Anda di halaman 1dari 15

Bagaimana Sistem Imun Bekerja Untuk Kita ?

Tahukan anda bagaimana kerja sistem imun dalam menjaga kita tetap sehat ?
Ketika bakteri, virus atau jamur memasuki tubuh kita, lusinan sel imun, molekul dan zat kimia tubuh segera
beraksi dan saling bekerja sama untuk menghancurkan para penyerbu tersebut berikut sel-sel yang telah
terinfeksi yang bisa menjadi kanker. Saat para penyerbu telah dihancurkan, para prajurit sistem imun akan
menurunkan aktifitasnya dan kemudian tenang kembali. Jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah
penyakit autoimun seperti Lupus, MS, Diabetes tipe 1, Crohn, rheumatoid arthritis, dan lebih dari 100 penyakit
autoimun lainnya.
Contoh kasus bagaimana sistem imun tubuh bekerja bagi kita
1. Misalnya pada waktu tangan kita tersayat pisau, segala macam bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh
melalui kulit yang terbuka tsb. sistem imun tubuh kita langsung meresponnya dan menghalau penyerang itu
sambil kulit berusaha untuk menyembuhkan dirinya dan menutup lukanya. Kadang-kadang kuman yang harus
dihadapi lebih banyak dan sistem imun kita dalam kondisi tidak optimal sehingga ada kuman bisa juga lolos.
Maka jadilah luka yang infeksi, bernanah dan bengkak. Nanah dan bengkak itu juga menandakan bahwa sistem
imun tubuh kita sedang terus bekerja.
Pada umumnya, sistem imun bekerja dengan baik dalam mempertahankan kesehatan tubuh, akan tetapi
kadangkala jika ada gangguan dengan sistem imun inilah yang bisa menyebabkan Anda menjadi sakit ataupun
bahkan terserang infeksi oleh mikroba.
Contohnya, Ketika seseorang terluka, bisa jadi berbagai macam virus ataupun bakteri masuk ke dalam badan
melalui robekan luka tersebut dan respons dari sistem imun inilah yang menghilangkan para penyerbu asing
yang masuk ke dalam tubuh tersebut serta menyembuhkan kulit yang terluka itu.
Bahkan saat kita memakan sesuatu, mungkin banyak bakteri yang ikut masuk ke dalam tubuh kita akan tetapi
kebanyakan dari mereka mati karena saliva (air liur) kita atau asam lambung yang mempunyai tingkat
keasaman rendah. Inipun merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh kita yang memiliki sistem imun
yang baik.
Tugas sistem imun kita terlihat sederhana tetapi sangat besar pengaruhnya untuk tubuh kita; selain membuat
pertahanan tubuh terhadap kuman, sistem imun kita akan mendeteksi dan mencoba menghilangkan kuman di
dalam tubuh kita bila sampai mereka masuk ke dalam tubuh sebelum mereka melakukan pengerusakan pada
tubuh kita, dan yang terpenting jika sampai kuman tersebut masuk sehingga menyebabkan masalah dalam
tubuh, maka sistem imun inilah yang menjadi tentara dan bekerja keras menghilangkan kuman tersebut.
Kunci utama sistem imunitas yang sehat adalah suatu kemampuan untuk membedakan antara diri sendiri dan
benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing yang masuk ke dalam tubuh dikenali
maka akan terjadi proses pertahanan diri.
Benda asing apapun yang memicu respons imun ini disebut antigen. Antigen bisa berupa mikroba seperti
bakteri, virus, plasmodium, dan jamur; bahkan jaringan tubuh individu lain yang masuk ke dalam tubuh seperti
transplantasi organ tubuh bisa saja diperlakukan sebagai benda asing dan bisa menyebabkan reaksi penolakan
tubuh. Inilah sebab banyaknya organ transplantasi yang tidak bisa diterima tubuh dan dirusak oleh sistem
imun kita.
Secara umum, mekanisme kerja sistem imun tubuh kita adalah sebagai berikut; saat ada antigen (benda asing
yang masuk ke dalam tubuh) terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa
mereka dan memberikan respons. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi, suatu protein
khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik.
Contohnya bila seseorang pernah terkena cacar maka biasanya individu tersebut tidak terkena penyakit yang
sama lagi atau seandainya terjangkit tidak akan memberikan komplikasi yang fatal serta cepat pulih. Hal ini
juga merupakan mekanisme bagaimana imunisasi mencegah penyakit tertentu. Sebuah imunisasi
mengenalkan tubuh terhadap antigen dengan cara yang tidak membuat sakit, tapi cukup untuk membuat
tubuh memproduksi antibodi yang akan melindungi seseorang dari serangan penyakit tersebut di masa depan.
Antibodi sendiri bisa menetralisir toksin yang diproduksi dari berbagai macam organisme, dan juga antibodi
bisa mengaktivasi kelompok protein yang disebut komplemen yang merupakan bagian dari sistem imun dan
membantu menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel yang terinfeksi.
PEMBENGKAKAN
Apabila anda terluka, berbagai jenis bakteri dan virus masuk kedalam tubuh melalui kulit yang luka. Namun
kulit akan sembuh dengan sendirinya dan menutup daerah yang luka itu. Hal itu karena sistem imun telah
bekerja menyerang balik bakteri dan virus menghilangkannya.
Kadangkala tubuh gagal mengatasi bibit penyakit yang masuk lewat kulit tersebut. Akibatnya luka itu akan
dijangkiti bibit penyakit. Tandanya, luka itu akan membengkak dan bernanah.
Namun pada tahap itu, sistem imun masih bisa melindungi anda. Bengkak dan nanah adalah dampak dari
reaksi sistem imun. Nanah adalah campuran darisel darah putih yang telah mati dan mikro-organisme yang
telah dibunuh. Bengkak membawa lebih banyak darah dan mengembangkan dinding kapiler agar lebih
banyak sel sistem imun yang berperang di daerah penyakit.
Berbagai bentuk mikroorganisme penyebab infeksi dapat menimbulkan penyakit, yang bila dibiarkan
berkembang biak, bahkan dapat membunuh pejamu. Respons imun yang dibutuhkan sangat bervariasi. Letak
infeksi serta tipe patogen akan menentukan respons imun mana yang efektif. Di antara patogen terdapat yang
dapat mengadakan invasi ke dalam sel pejamu.
Manifestasi penyakit infeksi bukan hanya merupakan akibat langsung ulah patogen mikrobial, namun juga
interaksinya dengan sistem imun pejamu. Macam respons imun dan penyebab infeksi akan menentukan
apakah penyakit menjadi akut atau berkepanjangan. Respons imun pada anak terkait dengan usia, manifestasi
serta outcome infeksi tertentu tergantung pada status perkembangan anak. Status imun bayi dapat
dimodifikasi oleh faktor-faktor maternal yang ditransfer selama kehidupan intrauterine melalui placenta dan
selama masa bayi melalui kelenjar susu.2
Respons imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler berbeda. Sistem imun pada patogen
ekstraselular ditujukan untuk menghancurkan patogen serta menetralisir produknya, pada patogen
intraseluler sel T dapat menghancurkan sel yang terinfeksi, dalam kata lain sitotoksik, atau dapat mengaktivasi
sel untuk menghadapi patogen.
Pada infeksi bakteri antibiotik digunakan secara luas sebagai obat-obat bakteriostatik atau bakteriosidik,
namun infeksi bakteri intraseluler belum dapat tertangani dengan mantap. Hal ini ini sebagian berasal dari
ketidak-mampuan obat untuk mencapai organisme penyebab dan/atau bekerja secara efektif dalam
lingkungan intraseluler.
Dalam usaha menyikapi infeksi bakteri intraseluler dan memilih antibiotik, perlu pemahaman tentang respons
pejamu terhadap infeksi, pertimbangan usia, penyakit dasar, farmakodinamik/farmakokinetik antimikroba
yang diseleksi, distribusi dalam jaringan, interaksi obat, lokasi patogen dalam kompartemen subseluler, sitokin
serta keterkaitannya dengan antibiotik, demi tercapainya efikasi obat tersebut. Memahami respons pejamu
merupakan juga cikal bakal imunisasi bila terjadi resistensi antibiotik.
BAKTERI INTRASELULERSecara umum bakteri yang dapat masuk dan tetap hidup dalam sel eukariositik
terlindung dari antibodi humoral dan hanya dapat dieliminasi oleh respons imun seluler. Bakteri ini harus
memiliki mekanisme khusus untuk memproteksi dirinya dari dampak ensim-ensim lisosomal dalam sel.
Terdapat 3 kelompok bakteri dipandang dari sisi kemampuan invasi ke dalam sel eukariositik yaitu bakteri
intraseluler fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan bakteri ekstraseluler. Termasuk dalam kelompok
intraseluler fakultatif adalah Salmonella spp, Shigella spp, Legionella pneumophili, Invasive Escherichia coli,
Neisseria spp, Mycobacterium spp, Listeria monocytogenes, Bordetella pertussis. Dalam kelompok intraseluler
obligat termasuk Rickettsia spp, Coxiella burnetti, Chlamydia spp. Sebagai contoh bakteri ekstraseluler adalah
Mycoplasma spp, Pseudomonas aeruginosa, Enterotoxigenic Escherichia coli, Vibrio cholerae, Staphylococcus
aureus, Streptococcus pyogenes, Haemophylus influenzae, Bacillus anthracis.
RESPONS PEJAMU TERHADAP INFEKSI
Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan berbagai cara. Pertama,
pertahanan non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada kontak
pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons non-adaptif dini penting untuk
mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan terhadapnya, sampai terbentuk respons imun
adaptif. Respons imun adaptif memerlukan waktu beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus
