Anda di halaman 1dari 14

Skenario B

Dendi, anak laki-laki usia 5 tahun, dibawa orang tuanya ke klinik anak RSMH dengan
keluhan sembab. Dari aloanamnesis pada ibu penderita didapatkan sembab berlangsung sejak
5 hari yang lalu. Sembab mula-mula muncul di sekitar kelopak mata, muka, lalu menjalar
pada kedua tungkai dan telapak kaki. Orang tuanya juga mengatakan kencing anaknya
berwarna merah seperti air cucian daging, jumlahnya sekitar setengah gelas sehari.
Dua minggu sebelum timbul sembab, Dendi pernah menderita panas dan sakit tenggorokan.
Setelah berobat, panas hilang dan sakit tenggorokan mereda.
Gejala penyakit ini baru pertama kali dialami, keluarga tidak ada yang sakit seperti ini.

Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum: tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, suhu tubuh 37 C, TD
120/90 mmHg, denyut nadi 96 kali / menit, pernapasan 32 kali/ menit. BB 20 kg, TB 136 cm.
Keadaan spesifik: edema pada muka, kelopak mata, kedua tungkai dan telapak kaki.
Tenggorokan tidak hiperemis, tonsil tidak membesar. Paru dan jantung dalam batas normal.
Abdomen cembung, shifting dullness (+), hepar dan lien tidak teraba.

Pemeriksaan penunjang:
Darah tepi: Hb 8,5 g/dl, leukosit 14.500/mm3, trombosit 400.000/ mm3, LED 100 mm/jam.
Kimia darah: Protein total 6,0 g/dl, albumin 3,0 gr/dl, globulin 3 gr/dl, ureum 59 mg/dl,
kreatinin 1,5 mg/dl, kolesterol 180 mg/dl.
Urinalisis: urin berwarna seperti air cucian daging, proteinuria (+2), eritrosit 10-15 sel/LPB,
leukosit 5-10 sel/LPB, torak hialin, dan noktah (+).
Biakan apusan tenggorokan: Streptococcus Beta hemolitikus (+)
Imuno-serologi: ASTO 200 IU, C3 35 IU, CRP 12 IU

Hipotesis:
Dendi, laki-laki usia 5 tahun, menderita Sindrom Nefritis Akut et causa GNAPS
1. Walking Diagnosis
Sumber: Sari Pediatri Vol 5, No.2, September 2003:58-63
Anamnesis
o Riwayat batuk-pilek (ISPA) 1-2 minggu ata riwayat koreng di kulit
(impetigo) 3-4 minggu sebelum timbul gejala
o Dijumpai riwayat kontak dengan keluarga yang menderita GNAPS
(pada suatu epidemi)

Pemeriksaan fisik
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik.11 Kasus klasik atau tipikal
diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului
timbulnya sembab.1 Periode laten ratarata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau
kulit.10
Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik.17,18 Gross
hematuria terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat.2 Variasi lain yang tidak spesifik bisa
dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu.1,4 Pada
pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan
atau sedang.7,15 Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu
tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu.2,13 Edema bisa berupa wajah
sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik.10,11 Asites dijumpai pada
sekitar 35% pasien dengan edem.1,4,13 Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan
takipne dan dispne.2,3,5 Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).1,10
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis berupa
hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi
streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis.3 Tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai GNAPS seperti:

Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
Hematuria idiopatik
Nefritis herediter (sindrom Alport )
Lupus eritematosus sistemik

