Anda di halaman 1dari 19

INDONESIA

the coalition against corruption



http://www.ti.or.id


Transparency International Indonesia
Jl. Senayan Bawah No. 17
Jakarta 12180
Indonesia
Tel: +62-021-7208515
Fax: +62-021-7267815
info@ti.or.id



















Mengenai TI-Indonesia:

TI-Indonesia didirikan pada Oktober 2000. TI-Indonesia merupakan salah satu chapter dari
Transparency International yang berkedudukan di Berlin, Jerman.

Transparency International yang didirikan pada tahun 1993 merupakan satu-satunya
organisasi non pemerintah dunia dan non-profit yang mencurahkan perhatian secara khusus
memberantas korupsi.

Transparency International saat ini memiliki 100 national chapter di berbagai belahan dunia.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai TI-Indonesia, silahkan mengakses website:
http://www.ti.or.id



Indeks Persepsi Korupsi 2006
Transparency International


Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

1



Indeks Persepsi Korupsi tahun 2006
Korupsi merampok pengentasan kemiskinan

Indeks persepsi korupsi tahun 2006 yang diluncurkan secara serentak di seluruh dunia
pada hari ini, menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara korupsi dan kemiskinan,
terutama di negara-negara ranking rendah, tak terkecuali Indonesia.

Meskipun indeks Indonesia naik dari 2,2 di tahun 2005 menjadi 2,4 di tahun ini, namun
Indonesia masih berada dalam kelompok negara yang amat korup dengan indeks di
bawah 3. Untuk itulah, Transparansi International Indonesia memilih Medan sebagai kota
tempat peluncuran indeks persepsi korupsi tahun 2006. Berdasarkan survei indeks
persepsi korupsi 21 kota di Indonesia pada tahun 2004, Medan merupakan kota paling
korup nomor 3 di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kami mendengar sudah
banyak kemajuan dalam upaya-upaya pencegahan korupsi di kota Medan. Itu
menunjukkan bahwa Indonesia, tidak berbeda dengan negara-negara lain, bisa mencegah
dan mengurangi korupsi bila ada kemauan politik yang kuat dan sistem integritas nasional
yang berjalan dengan baik.

Praktek pemberian pelicin kepada pejabat publik ditemukan Bank Dunia di 3 proyeknya di
Indonesia tahun ini, bahkan beberapa waktu yang lalu lembaga ini mencatat kebocoran
pada sektor pengadaan barang dan jasa (tender) pemerintah mencapai 30%. Sementara
itu Menteri Negara BUMN Sugiharto juga mengamini temuan kasus inefisiensi dan korupsi
di BUMN yang 80% berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa (KOMPAS, 2005).
Tidak heran bila dana pembangunan melalui APBN yang konon khabarnya bocor tidak
kurang dari 30% adalah sebuah contoh nyata makin terpangkasnya peluang
pemberantasan kemiskinan. Tepatlah bila Ketua Transparency International, Huguette
Labelle, menyatakan ditengah dekade kemajuan negara-negara yang telah berhasil
melahirkan Hukum dan peraturan anti korupsi, korupsi mengungkung jutaan warga dalam
kemiskinan, hasil survey hari ini menunjukkan betapa masih banyak hal yang harus
dilakukan untuk perbaikan kehidupan penduduk miskin di dunia.

Kemiskinan adalah tantangan besar yang masih harus dihadapi oleh bangsa Indonesia.
Puncak kemiskinan rakyat Indonesia terjadi pada tahun 1998, ketika Indonesia meluncur
dari negara yang memiliki pendapatan perkapita US$ 1000 ke kisaran US$ 300 perkapita
pertahun. Harga-harga melambung tinggi, sementara pendapatan merosot tajam akibat
terpaan krisis moneter. Korupsi memperparah keadaan, apalagi setelah Reformasi
berhasil membuka mata rakyat akan kasus salah urus dan korupsi di jaman Orde Baru.
BPS memperkirakan di tahun 1996 penduduk miskin tercatat 34,01 juta (17,47%) tiba-tiba
membengkak menjadi 49,50 juta (24,23%) di tahun 1998.

Memang ada kemajuan bila kita melihat kemiskinan semata-mata dari angka statistik.
Data BPS mencatat bahwa sejak tahun 1999 terjadi penurunan jumlah penduduk miskin
menjadi 47,97 juta (23,23%), berturut-turut tahun 2000 penduduk miskin menjadi 38,70
Embargoed until 8.00 GMT, 16.00 WIB
6 November 2006
PRESS RELEASE

Media Contacts:

Rezki Wibowo
Deputi Direktur Eksekutif
HP: 0811961660
Email: rwibowo@ti.or.id

Anung Karyadi
Koordinator Lobi dan Advokasi
HP: 0811147737
Email: akaryadi@ti.or.id

INDONESIA
the coalition against corruption
http://www.ti.or.id
Jl. Senayan Bawah No. 17
Jakarta 12180
Indonesia
Tel: +62-021-7208515
Fax: +62-021-7267815
Email: info@ti.or.id


Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

2
juta (19,14), tahun 2001 menjadi 37,90 juta (18,41%), tahun 2002 menjadi 38,40 juta
(18,20%), tahun 2003 menjadi 37,30 juta (17,42%), tahun 2004 menjadi 36,10 juta
(16,66%), tahun 2005 menjadi 35,10 juta (15,97%). Akan tetapi di tahun 2006,
berdasarkan hasil Susenas 2006, jumlah penduduk miskin justru bertambah menjadi
39,05 juta (17,75%)! Selain kenyataan kompleksnya masalah kemiskinan di Indonesia,
sepertinya fakta ini memperkuat pernyataan Ketua TI di atas: tanpa upaya yang lebih
keras untuk memberantas korupsi, angka kemiskinan mungkin akan tetap tinggi.

Keadaan yang mendukung tetap merebaknya korupsi
Penolakan Dharmono K Lawi, anggota DPR terpidana kasus korupsi yang telah diputus
MA yang saat ini menjadi buron, atas penayangan gambar nya di Televisi oleh Kejaksaan
Agung serta keengganan Partai Politik mengambil kebijakan yang tegas untuk
menertibkan anggotanya tersebut bisa jadi merupakan indikator kuatnya tekanan Parpol
terhadap usaha pemberantasan korupsi di negeri ini. Meskipun DPR memiliki Badan
Kehormatan yang belum lama ini memecat seorang anggota DPR karena kasus percaloan
anggaran di proyek Haji, sebaliknya ada lebih dari 5 anggota DPR terlibat hal serupa di
Kantor Menko Kesra justru tidak mendapat sanksi setimpal, bahkan cenderung ditutup-
tutupi.

Sekretaris Jenderal TI Indonesia, Rizal Malik menyatakan bahwa reformasi birokrasi
merupakan agenda reformasi yang masih belum membuahkan hasil. Begitu pula adanya
para kooperator, para tenaga profesional yang bekerja di sektor-sektor penting
perekonomian Indonesia, yang masih menutup mata atas terjadinya praktek-praktek
korupsi di tempat kerjanya. Untuk mengubah keadaan ini, diperlukan kebijakan
operasional yang lebih melindungi para saksi pelapor tindak pidana korupsi.

Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia menegaskan bahwa
Upaya pemberantasan korupsi juga memerlukan kerjasama global. Sementara Persepsi
masyarakat global mengenai Singapura yang dianggap sebagai negara terbersih di dunia,
tidak menghilangkan kenyataan bahwa negara itu menjadi surga para koruptor, dan
tempat penyimpanan uang hasil korupsi dari Indonesia. Seperti konstatasi Andi Xie
mantan Chief Economist Morgan Stanley di Hong Kong: Indonesia menjadi miskin, karena
kejayaan Singapura. Padahal kedua negara telah menanda tangani Konvensi PBB
Melawan Korupsi, yang dapat dipergunakan untuk membuka fasilitas kerjasama antara
negara, termasuk perjanjian ekstradiksi.

Kemajuan Hukum harus cerminkan pula kemajuan dalam pemberantasan korupsi
UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menegaskan kriminalisasi korupsi
tidak berhenti kepada para penerima suap (pejabat publik) akan tetapi juga pada para
pelaku suap. Hal ini telah diberlakukan dalam kasus Pengadaan Barang dan Jasa di KPU,
di RRI, dan di beberapa tempat. UU No 28 tahun 1999 ps. 5 mewajibkan penyelenggaran
negara melaporkan kekayaan dan diperkuat UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi juga mewajibkan pejabat publik melaporkan semua hadiah yang
mengarah kepada gratifikasi, sepertinya telah menutup rapat semua celah korupsi.

Sekretaris Jenderal TI Indonesia, Rizal Malik menilai janji Presiden untuk memimpin
sendiri gerakan pemberantasan korupsi tidak tercermin pada implementasi Rancangan
Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN PK). Hal ini terindikasikan dengan adanya
kenyataan bahwa, baik BAPPENAS sebagai tuan rumah RAN PK dan Kementerian PAN
sebagai Koordinator monitoring dan evaluasi (Kormonev) sepertinya tidak menemukan
kaitan antara rancangan dengan pencapaian di tiap Departemen. Perlu ada komitmen
yang lebih tinggi untuk gerakan nasional memberantas korupsi di Indonesia.






Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

3
Untuk itu TI Indonesia merekomendasikan:

1. Meskipun telah ada peningkatan sedikit indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2.2
tahun 2005 menjadi 2,4 di tahun 2006, diperlukan penegasan kembali agenda
pemberantasan korupsi, yang tercermin dalam satuan anggaran RAPBN, yang
tersosialisasi secara luas di kalangan pejabat publik, serta mampu mengajak
masyarakat untuk memastikan pencapaiannya.
2. Perlu peningkatan transparansi dan akuntabilitas praktek-praktek demokrasi
sebagai bagian dari pilar perbaikan perilaku ketata negaraan, terutama dukungan
Partai Politik dalam gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
3. Perlu peningkatan aturan tender dari Keppres 80/2003 (yang telah beberapa kali
diamandemen) menjadi sebuah Undang-Undang yang juga mengatur dengan
tegas sanksi-sanksi pidana bagi pelanggarnya.
4. Perlu kesungguhan dalam pemberantasan korupsi dalam kerangka peningkatan
upaya pengentasan kemiskinan.


Medan, 6 November 2006

TTD TTD


Rizal Malik Todung Mulya Lubis
Sekretaris Jenderal Ketua Dewan Pengurus



































Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

4

PEMBERANTASAN KORUPSI :
ENOUGH, BUT NOT ENOUGH.

Todung Mulya Lubis*

Masyarakat Indonesia secara umum percaya akan perubahan gradual, alon-alon asal
kelakon. Perubahan radikal sering dipersepsikan sebagai perubahan yang berbahaya dan
tidak pasti. Masyarakat itu sendiri sering tidak siap dengan perubahan radikal karena pada
hakekatnya masyarakat itu relative lamban dalam memahami perubahan. Ini adalah sikap
budaya. Sikap budaya ini nampaknya terdapat pula pada pemerintahan yang juga percaya
pada perubahan gradual. Roma kan tidak juga dibangun dalam semalam.

Prestasi pemerintah dalam perang melawan korupsi juga berada dalam alur alon-alon asal
kelakon. Kalau pada tahun 2004 score Indonesia menurut Index Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index) yang diterbitkan oleh Transparency International adalah 2.0,
tahun 2005 score tersebut naik menjadi 2,2, dan sekarang pada tahun 2006 ini score itu
meningkat menjadi 2,4. Ini jelas suatu peningkatan dalam arti adanya hasil-hasil kongkrit
dalam pemberantasan korupsi. Ada setitik api yang memberi pengharapan kepada kita
semua. Kita tentu harus bersyukur bahwa persepsi para responden yang umumnya
adalah pengusaha dan klas professional telah mulai membaik. Mereka mulai menghargai
ikhtiar pemerintah walaupun dengan sebuah sikap was-was karena tidak sepenuhnya
yakin akan konsistensi pemberantasan korupsi yang tengah berjalan sekarang ini.
Mengapa? Karena mereka tahu bahwa score 2,4 tersebut barulah puncak dari gunung es
yang sesewaktu bisa mencair. Artinya, masih banyak kasus-kasus korupsi yang terjadi di
sekeliling kita yang sepertinya kebal dari tangan pemberantasan korupsi. Jadi pada
keadaan sekarang apresiasi terhadap pemberantasan korupsi masih ditandai dengan
semangat guarded optimism.

Dalam membaca Index Persepsi Korupsi parameter yang menentukan adalah score,
bukan peringkat. Kenapa? Karena score itu mengindikasikan level korupsi di suatu negara
sementara peringkat bisa menyesatkan yang perubahannya tergantung pada jumlah
negara yang di survey. Dalam Index Persepsi Korupsi tahun 2005 peringkat Indonesia
dengan score 2,2 adalah keenam paling korup di antara 158 negara, sementara tahun
2006 ini peringkat Indonesia dengan score 2,4 adalah ketujuh dari 163 negara. Dalam
pemeringkatan ini kita bisa membuat Index tetapi level korupsi lebih dapat dilihat dalam
perolehan score. Jadi, score 2,4 yang dicapai Indonesia tahun ini adalah suatu
peningkatan yang berarti apresiasi terhadap semua upaya pemberantasan korupsi yang
dilakukan.

Adalah menarik melihat peringkat dan score Indonesia yang lebih baik dari Pakistan,
Cambodia, Bangladesh, Iraq dan Myanmar. Pada peringkat paling bawah kita melihat
Haiti dengan score 1,8. Pertanyaan: apakah Haiti, Pakistan, Cambodia, Bangladesh dan
Embargoed until 8.00 GMT, 16.00 WIB
6 November 2006
PRESS RELEASE

Media Contacts:

Rezki Wibowo
Deputi Direktur Eksekutif
HP: 0811961660
Email: rwibowo@ti.or.id

Anung Karyadi
Koordinator Lobi dan Advokasi
HP: 0811147737
Email: akaryadi@ti.or.id

INDONESIA
the coalition against corruption
http://www.ti.or.id
Jl. Senayan Bawah No. 17
Jakarta 12180
Indonesia
Tel: +62-021-7208515
Fax: +62-021-7267815
Email: info@ti.or.id


Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

5
Myanmar merupakan negara paling korup? Jawabnya belum tentu karena disini kita
hanya bicara tentang persepsi. Lagipula masih banyak negara yang tak termasuk dalam
survey ini yang bisa jadi juga sangat penuh dengan korupsi. Sebagaimana kita ketahui,
jumlah negara yang berdaulat di dunia ini sudah lebih dari 200 negara. Yang pasti dari
hasil Index Persepsi Korupsi tahun ini kita melihat kebanyakan negara yang mendapat
score di bawah 5,0 adalah negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang umumnya
dikenal miskin. Jadi korupsi ini nampaknya berkorelasi dengan kemiskinan. Dalam bahasa
Huguitte Labelle, Ketua Transparency International, korupsi telah memperangkap jutaan
manusia dalam kemiskinan. Corruption traps millions in poverty.

