Anda di halaman 1dari 7

Pergantian Auditor

Pergantian auditor secara wajib dengan secara sukarela bisa dibedakan atas dasar
pihak mana yang menjadi fokus perhatian dari isu tersebut. Jika pergantian auditor terjadi
secara sukarela, maka perhatian utama adalah pada sisi klien. Sebaliknya, jika pergantian
terjadi secara wajib, perhatian utama beralih kepada auditor.
Ketika klien mengganti auditornya ketika tidak ada aturan yang mengharuskan
pergantian dilakukan, yang terjadi adalah salah satu dari dua hal: auditor mengundurkan diri
atau auditor dipecat oleh klien. Manapun di antara keduanya yang terjadi, perhatian adalah
pada alasan mengapa peristiwa itu terjadi dan ke mana klien tersebut akan berpindah. Jika
alasan pergantian tersebut adalah karena ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu,
maka diekspektasi klien akan pindah ke auditor yang dengan mereka klien akan bersepakat.
Jadi, fokus perhatian peneliti adalah pada klien.
Sebaliknya, ketika pergantian auditor terjadi karena peraturan yang membatasi tenure,
maka perhatian utama beralih kepada auditor pengganti, tidak lagi kepada klien. Berbeda
dengan pergantian sukarela yang bisa terjadi karena pertengkaran antara klien dengan auditor,
pada pergantian secara wajib yang terjadi adalah pemisahan paksa oleh peraturan. Ketika
klien mencari auditor yang baru, maka pada saat itu informasi yang dimiliki oleh klien lebih
besar dibandingkan dengan informasi yang dimiliki auditor. Ketidaksimetrisan informasi ini
logis karena klien pasti memilih auditor yang kemungkinan besar akan lebih mudah untuk
sepakat tentang praktik akuntansi mereka. Sementara itu, auditor bisa jadi tidak memiliki
informasi yang lengkap tentang kliennya. Jika kemudian auditor bersedia menerima klien
baru, maka hal ini bisa terjadi karena auditor telah memiliki informasi yang cukup tentang
klien baru itu atau auditor melakukannya untuk alasan lain, misalnya alasan finansial. Jadi
jelas bahwa pada pergantian sukarela, perhatian bukan pada alasan mengapa klien mengganti
auditor, melainkan pada alasan mengapa auditor bersedia menerima klien baru.
Rotasi atau pergantian wajib atas kantor akuntan yang memberikan jasa audit kepada
klien sebenarnya tidak pernah diatur di AS. Walaupun publik dan pemerintah AS tetap
memiliki keinginan untuk mengatur rotasi tersebut. Upaya tersebut tergambar dari
pembentukan Metcalf Subcommittee tahun 1978 oleh Senat AS dan Cohen Commission
tahun 1978 oleh AICPA. Tahun 1999 Akuntan Kepala SEC mengirim surat kepada American
Accounting Association untuk melakukan penelitian sehubungan dengan masalah perputaran
wajib tersebut (Dopuch, King, dan Schwartz, 2xxx). Upaya yang paling baru adalah melalui
SOX pada tahun 2002. Namun, sebenarnya pemerintah AS akhirnya tidak pernah mengatur
rotasi tersebut, bahkan hingga di SOX. Justru yang diatur di dalam SOX hanyalah rotasi
partner audit. Di seksi 203 dari SOX dinyatakan bahwa:
It should be unlawful for a registered public accounting to provide audit services to
an issuer if the lead (or coordinating) audit partner, or the audit partner responsible for
reviewing the audit, has performed audit services for that issuer in each of the 5 previous
years of that issuer.
Dengan demikian, sebuah kantor akuntan publik hanya boleh menugaskan satu orang
partner untuk memimpin audit di satu klien yang sama selama lima tahun berturut-turut.
Aturan ini juga menyiratkan bahwa perusahaan tidak perlu mengganti kantor akuntan mereka
karena alasan peraturan ini.
Walau demikian, bukan berarti bahwa regulator tidak tertarik lagi dengan ide untuk
mewajibkan rotasi. Buktinya, SOX memberi mandat kepada US Comptroller General untuk
melaksanakan satu studi dan mengkaji efek potensial dari pewajiban rotasi wajib atas kantor
akuntan publik (seksi 207 SOX). Yang dimaksud sebagai rotasi wajib adalah pemberlakuan
batasan perioda tahun sebuah kantor akuntan publik boleh mengaudit satu klien yang sama.