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut.
Volume urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian
daging.2,3 Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua
pasien.10,12 Eritrosit khas terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya
perdarahan glomerulus.2,19 Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria
dan ekskresi protein umumnya tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari.
Sekitar 2-5% anak disertai proteinuria masif seperti gambaran nefrotik.1,2,5
Umumnya LFG berkurang, disertai penurunan kapasitas ekskresi air dan
garam, menyebabkan ekspansi volume cairan ekstraselular. Menurunnya LFG akibat
tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit kompleks imun.2,5 Sebagian besar
anak yang dirawat dengan GNA menunjukkan peningkatan urea nitrogen darah dan
konsentrasi serum kreatinin.3,12
Anemia sebanding dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan
membaik bila edem menghilang.4,5 Beberapa peneliti melaporkan adanya
pemendekan masa hidup eritrosit.2,4 Kadar albumin dan protein serum sedikit
menurun karena proses dilusi dan berbanding terbalik dengan jumlah deposit imun
kompleks pada mesangial glomerulus.2,4
Bukti yang mendahului adanya infeksi streptokokus pada anak dengan GNA
harus diperhatikan termasuk riwayatnya. Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok
atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi streptokokus.1,2 Bila biakan tidak
mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap antigen streptokokus.
Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 10- 14 hari setelah
infeksi streptokokus.15,18 Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien yang
tidak mendapat antibiotik.5,11 Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit
jarang meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus.10,12 Titer antibodi lain seperti
antihialuronidase (Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya
meningkat. Pengukuran titer antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap
antigen DNase B yang meningkat pada 90-95% kasus.2 Pemeriksaan gabungan titer
ASTO, Ahase dan ADNase B dapat mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada
hampir 100% kasus.12
Penurunan komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu
pertama, sedang kadar properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat
nyata, dengan kadar sekitar 20-40 mg/dl (normal 80-170 mg/dl).4,10 Kadar IgG
sering meningkat lebih dari 1600 mg/100 ml pada hampir 93% pasien.11 Pada awal
penyakit kebanyakan pasien mempunyai krioglobulin dalam sirkulasi yang
mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.11,13
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru.1,2 Penelitian Albar dkk.,
di Ujung
Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan gambaran
radiologis berupa kardiomegali 84,1%, bendungan sirkulasi paru 68,2 % dan edem
paru 48,9% . Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien dengan manifestasi
klinis disertai edem yang berat.20 Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang
diduga sebagai asites.1

Pemeriksaan Ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila,7,10
Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang
menjadi gagal
ginjal atau sindrom nefrotik).
Tidak ada bukti infeksi streptokokus
Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross
hematuria setelah 3
minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap
setelah 6 bulan dan
hematuria yang menetap setelah 12 bulan.

2. Etiologi
Sumber: IT
Faktor infeksi
Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus
(Glomerulonefritis akut pasca streptococcus)
Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain endokarditis
bakterialis subakut dan shunt nepritis.
Penyakit multisistemik antara lain:
Lupus eritematosus sistemik (LES)
Purpura Henoch Schonlein (PHS)
Penyakit ginjal primer
Nefropati IgA
3. Patofisiologi
Sumber: medscape
Kebanyakan bentuk dari GNASP dimediasi oleh sistem imun. Hingga saat ini
patogenesisnya masih belum jelas. Dua teori yang mendasari adalah (1) sirkulasi
sistem kompleks imun dalam glomerulus dan (2) berinteraksinya antibodi dengan baik
komponen streptokokus yang ada di glomerulus atau dengan komponen
glomerulusnya sendiri yang disebut sebagai antigen mimikri sehingga menyebabkan
pembentukan kompleks antigen-antibodi insitu.

Mekanisme yang dimediasi oleh kompleks imun
Mekanisme ini merupakan mekanisme yang paling banyak mendasari
penelitian dari GNAPS. Streptokokus nephritogenik ini memproduksi protein dengan
antigen yang unik. Antigen ini mwmiliki afinitas yang khusus di dalam glomerulus.
Melalui sirkulasi, antigen ini terikat di glomerulus dan mengaktifkan komplemen
dengan berinteraksi dengan properdin.
Antibodi streptokokal yang terikat glomerular juga beraksi sebagai antigen
terfiksasi dan berikatan dengan antibodi antistreptokokal yang bersirkulasi yang pada
akhirnya membentuk sistem imun kompleks. Melalui jalur klasik, terbentuknya
komplemen ini menyebabkan terbentuknya mediator inflammatorik tambahan dan
penarikan sel sel inflammatorik.
Dua antigen mayor telah teridentifikasi yaitu:
Zymogen precursor of exotoxin B/ sterpotoccaal pyrogenic toxin B (Nephritic
Strain Associated Protein)
NAPlr (Nephritic Associated Plasmin Receptor)
NAPlr menginduksi GNAPS secara independen melalui aktivasi komplemen
dari terikatnya reseptor ini dengan membran basal glomerulus dan matriks
mesangial. Reseptor ini secara subsekuen menjebak dan mengaktivasi plasmin
dan menyebabkan kerusakan glomerular in situ karena terdegradasinya
membran basalis glomerulus atau teraktivasinya latent matrix metalloprotease.

