KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS 2012 BAB 14 KONFLIK DAN NEGOSIASI A. DEFINISI KONFLIK Kita dapat mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula ketika satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama. B. TRANSISI DALAM PEMIKIRAN KONFLIK Banyak pemikiran telah menyatakan bahwa konflik harus dihindari. Kita menyebutnya sebagai pandangan tradisional. Aliran pemikiran lain, pandangan hubungan manusia, mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dalam setiap kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Perspektif ketiga, mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam kelompok tetapi juga secara eksplisit berargumen bahwa mutlak diperlukan sejumlah konflik agar kelompok dapat berkinerja secara efektif, dinamakan sebagai pendekatan interaksionis. Pandangan Tradisional Pendekatan terdahulu terhadap konflik menganggap bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah seperti kekerasan, pengrusakan, dan irasionalitas demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik berdasarkan definisi, memiliki sifat dasar merugikan dan harus dihindari. Pandangan bahwa semua konflik bersifat buruk tentu mengemukakan pendekatan sederhana dalam melihat perilaku orang yang menciptakan konflik. Karena semua konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan perhatian kita pada penyebab konflik dan mengoreksi kesalahan fungsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Pandangan Hubungan Manusia Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu bersifat tidak terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Para pendukung merasionalkan eksistensinya: Konflik tidak dapat disingkirkan, dan bahkan ada kalanya konflik bermanfaat bagi kinerja kelompok. Pandangan hubungan manusia itu mendominasi teori konflik akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan 1970-an. Pandangan Interaksionis Meski pendekatan hubungan-manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok mempertahankan tingkat konflik minimum yang berkelanjutan-cukup untuk membuat kelompok itu bertahan hidup, kritis terhadap dirinya sendiri, dan kreatif. Dengan adanya pandangan interaksionis menjadi jelas bahwa untuk mengatakan konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat dan naif. Apakah konflik itu baik atau buruk bergantung pada tipe konflik.
C. PROSES KONFLIK Tahap 1 : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan Adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk kemunculan konflik itu. Kondisi itu tidak selalu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu agar konflik itu muncul. Komunikasi ; Tinjauan atas penelitian mengemukakan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan kebisingan saluran komunikasi semuanya merupakan penghalangan terhadap komunikasi dan kondisi anteseden yang potensial bagi konflik. Secara khusus, bukti menunjukkan bahwa kesulitan semantik timbul sebagai akibat perbedaan latihan, persepsi selektif, dan informasi tidak memadai mengenai orang- orang lain. Potensi konflik meningkat bila terdapat terlalu sedikit atau terlalu banyak komunikasi. Saluran yang dipilih untuk berkomunikasi dapat berpengaruh merangsang oposisi. Proses penyaringan yang terjadi ketika informasi disampaikan para anggota dan penyimpangan komunikasi dari saluran formal atau yang sudah ditetapkan sebelumnya, menawarkan potensi kesempatan bagi timbulnya konflik. Struktur ; Ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai kekuatan untuk merangsang konflik. Semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik ditemukan berbanding terbalik. Potensi konflik cenderung paling besar terjadi pada anggota kelompok yang lebih muda dan ketika tingkat pengunduran diri tinggi. Semakin besar ambiguitas dalam mendefinisikan secara cermat letak tanggung jawab tindakan, semakin besar potensi munculnya konflik. Ambiguitas jurisdikasi semacam itu meningkatkan perselisihan antar- kelompok untuk mendapatkan kendali atas sumber-daya dan teritori. Variabel Pribadi ; Pernahkah menjumpai seseorang