menemukan antigen spesifik untuk mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons
sel B yang tergantung pada sel T (T-cell dependent B-cell responses) tidak akan dapat dimulai sebelum sel
mempunyai kesempatan untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi.
Terdapat perbedaan mendasar antara respons imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler. Bagi
patogen ekstraselular sistem imun ditujukan untuk menghancurkan pathogen-nya sendiri serta menetralisir
produknya. Dalam merespons patogen intraseluler terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik
menghancurkan sel yang terinfeksi, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen tersebut. Sebagai
contoh, adalah sel penolong T (helper T cells) melepas sitokin yang akan mengaktivasi makrofag untuk
menghancurkan organisme yang telah mengalami endositosis.
Banyak patogen memiliki fase infeksi intraseluler dan ekstraselular, dan mekanisme respons imun yang efektif
akan berbeda dari waktu ke waktu.
Berikut akan dibicarakan sekilas tentang respons imun secara umum.
Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)
Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan mikroba sebelumnya; dengan kata lain
merupakan pertahanan pertama bagi tubuh.
Respons innate tidak spesifik, dan berlaku bagi setiap patogen. Respons terhadap bakteri yang mengadakan
invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan, sel, bahan-bahan yang terlarut merembes
keluar dari darah menuju jaringan. Kejadian ini disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta demam.
Inflamasi bertujuan memusatkan agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi sel-
sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan bermigrasi menuju tempat infeksi
sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants) yang dilepaskan di tempat tersebut.
Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel fagosit mengenali, menelan (engulf), serta menghancurkan
patogen. Darah juga mengandung rangkaian protein terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat
melubangi membran plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan kematian sel. Respons imun innate terutama
efektif terhadap bakteri tertentu, yang pada dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera
dikenali sel pejamu sebagai asing.
Pada respons innate terhadap patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel yang sudah
terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik, disebut sel natural killer (NK). Sesuai
dengan namanya, sel NK mengakibatkan kematian sel yang terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi
menuju apoptosis. Sel NK juga membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi dengan mekanisme
menghancurkan sel sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas)
mengandung molekul permukaan yang melindungi terhadap serangan sel NK.7
Respons antivirus lain dimulai dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi interferon-
(IFN-) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan terikat pada permukaan sel yang tidak
terinfeksi sehingga kebal terhadap infeksi berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah dengan cara
mengaktivasi suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi faktor elF2.
Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein virus yang diperlukan untuk replikasi virus.7
Respons Imun Adaptif
Respons imun adaptif memerlukan waktu agar dapat mempersiapkan sistem imun untuk menghadapi agen
asing. Respons ini sangat spesifik, dan hanya ditujukan untuk molekul-molekul yang spesifik pada bahan-bahan
asing. Sebagai contoh, darah seseorang yang baru sembuh dari sakit campak mengandung antibodi yang
mengadakan reaksi dengan virus campak. Berbeda dengan imunitas innate terhadap mikroba dan parasit yang
dimiliki oleh semua binatang, hanya vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif.
Respons imun didapat dibagi dalam 2 kategori yaitu imunitas humoral, yang dilaksanakan oleh antibodi
(protein dalam darah yang tergolong dalam superfamili imunoglobulin), dan imunitas dimediasi sel, yang
dilaksanakan oleh sel.
Kedua tipe imunitas didapat ini dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit berinti, yang beredar di antara darah dan
organ limfoid. Imunitas humoral dimediasi oleh sel-B (limfosit-B), yang setelah diaktivasi mengsekresi antibodi.
Antibodi ditujukan terutama pada pada bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk disini komponen protein dan
polisakharida dinding sel bakteri, toksin bakteri, dan protein sampul virus. Dalam beberapa kasus antibodi
dapat terikat pada toksin bakteri atau partikel virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke dalam sel
pejamu. Selain itu antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang terikat pada patogen yang masuk dan
menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri yang dilapisi molekul antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang
berkeliling (wandering) atau dihancurkan molekul komplemen yang diangkut dalam darah. Antibodi tidak
efektif untuk patogen intraseluler, sehingga diperlukan sistem senjata tipe ke dua.
Imunitas dimediasi sel dilaksanakan oleh limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi dapat secara spesifik mengenal
serta membunuh sel terinfeksi (atau asing).Sel Penolong T 1 (T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T Helper 2)
Berikut akan dibahas sekilas tentang sel-sel T yang berperan sebagai penghantar imunitas yang dimediasi sel
dalam respons imun adaptif yang digunakan untuk mengontrol patogen intraseluler serta meregulasi respons
sel B. Dalam proses ini termasuk aktivasi sel imun lainnya dengan pelepasan sitokin.
Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan
CD8. Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga dikenal sebagai sel T penolong, penghasil sitokin terbanyak.
Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan
sitokin tipe Th2. Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung jawab
terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun. Termasuk dalam sitokin tipe Th1 ini
terutama interferon gamma, selain interleukin-2, serta limfotoksin- yang merangsang imunitas tipe 1,
ditandai aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan
jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal
berlebih yang dimediasi Th1 ini, yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini
adalah interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respons eosinofilik dalam atopi, dan juga interleukin-
10, dengan respons yang lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai dengan
kadar antibodi tinggi.
Bagi kebanyakan infeksi, imunitas tipe 1 bersifat protektif, sedang respons tipe 2 membantu resolusi inflamasi
yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat, imunosupresi, atau inokulasi mikrobial yang berlebihan
(overwhelming) mengakibatkan sistem imun meningkatkan respons tipe 2 terhadap infeksi yang seyogyanya
dikendalikan oleh imunitas tipe
Apakah prekursor sel-T penolong akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada beberapa faktor, yaitu
yang dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan kuantitas patogen, route infeksi, pengaruh komponen
imunomodulator serta infeksi bersamaan, serta faktor pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T
yang merespon, kompleks histokompatiliti mayor haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan antigen,
serta lingkungan sitokin sel-T selama dan pasca aktivasi.
Cytokine-Signaling pada Respons Imun
Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif), dan merupakan alat komunikasi antar
sel yang prinsipiil tentang adanya invasi bakteri. Sitokin yang memulai repons inflamatori dan menentukan
besaran serta sifat respons imun yang didapat. Pada penderita sakit berat respons terhadap injuri / patogen
yang mengadakan invasi sebagian besar tergantung pada pola sitokin yang diproduksi. Respons imun
bervariasi dari respons proinflamatori yang hebat, ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-, interleukin-
1, interferon-, dan, IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi sitokin Th2, seperti IL-10 dan
IL-4.
Regulasi cytokine signaling pada respons imun dapat diringkas sebagai berikut:
Respons imun spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang memediasi: imunitas humoral
dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel terutama dimediasi limfosit T. Selanjutnya sel T efektor dibagi
menjadi sel T sitotoksik (CD8+) atau sel T helper (CD4+). Sel CD8+ melakukan killing terhadap sel sasaran
(target) yang terinfeksi dengan cara melepas lytic granula (perforin, granzymes) atau dengan cara induksi
produksi (FasL) atau TNF-, yang melalui ikatan dengan reseptornya memulai suatu kaskade bunuh diri sel