Seperti pada tahun 2005, Index Persepsi Korupsi negara-negara seperti Singapore (9,4),
Hongkong (8,3), Jepang (7,6), Taiwan (5,9), Korea Selatan (5,1) dan Malaysia (5,0) jauh
berada diatas Indonesia. Negara-negara Asia yang agak dekat dengan Indonesia adalah
Thailand (3,6), China (3,3), India (3,3), Saudi Arabia (3,3), Laos (2,6), Timor Leste (2,60),
Vietnam (2,6), Nepal (2,5) dan Philipina (2,5). Apa artinya? Negara-negara yang
pertumbuhan ekonominya lebih baik ternyata lebih mampu memberantas korupsi karena
investasi dan bisnis hanya bisa bertumbuh di negara-negara yang good governance dan
good corporate governance berjalan baik. Artinya, Rule of Law juga menjadi panglima
dalam interaksi investasi dan bisnis.

Kalau kita melihat kembali tingkat optimisme rakyat Indonesia dalam memberantas
korupsi seperti yang dilaporkan oleh Global Corruption Baromoter 2005 maka kita akan
kecewa dengan kenaikan score yang hanya 0,2. Bayangkan Indonesia adalah Negara
yang tingkat optimisme terhadap pemberantasan korupsi paling tinggi yaitu 55% (2003),
66% (2004) dan 81% (2005). Jadi momentum pemberantasan korupsi yang dijanjikan oleh
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mendapat respons positif dari
mayoritas rakyat Indonesia. Tetapi kenapa optimisme yang tinggi ini tak berkorelasi
dengan capaian score yang seharusnya juga tinggi? Kenapa kenaikan score hanya 0,2?
Pasti ada yang salah dalam pemberantasan korupsi ini.

a. Pemberantasan korupsi tebang pilih.
Bukan rahasia lagi bahwa pemberantasan korupsi masih tebang pilih. Dalam
beberapa kasus korupsi yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan dan KPK kita
masih melihat bahwa beberapa orang yang diduga melakukan korupsi ternyata
lolos dari sergapan penyidikan karena masih adanya political backing. Kasus
korupsi dalam tubuh kepolisian, department pertahanan, PLN dan KPU, misalnya,
adalah contoh-contoh yang nyata di hadapan kita dimana pemberantasan korupsi
tak berjalan tuntas.

b. Pertikaian destruktif antar lembaga penegak hukum.
Belakangan ini rakyat disuguhi pertikaian terbuka antara sesama aparat penegak
hukum khususnya antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial serta KPK.
Dihilangkannya fungsi pengawasan dari Komisi Yudisial menunjukkan betapa
para hakim (termasuk hakim Mahkamah Konstitusi) tak menghendaki pengawasan
yang berarti bahwa para hakim ingin menikmati kebebasan mutlak padahal dengan
skandal suap yang melibatkan hakim (juga polisi, jaksa, KPK dan advokat) maka
tingkat kepercayaan public sudah semakin merosot ke titik nadir. Mafia Peradilan
adalah pemenang dalam pertikaian yang destruktif antara sesama penegak hukum
ini.

c. Corruptors fight back phenomenon.
Perlawanan terhadap pemberantasan korupsi mulai terjadi terbukti dengan
berbagai upaya seperti pembuatan legislasi yang terhambat dalam RUU
Kebebasan Memperoleh Informasi. Sebaliknya RUU Rahasia Negara yang counter
productive terhadap pemberantasan korupsi didahulukan. Lalu UU Perlindungan
Saksi masih belum bisa effektif karena belum ada peraturan pelaksanaan. Selain
itu kita melihat perlawanan lain dalam bentuk Judicial Review terhadap UU yang
hendak memberantas korupsi seperti yang terjadi pada UU Komisi Yudisial, UU

Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

6
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Adalah menarik melihat disini bahwa banyaknya kolaborasi pihak-pihak
yang selama ini berbisnis dengan korupsi melawan pemberantasan korupsi.

d. Kembali menguatnya kronisme (cronyism).
Dalam bisnis kita mulai menyaksikan kembali menguatnya para kroni (reemerging
cronyism) yang langsung maupun tak langsung adalah orang-orang tertentu yang
dekat dengan penguasa. Keterbukaan (transparansi) dan pertanggung jawaban
(akuntabilitas) nampaknya mulai dikesampingkan padahal semua bisnis
seharusnya mengacu pada sistem yang transparan dan akuntabel. Sekarang ini
tidak aneh jika melihat pengusaha mengandeng penguasa dalam berbisnis. Dan
ini tentu ada harganya, dan harga inilah yang menjadi apa yang kita kita kenal
sebagai kick off atau korupsi.

e. Melemahnya media.
Media kita masih memiliki kebebasan yang besar tetapi kita juga mulai merasakan
banyak media yang bisa disogok untuk tidak memberitakan suatu kasus atau
skandal korupsi. Kondisi media yang tidak sehat secara bisnis membuat wartawan
rentan terhadap korupsi. Survey yang dilakukan Asosiasi Jurnalis Independen
(AJI) membuktikan bahwa mayoritas wartawan kita menerima amplop untuk
memberitakan atau tidak memberitakan. Korupsi jurnalistik ini membahayakan
pemberantasan korupsi. Selain itu harap dicatat juga masuknya konglomerasi ke
bisnis media yang sebagian agendanya adalah turut memperlambat
pemberantasan korupsi atau kalau bisa menghambat pemberantasan korupsi.
Sebagai konglomerasi mereka khawatir bahwa pemberantasan korupsi bisa juga
membahayakan konglomerasi.

Modal optimisme masyarakat Indonesia terhadap pemberantasan korupsi seharusnya
berbuah hasil yang lebih optimal meski ada perlawanan dari berbagai pihak. Sayang
bahwa aparat penegak hukum kita masih belum bisa kompak, dan saling bertikai sesama
mereka secara sangat memalukan. Akibatnya jerih payah mereka hanya menghasilkan
perbaikan yang minimal. Dengan sedih kita harus mengatakan bahwa pemberantasan
korupsi di negeri ini menunjukkan perbaikan yang lumayan tetapi tidak cukup optimal
seperti yang kita harapkan. Dengan kata lain bisa disebut enough, but not enough.

* Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia.























































































Transparency International Corruption Perceptions Index 2006

7

the coalition against corruption


















http://www.transparency.org


Transparency International Secretariat
Alt Moabit 96
10559 Berlin
Germany
Tel: +49-30-3438 20 19/45
Fax: +49-30-3470 3912
press@transparency.org

Mengenai Transparency International:
Transparency International (TI), didirikan pada tahun 1993, adalah organisasi masyarakat sipil terkemuka
yang mencurahkan perhatiannya untuk memberantas korupsi. TI yang memiliki sekretariat international di
Berlin, Jerman saat ini memiliki 100 chapter nasional di seluruh dunia. Untuk informasi lebih lanjut mengenai
TI, chapter-chapter nasionalnya dan pekerjaannya, harap mengunjungi situs : www.transparency.org


Indeks Persepsi Korupsi
2006
Transparency International

-Transparency International Corruption Perceptions Index 2006



Indeks Persepsi Korupsi 2006 mempertegas hubungan antara
kemiskinan dan korupsi

Mesin korupsi masih berjalan lancar, meski pembenahan hukum dan peraturan telah
dilakukan

Berlin, 6 November 2006 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2006, yang diluncurkan hari ini
oleh Transparency International (TI), menunjukan korelasi yang kuat antara korupsi dan
kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dengan terkumpulnya negara-negara miskin di rangking
indeks yang rendah.