Mekanisme non kompleks imun
Mekanisme ini telah diusulkan dalam perkembangan GNAPS seperti
hipersensitivitas tipe tertunda, superantigen, dan autoimun phenomena.
Peranan dari hipersensitivitas tertunda ini diimplikasikan dalam patogenesis
dari penyakit ini. Pada awal munculnya penyakit ini endotel residen dan sel mesangial
mengalami proliferasi dan diiringi oleh PMN dan monosit. Makrofag menyebabkan
proliferasi selular sel sel tersebut. Infiltrasi makrofag ini dimediasi oleh kemotaksis
komplemen- terinduksi dan hampir sepertinya oleh sebuah antigen spesifik yang
berhubungan dengan hipersensitivitas tipe tertunda yang dimediasi oleh sel T.
Protein streptokokal M dan eksotoksin pirogenik dapat bertindak sebagai
superantigen yang menyebabkan ekspansi dari sel T yang mengekspresikan reseptor
sel T spesifik segmen rantai B. Pada akhirnya terjadi aktivasi dari sel T secara masif
dengan pelepasan derivatnya (derived lymphokines) seperti IL-1 dan IL-6.
IgG autolog pada GNAPS menjadi antigen dan mendatangkan faktor respon
rheumatoid anti-IgG menyebabkan pembentukan cryoglobulin. Cryoglobulin, faktor
rheumatoid dan fenomena autoimun lainnya terjadi di GNAPS dan diduga memainkan
peran pada pathogenesis penyakit ini bersama dengan superantigen streptokokal.

Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan
ditemukannya HLA-D dan HLADR.3 Periode laten antara infeksi streptokokus
dengan kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran
penting dalam mekanisme penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun
pejamu pada stimulus antigen dengan produksi antibodi yang berlebihan
menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang nantinya melintas pada membran
basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas substansi
yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan faktor
responsif untuk merusak glomerulus.

Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan
mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi terhadap
IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang
bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal. Pada kasus ringan, pemeriksaan
dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal. Biasanya
terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada kasus
berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai
infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler.2,13
Istilah glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan untuk
menggambarkan kelainan morfologi penyakit ini.

4. Faktor Resiko
Sumber: medscape dan
http://yumizone.wordpress.com/2009/07/28/glomerulonefritis-akut-gna/
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain menyebutkan
paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada
laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering dari pada perempuan.
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Diduga ada faktor resiko
yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku atau ras tidak berhubungan
dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi meningkat pada orang
yang sosial ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat
Risiko berkembangnya GNAPS oleh strain nephritogenik tidak terklasifikasi
sekitar 15% sedangkan risiko berkembangnya infeksi nefritik oleh protein M tipe 49
adalah 5% jika terdapat di tenggorokan. Risiko ini bertambah menjadi 25% jika
adanya infeksi dengan organisme yang sama jua terdapat pada kulit.
5. Komplikasi
Sumber: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000503.htm
Acute renal failure
Chronic glomerulonephritis
Chronic renal disease
Congestive heart failure or pulmonary edema
End-stage renal disease
Hyperkalemia
High blood pressure (hypertension)
Nephrotic syndrome


6. SKDI
Standar kompetensi dokter indonesia pada kasus ini adalah 3A dimana dokter harus
bisa mendiagnosis dan memberikan terapi awal sebelum dirujuk.