menuju apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4+ dapat berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel efektor: Th1 dan Th2,
tergantung pada pola pelepasan sitokin. Sel Th2 mengsekresi IL-4, IL-5, dan IL-10, kesemuanya mengaktivasi
proliferasi sel B serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain sel Th1 mengsekresi IFN-, yang merupakan
sitokin macrophage-activating primer.
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler antara lain tergantung pada lokasi bermukimnya
patogen tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri berada dalam fagosom, namun kejadian
selanjutnya tergantung pada strategi untuk mempertahankan hidup bagi bakteri masing-masing. Penyesuaian
aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup
atau mati. Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan antimikrobial fagosit,
sehingga pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak mempunyai
mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan fusi dengan kompartemen lisosom,
dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit. Berbagai bakteri memiliki strategi yang berbeda-beda untuk
memagari diri terhadap intracellular killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes). Patogen
dapat mengadakan replikasi dalam sitoplasma (cytosolic pathogens), termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu
terdapat patogen yang berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella pneumophila,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium, Listeria monocytogenes.14,15
Intracellular Killing
Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi secara luas, dan dapat
dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-oksidatif. Mekanisme oksidatif dimediasi oleh produksi
reactive oxygen intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs
membekali fagosit dengan aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel
tumor. Dalam mekanisme non-oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional
deprivation ) dan perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur oksidatif dan non-
oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi terwujudnya suatu lingkungan yang tidak
menunjang bagi kehidupan patogen selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat
mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi
intraseluler.16
Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam
mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu.
Cara kerja sitokin pada lalu lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan jelas. Sitokin-sitokin tertentu
dapat menyebabkan Listeria monocytogenes, Mycobacterium avium, Legionella pneumophila, dan Chlamydia
spp tidak dapat lolos dari sasaran dalam lisosom.17,18 Sebagai contoh, interferon- menghalangi L.
monocytogenes untuk melarikan diri ke dalam 7
sitosol dan mengurung bakteri dalam vakuol fagosom yang asidik,17 sehingga menjadi lebih sensitif terhadap
efek toksik ROIs dan RNIs. Interferon- juga mempercepat pematangan sepenuhnya fagosom yang
mengandung M. avium, dan L. pneumophila dan fusinya dengan lisosom. Ini terjadi melalui asidifikasi fagosom,
yang berhubungan dengan peningkatan proton ATP-ase dalam fagosom, sehingga dapat membunuh bakteri
lebih banyak.
Produk respiratory burst dan nitric oxide (NO) memegang peran penting dalam proses mikrobisidal oksidatif
dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah produk oksigen toksik dan NO yang dibebaskan oleh sel-sel
fagositik tergantung pada derajat diferensiasi sel dan sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya sitokin
Th1 menyesuaikan respiratory burst dalam monosit, makrofag, dan neutrophil secara positif, sedang sitokin
Th2 sebaliknya.
Interferon- (profil Th1) meningkatkan oxidative burst dan produksi NO oleh sel-sel fagositik, serta mempunyai
peran dalam membunuh patogen intraseluler melalui produksi ROIs dan RNIs yang toksik. Sebagai contoh,
produksi ROIs yang diinduksi oleh interferon-, oleh berbagai makrofag dan jajaran sel makrofag berperan
serta dalam membunuh Listeria monocytogenes,17,19 Leishmania infantum, Penicillium marneffei, dan
Candida albicans. Produksi NO yang diinduksi interferon-, oleh fagosit dan sel fagosit non-profesional bersifat
mikrobisidal terhadap Listeria monocytogenes,17-19 Brucella spp, Pneumocystis carinii, Bordetella
pertussis,20 Rickettsia prowazekii, Mycobacterium avium, Pseudomonas aeruginosa, serta patogen fungi.
Sitokin lain seperti TNF-,(19) IL-12,(10) TNF-,(21) IL-21, granulocyte colony- stimulating factor dan
granulocyte-macrophage colony- stimulating factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO
yang dilepaskan oleh sel-sel fagositik.
Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative burst dalam fagosit, sehingga
menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis penyakit infeksi. Sebagai contoh, IL-4
menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan superoksida dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan
IFN- atau TNF-), dan menekan aktivitas antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida albicans.
Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan fagositosis yang dimediasi reseptor mannose,14 mekanisme yang dianut
patogen untuk menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan sitokin lain
yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida, mengurangi imunitas
antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella pneumophila dalam fagosit
manusia dan membalik efek protektif interferon- terhadap patogen ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas
bakterisidal monosit manusia terhadap Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut
penting karena mengurangi oxidative burst agar jaringan normal terlindung dari kerusakan yang disebabkan
ROIs serta RNIs yang toksik, namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.
Intracellular killing patogen intraseluler dengan mekanisme perampasan nutrien antara lain adalah cara
pengosongan asam amino esensial dan zat besi, yang diinduksi oleh sitokin. Ini merupakan cara efisien bagi
fagosit untuk mengendalikan serta membunuh patogen. Dengan demikian sel-sel yang diaktivasi menghambat
replikasi Chlamydia psittaci, Chlamydia pneumoniae (22) dan enterococci dengan cara menginduksi
katabolisme triptofan melalui indolamin-2,3-dioxygenase.
Pengosongan triptofan dalam makrofag secara aktivasi interferon- dan TNF- juga menghambat
pertumbuhan Streptokokus grup B. Dengan suplementasi triptofan tidak terjadi hambatan pertumbuhan
bakteri. Pembunuhan yang dimediasi interferon- terhadap Bordetella pertussis oleh makrofag alveolar,
terjadi sedikitnya sebagian melalui induksi tryptophan-degrading enzymes dan pengosongan zat besi.20
Makrofag manusia yang telah diaktivasi interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan
cara meregulasi ke bawah (downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi
dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan kadar zat
besi dalam makrofag.15
Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial protein), merupakan
peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2 kelas, dan , berperan dalam pertahanan
tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya
defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1, interferon-, dan
TNF-. Defensin mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium,
Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul.23
Survival Bakteri Intraseluler
Di antara bakteria intraseluler, obligatori dan fakultatif, banyak yang lambat laun memiliki mekanisme untuk
menghindari atau melawan efek mikrobisidal fagosit, sehingga dapat bertahan hidup di dalamnya. Mekanisme
resistensi bakteri terhadap intracellular killing bermacam-macam, antara lain dengan mengsekresi eksotoksin
yang membunuh fagosit dan membantu melawan atau mencegah fagositosis.24,25 Bakteria tertentu dapat
memodifikasi intracellular endocytic traffic yang mentargetkan bakteri pada destruksi fagolisosomal, untuk
selanjutnya bermukim dalam fagosit profesional. Patogen yang memiliki pore-forming cytolysins dapat
melarikan diri dari fagosom, dan terdapat patogen yang mengadakan replikasi dalam fagosom yang tidak
diasamkan (nonacidified), serta terlindung dari fusi dengan lisosom pada fagosit tidak teraktivasi (non-
activated phagocytes). Bakteria fagolisosomal tertentu menyesuaikan untuk melawan aktivitas antimikrobial
hydrolase serta 9
keasaman (pH) yang rendah dalam lisosom.16 Bakteri tertentu mampu menekan produksi metabolit sitotoksik
sel fagosit, sedang bakteri lain dilengkapi dengan protein antioksidan sehingga dapat melawan efek ROIs dan
RNIs , selanjutnya mengganjal fungsi antimikrobial fagosit. Mekanisme lain dengan menghambat produksi
sitokin inflamatori yang terkait dengan pembersihan patogen, atau menginduksi produksi sitokin
imunoregulatori seperti interleukin-10 sehingga terjadi deaktivasi fagosit.26 Bakteri dapat pula meningkatkan