yang langsung tidak disukai? Sebagian besar pandangan yang dinyatakan tidak disukai, atau dengan ciri-ciri tidak pentingnya seperti suara, senyuman, sikapnya, terasa menjengkelkan. Pasti semua pernah bertemu dengan orang semacam itu. Bila harus bekerja bersama individu seperti itu, sering terdapat potensi konflik Tahap 2 : Kognisi dan Personalisasi Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam tahap sebelumnya secara negatif mempengaruhi sesuatu yang diperdulikan oleh salah satu pihak, maka potensi oposisi atau ketidakcocokan terwujud dalam tahap kedua. Hendaknya diingat dua poin. Yang pertama, tahap 2 penting karena disitulah persoalan konflik cenderung didefinisikan. Inilah tempat dalam proses di mana pihak-pihak memutuskan mengenai apakah konflik itu. Dan, pada gilirannya, penalaran ini penting karena cara pendefinisian konflik menempuh jalan panjang menuju penetapan jenis hasil yang mungkin diselesaikan. Yang kedua kita adalah emosi memainkan peran utama dalam membentuk persepsi. Emosi negatif dijumpai menghasilkan penyederhanaan berlebihan atas suatu persoalan. Sebaliknya, emosi positif terbukti meningkatkan kecenderungan melihat potensi hubungan di antara unsur-unsur masalah, dan mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif. Tahap 3 : Maksud Maksud ; berada di antara persepsi dan emosi orang serta perilaku terang-terangan mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu. Banyak sekali konflik meningkat semata-mata karena satu pihak menghubungkan maksud yang keliru pada pihak yang lain. Di samping itu, lazimnya terdapat banyak sekali kontradiksi antara maksud dan perilaku, sehingga perilaku tidak selalu mencerminkan dengan tepat maksud-maksud seseorang. Persaingan ; Bila seseorang berusaha memenuhi kepentingannya sendiri, tidak peduli dampaknya terhadap pihak-pihak lain pada konflik itu, ia sedang bersaing. Contohnya : mencapai sasaran atas pengorbanan sasaran orang lain, berupaya meyakinkan orang lain bahwa kesimpulan yang dipunyai benar dan kesimpulan mereka keliru, dan berupaya membuat orang lain menerima untuk disalahkan dalam masalah. Kolaborasi ; Bila pihak-pihak dalam konflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi sepenuhnya kepentingan semua pihak, kita mempunyai kerjasama dan pencarian hasil yang membawa manfaat timbal balik. Dalam kolaborasi, maksud pihak-pihak tersebut adalah memecahkan masalah dengan mengklarifikasi perbedaan bukannya dengan mengakomodasi berbagai sudut pandangan. Penghindaran ; Seseorang mungkin menyadari bahwa konflik itu ada dan ingin menarik diri dari dalamnya atau menekannya. Contoh penghindaran antara lain adalah berupaya mengabaikan konflik dan menghindari orang-orang yang tidak sependapat dengan anda. Akomodasi ; Bila salah satu pihak berusaha memuaskan lawan, pihak tersebut mungkin bersedia memperlakukan kepentingan lawan itu di atas kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, agar hubungan terpelihara, salah satu pihak bersedia mengorbankan diri. Kita menyebut maksud ini sebagai akomodasi. Kompromi ; Bila setiap pihak dalam konflit itu berusaha melepaskan sesuatu, terjadilah saling memberi, yang menghasilkan suatu hasil yang terkompromikan. Dalam kompromi tidak ada pemenang atau pecundang yang jelas. Sebaliknya, terdapat kesediaan membagi obyek konflik itu dan menerima pemecahan yang memberikan kepuasan tidak lengkap atas kepentingan kedua belah pihak. Tahap 4 : Perilaku Disinilah konflik tampak nyata. Tahap perilaku mencangkup pernyataan, tindakan, dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya melaksanakan maksud- maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai ciri perangsangan yang terpisah dari maksud. Sebagai hasil salah perhitungan atau tindakan yang tidak terampil, kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang awal. Tahap 5 : Hasil Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil ini dapat bersifat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan perbaikan kinerja kelompok, atau disfungsional, dalam arti merintangi kinerja kelompok.