Korupsi menyebabkan jutaan manusia hidup dalam kemiskinan, ujar Ketua Transparency
International Hugette Labelle. Meskipun terdapat kemajuan dalam penyusunan undang-
undang dan peraturan anti-korupsi selama dekade terakhir ini, hasil survei IPK tahun ini
menunjukan bahwa masih banyak yang harus dilakukan jika kita ingin melihat perbaikan
taraf hidup masyarakat miskin di negara-negara berkembang.

IPK 2006 adalah indeks gabungan yang dirumuskan dari hasil beberapa survei opini para
ahli. Survei yang mengukur persepsi korupsi di sektor publik ini dilakukan di 163 negara di
seluruh dunia, cakupan IPK yang terluas sampai saat ini. IPK 2006 memberi skor nol hingga
sepuluh. Skor nol berarti tingkat korupsi dianggap tinggi dan sepuluh berarti tingkat korupsi
dianggap paling rendah.

Korelasi yang kuat antara korupsi dan kemiskinan dapat terlihat dalam hasil survei IPK 2006.
Hampir tiga perempat negara-negara yang disurvei dalam IPK 2006 memperoleh skor di
bawah lima (semua negara yang berpendapatan rendah dan hampir semua negara di
kawasan Afrika). Ini menunjukan bahwa sebagian besar negara-negara di dunia menghadapi
tingkat korupsi domestik yang mengkhawatirkan. 71 negara hampir setengah dari jumlah
negara yang disurvei memperoleh skor di bawah tiga. Hasil survei ini menunjukan bahwa
korupsi masih dianggap merajalela. Haiti memperoleh skor terendah, 1,8; Guinea, Iraq, dan
Myanmar memperoleh skor 1,9; Finland, Islandia, dan Selandia Baru memperoleh skor
tertinggi, 9,6.

Beberapa negara yang mengalami penurunan skor yang signifikan dalam survei IPK tahun
ini adalah Brasil, Kuba, Israel, Yordania, Laos, Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tunisia,
dan Amerika Serikat. Sebaliknya, negara-negara yang memperoleh peningkatan skor yang
signifikan dalam survei IPK tahun ini adalah Algeria, Repulik Ceko, India, Jepang, Latvia,
Libanon, Mauritus, Paraguay, Slovenia, Turki, Turkmenistan, dan Uruguay.

Kumpulan negara-negara yang dianggap gagal dalam IPK tahun ini jelas terlihat pada urutan
bawah tabel IPK. Iraq, dengan IPK 1,9, tenggelam dalam urutan kedua terakhir. Mediator
the coalition against corruption

http://www.transparency.org

Alt Moabit 96,
10559 Berlin, Germany
Tel: +49-30-3438 2045/19
Fax: +49-30-3470 3912

Embargoed until 8.00 GMT, 16.00 WIB
6 November 2006
PRESS RELEASE
Media Contact:
Berlin:
Gypsy Guillen Kaiser
ggkaiser@transparency.org
Jesse Garcia
jgarcia@transparency.org
Tel: +49-30-3438 20-662/667

Additional technical information:
Prof. Dr Johann Graf Lambsdorff
Passau University, Germany
Tel: +49 851 509 2551
jlambsd@uni-passau.de

Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
9
yang mulai bertugas selama berjalannya Program Oil-for-Food PBB terus memainkan peran
penting dalam mendorong terjadinya korupsi. The Volcker Commission melaporkan bahwa
2.392 perusahaan telah memberikan uang terima kasih (kickbacks) atau pembayaran tidak
resmi kepada rejim Saddam Hussein yang terkait dengan program PBB tersebut.

Meski negara-negara industri maju memperoleh skor yang tinggi pada IPK 2006, namun kita
masih melihat terjadinya skandal korupsi besar di negara-negara tersebut. Kasus-kasus
korupsi tersebut memang kurang berdampak pada kemiskinan dan pembangunan seperti
yang terjadi di negara-negara berkembang, namun skandal ini menunjukan kepada kita
bahwa upaya menurunkan tingkat korupsi belum memuaskan.

Fasilitator
Performa buruk sebagian besar negara dalam IPK 2006 menunjukan bahwa fasilitator
korupsi masih terus membantu para elit politik untuk mencuci, menyimpan, mengambil
keuntungan dari kekayaan yang diperoleh secara ilegal, termasuk aset negara yang
dirampas. Keberadaan mediator yang kooperatif terhadap koruptor - yang profesional atau
bekerja di sektor ekonomi vital berperan penting dalam mendukung terjadinya korupsi. Ini
artinya para koruptor tahu bahwa banker, akuntan, pengacara, dan profesional lain akan siap
membantu mereka memindahkan dan menyimpan uang haram mereka.

Menurut John Githongo, mantan ikon penggerak anti-korupsi Kenya, kasus Kenyas Anglo-
Leasing dan skandal-skandal yang terkait merupakan contoh kasus yang relevan, dimana
penyalahgunaan dana publik terjadi karena adanya kecurangan dalam kontrak-kontrak yang
menggunakan perusahaan-perusahaan dan rekening bank di Eropa dan juridiksi negara lain.
Berdasarkan hasil survei Kenyas Bribery Index yang dilakukan oleh TI Kenya, biaya yang
dikeluarkan untuk suap di Kenya mencapai satu miliar dolar AS tiap tahunnya. Jumlah ini
sudah mencapai lebih dari setengah perhitungan standard biaya hidup dua dollar AS per
hari.

Tindak korupsi melibatkan pemberi (sisi supply) dan pengambil (sisi demand). TI
mengadvokasikan alat ukur untuk mengontrol sisi supply suap, selain ditetapkannya tindak
suap di luar negeri sebagai tindak pidana dalam Konvensi Anti-Suap OECD. Sementara itu,
pengumuman atau pengungkapan kekayaan pejabat publik dan diterapkannya kode etik
merupakan alat untuk mengontrol korupsi dari sisi demand.

Tapi transaksi suap sering difasilitasi oleh para professional dari berbagai bidang. Mediator
menciptakan hubungan antara pemberi dan penerima serta membangun kondisi saling
percaya dan menguntungkan. Mereka berupaya memberi dukungan hukum bagi transaksi
korup, seperti kontrak yang dibuat seolah-olah legal dan menyembunyikan kecurangan
mereka secara hukum.

Asosiasi profesi pengacara, akuntan, dan banker memiliki tanggung jawab khusus untuk
mengambil tindakan tegas terhadap tindak korupsi, ujar Direktur Eksekutif Transparency
International David Nusbaum. Di bawah tanggung jawab Kejaksaan, BPK, dan lembaga
pemerintah lainnya, asosiasi profesi yang ada bisa menjadi pendukung dalam upaya perang
terhadap korupsi.

Rekomendasi Transparency International:
Asosiasi profesi, seperti Asosiasi Pengacara dan Asosiasi Akuntan, harus melakukan
promosi, jika perlu, dan adopsi kode etik yang khusus mencakup korupsi.
Pendidikan publik untuk membuat para mediator memahami perannya lebih baik
Sangsi hukum dan profesi bagi para profesional yang berperan dalam melancarkan
tindak korupsi.
Meningkatkan pemeriksaan terhadap peran penyedia jasa keuangan dalam memberikan
kemudahan bagi terjadinya tindak pidana korupsi.

Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
10
Catatan untuk editor: Pada 4 Oktober 2006, TI meluncurkan Indeks Pembayar Suap
(www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/bpi) yang menyoroti sisi supply korupsi,
terutama yang berkenaan dengan kecenderungan perusahaan-perusahaan dari 30 negara
pengekspor terkemuka melakukan suap di luar negeri.

Pada 7 Desember 2006, TI akan meluncurkan Barometer Korupsi Global 2006
(www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/gcb) yang memotret opini publik terhadap
korupsi di lembaga-lembaga pemerintah seperti pengadilan, parlemen, dan kepolisian. Barometer
Korupsi Global ini disiapkan dalam rangka memperingati Hari Anti-Korupsi Internasional, 9 Desember
2006.
















































Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
11


Country
Rank Country / territory
2006 CPI
Score*
Confidence
range**
Surveys
Used***
Finland 9.6 9.4 - 9.7 7
Iceland 9.6 9.5 - 9.7 6
1
New Zealand 9.6 9.4 - 9.6 7
4 Denmark 9.5 9.4 - 9.6 7
5 Singapore 9.4 9.2 - 9.5 9
6 Sweden 9.2 9.0 - 9.3 7
7 Switzerland 9.1 8.9 - 9.2 7
8 Norway 8.8 8.4 - 9.1 7
Australia 8.7 8.3 - 9.0 8 9
Netherlands 8.7 8.3 - 9.0 7
Austria 8.6 8.2 - 8.9 7
Luxembourg 8.6 8.1 - 9.0 6
11
United Kingdom 8.6 8.2 - 8.9 7
14 Canada 8.5 8.0 - 8.9 7
15 Hong Kong 8.3 7.7 - 8.8 9
16 Germany 8.0 7.8 - 8.4 7
17 Japan 7.6 7.0 - 8.1 9
France 7.4 6.7 - 7.8 7 18
Ireland 7.4 6.7 - 7.9 7
Belgium 7.3 6.6 - 7.9 7
Chile 7.3 6.6 - 7.6 7
20
USA 7.3 6.6 - 7.8 8
23 Spain 6.8 6.3 - 7.2 7
Barbados 6.7 6.0 - 7.2 4 24
Estonia 6.7 6.1 - 7.4 8
Macao 6.6 5.4 - 7.1 3 26
Portugal 6.6 5.9 - 7.3 7
Malta 6.4 5.4 - 7.3 4
Slovenia 6.4 5.7 - 7.0 8
28
Uruguay 6.4 5.9 - 7.0 5
31 United Arab Emirates 6.2 5.6 - 6.9 5
Bhutan 6.0 4.1 - 7.3 3 32
Qatar 6.0 5.6 - 6.5 5
Israel 5.9 5.2 - 6.5 7 34
Taiwan 5.9 5.6 - 6.2 9
36 Bahrain 5.7 5.3 - 6.2 5
Botswana 5.6 4.8 - 6.6 6 37
Cyprus 5.6 5.2 - 5.9 4
39 Oman 5.4 4.1 - 6.2 3
40 Jordan 5.3 4.5 - 5.7 7
41 Hungary 5.2 5.0 - 5.4 8
Mauritius 5.1 4.1 - 6.3 5 42
South Korea 5.1 4.7 - 5.5 9
44 Malaysia 5.0 4.5 - 5.5 9
45 Italy 4.9 4.4 - 5.4 7
Czech Republic 4.8 4.4 - 5.2 8
Kuwait 4.8 4.0 - 5.4 5
46
Lithuania 4.8 4.2 - 5.6 6
Latvia 4.7 4.0 - 5.5 6 49
Slovakia 4.7 4.3 - 5.2 8
South Africa 4.6 4.1 - 5.1 8 51
Tunisia 4.6 3.9 - 5.6 5
53 Dominica 4.5 3.5 - 5.3 3
54 Greece 4.4 3.9 - 5.0 7
Costa Rica 4.1 3.3 - 4.8 5 55
Namibia 4.1 3.6 - 4.9 6
Bulgaria 4.0 3.4 - 4.8 7 57
El Salvador 4.0 3.2 - 4.8 5
59 Colombia 3.9 3.5 - 4.7 7
60 Turkey 3.8 3.3 - 4.2 7
Jamaica 3.7 3.4 - 4.0 5 61
Poland 3.7 3.2 - 4.4 8
Lebanon 3.6 3.2 - 3.8 3
Seychelles 3.6 3.2 - 3.8 3
63
Thailand 3.6 3.2 - 3.9 9
Belize 3.5 2.3 - 4.0 3
Cuba 3.5 1.8 - 4.7 3
66
Grenada 3.5 2.3 - 4.1 3
69 Croatia 3.4 3.1 - 3.7 7
Brazil 3.3 3.1 - 3.6 7
China 3.3 3.0 - 3.6 9
Egypt 3.3 3.0 - 3.7 6
Ghana 3.3 3.0 - 3.6 6
India 3.3 3.1 - 3.6 10
70
Mexico 3.3 3.1 - 3.4 7
INDEKS PERSEPSI KORUPSI 2006 Transparency International
Transparency International memberikan
tugas kepada Prof. Dr. J. Graf Lambsdorff
dari Universitas Passau untuk membuat
Tabel CPI. Untuk informasi mengenai data
dan metodologi, harap lihat di website
mengenai pertanyaan yang sering diajukan
dan metodologi di:
www.transparency.org/survey/#cpi atau
www.icgg.org

Catatan Penjelasan

*Score IPK berhubungan dengan persepsi
dari tingkat korupsi menurut para pebisnis
dan analis negara. Nilai atau score dari
index ini berkisar dari angka 10 (paling
bersih) hingga 0 (paling korup).

**Rentang Kepercayaaan (Confidence
Range) adalah sebuah rentang nilai CPI.
Hal ini merefleksikan bagaimana nilai per
negara bervariasi antar satu dengan yang
lainnya tergantung pada tingkat ke-
presisiannya. Secara nominal, dengan 5
% probability nilai index lebih tinggi dari
rata-rata atau sebaliknya. Namun,
dikarenakan keterbatasan sumber ,
estimasi yang tidak bias dari mean
coverage probability adalah lebih rendah
dari nilai nominal sebesar 90%.

***Survey merujuk pada jumlah survey
yang meng-assess kinerja negara. 12
survei dan assessment para ahli
digunakan dan paling tidak 3 diantaranya
dimasukkan dalam CPI

Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
12
Country
Rank Country / territory
2006 CPI
Score*
Confidence
range**
Surveys
Used***
Peru 3.3 2.8 - 3.8 5
Saudi Arabia 3.3 2.2 - 3.7 3

