baruga Kota Kendari 2007.
Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2009 dalam
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal_pdf/an_4_2/03JURNAL%20tesis%20MAWAN.pdf

Nisa, Hoirun. 2006. Modul Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular (DBD),
PSKM UIN Jakarta.

PPMPL DEPKES RI. 2004. Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa. Jakarta.

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak.
Jakarta: EGC. h 135.

Rothman, Alan. 2009. Imunopatogenesis DBD. Diakses tanggal 26 Oktober 2009
dalam www.umassmed.edu/cidvr/faculty/rothman.cfm

Sarwanto. 2001. Kematian Karena DBD pada Anak dan Faktor Penentunya.
Surabaya: Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan.

Sastroasmoro, Sudigjo dan Sofyan, Ismael. 2005. Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Klinik, Ed II. Jakarta: Sagung Seto.

Silalahi, L. 2004. Demam Berdarah, Penyebaran dan Penanggulannya. Jakarta:
Litbang Departemen Kesehatan RI.

Siregar, Faizah. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia. FKM USU.

Soedarmo, S.P.S. 1988. Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Jakarta: UI Press.

Soegiyanto. 2000. Demam Berdarah di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehehatan RI.

Soni A, Chugh K, Sachdev A, Gupta D. 2001. Management of dengue fever in
ICU. Avalaible at http:// www . The Indian Journal of pediatric htm. Accessed
December 10, 2005.

Suglanto D dan K.S Tatang. 1992. Demam Berdarah Dengue Berat dengan
Konfirmasi Virologi. UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak/Rumah Sakit
Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Artikel diakses
tanggal 12 Oktober 2009 dalam
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_DBDberatdengankonfirmasivirologik81.
pdf/12_DBDberatdengankonfirmasivirologik81.htm

Suhendro, Leonard, Nainggolan., Chen, Khie ., T. pohan, Herdiman. 2007.
Demam Berdarah Dengue. Dalam buku: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
43


III. Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, h 1709-1713.

Sumarmo. 1983. Demam Berdarah Dengue pada anak, Cetakan I. Jakarta: UI
Press.

Sumarmo. 1990. Demam Berdarah Dengue, Aspek Klinik dan Penatalaksanaan.
Artikel diakses tanggal 20 Oktober 2009 dalam
http://www.scribd.com/doc/7539722/Cdk-060-Demam-Berdarah-i
Suroso, Thomas. 1983. Tinjauan Keadaan dan Dasar-Dasar Pemikiran dalam
Pemberantasan Demam Berdarah di Indonesia Periode 1968-1981. Direktorat
Jenderal P3M Depkes RI. Jakarta.

Suroso, Thomas dan Umar, Ali Imran. 1999. Epidemiologi dan Penanggulangan
Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Saat Ini. Dalam Sri Rezeki H.
Hadinegoro & Hindra Irawan Satari eds. Demam Berdarah Dengue: Naskah
Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam untuk Tata Laksana Kasus DBD. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Suvatte V. 1977. Dengue haemorrhagic fever. Hematological abnormalities and
pathogenesis. Dalam Ghai OP. New developments in pediatric research. Vol. 1.
Interprint, New Delhi, India, hal. 447.

Tatang, KS dan Susanto I. 1987. Pengenalan Dini dan Penatalaksanaan Demam
Berdarah Dengue, Simposium Dwidasawarsa Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber
Waras, Jakarta.

Tatang, KS., Wulur, H., D, Suglanto., Setiawan, Melani., Jenning, GB. 1997.
Dengue Hemorrhagic Fever with unusual manifestation in Sumber Waras
Hospital. Diajukan pada 7th Asian Congress of Pediatrics, Perth.

Wahono, Tri Djoko. 2004. Kajian Masalah kesehatan: Demam Berdarah Dengue.
Artikel diakses tanggal 26 Oktober 2009 dalam
http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/demam berdarah1.htm

World Health Organization (WHO) South East Asia Regional Office. 2004.
Situation Of Dengue / Dengue Haemorrhagic Fever In the South-East Asia
Region: Prevention And Control Status In SEA Countries. Artikel diakses tanggal
26 Oktober dalam http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332.htm.

WHO. 2000. Epidemiologi Molekuler: Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) In
Indonesia. New York.

WHO. 1997. Guide for diagnosis, treatment and control of dengue hemorrhagic
fever. 2
nd
ed. Geneva.


44


Lampiran 1

Rawat inap
Segera bawa ke rumah sakit
Lab : Hb & Ht naik,
trombosit turun
Rawat jalan
Minumbanyak1,5-2 liter/hari
Parasetamol
Kontrol tiap hari smpai demamturun
Periksa Hb, Ht, Trombosit tiap kali
Perhatian untuk orang tua
Pesan bila timbul tanda syok, yaitu gelisah,
lemah, kaki/tangan dingin, sakit perut, berak
hitam, BAK kurang
Jumlah trombosit
< 100.000/ul
Rawat jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam
hilang
Jumlah trombosit
>100.000/ul
-Tanda syok
-Muntah
terusmenerus
-Kejang
-Kesadaran menurun
-Muntah darah
-Berak hitam
Uji Turniket
negatif (-)
Uji Turniket positif
(+)
Periksa Uji
Turniket
Ada kedaruratan Tidak ada kedaruratan
Demamtinggi, mendadak terus menerus <7
hari tidak disertai infeksi saluran napas
atas, badan lemah dan lesu
Tersangka DBD