D. PERUNDINGAN Perundingan atau negosiasi mewarnai interaksi hampir semua orang dalam kelompok dan organisasi. Kita mendefinisikan perundingan sebagai proses di mana dua pihak atau lebih bertukar barang atau jasa dan berupaya menyepakati nilai tukar barang dan jasa tersebut. Proses Perundingan Persiapan dan Perencanaan ; Apakah sifat dasar konflik itu? Bagaimana sejarah yang memicu perundingan ini? Siapa yang terlibat dan bagaimana mereka mempersepsikan konflik itu? Apa yang diinginkan dari perundingan itu? Apakah sasaran yang ingin dicapai? Penilaian yang dirasa merupakan pendirian pihak lain atas sasaran perundingan juga harus disiapkan. Apa yang mungkin mereka minta? Seberapa besar mereka bertahan pada posisi mereka? Kepentingan tidak berwujud atau tersembunyi apakah yang mungkin penting bagi mereka? Apa yang mungkin ingin mereka selesaikan? Bila dapat mengantisipasi pendirian lawan, pasti akan lebih siap melawan argumennya dengan fakta dan angka yang mendukung pendirian. Setelah mengumpulkan informasi, gunakanlah informasi itu untuk menyusun strategi. Definisi Aturan-Aturan Dasar ; Setelah menyelesaikan perencanaan dan menyusun suatu strategi, pasti akan siap menetapkan aturan-aturan dasar dan prosedur dengan pihak lain mengenai perundingan itu sendiri. Siapa yang akan melakukan perundingan? Di mana akan diadakan? Apakah waktu akan menjadi kendala? Terbatas pada persoalan apakah perundingan itu akan diadakan? Pada tahap ini, pihak-pihak itu juga akan mempertukarkan usulan atas tuntutan awal mereka. Penjelasan dan Pembenaran ; Bila pendirian awal telah dipertukarkan, pihak kita dan pihak lain akan menerangkan, menegaskan, memperjelas, memperkuat, dan membenarkan permintaan asli pihak kita. Ini tidak selalu bersifat konfrontasional. Sebaliknya, ini merupakan kesempatan saling mendidik dan memberi informasi mengenai persoalan, mengapa persoalan itu penting, dan bagaimana cara masing- masing pihak menghasilkan permintaan awal mereka. Tawar-Menawar dan Pemecahan Masalah ; Hakikat proses perundingan adalah proses aktual memberi-dan-menerima sebagai upaya memperbincangkan persetujuan. Tidak diragukan di sinilah kompromi perlu dibuat oleh kedua pihak. Penutupan dan Implementasi ; Langkah terakhir dalam proses perundingan adalah menformalkan persetujuan yang telah diwujudkan dan menyusunkan setiap prosedur yang diperlukan untuk pelaksanaan dan pemantauan. Untuk perundingan besar, hal ini akan memerlukan pengesahan hal-hal spesifik ke dalam kontrak formal. Tetapi untuk sebagian besar kasus, penutupan proses perundingan tidak lebih formal daripada jabat tangan.
BAB 18 BUDAYA ORGANISASI A. APAKAH BUDAYA ORGANISASIONAL ITU? Definisi Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Ada tujuh karakteristik primer berikut yang menangkap hakikat dari budaya organisasi : 1. Inovasi dan pengambilan resiko 2. Perhatian terhadap detail 3. Orientasi hasil 4. Orientasi orang 5. Orientasi tim 6. Keagresifan 7. Kemantapan
Apakah Organisasi Mempunyai Budaya yang Seragam? Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi itu. Konsep ini dijadikan eksplisit ketika kita mendefinisikan budaya sebagai sistem makna yang dianut bersama. Oleh karena itu, kita akan mengharapkan bahwa individu-individu dengan latar belakang yang berlainan atau pada tingkat-tingkat yang berlainan dalam organisasi itu akan cenderung mendeskripsikan budaya organisasi dalam istilah-istilah yang serupa. Budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas anggota organisasi itu. Bila berbicara mengenai budaya organisasi, kita mengacu ke budaya dominannya. Pendangan makro mengenai budaya itu memberi organisasi kepribadian yang jelas terbedakan. Sub-budaya cenderung berkembang dalam organisasi besar untuk mencerminkan masalah, situasi, atau pengalaman bersama yang dihadapi para anggotanya. Sub-budaya ini cenderung didefinisikan menurut perancangan departemen dan pemisahan geografis. Jika organisasi-organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan tersusun sepenuhnya dari sangat banyak sub-budaya, nilai budaya organisasi sebagai variabel independen akan sangat berkurang karena tidak akan ada penafsiran yang seragam atas apa yang merupakan perilaku yang tepat dan tidak tepat. Budaya Organisasi Lawan Budaya Nasional Budaya nasional mempunyai dampak lebih besar pada para karyawan daripada budaya organisasi mereka Karenanya karyawan Jerman pada fasilitas IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh budaya Jerman daripada oleh budaya IBM. Ini berarti bahwa meskipun pengaruh budaya organisasi dalam membentuk perilaku karyawan itu besar, budaya nasional bahkan lebih besar lagi pengaruhnya. Fungsi Budaya Budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam organisasi. Pertama, budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas; artinya, budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan. Budaya sebagai beban Hambatan Terhadap Perubahan ; Budaya itu menjadi beban, jika nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Ini mungkin terjadi jika lingkungan organisasi itu dinamis. Bila lingkungan itu mengalami perubahan yang cepat, budaya organisasi itu yang telah terakar mungkin tidak lagi tepat. Jadi konsistensi perilaku merupakan aset bagi organisasi bila organisasi itu menghadapi lingkungan yang stabil. Hambatan Terhadap Keanekaragaman ; Mempekerjakan karyawan-karyawan baru karena alasan ras, kelamin, cacat, atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi, menciptakan paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru itu menerima nilai budaya inti organisasi itu. Jika tidak, kecil kemungkinan bahwa karyawan ini diterima. Tapi pada saat yang sama, manajemen ingin mengumumkan dan menunjukkan dukungan terhadap perbedaan-perbedaan yang dibawa karyawan ini ke tempat kerja. Hambatan Terhadap Merger dan Akuisisi ; Secara historis faktor-faktor utama yang diperhatikan manajemen dalam mengambil keputusan merger atau akuisisi akan terkait dengan keuntungan finansial atau sinergi produk. Dalam tahun-tahun terakhir ini, kecocokan budaya telah menjadi perhatian utama.