Learning Issue
Sindrom Nefritik Akut
Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria,
hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara
akut.
(1)


Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini
adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi
berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA
merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat
histologik.
(1)


Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain:
(1,6)

Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria:
o Glomerulonefritis fokal
o Nefritis heriditer (sindrom Alport)
o Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger)
o Benign recurrent hematuria
Glomerulonefritis progresif cepat
Penyakit-penyakit sistemik:
o Purpura Henoch-Schoenlein (HSP)
o Lupus erythematosus sistemik (SLE)
o Endokarditis bakterial subakut (SBE)
(1,6)

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering
mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki
dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
(2)


Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun
(kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak
mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini
umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.
(2)


ETIOLOGI

1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus (Glomerulonefritis
Akut Pasca Streptokokus). Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh
streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut
glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan
antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya.
Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul
dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah
mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.
(6)


b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut
dan Shunt Nephritis. Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal
dan sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus.
Virus: Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan
parasit : Toxoplasma gondii, filariasis, dll.
(6)


2. Penyakit multisistemik, antara lain :
a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS)
(1,6)


3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :
a. Nefropati IgA
(1)



EPIDEMIOLOGI

Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak dan orang
dewasa muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Paling sering
ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 :
1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun.
(2, 3)


Lebih sering pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Paling sering pada anak-
anak usia sekolah.
(3)



PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius
bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe
12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus
dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya
glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta
hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
(3,7)


Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama
kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen
daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan
gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah
infeksi kuman streptococcus.
(7)


Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu
glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga
sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus.
(1)


Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus,
merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang
telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang
kemudian mengendap di ginjal.
(7)


Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS.
Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini
diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem
komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada
glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan
terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada
antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi.
(3)


Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3
dan IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta
normalnya komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen
melalui jalur alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit
dan neutrofil, dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses inflamasi dan selanjutnya
terbentuk eksudat. Pada proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang
mengalami injuri dan proliferasi dari sel mesangial.
(1,7)


Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan
badan auto-imun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak
membrane basalis ginjal.
(7)

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang
mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau
alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan
terjadinya :
1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit)
2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga
menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam
akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia,
kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi,
kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan
hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun.
3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang
bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi
ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya
hipertensi.
Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan
aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia
dan hipertensi.
(1)



GEJALA KLINIS

SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul
adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan
kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan
di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi
hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung
darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri
abdomen, dan malaise. Gejalanya :
(8)

Onset akut (kurang dari 7 hari)
Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30%
ditemukan pada anak-anak.
Oliguria
Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa
ditemukan sedang sampai berat.
Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.
Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.
Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada Henoch-
Schoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
(6,7,8)

Gejala lain yang mungkin muncul :
Pengelihatan kabur
Batuk berdahak
Penurunan kesadaran
Malaise
Sesak napas
(6)

Pemeriksaan Urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada
60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3
menurun. Pada pemeriksaan throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus.
Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung).
(8)



DIAGNOSIS
1. Kriteria Klinik:
(8)

1. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari)
2. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul tungkai,
abdomen, dan genitalia.
3. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua
/ air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik
muncul pada 30 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir
semua kasus
4. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul dalam
minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10% kasus). Dikatakan
hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali berturut-turut di atas
persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya:
1. Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80 95 mmHg
2. Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95 115 mmHg
3. Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg
5. Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin kurang
dari atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan
menghilang bersama dengan diuresis pada akhir minggu pertama.
2. Laboratorium
(8)

1. Sedimen Urin
1. Eritrosit (+) sampai (++++)
2. Torak eritrosit (+) pada 60 85% kasus
2. Darah
1. Titer ASO meningkat pada 80 95% kasus.
2. Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 90% kasus.