Laporan General Accounting Office yang diminta oleh Kongres untuk meneliti masalah
tersebut menyimpulkan beberapa hal. Pertama, rotasi wajib atas kantor akuntan bukanlah cara
yang paling efisien untuk memperkuat independensi auditor dan meningkatkan kualitas audit.
Manfaat potensial dari rotasi wajib tersebut sukar untuk diprediksi dan dihitung. Kedua, GAO
menyarankan agar pemerintah AS melakukan observasi selama beberapa tahun sebelum efek
dari SOX bisa dinilai. Hal yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah adalah
mengevaluasi keefektifan aturan-aturan yang ada dalam peningkatan independensi dan
kualitas audit. Ketiga, pemerintah harus mendorong peran komite audit untuk menjamin
independensi auditor dan untuk tujuan itu, komite audit harus mempertahankan independensi
dan memiliki sumberdaya yang memadai.
Indonesia adalah salah satu negara yang mewajibkan pergantian kantor akuntan dan
partner audit diberlakukan secara periodik. Peraturan tentang pergantian ini sudah muncul
pada tahun 2002 dalam bentuk keputusan Menteri Keuangan. Di dalam pasal 6 ayat 4
Keputusan Menteri Keuangan no. 423 tahun 2002 tersebut dikatakan bahwa:

Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh
KAP paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik
paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
Selanjutnya di pasal 59 ayat 5 dan 6 dinyatakan bahwa :
(5) KAP yang telah memberikan jasa audit umum untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut
atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas
laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini,
hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya
(6) Akuntan Publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku
berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku
berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri
Keuangan ini, hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku
berikutnya.
Pada tahun 2003, keputusan tahun 2002 diamandemen. Aturan mengenai perputaran
kantor akuntan dan akuntan publik menegaskan bahwa audit umum atas laporan keuangan
yang masih bisa dilakukan oleh kantor akuntan (akuntan publik) yang telah mencapai batas
waktu lima (tiga) tahun berturut-turut adalah sampai dengan tahun buku 2003. Terakhir, pada
tahun 2008, Menteri Keuangan kembali menerbitkan peraturan terkait jasa akuntan publik.
Perubahan yang dilakukan di antaranya adalah, pertama, pemberian jasa audit umum menjadi
enam tahun berturut-turut oleh kantor akuntan dan tiga tahun berturut-turut oleh akuntan
publik kepada satu klien yang sama (pasal 3 ayat 1). Kedua, akuntan publik dan kantor
akuntan boleh menerima kembali penugasan setelah satu tahun buku tidak memberikan jasa
audit kepada klien yang di atas (pasal 3 ayat 2 dan 3).
Implikasi dari peraturan-peraturan tersebut ada beberapa terhadap riset di bidang
pengauditan. Pertama, peraturan tersebut memberi ruang bagi riset tentang perputaran
akuntan dan perputaran akuntan publik secara wajib. Ketiadaan peraturan di AS adalah salah
satu penghambat yang diakui oleh para peneliti untuk menentukan apakah perputaran wajib
akan bisa meningkatkan kualitas audit. Dopuch et al. (2xxx) menyatakan bahwa perdebatan
tentang biaya dan manfaat dari regulasi atas perputaran wajib ini membutuhkan riset yang
ekstensifsesuatu yang belum bisa dilakukan di AS.

Kedua, karena tahun 2003 adalah tahun terakhir bagi auditor yang telah mengaudit
satu klien hingga batas waktu yang ditentukan sebelum berpindah, maka sejak tahun 2004
pergantian auditor telah terjadi. Oleh karena itu, dengan syarat bahwa sampel memang
memadai agar sebuah pengujian bisa dilakukan, riset tentang perputaran wajib telah bisa
dilakukan. Perputaran auditor yang lebih besar kemungkinan terjadi setelah audit tahun buku
2006 dengan asumsi bahwa masa penugasan awal terjadi di tahun 2002.
Ketiga, peraturan menteri di tahun 2008 tersebut membuka peluang klien untuk
kembali kepada auditor lama mereka setelah menjalani penyapihan selama satu tahun.
Banyak pertanyaan yang timbul dari lubang sehubungan dengan penyapihan satu tahun ini.