Senegal 3.3 2.8 - 3.7 5
Burkina Faso 3.2 2.8 - 3.6 5
Lesotho 3.2 2.9 - 3.6 5
Moldova 3.2 2.7 - 3.8 7
Morocco 3.2 2.8 - 3.5 6
79
Trinidad and Tobago 3.2 2.8 - 3.6 5
Algeria 3.1 2.7 - 3.6 5
Madagascar 3.1 2.3 - 3.7 5
Mauritania 3.1 2.1 - 3.7 4
Panama 3.1 2.8 - 3.3 5
Romania 3.1 3.0 - 3.2 8
84
Sri Lanka 3.1 2.7 - 3.5 6
Gabon 3.0 2.4 - 3.3 4
Serbia 3.0 2.7 - 3.3 7
90
Suriname 3.0 2.7 - 3.3 4
Argentina 2.9 2.7 - 3.2 7
Armenia 2.9 2.7 - 3.0 6
Bosnia and Herzegovina 2.9 2.7 - 3.1 6
Eritrea 2.9 2.2 - 3.5 3
Syria 2.9 2.3 - 3.2 3
93
Tanzania 2.9 2.7 - 3.1 7
Dominican Republic 2.8 2.4 - 3.2 5
Georgia 2.8 2.5 - 3.0 6
Mali 2.8 2.5 - 3.3 7
Mongolia 2.8 2.3 - 3.4 5
Mozambique 2.8 2.5 - 3.0 7
99
Ukraine 2.8 2.5 - 3.0 6
Bolivia 2.7 2.4 - 3.0 6
Iran 2.7 2.3 - 3.1 3
Libya 2.7 2.4 - 3.2 3
Macedonia 2.7 2.6 - 2.9 6
Malawi 2.7 2.5 - 3.0 7
105
Uganda 2.7 2.4 - 3.0 7
Albania 2.6 2.4 - 2.7 5
Guatemala 2.6 2.3 - 3.0 5
Kazakhstan 2.6 2.3 - 2.8 6
Laos 2.6 2.0 - 3.1 4
Nicaragua 2.6 2.4 - 2.9 6
Paraguay 2.6 2.2 - 3.3 5
Timor-Leste 2.6 2.3 - 3.0 3
Vietnam 2.6 2.4 - 2.9 8
Yemen 2.6 2.4 - 2.7 4
111
Zambia 2.6 2.1 - 3.0 6
Benin 2.5 2.1 - 2.9 6
Gambia 2.5 2.3 - 2.8 6
Guyana 2.5 2.2 - 2.6 5
Honduras 2.5 2.4 - 2.7 6
Nepal 2.5 2.3 - 2.9 5
Philippines 2.5 2.3 - 2.8 9
Russia 2.5 2.3 - 2.7 8
Rwanda 2.5 2.3 - 2.6 3
121
Swaziland 2.5 2.2 - 2.7 3
Azerbaijan 2.4 2.2 - 2.6 7
Burundi 2.4 2.2 - 2.6 5
Central African Republic 2.4 2.2 - 2.5 3
Ethiopia 2.4 2.2 - 2.6 7
Indonesia 2.4 2.2 - 2.6 10
Papua New Guinea 2.4 2.3 - 2.6 4
Togo 2.4 1.9 - 2.6 3
130
Zimbabwe 2.4 2.0 - 2.8 7
Cameroon 2.3 2.1 - 2.5 7
Ecuador 2.3 2.2 - 2.5 5
Niger 2.3 2.1 - 2.6 5
138
Venezuela 2.3 2.2 - 2.4 7
Angola 2.2 1.9 - 2.4 5
Congo, Republic 2.2 2.2 - 2.3 4
Kenya 2.2 2.0 - 2.4 7
Kyrgyzstan 2.2 2.0 - 2.6 6
Nigeria 2.2 2.0 - 2.3 7
Pakistan 2.2 2.0 - 2.4 6
Sierra Leone 2.2 2.2 - 2.3 3
Tajikistan 2.2 2.0 - 2.4 6
142
Turkmenistan 2.2 1.9 - 2.5 4
Belarus 2.1 1.9 - 2.2 4 151
Cambodia 2.1 1.9 - 2.4 6
Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
13
Country
Rank Country / territory
2006 CPI
Score*
Confidence
range**
Surveys
Used***
Cte dIvoire 2.1 2.0 - 2.2 4
Equatorial Guinea 2.1 1.7 - 2.2 3

Uzbekistan 2.1 1.8 - 2.2 5
Bangladesh 2.0 1.7 - 2.2 6
Chad 2.0 1.8 - 2.3 6
Congo, Democratic Republic 2.0 1.8 - 2.2 4
156
Sudan 2.0 1.8 - 2.2 4
Guinea 1.9 1.7 - 2.1 3
Iraq 1.9 1.6 - 2.1 3
160
Myanmar 1.9 1.8 - 2.3 3
163 Haiti 1.8 1.7 - 1.8 3
Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
14
Sumber-Sumber Index Persepsi Korupsi 2006 Transparency International

Number 1 2 3
Abbreviation CPIA EIU FH
Source World Bank (IDA and IBRD) Economist Intelligence Unit Freedom House
Name
Country Policy and Institutional
Assessment
Country Risk Service and Country
Forecast
Nations in Transit
Year 2005 2006 2006
Internet
http://web.worldbank.org/WBSITE/E
XTERNAL/EXTABOUTUS/IDA/0,,c
ontentMDK:20933600~menuPK:26
26968~pagePK:51236175~piPK:43
7394~theSitePK:73154,00.html
www.eiu.com
http://www.freedomhouse.org/research/
nattransit.htm
Who was surveyed?
Country teams, experts inside and
outside the bank
Expert staff
assessment
Assessment by experts originating or
resident in the respective country
Subject asked
Corruption, conflicts of interest,
diversion of funds as well as anti-
corruption efforts and achievements
The misuse of public office for
private (or political party) gain
Extent of corruption as practiced in
governments, as perceived by the
public and as reported in the media, as
well as the implementation of
anticorruption initiatives
Number of replies Not applicable Not applicable Not applicable
Coverage
76 countries (eligible for IDA
funding)
157 countries 29 countries/territories
Number 4 5 6
Abbreviation IMD MIG
Source
IMD International, Switzerland, World Competitiveness Center,
Lausanne, Switzerland
Merchant International Group
Name World Competitiveness Yearbook Grey Area Dynamics
Year 2005 2006 2006
Internet www.imd.ch/wcc www.merchantinternational.com
Who was surveyed?
Executives in top and middle management; domestic and international
companies
Expert staff and network of local
correspondents
Subject asked Bribery and corruption in the economy
Corruption, ranging from bribery of
government ministers to inducements
payable to the humblest clerk
Number of replies More than 4000 Not applicable
Coverage 51 countries 155 countries
Number 7 8 9
Abbreviation PERC UNECA
Source Political & Economic Risk Consultancy
United Nations Economic Commission
for Africa
Name Asian Intelligence Newsletter Africa Governance Report
Year 2004 2006 2005
Internet www.asiarisk.com/ http://www.uneca.org/agr/
Who was surveyed? Expatriate business executives
National expert survey (between 70
and 120 in each country)
Subject asked
How bad do you consider the problem of corruption to be in the country in
which you are working as well as in your home country?
Corruption Control. This includes
aspects related to corruption in the
legislature, judiciary, and at the
executive level, as well as in tax
collection. Aspects of access to justice
and government services are also
involved
Number of replies More than 1,000 More than 1,000 Roughly 2800
Coverage 12 countries 14 countries 28 countries
Number 10 11 12
Abbreviation WEF WMRC
Source World Economic Forum World Markets Research Centre
Name Global Competitiveness Report Risk Ratings
Year 2005/06 2006/07 2005
Internet www.weforum.org www.wmrc.com
Who was surveyed? Senior business leaders; domestic and international companies Expert staff assessment
Subject asked
Undocumented extra payments or bribes connected with various
government functions
The likelihood of encountering corrupt
officials, ranging from petty
bureaucratic corruption to grand
political corruption
Number of replies 10,993 Ca. 11,000 Not applicable
Coverage 117 countries 125 countries 186 countries



Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
15





Umum
Apakah sebenarnya Indeks Persepsi Korupsi?
Indeks Prestasi Korupsi (IPK) Transparency International mengurutkan negara-negara dalam derajat korupsi
tertentu yang terjadi pada para petugas publik dan politikus. Ini merupakan indeks yang padat, yang digambarkan
berdasarkan data yang berhubungan dengan korupsi dalam survei ahli yang dilakukan oleh berbagai lembaga
terkemuka. Indeks ini merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia termasuk para
ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi. Penanggung jawab IPK Transparency International
adalah Johann Graf Lambsdorff, seorang profesor dari universitas di Passau, Jerman.