Bagan 1. DBD Tersangka

DBD derajat I atau derajat II Tanpa Peningkatan Hematokrit
Gejala klinis : demam2-7 hari,
Uji Turniket positif atau
perdarahan spontan
Lab hematokrit tidak
meningkat, trombositopenia
(ringan)
Pasien masih dapat minum
Beri minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman : air putih, the manis, sirup,
jus buah, susu, oralit
Bila suhu >38,5
o
C beri parasetamol
Bila kejang beri obat anti konvulsif
Pasien tidak dapat minum
Pasien muntah terus-menerus
Pasang infus NaCl 0,9% : dekstrosa 5% (1:3), tetesan
rumatan sesuai berat badan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Monitor gejala klinis dan laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam
Ht naik dan/ trombosit turun
Infus ganti ringer laktat (tetesan
disesuaikan, lihat bagan 3)
Perbaikan klinis dan laboratoris
Pulang

Bagan 2. DBD derajat I atau II tanpa peningkatan hematokrit
45


Lampiran (lanjutan)
Tanda vital tidak stabil
Tanda vital memburuk
Ht meningkat
Gelisah
Distres pernapasan
Frekuensi nadi naik
Ht tetap tinggi/naik
Diuresis kurang/tidak ada
Perbaikan
Tetesan dinaikkan 10-15
ml/kgBB/jam tetesan
dinaikkan bertahap
3 ml/kgBB/jam
Tetesan dikurangi
IVFD stop pada 24-48 jam
Bila tanda vital/Ht stabil
Diuresis cukup
Hb/Ht turun
Evaluasi 15
menit
5 ml/kgBB/jam
Transfusi darah segar
10 ml/kgBB
Perbaikan
sesuaikan tetesan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tekanan darah stabil
Diuresis cukup (1 ml/kgBB)
Ht turun (2x pemeriksaan)
Distres pernapasan
Ht naik
Tekanan darah <20 mmHg
Tidak ada perbaikan
Perbaikan
Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam
RL/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl
0,9%+D5, 6-7 ml/kgBB/jam (BB<20 kg)
Cairan awal
DBD derajat II dengan Peningkatan Ht > 20%
Koloid
20-30 ml/kgBB

Bagan 3. DBD derajat II dengan Peningkatan Ht >20%


DBD Derajat III & IV
Oksigenasi (berikan O2, 2-4 liter/menit
Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis) Ringer
Laktat/NaCl 0.9% 10-20 ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 30 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat keseimbangan cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
Syok tidak teratasi
Evaluasi ketat
Cairan dan tetesan disesuaikan
10ml/kgBB/jam
Stabil dalam 24 jam
tetesan 5ml/kgBB/jam
Tetesan 3ml/kgBB/jam
Infus stop tidak melebihi 48 jam
Kesadarn membaik, nadi teraba kuat,
tekanan nadi >20 mmHg
Tidak sesak nasas/sianosis
Ekstremitas hangat, diuresis cukup
1ml/kgBB/jam
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis, Hb, Ht, trombosit
Kesadarn menurun, nadi lembut/tidak
teraba, tekanan nadi <20 mmHg
Distres pernafasan atau sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstremitas dingin
Periksa kadar gula darah
Ht tetap tinggi/naik Ht turun
Syok belum teratasi
Lanjutkan cairan
15-20ml/kgBB
Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
10-20 (max 30)ml/kgBB
Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok teratasi
Transfusi darah segar 10ml/kg
diulang sesuai kebutuhan
Koloid 20ml/kg

Bagan 4. DBD Derajat III dan IV
46


Lampiran 2

Tabel 1. Jadwal Penelitian
Bulan September 2009 Oktober 2009 November 2009 April 2010
Kegiatan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
Persetujuan Judul
Penelitian



Pembuatan
Proposal

Revisi Proposal




Pengambilan data
Pengolahan Data
Menyerahkan Hasil
Penelitian

Sidang Penelitian
Revisi










47


Lampiran 3
F
r
e
k
u
e
n
s
i
Bulan
3%
1.5%
3.2% 3.2%
4.9%
9.1%
13.4%
11.9%
6.2%
7.4%
13%
15.1%
11.3%
Agustus Sept ember Oktober Agust us Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli

Grafik 1. Data Penderita DBD Berdasarkan Bulan


Kelompok Umur
F
r
e
k
u
e
n
s
i
1.1%
69.1%
29.9%%

Grafik 2. Data Penderita DBD Berdasarkan Umur




48


Jenis Kelamin
F
r
e
k
u
e
n
s
i
48.1%
51.9%
Laki-laki Perempuan

Grafik 3. Data Penderita DBD Berdasarkan Jenis Kelamin

F
r
e
k
u
e
n
s
i
Jenis Kelamin
0.7%
57%
47.8%
0.3%
Perempuan Laki-laki

Grafik 4. Data Kematian Anak Berdasarkan Jenis Kelamin







49


RIWAYAT HIDUP

Nama : Nita Nuranisa
Tempat, Tgl Lahir : Pandeglang, 22 Oktober 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat : Jl. Jendral Sudirman No.18 RT 02 RW 09
Labuan, Pandeglang-Banten
Kode Pos : 62264
Tlp/ Hp : (0253) 801172 / 085218387828
Email : nita_nuranisa@yahoo.com


Riwayat Pendidikan :
1. TK Pertiwi Kuntum Harapan (1991-1992)
2. SDN 4 labuan (1992-1998)
2. MtsN 2 Pandeglang (1998-2001)
3. Ponpes As-Syafiiyah Sukabumi (2001-2004)
4. S-1 Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)

Anda mungkin juga menyukai