Di antara mereka adalah: apakah memang benar-benar terjadi pergantian auditor pada satu
tahun tersebut? Apakah tidak mungkin bahwa klien hanya dititip kepada auditor lain sebelum
kemudian dikembalikan oleh auditor pengganti tersebut pada tahun berikutnya? Pertanyaan
yang lebih penting: Apakah tujuan dari perputaran wajib tersebut bisa dicapai dengan aturan
tersebut jika klien boleh kembali lagi berhubungan auditornya setelah satu tahun buku? Lebih
spesifik lagi, apakah kualitas laporan keuangan klien lebih tinggi jika ia diaudit oleh auditor
pengganti? Jika memang lebih tinggi, apakah kualitasnya akan tetap lebih tinggi jika
kemudian ia kembali ke auditornya yang lama? Mengapa tidak mengharuskan klien tetap
diaudit oleh satu auditor selama masa tertentu sebelum membolehkan perusahaan diaudit oleh
kantor akuntan yang lain? Perioda pengauditan yang pendek (satu tahun) justru bisa membuat
auditor tidak bisa bersikap independen (Dopuch et al., 2xxx) karena mereka harus menutupi
biaya audit sehubungan dengan penugasan yang baru tersebut. Sehingga, lepas dari hasil
penelitian Dopuch et al. (2001) tersebut, berapa lama retensi atas auditor seharusnya
dilakukan agar independensi auditor tidak rusak? Jika auditor harus diganti setelah enam
tahun berturut-turut, mengapa tidak regulator di Indonesia tidak mengharuskan klien untuk
mempertahankan auditor selama masa yang mereka yakini independensi akan tetap bisa
dipertahankan? Dopuch et al. (2xxx) menemukan bukti bahwa jika kewajiban rotasi dan
retensi sama-sama ada, maka auditor akan kehilangan insentif yang besar untuk menerbitkan
laporan yang bias. Bias ini jauh lebih besar dibandingkan jika regulator sama sekali tidak
mengatur masalah retensi dan/atau rotasi.
Pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas adalah sebagian dari pertanyaan yang
mungkin muncul sehubungan dengan keberadaan peraturan Menteri Keuangan tentang
pergantian auditor wajib. Menurut hemat penulis, ketiga peraturan Menteri Keuangan
tersebut diterbitkan sebagai respon atas skandal akuntansi yang terjadi di AS. Sehingga,
relevan kiranya jika riset tentang pergantian auditor secara wajib yang tidak bisa dilakukan di
AS dilakukan dalam suasana Indonesia.
Simpulan tentang pergantian kantor akuntan publik dan auditor
Independensi auditor adalah sebuah sikap mental auditor yang diekspektasi oleh
pengguna laporan keuangan dimiliki oleh auditor. Sikap mental ini mutlak harus ada pada diri
auditor ketika ia menjalankan tugas pengauditan yang mengharuskan ia memberi atestasi atas
kewajaran laporan keuangan kliennya. Wajar adanya jika pengguna laporan keuangan,
regulator, dan pihak-pihak lain selalu mempertanyakan apakah auditor bisa independen
dalam menjalankan tugasnya. Auditor adalah orang atau profesi yang mendapatkan
penghasilan dari klien yang mereka audit. Dalam sebagian kasus, persentase penghasilan dari
satu klien dibandingkan dengan semua klien mungkin sedemikian signifikan mempengaruhi
penghasilan kantor akuntan. Sehingga, kehilangan klien tersebut bisa secara material
mempengaruhi pendapatan kantor akuntan. Keraguan tentang independensi ini bertambah
berat karena kantor akuntan publik selama ini diberi kebebasan untuk memberikan jasa non-
audit kepada klien yang mereka audit. Pemberian jasa non-audit ini menambah besar jumlah
dependensi secara finansial kantor akuntan kepada kliennya.
Jika auditor hanya memberikan jasa kepada klien satu atau beberapa kali, mungkin
sumbangan fee yang dibayarkan klien terhadap penghasilan total auditor tidak akan material.
Namun, jika pemberian jasa tersebut dilakukan dalam jangka panjang, apalagi jika ukuran
perusahaan klien besar, maka tidak mustahil auditor akan kehilangan potensi penghasilan
yang cukup signifikan seandainya mereka tidak bisa mempertahankan klien tersebut.