3. Pemeriksaan Penunjang
(8)

1. Laboratorium
1. Darah
LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan
diulangi tiap minggu
Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu
masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu
Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah
sakit.
2. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari
Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)
Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m
2
/24 jam
Volume ditampung 24 jam setiap hari
3. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus
pada 10-15% kasus
4. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan
foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan
berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic
lung). Foto thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari
kemudian bila ada kelainan.
Diagnosis GNAPS ditegakkan bila ada lebih dari atau dua dari empat gejala klinik kardinal
(edema, hematuri, hipertensi, oligouri) disertai meningkatnya kadar ASO dan turunnya kadar
C3. Juga dapat ditegakkan bila keempat gejala kardinal muncul bersamaan (full blown
case).
(8)



KOMPLIKASI

1. Fase Akut :
Komplikasi utamanya adalah Gagal Ginjal Akut. Meskipun perkembangan ke arah sklerosis
jarang, pada 0.5%- 2% pasien dengan Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan ke arah
gagal ginjal periodenya cepat.
(6)


Komplikasi lain dapat berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan
kardiopulmoner, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan
pulmonary edema. Komplikasinya antara lain :
1. Retinopati hipertensi
2. Encephalopati hipertensif
3. Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload)
4. Edema Paru
5. Glomerulonefritis progresif
(7)

2. Jangka Panjang:
1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria)
2. Gagal ginjal kronik
3. Sindrom nefrotik
(6,7)


PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan mengontrol
tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun terapi lainnya.
(6)


1. Tirah baring

Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi. Sesudah fase akut
istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila
keadaan umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan.
(8)


2. Diet

a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg BB/hari
untuk Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg%
b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka.
c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari.
d. Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan = jumlah urin +
insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari
normal [10cc/kgBB/hari])
(8)


3. Medikamentosa

1. Antibiotik
Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari atau ampisilin/amoxicillin dosis
100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
untuk eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda
infeksi lainnya.
(8)


2. Anti Hipertensi
a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1
minggu setelah diuresis.
b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan furosemide 1-
2mg/kgBB/hari per oral.
(8)


4. Tindakan Khusus

Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan pemeriksaan fisis paru
menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang dilakukan adalah:
(8)

1. Stop Intake peroral.
2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Pemberian oksigen 2-5 L/menit
4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10
mg/kgBB/hari.
5. Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik
Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik
120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala serebral berupa sakit kepala, muntah,
gangguan pengelihatan, kesadaran menurun, dan kejang. Tindakan yang dilakukan adalah:
(8)

1. Stop Intake peroral.
2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam
3. Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu. Atau klonidin
0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2 sampai 3 jam, maksimal
0,05mg/kgBB/hari.
4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10
mg/kgBB/hari.
5. Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg, dilanjutkan
dengan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 1-2mg/kgBB/hari.
6. Kejang diatasi dengan antikonvulsan.
(8)



DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta.
2. Maria, Marella. Penegakan Diagnosos Glomerulonefritis Akut pada Anak, [online],
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penegakan+Diagnosis+Glomerulon
efritis+Akut+pada+Pasien+Anak (diakses pada 30 Juli 2012)
3. Glomerulonefritis Akut. 2005. [online], http://www.scribd.com/mobile/doc/48862772
(diakses pada 31 Juli 2012)
4. Sjaifullah Noer, Muhammad. Niniek Soemyarso. Glomerulonefritis Akut Paska
Streptokokkus. [online],
http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepd
f=0&pdf=&html=07110-puzf261.htm (diakses pada 31 Juli 2012)
5. http://www2.niddk.nih.gov/NIDDKLabs/Glomerular_Disease_Primer/KidneyDisease.
htm (diakses pada 31 Juli 2012)
6. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm (diakses pada 31 Juli
2012)
7. http://dp-coass.blogspot.com/2010/05/sna-pada-anak.html (diakses pada 31 Juli 2012)
8. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar
Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009

Anda mungkin juga menyukai