survival dengan mengubah ekspresi gen.16
Atas dasar fakta-fakta tersebut, dalam keadaan tertentu pejamu tidak mampu mengendalikan atau
mengeradikasi agen infeksi, meskipun terdapat respons imun yang efisien. Diperlukan antibiotik, terutama
yang dapat bekerjasama dengan imunitas adaptif maupun non-adaptif.
PEMILIHAN ANTIMIKROBA PADA INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Pengobatan infeksi bakteri intraseluler merupakan tantangan dipandang dari segi medis dan ekonomi. Patogen
yang berkembang dan mempertahankan diri dalam sel, sedikit banyak terlindung dari pertahanan tubuh
humoral dan seluler, bahkan demikian pula halnya terhadap antibiotik. Kesemuanya ini dapat menerangkan
mengapa bakteri intraseluler tidak hanya merugikan bagi sel pejamu, namun juga merupakan reservoir bagi
terulangnya infeksi dan terjadinya re-infeksi. Oleh karena dampak antibiotik pada bakteri intraseluler tidak
dapat dicapai secara maksimal, hal ini akan menunjang terjadinya mutan yang resisten. Pertimbangan-
pertimbangan ini menekankan betapa pentingnya memahami apakah antibiotik dapat bekerja dan seberapa
jauh efek tersebut pada bakteri intraseluler, parameter farmakokinetik serta farmakodinamik mana yang
diperlukan untuk menunjang kerja antibiotik, serta atas dasar kesemuanya bagaimana pemberian kemoterapi
yang lebih baik.28 Perlu diingat pula bahwa pada anak variasi yang luas dalam hal usia dan tingkat
perkembangan berhubungan erat dengan farmakokinetik serta farmakodinamik antibiotik.29 Hanya kadar
antibiotik bebas dalam jaringan pada daerah target, biasanya lebih rendah dari kadar plasma total, yang
menentukan outcome klinik terapi anti-infeksi.30
Mekanisme Kerja Antimikroba
Antibiotika yang termasuk dalam masing-masing pengelompokan menurut mekanisme kerja ini adalah sebagai
berikut: sebagai inhibitor terhadap sintesis dinding sel adalah penisilin dan sefalosporin, yang mempunyai
struktur sama. Yang tidak sama strukturnya adalah kelompok cycloserin, vancomycin, bacitracin, antifungus
azole (miconazole, ketoconazole, clotrimazole). Antibiotika yang langsung bekerja pada membran sel mikroba,
cenderung mempengaruhi permeabilitas serta mengakibatkan kebocoran isi sel adalah detergen, polymyxin,
antifungus polyene yaitu nystatin dan amphotericin B, yang 10
mengikat sterol dinding sel. Dalam kelompok yang mempengaruhi sintesis ribonukleat dibagi menjadi dua,
yaitu yang mempengaruhi fungsi subunit ribosome 30 S atau 50 S dengan akibat hambatan pada sinesis
protein yang reversibel (kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, dan klindamisin, pristinamycin), serta yang
mengikat subunit ribosome 30 S dan merubah sintesis protein, bahkan dapat berakibat kematian sel
(aminoglikosida). Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat adalah rifamycin (misalnya
rifampin), yang menghambat RNA polymerase, dan quinolone, yang menghambat topoisomerase. Kelompok
antimetabolit adalah trimethoprim dan sulfonamid, yang memblokir ensim esensial bagi metabolisme folat.
Dalam kelompok antivirus termasuk analog asam nukleat adalah acyclovir dan ganciclovir, yang selektif
menghambat DNA polymerase virus, zidovudin atau lamivudine, yang menghambat reverse transcriptase,
serta nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors, seperti nevirapine atau efavirenz, dan inhibitor ensim
virus lain misalnya inhibitor HIV protease atau influenza neuraminidase.31
Pengamatan bahwa antibiotik tertentu mempunyai efek bakterisidal tinggi dalam sistem aseluler, namun bila
diterapkan pada bakteri intraseluler kemampuan membunuhnya sangat rendah, membuat para peneliti
bertanya-tanya apakah mediator respons imun dapat bekerja sama dengan antibiotik demi tercapainya
pembersihan infeksi intraseluler secara cepat. Dalam konsep ini, sitokin dapat memperbaiki efek bakterisidal
intrinsik antibiotik.
Aktivitas Intrafagositik Antibiotik
Antibiotik harus bisa mencapai dan berikatan dengan organ target, agar dapat melakukan aktivitas
kemoterapi; kontak antara bakteri dan antibiotik merupakan prasyarat. Dari sisi aktivitas terhadap patogen
intraseluler, antibiotik tergantung pada kemampuannya untuk masuk dan berakumulasi dalam sel fagositik
mencapai kadar yang cukup tinggi (melebihi kadar hambat minimal -minimal inhibitory concentration-). Dari
hasil studi farmakokinetik seluler antibiotik berbeda dalam cara pengambilan oleh sel (cellular uptake), kadar
dalam sel, dan distribusi subseluler. Selain itu, dalam pemilihan penggunaan antibiotik intraseluler perlu
diperhatikan pula faktor influx dan efflux, respons bakterial, serta kerjasama dengan pertahanan tubuh.
Antibiotik -lactam dan aminoglikosida mempunyai efek bakterisidal yang kuat terhadap bakteria ekstraseluler
yang sensitif, tetapi efek bakterisidal intraseluler rendah. Hal ini erat hubungannya dengan cellular uptake
yang lemah dan lambat. Antibiotik -lactam tidak berakumulasi dalam fagosit, mungkin disebabkan oleh
sifatnya yang asam.33 Sebaliknya, makrolide seperti azithromycin dan clarithromycin terasingkan
(sequestered) dalam leukosit, sehingga terdapat pada tempat infeksi dalam kadar yang tinggi, melebihi kadar
dalam serum. Makrolide mempertahankan kadar terapeutik pasca pemberhentian pengobatan. Obat-obat ini
secara efisien membunuh patogen berbeda-beda seperti Salmonella, Legionella, dan Listeria. Fluoroquinolon
seperti ofloxacin, ciprofloxacin, sparfloxacin dan levofloxacin terpusat dalam sel fagositik dan secara efisien
membunuh bakteria intraseluler yang tinggal di kompartemen subseluler tertentu.17,34 Seiring dengan efek
bakterisidal, antibiotik dapat pula mengatur fungsi fagositik. Meskipun antibiotik tertentu (misalnya
aminoglikosida) dapat bersifat toksik bagi sel pada kadar yang tinggi, antibiotik yang lain (misalnya makrolide)
dapat mengatur ke bawah (downregulate) respons anti-inflamatori, sehingga pada pejamu terjadi mekanisme
pertahanan terhadap injuri.35 Oleh karena itu digunakan strategi yang berbeda, keduanya untuk
meningkatkan efek antimikrobial antibiotik serta mengurangi efek sitotoksiknya. Jadi, dengan menyelimuti
(encapsulate) antibiotik seperti ampisilin di dalam liposom yang sensitif terhadap keasaman (pH-sensitive)
akan meningkatkan pengambilan ke dalam sel (cellular uptake) serta efek bakterisidalnya di dalam sel.
Pendekatan ini juga digunakan untuk mentargetkan gentamisin ke dalam sitosol , sebagai pilihan terhadap
lisosom, untuk mengurangi efek toksik dan meningkatkan aktivitas bakterisidal, terutama ditujukan untuk
patogen sitosolik.
Minat untuk mendalami pengobatan infeksi intraseluler lebih dipusatkan pada kerjasama antara sitokin dan
antibiotik. Bentuk pengobatan seperti ini diharapkan dapat memperpendek lama pemberian antibiotik dan
mencegah timbulnya resistensi obat.
Pemilihan antibiotik intraseluler pada anak harus selalu memperhatikan faktor umur serta perkembangan
anak, disamping farmakokinetik dan farmakodinamiknya yang merupakan kunci untuk menentukan efikasi
antimikroba yang diseleksi. Antibiotik intraseluler yang dapat diberikan kepada anak adalah penisilin,
aminopenisilin (ampisilin, amoksisilin), ampisilin-sulbaktam, amoksisilin-clavulanate, sefalosporin generasi ke
tiga (seftriakson, sefotaksim, seftazidim), dan sefalosporin generasi ke empat (sefepim) yang kesemuanya
termasuk kelompok -lactam. Selain itu macrolide (eritromisin, azithromisin, clarithromisin), dan
aminoglikosida juga bermanfaat pada infeksi bakteri intraseluler.28,29 Meskipun fluoroquinolone terbukti
mempunyai aktivitas antibiotik intraseluler kuat, namun penggunaan pada anak masih terbatas terutama pada
penderita dengan cystic fibrosis.29 Peneliti lain mengamati pemberian gatifloksasin untuk pengobatan otitis
media akuta pada kelompok anak usia 6 bulan-7 tahun dan 6 bulan-4 tahun. Meskipun hasil yang dicapai
cukup menggembirakan belum terdapat persetujuan Food and Drug Administration mengenai penggunaan
fluoroquinolon pada anak.37
Dipandang dari sudut farmakodinamik seluler antibiotik -lactam mempunyai cara kerja lambat dan tidak
tergantung pada kadar obat, namun menjadi efektif bila terjadi kontak lama. Lokalisasi antibiotik subseluler
terutama dalam sitosol. Sebaliknya fluoro-quinolone intraseluler bekerja cepat dengan cara tergantung pada
kadar obat. Fluoroquinolone juga terdapat dalam sitosol. Aminoglikosida mempunyai uptake lambat,sehingga
memerlukan waktu pengobatan lama. Di samping kadar obat, waktu merupakan parameter penting. Efek
bakterisidal tergantung kadar puncak yang adekuat. Efek aminoglikosida dapat menurun karena suasana asam
di dalam fagolisosom. Berbeda dengan antibiotik -lactam, hampir dalam setiap sel terjadi akumulasi
makrolide. Makrolide mempunyai uptake dan efflux cepat, kecuali azithromisin, yang terikat pada struktur sel,
terutama phospholipid. Lokalisasi antibiotik makrolide subseluler dua per tiganya terdapat dalam lisosom,
sepertiganya dalam sitosol.