Sehingga tidak heran jika sebagian kantor akuntan memiliki hubungan yang panjang dengan
klien mereka. Semakin panjang hubungan, semakin banyak penghasilan yang diperoleh dari
klien, dan semakin besar probabilitas auditor akan dependen terhadap kliennya.
Kritik terhadap dependensi tersebut tidak bisa dilepaskan pula dari fakta bahwa
perbandingan jumlah kantor akuntan publik dengan jumlah perusahaan yang diaudit. Jumlah
kantor akuntan selalu lebih kecil daripada jumlah perusahaan yang meminta jasa audit.
Kantor akuntan sendiri memiliki perbedaan kualitas antar mereka sehingga perusahaan akan
cenderung memilih kantor akuntan yang baik. Selain itu, ada kecenderungan pula bahwa
perusahaan hanya akan memilih kantor akuntan yang sepakat dengan pilihan metoda
akuntansi tertentu. Simpulannya, hubungan antara klien dengan auditor memang secara alami
akan terjadi dan sangat besar kemungkinan akan terjalin dalam jangka panjang.

Penulis berpendirian bahwa rotasi secara wajib ketika auditor telah melakukan audit
umum atas laporan keuangan harus dilakukan. Hubungan yang panjang akan memberikan
aliran penghasilan kepada kantor akuntan dan secara alami hal ini membuat auditor akan
berusaha mempertahankan kliennya, walau dengan risiko bahwa independensinya akan rusak.
Klaim bahwa auditor akan lebih independen jika rotasi dilakukan telah dibuktikan oleh
Dopuch et al. (2xxx)yang ternyata tidak pernah diacu oleh penolak ide rotasi wajib
tersebut. Independensi akan makin besar jika kantor akuntan juga kepada klien diberi batasan
waktu minimal sebelum ia boleh mengganti auditor kembali (lihat Dopuch et al., 2xxx untuk
bukti empiris lebih rinci).
Bukti empiris ini bisa digunakan untuk menangkis keluhan kantor akuntan bahwa
tahun-tahun pertama audit adalah tahun-tahun yang berisiko dan mahal bagi mereka karena,
di antara beberapa, pertama, auditor tidak mengenal bisnis klien; kedua, auditor tidak
memiliki informasi tentang reputasi klien di masa lalu; ketiga, biaya pemulaian (start-up)
audit mahal karena kantor akuntan harus mendidik lagi auditor mereka untuk penugasan di
klien yang baru (lihat, misalnya, Carcello dan Nagy, 2xxx). Sehingga, dengan memberi batas
minimum retensi terhadap auditor, masalah seperti di atas akan bisa dikurangi. Di sisi lain,
sebenarnya juga tidak ada jaminan bahwa kantor akuntan yang sama akan bisa
mempertahankan kualitas audit mereka dalam jangka panjang. Mereka bisa jadi akan
menugaskan staf yang kurang berpengalaman karena menganggap bahwa pekerjaan audit di
klien tertentu adalah hal rutin atau mereka bisa saja memperlonggar prosedur audit mereka
karena menganggap bahwa klien mereka tidak akan berbuat curang.
Jadi wajar saja bahwa ide pergantian auditor secara wajib diajukan dan
dipertimbangkan. Sebagian negara di Uni Eropa telah mewajibkan rotasi wajib terhadap
kantor akuntan (Dopuch et al., 2xxx). Regulator di AS tidak bisa meyakinkan bahwa ide ini
tepat karena tidak ada riset yang menggunakan data aktual. Riset yang mendukung ide ini
hanyalah riset yang dilakukan oleh Dopuch et al. (2xxx) dan riset ini tidak pernah dianggap
sebagai bukti empiris yang mendukung ide regulator tersebut. Buktinya bisa dilihat di artikel
DeFond dan Francis (2xxx) yang walau dengan luas membahas dan menentang hubungan
independensi auditor dengan perputaran, namun hanya berisi bukti-bukti penolakan tentang
ide regulator tersebut dan mengklaim bahwa tidak ada bukti empiris tentang itu. Oleh karena
itu, harus ada riset yang dilakukan di dalam lingkungan hukum yang mewajibkan perputaran
kantor akuntansesuatu yang tidak bisa dilakukan di AS.

Anda mungkin juga menyukai