B. MENCIPTAKAN AN MEMPERTAHANKAN BUDAYA Asal Mula Budaya Kebiasaan, tradisi, dan cara umum organisasi melakukan segala sesuatu pada sekarang ini sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang telah dilakukannya sebelumnya dan tingkat keberhasilan yang telah diperoleh melalui usaha keras tersebut. Ini membimbing kita ke sumber paling akhir dari budaya organisasi : pendirinya. Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara : Pertama, para pendiri hanya mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka. Dan akhirnya perilaku pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi. Menjaga Budaya agar Tetap Hidup Seleksi Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Tetapi lazimnya lebih dari satu calon akan diidentifikasi sebagai memenuhi persyaratan bagi pekerjaan tertentu. Bila titik itu sudah tercapai, akan naif unuk mengabaikan bahwa keputusan akhir mengenai siapa yang akan dipekerjakan bakal sangat dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan mengenai seberapa baik calon-calon itu cocok dengan organisasi itu. Proses seleksi membeerikan informasi pada pelamarnya mengenai organisasi itu. Dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dan nilai organisasi, mereka dapat menyeleksi diri kemudian keluar dari kumpulan pelamar. Dengan cara ini, proses seleksi mendukung budaya organisasi dengan menyeleksi keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai intinya. Manajemen Puncak Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya, apakah pengambilan resiko diinginkan; berapa banyak kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian apakah yang pantasl dan tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi dan imbalan lain. Sosialisasi Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan organisasi itu dalam perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terdoktrinasi oleh budaya organisasi itu. Mungkin yang paling penting, karena mereka tidak kenal baik dengan budaya organisasi, karyawan baru justru menganggu keyakinan dan kebiasaan yang ada. Oleh karena itu, organisasi akan membantu karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi. Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai proses yang terdiri dari tiga tahap: Prakedatangan, keterlibatan, dan metamorfosis. Tahap pertama meliputi semua pembelajaran yang terjadi sebelum anggota baru bergabung dengan organisasi itu. Dalam tahap kedua, karyawan baru itu melihat seperti apakah organisasi itu sebenarnya dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat berbeda. Tahap ketiga, perubahan yang relatif lama-lama akan terjadi. Karyawan baru itu menguasai keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaannya, berhasil melakukan perannya dan melakukan penyesuaian terhadap nilai dan norma kelompok kerjanya. Proses tiga-tahap ini berdampak pada produktivitas kerja, komitmen pada tujuan organisasi, dan keputusan akhir untuk tetap bersama organisasi itu.