Perbesaran limfa
1. Infeksi
Pada kasus infeksi bakterial yang bersifat akut, ukuran limpa sedikit membesar. Pembesaran terjadi akibat
peradangan yang menyebabkan peningkatan infiltrasi sel-sel fagosit dan sel-sel neutrofil. Jaringan atau sel-sel
yang mati akan dicerna oleh enzim, sehingga konsistensi menjadi lembek, apabila disayat mengeluarkan cairan
berwarna merah, bidang sayatan menunjukkan warna merah merata. Permukaan limpa masih lembut dan
terlihat keriput. Peradangan dapat meluas sampai dengan kapsula limpa yang disebut sebagai perisplenitis
dengan atau tanpa disertai abses.
Pada infeksi kronis non-pyogenik, pembesaran yang terjadi melebihi ukuran limpa pada infeksi akut.
Konsistensi mengeras, bidang sayatan memperlihatkan adanya lymphoid aggregates, pulpa merah banyak
mengandung sel-sel fagosit yang didominasi oleh sel plasma.

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam mengatasi
organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II
pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin
IFN yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui
pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan
mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis
sel yang diperantarai oleh sel T CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini
menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling
mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang
luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh
respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler


4. Bagaimana tanda dan gejala limfadenopati ?
ditandai pembengkakan pada satu atau lebih kelenjar getah bening, biasanya di leher dan ketiak, tetapi
kadang kala di tempat lain. Gejala ini biasanya cepat hilang tanpa diobati.

2. Bagaimana mekanisme terjadinya limfadenopati ?
Mekanisme terjadinya limfadenopati adalah terjadi karena beberapa sebab otot yaitu peningkatan jumlah
limfosit makrofat jinak selama reaksi terhadap antigen.

6. Bagaimana keterkaitan kelenjar limfa dengan system imunitas ?
Hubungan antara kelenjar limfa dengan sistem imunitas adalah kelenjar limfa juuga termasuk dalam
pertahanan tubuh. Kelenjar limfa memiliki sel pertahanan tubuh, jika ada antigen yang menginfeksi maka
kelenjar limfa dapat menghasilkan sel sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi antigen
tersebut.