Untuk tujuan IPK, bagaimana korupsi didefinisikan?
IPK menitikberatkan praktek korupsi di sektor publik dan mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan
jabatan untuk keuntungan pribadi. Pertanyaan-pertanyaan dalam survey IPK lebih ditujukan pada masalah
penyalahgunaan jabatan/kekuasaan untuk keuntungan pribadi, dengan contoh penerimaan suap oleh pejabat
publik dalam pengadaan barang untuk public, penggelapan dana public atau pertanyaan-pertanyaan yang
menyelidiki kekuatan politis anti korupsi. Sumber tidak membedakan antara korupsi secara adiministratif atau
secara politik.

Mengapa IPK didasarkan hanya pada persepsi?
Sangat sulit untuk meletakkan pernyataan komparatif terhadap tingkat korupsi yang berbeda-beda di tiap negara
berdasarkan data empirik yang pelik, misalnya dengan membandingkan jumlah tuntutan atau kasus yang
diadilkan. Data-data yang saling silang antar negara tidak dapat merefleksikan tingkat korupsi yang sebenarnya,
malahan cara seperti ini hanya menyoroti kualitas penuntut, pengadilan dan/atau media dalam mempublikasikan
korupsi. Satu-satunya cara untuk mengumpulkan data komparatif adalah dengan membangun berdasarkan
pengalaman dan persepsi dari pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam menghadapi realita korupsi yang
terjadi dalam suatu negara.

Metode
Berapa banyak Negara yang termasuk dalam IPK?
Mengapa beberapa negara tidak masuk lagi dalam IPK, dan mengapa beberapa negara baru masuk dalam IPK?
TI mensyaratkan setidaknya tiga sumber untuk memasukkan sebuah Negara dalam IPK. Perubahan dalam
ulasan suatu Negara dalam IPK 2006 berhubungan dengan adanya fakta dalam satu sumber baru yaitu the
Worlds Banks Country Policy and Institutional Assessment (CPIA). Sementara dua sumber lainnya yaitu
Columbia Universitys State Capacity Survey dan Information Internationals Survey of Middle Eastern Business
People saat ini telah berusia lebih dari dua tahun dan tidak digunakan lagi dalam IPK tahun ini.

Negara-negara yang di hilangkan dari IPK berdasarkan survei-survei lama tersebut adalah : Afghanistan, Fiji,
Liberia, Palestina dan Somalia. Masukan dari CPIA dan penambahan Negara dalam PERC, bagaimanapun
membuat IPK TI 2006 memasukkan beberapa Negara baru berikut : Bhutan, Republik Afrika Pusat, Dominica,
Timor-Leste, Grenada, Guinea, Macao, Mauritania dan Togo.

Negara mana saja yang mungkin dimasukan pada IPK mendatang?
Negara-negara yang mempunya 2 (dua) set data adalah: Afghanistan, Antigua and Barbuda, Bahamas,
Bermuda, Cape Verde, Cayman Islands, Comoros, Djibouti, Fiji, Guinea-Bissau, Liberia, Maldives,
Palestine, Puerto Rico, Samoa, Sao Tome and Principe, Somalia, St. Lucia, St. Vincent & the
Grenadines, Samoa, Sao Tome & Principe and Somalia. Bagi negara-negara tersebut masih diperlukan
satu set data lagi untuk dapat dimasukkan dalam IPK.

Apakah sumber data IPK?
IPK 2006 diperoleh dari 12 poling yang berbeda dan survey dari 9 lembaga independent. Transparency
International berusaha memastikan bahwa sumber yang digunakan berkualitas tinggi dan survey yang dikerjakan
Pertanyaan-Pertanyaan Yang Sering Muncul

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2006 Transparency International

Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
16
benar-benar dilakukan dengan penuh integritas. Untuk memenuhi kriteria, data harus benar-benar
didokumentasikan dengan baik, dan data tersebut harus cukup untuk mengijinkan penilaian terhadap
keabsahannya. Seluruh sumber harus menyediakan urutan negara-negara dan harus mengukur keseluruhan
tingkat korupsi.

Data tentang IPK telah disediakan oleh TI secara gratis. Beberapa sumber tidak dibenarkan untuk
menyingkapkan data-data yang mereka berikan; sumber lain tersedia publikasinya. Untuk daftar lengkap sumber-
sumber survei, detil pertanyaan yang sering muncul dan jumlah responden pada IPK 2006, harap melihat
dokumen detill pada metodologi IPK pada situs www.transparency.org/surveys/index.html#cpi or www.icgg.org

Opini siapa saja yang diambil oleh survei IPK?
Keahlian yang tercermin dalam nilai IPK menggambarkan suatu pengertian dari praktek korupsi yang dilakukan
oleh negara industri maupun negara berkembang. Survei dilakukan terhadap kalangan usahawan dan pengamat-
pengamat negara. Survei yang digunakan dalam IPK menggunakan dua macam tipe responden, yaitu bukan
penghuni tetap dan penghuni tetap. Sangatlah penting untuk menggarisbawahi hubungan antara pandangan
penghuni tetap dengan pandangan ahli penghuni tidak tetap.

Apakah IPK telah di publikasikan kembali secara luas?
IPK TI telah dikenal secara luas di media internasional sejak pertama kali dipublikasikan pada 1995. IPK telah
meningkatkan kesadaran bahwa penilaian responden dapat dipengaruhi oleh data yang dilaporkan oleh TI
sebelumnya. Hipotesa ini telah diujicoba menggunakan pertanyaan survei yang ditujukan kepada pelaku bisnis di
seluruh dunia. Berdasarkan lebih dari 9000 responden, hasil IPK tidak menyebabkan pelaku bisnis untuk setuju
begitu saja. Hasil IPK dapat memotivasi responden untuk menentukan pandangan mereka sendiri. Hal ini
menunjukkan indikasi kuat bahwa tidak ada bentuk yang sama dalam pendekatan yang sekarang.

Apakah metodologi dalam IPK 2006 mengalami perubahan?
Ada sedikit perubahan dalam metodologi yang digunakan di 2006. IPK 2006 tidak mencerminkan perubahan
rata-rata 3 tahunan, tapi sekarang menggunakan data dua tahunan saja. Bahkan, IPK 2006 menggunakan data
hanya dari 2005 dan 2006. Alasan untuk perubahan metodologi ini adalah untuk lebih menggantungkan pada
data yang menjadi pokok pembicaraan saja. Namun perubahan ini tidak membuat IPK menjadi sebuah ukuran
untuk kebijakan anti korupsi yang up to date, ini dapat mengembangkan kemampuan penilaian individu tiap
negara untuk merefleksikan pembangunannya yang sekarang, tanpa merendahkan ketelitian pengukuran.

Bagaimana TI memastikan kualitas dari IPK?
Metodologi IPK di reviewed oleh Index Advisory Committee yang mengepalai ahli-ahli internasional dalam bidang
korupsi, econometrics dan statistic. Anggota-anggota dari komite memberikan saran-saran untuk
mengembangkan IPK, tapi manajemen TI yang mengambil keputusan akhir dalam penggunaan metodologi.

Penerjemahan IPK
Mana yang lebih penting, peringkat suatu Negara atau nilai IPKnya?
Peringkat negara memudahkan TI untuk membuat indeks, tetapi nilai IPK suatu negara merupakan indikasi yang
lebih penting dalam menentukan tingkat korupsi sebuah negara. Peringkat suatu negara dapat dengan mudah
berubah karena negara-negara baru masuk ataupun keluar dari indeks.