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Limfadenopati adalah suatu tanda dari infeksi berat dan terlokalisasi (Tambayong, 2000; 52).
Limfadenopati adalah digunakan untuk menggambarkan setiap kelainan kelenjar limfe (Price, 1995; 40).
Limfadenopati adalah pembengkakan kelenjar limfe (Harrison, 1999; 370).
Dari pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Limfadenopati adalah kelainan dan pembengkakan kelenjar limfe sebagai tanda dari infeksi berat dan
terlokalisasi.
B. Etiologi
Peningkatan jumlah limfosit makrofag jinak selama reaksi terhadap antigen.
Infiltrasi oleh sel radang pada infeksi yang menyerang kelenjar limfe.
Proliferasi in situ dari limfosit maligna atau makrofag.
Infiltrasi kelenjar oleh sel ganas metastatik.
Infiltrasi kelenjar limfe oleh makrofag yang mengandung metabolit dalam penyakit cadangan lipid.
(Harrison, 1999; 370)
C. Tanda dan Gejala
a. demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38
o
C.
b. sering keringat malam.
c. Kehilangan berat badan lebih dari 10% dalam 6 bulan.
d. Timbul benjolan di bagian leher.
D. Patofisiologi
Sistem limfatik berperan pada reaksi peradangan sejajar dengan sistem vaskular darah. Biasanya ada
penembusan lambat cairan interstisial kedalam saluran limfe jaringan, dan limfe yang terbentuk dibawa
kesentral dalam badan dan akhirnya bergabung kembali kedarah vena. Bila daerah terkena radang, biasanya
terjadi kenaikan yang menyolok pada aliran limfe dari daerah itu. Telah diketahui bahwa dalam perjalanan
peradangan akut, lapisan pembatas pembuluh limfe yang terkecil agak meregang, sama seperti yang terjadi
pada venula, dengan demikian memungkinkan lebih banyak bahan interstisial yang masuk kedalam pembuluh
limfe. Bagaimanapun juga, selama peradangan akut tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi
kandungan protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama.
Sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh limfe menguntungkan karena
cenderung mengurangi pembengkakan jaringan yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.
Sebaliknya, agen-agen yang dapat menimbulkan cedera dapat dibawa oleh pembuluh limfe dari tempat
peradangan primer ketempat yang jauh dalam tubuh. Dengan cara ini, misalnya, agen-agen yang menular
dapat menyebar. Penyebaran sering dibatasi oleh penyaringan yang dilakukan oleh kelenjar limfe regional
yang dilalui oleh cairan limfe yang bergerak menuju kedalam tubuh, tetapi agen atau bahan yang terbawa oleh
cairan limfe mungkin masih dapat melewati kelenjar dan akhirnya mencapai aliran darah. (Price, 1995; 39 -
40).

LIMFADENITIS

A. DEFENISI
Limfadenitis adalah peradangan kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi primer akibat adanya
infeksi dari bagian tubuh yang lain.

B. ETIOLOGI
Streptokokus dan bakteri staphylococcal adalah penyebab paling umum dari limfadenitis, meskipun virus,
protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Streptokokus dan
bakteri penyebab adalah pagar staphylococcal limfadenitis Umum, meskipun virus, protozoa, rickettsiae,
jamur, dan TBC juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
Penyakit yang melibatkan kelenjar getah bening di seluruh tubuh termasuk mononucleosis, infeksi
sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang
disebabkan oleh penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel darah putih akibat respon tubuh
terhadap infeksi. Kehilangan nafsu makan, vehicles keringat, nadi cepat, dan kelemahan.
Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh
limfe yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat membawa
antigen (mikroba, zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang menginfeksi
maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh yang lebih banyak untuk mengatasi
antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening membesar.
Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari
KBG itu sendiri seperti limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan
(neutrofil) untuk mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel ganas
atau timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease). Dengan mengetahui lokasi
pembesaran KGB maka kita dapat mengarahkan kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab
pembesaran KGB.
Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran kelenjar getah bening.
Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita, antara lain di daerah leher, ketiak, dalam rongga dada dan perut, di
sepanjang tulang belakang kiri dan kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi sebagai penyaring
bila ada infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng pertahanan
tubuh.
Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran kelenjar di daerah-daerah
tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar. Bila sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila
ditekan tidak sakit, maka perlu diwaspadai. Jalan terbaik, adalah dilakukan biopsy di kelenjar tersebut.
Diperiksa jenis sel-nya untuk memastikan apakah sekedar infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata
ganas, pembesaran kelenjar akan cepat terjadi. Dalam sebulan, misalnya, sudah membesar dan tak terasa sakit
saat ditekan. Beda dengan yang disebabkan infeksi. Umumnya tidak bertambah besar dan jika daerah di
sekitar benjolan ditekan, terasa sakit.

Perbedaan
Pada umumnya limfadenopati memerlukan operasi.

limfadenopati leher
Sama dengan limfadenitis, limfadenopati adalah pembesaran kgb akibat kegagalan mengatasi gangguan di
daerah pertahannya. Perbedaannya terletak pada siapa yang bertanggung jawab atas serangan itu. Teroris
limfadenitis datang dari luar tubuh seperti bakteri sedangkan limfadenopati dari dalam. Teroris limfadenopati
dapat disidik seperti kanker tetapi dapat juga tidak diketahui. Ia dapat berasal dari setiap lokasi di daerah
pertahanannya seperti payudara bagi ketiak ataupun di pos pertahanan itu sendiri seperti limfoma.
A. Pengertian
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening.
Limfadenitis adalah nodus limfa yang terletak sepanjang perjalanan pembuluh limfa. Nodus yang sering
terlibat adalah yang terdapat diselangkangan, aksila dan leher.
Limfadenitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih kelenjar getah bening, yang biasanya menjadi
bengkak dan lunak.
B. Klasifikasi
1. Limfadenitis Nonspesifik Akut
Limfadenitis ini bentuknya terbatas pada sekelompok kelenjar getah bening yang mendrainase suatu fokus
infeksi, atau mungkin generalisata apabila terrjadi infeksi bakteri atau virus sistemik. Secara histologis, tampak
pusat germinativum besar yang memperlihatkan banyak gambaran mitotik. Apabila keadaan ini disebabkan
oleh organisme piogenik, disekitar folikel dan di dalam sinus limfoid ditemukan infiltrat neutrofilik. Pada infeksi
yang parah, pusat germinativum mengalami nekrosis sehingga terbentuk abses. Apabila infeksi terkendali,
kelenjar getah bening akan kembali tampak normal atau terjadi pembentukan jaringan parut apabila
dekstruktif.
2. Limfadenitis Nonspesifik Kronik
Menimbulkan tiga pola, bergantung pada agen penyebabnya: hiperplasia folikel, hiperplasia limfoid
parakorteks, atau histiositosis sinus. Hiperplasia folikel berkaitan dengan infeksi atau proses proses
peradangan yang mengaktifkan sel B. Sel B dalam berbagai tahap diferensiasi berkumpul di dalam pusat
germinativum besar yang bulat atau oblong (folikel sekunder). Hiperplasia limfoid parakorteks ditandai dengan
perubahan reaktif di dalam regio sel T kelenjar getah bening. Sel T parafolikel mengalami proliferasi dan
transformasi menjadi imunoblas yang mungkin menyebabkan lenyapnya folikel germinativum.
C. Etiologi
Limfadenitis hampir selalu dihasilkan dari sebuah infeksi, yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus,
protozoa, ricketsia, atau jamur. Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar menuju kelenjar getah bening dari
infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari beberapa infeksi seperti infectious mononucleosis, infeksi
cytomegalovirus, infeksi streptococcal, tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa mempengaruhi kelenjar
getah bening atau hanya pada salah satu daerah pada tubuh.
D. Patofisiologi
Suatu cairan disebut getah bening bersirkulasi melalui pembuluh limfatik dan mmebawa limfosit (sel darah
putih) mengelilingi tubuh. limfosit ini merupakan sel-sel dari system imun yang membantu tubuh melawan
penyakit. Terdapat 2 tipe utama limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B, karena cairan limfe tidak mengandung
sel darah merah maka ia berwarna putih.
Pembuluh limfatik melalui kelenjar getah bening, kelenjar getah bening berisi sejumlah besar limfosit dan
bertindak sebagai penyaring menangkap organisme yang menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus.
Kelenjar getah bening cenderung bergerombol dalam suatu kelompok sebagai contoh tardapat sekelompok
besar di ketiak, dileher dan lipat.pangkal paha.
Ketika suatu bagian tubuh terinfeksi atau bengkak, kelenjar getah bening terdekat sering membesar dan nyeri.
hal berikut ini terjadi sebagai contoh jika seseorang dengan sakit leher mengalami pembengkakan kelenjar di
leher. cairan limfatik dari tenggorokan mengalir ke dalam kelenjar getah bening di leher, dimana organisme
penyebab infeksi dapat dihancurkan dan dicegah penyebarannya ke bagian tubuh lainnya.
E. Manifestasi Klinis
Kelenjar getah bening yang terinfeksi membesar dan biasanya lunak dan sangat menyakitkan. Kadangkala, kulit
disepanjang kelenjar yang terinfeksi tampak merah dan terasa hangat. Orang tersebut bisa mengalami demam.
Kadangkala, kantung atau nanah (abses) terbentuk. Kelenjar tubuh yang membesar yang tidak menyebabkan
nyeri, atau kemerahan bisa mengindikasikan gangguan serius lainnya, seperti limfoma, tuberkulosis atau
hodgkin limfoma.
F. Pemeriksaan Diagnosis
Sistem limfatik dapat diperiksa dengan sinar-X setelah penyuntikan media kontras langsung ke pembuluh
limfa ditangan dan kaki. Teknik ini, limfangiografi merupakan cara mendeteksi keterlibatan nodus akibat
metastase karsinoma, limfoma atau infeksi di tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh petugas kesehatan,
kecuali dengan pembedahan terbuka.
Prosedur ini akan melokalisir pembuluh limfa pada masing-masing kaki (atau tangan) ketika media kontras
Evans blue disuntikan secara intradermal di antara jari pertama dan kedua. Kemudian satu segmen limfatik
berwarna biru diidentifikasi, diisolasi, dikanulasi dengan jarum nomor 25-30 dan dilakukan infus lambat
dengan bahan kontras yang mengandung yodium dan minyak. Dua puluh empat jam menjelang penyuntikan
berakhir serangkaian foto sinar-X diambil, dan dilanjutkan secara berkala apabila perlu. Nodus limfa yang
teridentifikasi dapat mempertahankan bahan kontras sampai 1 tahun setelah penyuntikan, dan setiap
perubahan ukuran akibat radiasi atau kemoterapi dapat diukur dan digunakan sebagai kriteria untuk
menentukan efek terapi.
Limfoskintigrafi merupakan alternatif limfangiografi yang terpercaya. Koloiid berlabel radioaktif disuntikkan
secara subkutan pada rongga interdigital kedua. Ekstremitas kemudian digerak-gerakkan untuk memperlancar
aliran media dalam sistem limfatik. Kemudian diambil pencitraan secara berseri dengan jangka waktu yang
telah diatur. Tidak ada efek samping yang dilaporkan.
G. Penatalaksanaan
a. Pengobatan
Pengobatan tergantung dari organisme penyebabnya. Untuk infeksi bakteri, biasanya diberikan antibiotik per-
oral (melalui mulut) atau intravena (melalui pembuluh darah). Untuk membantu mengurangi rasa sakit,
kelenjar getah bening yang terkena bisa dikompres hangat. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar akan
mengecil secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar yang membesar tetap keras dan
tidak lagi terasa lunak pada perabaan

1.1 Pengertian

Furunkel adalah Infeksi akut dari satu folikel rambut dan jaringan disekitarnya yang biasanya mengalami
nekrosis disebabkan oleh Staphylococcus aureus.
Furunkel merupakan tonjolan yang nyeri dan berisi nanah yang terbentuk dibawah kulit ketika bakteri
menginfeksi dan menyebabkan inflamasi pada satu atau lebih folikel rambut. Furunkel juga merupakan infeksi
kulit yang meliputi seluruh folikel rambut dan jaringan subkutaneus disekitarnya.
Furunkel atau bisul merupakan inflamasi akut yang timbul dalam pada satu atau lebih folikel rambut dan
menyebar kelapisan dermis sekitarnya. Kelainan ini lebih dalam daripada folikulitis. (furunkolosis mengacu
pada lesi yang multiple atau rekuren) furunkel dapat terjadi pada setiap bagian tubuh kendati lebih prevalen
pada daerah-daerah yang mengalami iritasi, tekanan, gesekan dan perspirasi berlebihan, seperti bagian
posterior leher, aksila atau pantat (gluteus).
Furunkel dapat berawal sebagai jerawat yang kecil, merah, menonjol dan kerasa sakit. Kerap kali infeksi
ini berlanjut dan melibatkan jaringan kulit serta lemak subkutan dengan menimbulkan nyeri tekan, rasa sakit
dan sellulitis didaerah sekitarnya. Daerah kemerahan dan indurasi menggambarkan supaya tubuh untuk
menjaga agar infeksi terlokalisasi. Bakteri (biasanya stapilococcus) menimbulkan nekrosis pada jaringan tubuh
yang diserangnya. Terbentuknya bagian tengah bisul yang khas terjadi beberapa hari kemudian. Kalau hal ini
terjadi, bagian tengah tersebut berwarna kuning atau hitam, dan bisul semacam ini dikatakan oleh orang awal
sebagai bisul yang sudah matang.

2.2 Etiologi
a) Bakteri : stafilokokus aureus, berbentuk bulat (coccus), diameter 0,5-1,5m, susunan bergerombol seperti
anggur, tidak mempunyai kapsul, nonmotil, katalase positif, pada pewarnaan gram tampak berwarna ungu.
b) Bakteri lain atau jamur
Paling sering ditemukan didaerah tengkuk, axial, paha dan bokong.
Akan terasa sangat nyeri jika timbul didaerah sekitar hidung,telinga,atau jari-jari tangan.

2.3 Gejala Klinis
Mula-mula modul kecil yang mengalami keradangan pada folikel rambut, kemudian menjadi pustula dan
mengalami nekrose dan menyembuh setelah pus keluar dan meninggal sikatrik. Proses nekrosis dalam 2 hari
3 minggu.
Nyeri, terutama pada yang akut, besar, di hidung, lubang telinga luar.
Gejala konstitusional yang sedang (panas badan, malaise, mual).
Dapat satu atau banyak dan dapat kambuh-kambuh.
Tempat predileksi : muka, leher, lengan, pergelangan tangan dan jari-jari tangan, pantat dan daerah
anogenital.

2.4 Gambaran Klinis
a. Muncul tonjolan yang nyeri, berbentuk halus, berbentuk kubah dan bewarna merah disekitarnya
b. Ukuran tonjolan meningkat dalam beberapa hari dan dapat mencapai 3-10 cm atau bahkan lebih
c. Demam dan malaise sering muncul dan pasien tampak sakit berat
d. Jika pecah spontan atau disengaja, akan mongering dan membentuk lubang yang kuning keabuan pada bagian
tengah dan sembuh perlahan dengan granulasi
e. Waktu penyembuhan kurang lebih 2 mg
f. Jaringan parut permanen yang terbentuk biasanya tebal dan jelas.

2.4 Patofisiologi
Bakteri stafilokokus aureus umumnya masuk melalui luka, goresan atau robekan pada kulit. Respon
primer host terhadap infeksi stafilokokus aureus adalah mengerahkan sel PMN ketempat masuknya kuman
tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarik ketempat infeksi oleh komponen bakteri
seperti formylated peptides atau peptidoglikan dan sitokolin TNF (tumor necrosis factor) dan IL (interleukin)
yang dikeluarkan oleh sel endotel dan makrofak yang teraktivasi, hal tersebut menyebabkan inflamasi dan
terbentuklah pus (gab sel darah putih, bakteri, dan sel kulit mati).