Apakah negara dengan nilai paling rendah sebagai negara paling korup?
Tidak. Negara dengan nilai terendah adalah negara yang diobservasi paling korup di antara negara-negara lain
yang berada dalam IPK. Terdapat hampir 200 negara di dunia, dan pada IPK 2006 ini hanya mengurutkan 163
negara. IPK tidak menyediakan informasi tentang negara-negara yang tidak termasuk dalm list.

Contoh : Apa yang dinyatakan secara tak langsung dari nilai negara Haiti dalam IPK 2006?
Korupsi di Haiti telah dirasakan sebagai yang terbesar dalam IPK 2006. Bagaimanapun ini tidak berarti
mengindikasikan bahwa Haiti adalah Negara terkorup atau warga Haiti adalah manusia terkorup. Selagi korupsi
merupakan satu tantangan yang menakutkan bagi pemerintahan yang bersih, pembangunan dan pengurangan
kemiskinan di Haiti, mayoritas penduduk hanyalah korban dari korupsi. Korupsi yang dilakukan oleh segelintir
Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
17
orang yang berkuasa dan kegagalan pemimpin serta institusi untuk mengontrol ataupun mencegah korupsi
tidaklah berakibat suatu Negara ataupun penduduknya paling korup.
Dapatkah nilai IPK 2006 dibandingkan dengan nilai IPK pada tahun-tahun sebelumnya?
Indeks pada dasarnya menyediakan sebuah gambaran pendapat kalangan usahawan dan pengamat negara
untuk tahun ini, dengan fokus yang berubah-ubah terhadap kecenderungan dari tahun-ke tahun. Jika
dibandingkan dengan yang dibuat tahun lalu, seharusnya didasarkan hanya pada nilai suatu Negara, bukan
rankingnya.

Meskipun demikian, perubahan nilai suatu negara dari tahun ke tahun diakibatkan tidak hanya dari perubahan
persepsi terhadap performa suatu Negara tetapi juga dari perubahan sample dan metodologi IPK. Satu-satunya
cara yang bisa dipercaya untuk membandingkan nilai suatu negara adalah kembali kepada sumber-sumber
survei, dimana setiap dari mereka dapat merefleksikan perubahan dalam penilaian.

Mengapa tidak ada perubahan nilai IPK yang berarti dalam suatu negara, meskipun ada kekuatan (atau
kelemahan) reformasi anti korupsi, ataupun ada pemberitaan kepada publik mengenai skandal korupsi?
Sangatlah sukar untuk meningkatkan nilai IPK dalam jangka waktu yang pendek. IPK 2006 didasarkan pada data
2 tahun sebelumnya, dihubungkan dengan persepsi yang telah tercipta di masa lalu. Hal ini berarti perubahan
persepsi korupsi hanya akan tampak dalam IPK dalam jangka waktu yang cukup lama.

Perubahan dalam nilai antara 2005 dan 2006
Negara-negara mana yang urutannya menurun antara tahun 2005 dan 2006?
Membuat perbandingan dari tahun ke tahun merupakan hal yang cukup sulit, dengan alasan yang telah
disebutkan diatas. Namun demikian bila perubahan-perubahan yang terjadi dapat ditelusuri berdasarkan sumber-
sumber individual, tren dapat diidentifikasi secara hati-hati. Contoh penting dari negara-negara yang mengalami
tren penurunan nilai dari tahun 2005 sampai 2006 adalah Brazil, Cuba, Israel, Jordan, Laos, Seychelles, Trinidad
& Tobago, Tunisia and the United States. Pada kasus ini, perubahan persepsi yang sebenarnya telah terjadi
selama 2 tahun terakhir ini.

Negara-negara manakah yang paling membaik dibanding tahun lalu?
Dengan pengaplikasian pola yang sama, sesuai data dari sumber-sumber yang secara konsisten digunakan
dalam indeks, perbaikan terjadi dari tahun 2005 sampai 2006 di negara for Algeria, Czech Republic, India, Japan,
Latvia, Lebanon, Mauritius, Paraguay, Slovenia, Turkey, Turkmenistan and Uruguay.

Penggunaan IPK
Apakah IPK merupakan alat yang dapat dipercaya dalam mengukur tingkat persepsi korupsi?
Terkait dengan persepsi korupsi, IPK merupakan alat ukur yang solid. IPK telah ditest dan digunakan secara luas
baik oleh akademisi maupun analis. Kebenarannya beragam, namun dalam konteks antar negara. Negara
dengan sumber yang terbatas dan perbedaan dalam nilai-nilai yang cukup lebar dari sumber (diindikasikan
dengan Standar Deviasi yang besar) mengurangi ketepatan terhadap nilai dan urutan negara-negara tersebut;
sebaliknya juga merupakan masalah.

Apakah IPK merupakan ukuran yang dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan terhadap alokasi
bantuan?
Kebanyakan pemerintah mulai berpikir apakah berguna untuk menggunakan nilai korupsi dalam menentukan
apakah suatu negara dapat menerima bantuan. TI tidak mendorong penggunaan IPK dengan cara demikian.
Negara-negara yang dinilai sangat korup tidak seharusnya dihukum berdasarkan tingkat korupsi yang tinggi.
Mereka memerlukan bantuan, khususnya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan akibat korupsi. Apabila sebuah
negara diyakini korup tetapi bersedia mengadakan perubahan, ini seharusnya merupakan sinyal bagi donatur
bahwa investasi diperlukan untuk memerangi korupsi melalui pendekatan sistematis. Dan apabila donatur
bermaksud mendukung proyek-proyek utama pembangunan di negara-negara korup, mereka seharusnya
mencermati bendera merah korupsi dan memastikan proses kontrol yang tepat diberlakukan guna membatasi
praktek sogok-menyogok.


Transparency International Corruption Perceptions Index 2006
18
IPK Transparency International dan perlawanan terhadap korupsi

Bagaimana pembiayaan untuk IPK?
Transparency International dibiayai oleh berbagai agency pemerintah, lembaga-lembaga internasional dan
perusahaan-perusahaan yang mendukung secara financial sehingga survey dapat dilakukan. Dukungan
tambahan untuk alat pengukur TI datang dari Ernst & Young. TI tidak mendukung kebijakan suatu perusahaan
meskipun telah menerima bantuan keuangan, dan tidak melibatkan perusahaan tersebut dalam manajemen
proyek. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang dukungan untuk TI, silahkan lihat
http://www.transparency.org/support_us.

Apa perbedaan antara IPK dan Barometer Korupsi Global Transparency International?
IPK menilai tingkat persepsi korupsi berbagai negara, sementara Barometer Korupsi Global (lihat
http://www.transparency.org/surveys/index.html#barometer) lebih melihat pada sikap dan pengalaman
masyarakat umum terhadap korupsi.

Apa perbedaan antara IPK dan Indeks Pembayar Suap Transparency International?
Sementara IPK mengindikasikan tingkat korupsi secara keseluruhan di berbagai Negara, Indeks Pembayar Suap
lebih melihat pada kecenderungan perusahaan-perusahaan dari negara-negara atau wilayah pengekspor
terkemuka melakukan suap dalam transaksi mereka di luar negeri yang menciptakan pihak pemasok korupsi.
Indeks Pembayar Suap terkini dipublikasi pada bulan Oktober 2006 dan dapat dilihat pada situs:
http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/bpi

Anda mungkin juga menyukai