Impetigo adalah satu penyakit menular. Impetigo adalah infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya
lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula).
Impetigo paling sering menyerang anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul di
bagian tubuh manapun, tetapi paling sering ditemukan di wajah, lengan dan tungkai. Pada dewasa, impetigo
bisa terjadi setelah penyakit kulit lainnya. Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran pernapasan
atas (misalnya flu atau infeksi virus lainnya).
Gejala
Bintik-bintik merah yang kecil menjadi lepuh yang berisi nanah dan berkeropeng; biasanya pada muka, tangan
atau kepala. Impetigo berawal sebagai luka terbuka yang menimbulkan gatal, kemudian melepuh,
mengeluarkan isi lepuhannya lalu mengering dan akhirnya membentuk keropeng.
Impetigo merupakan penyakit menular, yang ditularkan melalui cairan yang berasal dari lepuhannya.
Besarnya lepuhan bervariasi, mulai dari seukuran kacang polong sampai seukuran cincin yang besar. Lepuhan
ini berisi carian kekuningan disertai rasa gatal.
Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar daerah yang terinfeksi.
[sunting]Tempoh pengasingan yang disarankan
Ya, sampai perawatan dimulai. Bisul harus ditutup dengan pembalut yang kedap air.
[sunting]Pencegahan
Mencuci tangan dengan teliti. Infeksi bisa dicegah dengan memelihara kebersihan dan kesehatan badan.
Goresan ringan atau luka lecet sebaiknya dicuci bersih dengan sabun dan air, bila perlu olesi dengan zat anti-
bakteri.
Untuk mencegah penularan:
1. Hindari kontak dengan cairan yang berasal dari lepuhan di kulit
2. Hindari pemakaian bersama handuk, pisau cukur atau pakaian dengan penderita
3. Selalu mencuci tangan setelah menangani lesi kulit.

8.Penyakit Kulit Impetigo
Impetigo adalah penyakit kulit menular yang biasanya disebabkan oleh bakteri. Impetigo menyebabkan
kulit menjadi gatal, melepuh berisi cairan dan kulit menjadi merah. Impetigo sangat mudah terjadi pada
anak berusia dua sampai enam tahun. Bakteri biasanya masuk ke dalam kulit melalui gigitan serangga, luka,
atau goresan. Kebersihan sangat penting bagi orang yang mengalami impetigo.
Penyakit Impetigo
IMPETIGO

DEFINISI

Impetigo adalah infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah (pustula).

Impetigo paling sering menyerang anak-anak, terutama yang kebersihan badannya kurang dan bisa muncul di
bagian tubuh manapun, tetapi paling sering ditemukan di wajah, lengan dan tungkai.
Pada dewasa, impetigo bisa terjadi setelah penyakit kulit lainnya.
Impetigo bisa juga terjadi setelah suatu infeksi saluran pernafasan atas (misalnya flu atau infeksi virus lainnya).

PENYEBAB

Bakteri Staphylococcus atau Streptococcus.

Impetigo bisa terjadi setelah suatu cedera atau suatu keadaan yang menyebabkan robekan di kulit (misalnya
infeksi jamur, luka bakar karena matahari atau gigitan serangga).
Impetigo juga bisa menyerang kulit yang normal, terutama pada tungkai anak-anak.

Jenis impetigo:
Impetigo contagiosa. Merupakan bentuk paling umum dari impetigo, yang biasanya dimulai dengan noda
merah pada wajah, paling sering di sekitar hidung dan mulut. Luka dengan cepat memecah dan mengeluarkan
cairan atau nanah yang kemudian membentuk kerak berwarna kuning. Luka tersebut mungkin gatal, akan
tetapi tidak terasa sakit.
Bullous impetigo. Umumnya diderita oleh bayi dan anak dibawah usia 2 tahun. Impetigo ini tidak
menyebabkan rasa sakit dan berisi cairan biasanya pada pinggul, lengan atau leher. Kulit disekitarnya
biasanya merah dan gatal tetapi tidak terluka. Benjolan berisi cairan ini dapat pecah dan menyisakan kerak
berwarna kekuningan, dapat besar atau kecil, dan dapat hilang lebih lama daripada impetigo jenis lainnya.
Ecthyma. Merupakan jenis impetigo yang lebih serius yang terdapat di lapisan dalam kulit (dermis). Tanda
dan gejala antara lain luka berisi cairan atau nanah yang terasa sakit, biasanya pada kaki. Kemudian memecah
dengan kerak yang berwarna kuning keabu-abuan dank eras. Bekas akan tertinggal setelah luka sembuh.
Ecthyma dapat juga menyebabkan pembengkakan kelenjar limpa pada area yang terkena.


GEJALA

Impetigo berawal sebagai luka terbuka yang menimbulkan gatal, kemudian melepuh, mengeluarkan isi
lepuhannya lalu mengering dan akhirnya membentuk keropeng.

Impetigo merupakan penyakit menular, yang ditularkan melalui cairan yang berasal dari lepuhannya.

Besarnya lepuhan bervariasi, mulai dari seukuran kacang polong sampai seukuran cincin yang besar.
Lepuhan ini berisi carian kekuningan disertai rasa gatal.

Bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di sekitar daerah yang terinfeksi.

Impetigo
Impetigo bulosa

DIAGNOSA

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.

Untuk memastikan bahwa penyebabnya adalah stafilokokus atau streptokokus, bisa dilakukan pembiakan
contoh jaringan yang terinfeksi di laboratorium.

PENGOBATAN

Untuk infeksi ringan, diberikan salep antibiotik (misalnya erythromycin atau dicloxacillin).
Antibiotik per-oral (ditelan) bisa mempercepat penyembuhan.

Untuk melepaskan keropeng, kulit sebaiknya dicuci dengan sabun anti-bakteri beberapa kali/hari.

PENCEGAHAN

Infeksi bisa dicegah dengan memelihara kebersihan dan kesehatan badan.
Goresan ringan atau luka lecet sebaiknya dicuci bersih dengan sabun dan air, bila perlu olesi dengan zat anti-
bakteri.



Nyeri: Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradangan, banyak mediator yang
disampaikan oleh sirkulasi dan / atau dibebaskan dari penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator
Proalgesic termasuk sitokin pro inflamasi, kemokin, proton, faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin, yang
diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk. Mediator analgesik, yang melawan rasa sakit,
juga diproduksi di jaringan meradang. Ini termasuk anti-inflamasi sitokin dan peptida opioid.
Interaksi antara leukosit yang diturunkan dari peptida opioid dan reseptor opioid dapat menyebabkan ampuh,
penghambatan klinis yang relevan dari nyeri (analgesik). Reseptor opioid yang
hadir pada ujung perifer dari neuron sensorik. Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang
bermigrasi ke jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan molekul adhesi.
Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen (misalnya kortikotropin-releasing factor, sitokin,
noradrenalin), leukosit dapat mengeluarkan opioid. Mereka mengaktifkan reseptor opioid perifer dan
menghasilkan analgesia dengan menghambat rangsangan saraf sensorik dan /
atau pelepasan neuropeptida rangsang. Konsep generasi nyeri dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan
analgesia oleh kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut
Rubor (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada tempat
peradangan.
Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat peradangan dari pada
yang disalurkan ke daerah normal.
Dolor (Nyeri) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga
karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.
Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial.
Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh

Anda mungkin juga menyukai