C. BAGAIMANA KARYAWAN MEMPELAJARI BUDAYA Cerita Cerita-cerita tentang organisasi biasanya berisi dongeng peristiwa mengenai pendiri organisasi, pelanggaran aturan, sukses dari miskin ke kaya, pengurangan angkatan kerja, lokasi karyawan, reaksi terhadap kesalahan masa lalu, dan cara mengatasi masalah organisasi. Cerita-cerita ini menautkan masa kini ke masa lampau dan memberikan penjelasan dan pengesahan atas praktik-praktik dewasa ini. Sebagian besar cerita ini berkembang secara spontan. Namun beberapa organisasi benar-benar berusaha mengelola unsur pembelajaran budaya ini. Lambang Kebendaan Tata letak markas perusahaan, tipe mobil yang diberikan kepada eksekutif puncak, dan ada-tidaknya pesawat terbang korporasi merupakan beberapa contoh lambang kebendaan. Contoh lain adalah ukuran dan tata letak kantor, keanggunan perabot, penghasilan tambahan eksekutif, dan pakaian. Lambang kebendaan ini menyampaikan kepada para karyawan siapa yang penting, sejauh mana egalitarianisme yang diinginkan oleh eksekutif puncak, dan jenis perilaku yang tepat. Bahasa Banyak organisasi dan unit di dalam organisasi menggunakan bahasa sebagai cara mengidentifikasi anggota budaya atau sub-budaya. Dengan mempelajari bahasa ini, anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu dan, dengan berbuat seperti itu, membantu melestarikannya. Dari waktu ke waktu, organisasi-organisasi sering mengembangkan istilah yang unik untuk mendeskripsikan peralatan, kantor, personil utama, pemasok, pelanggan, atau produk yang berkaitan dengan bisnisnya. Karyawan baru sering dibanjiri dengan akronim dan jargon yang, setelah enam bulan pada pekerjaan itu, telah menjadi bagian dari bahasa mereka. Setelah diserap, peristilahan ini bertindak sebagai sebutan bersama yang menyatukan anggota-anggota budaya atau sub-budaya tertentu.
D. MENCIPTAKAN BUDAYA ORGANISASI YANG ETIS Apa yang dapat dilakukan manajemen untuk menciptakan budaya yang lebih etis? Jadilah model peran yang kelihatan Komunikasikanlah harapan etis Berikanlah pelatihan etis Berikanlah imbalan secara terang-terangan terhadap tindakan etis dan berikan hukuman terhadap tindakan yang tidak etis Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi
E. MENCIPTAKAN BUDAYA YANG TANGGAP TERHADAP PELANGGAN Organisasi berusaha menciptakan budaya yang tanggap terhadap pelanggan karena mereka mengakui bahwa ini merupakan jalur menuju kesetiaan pelanggan dan kemampuan menghasilkan laba jangka panjang. Variabel-Variabel Kunci yang Membentuk Budaya Yanggap terhadap Pelanggan Singkatnya, budaya tanggap-terhadap-pelanggan mempekerjakan karyawan yang berorientasi-layanan dengan keterampilan mendengar yang baik dan keinginan bekerja melebihi batas uraian jabatannya agar dapat melakukan apa yang perlu untuk menyenangkan pelanggan. Hal itu kemudian memperjelas peran mereka, membebaskan mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah dengan meminimalisir kaidah dan peraturan, dan memberikan keleluasaan keputusan yang luas untuk melakukan pekerjaan mereka bila mereka menganggap keleluasaan itu memang perlu. Tindakan Manajerial Seleksi Keramahan, kegairahan, dan perhatian dalam diri karyawan jasa secara positif mempengaruhi persepsi pelanggan tentang mutu layanan. Maka manajer harus mencari ciri semacam ini dalam diri para pelamar
Pelatihan dan Sosialisasi Organisasi yang berusaha menjadi lebih tanggap terhadap pelanggan tidak selalu harus melakukan perekrutan semua karyawan baru. Yang lebih umum, adalah bahwa manajemen menghadapi tantangan untuk membuat karyawan yang sekarang ada menjadi lebih berfokus pada pelanggan. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah pelatihan, bukan perekrutan. Selain itu, karyawan baru yang memiliki sikap ramah terhadap pelanggan sekalipun mungkin perlu memahami harapan manajemen. Dengan demikian semua orang di bidang kontak layanan baru hendaknya disosialisasikan mengenai sasaran dan nilai organisasi. Rancangan Struktural Struktur organisasi perlu lebih banyak memberikan kendali ke karyawan. Ini dapat dicapai dengan mengurangi kaidah dan aturan. Karyawan itu lebih mampu memuaskan pelanggan bila mereka memiliki beberapa kendali atas perjumpaan pelayanan. Dengan demikian manajer perlu memberi kesempatan karyawan menyesuaikan perilaku mereka dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang senantiasa berubah. Pemberdayaan Konsisten dengan formalisasi yang rendah adalah pemberdayaan karyawan dengan memberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan dari hari ke hari menyangkut kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Komponen ini dianggap sangat perlu dalam perihal memuaskan pelanggan. Kepemimpinan CEO dalam hampir setiap organisasi yang berhasil menciptakan dan mempertahankan budaya tanggap-terhadap pelanggan, memainkan peran utama dalam menyampaikan pesan itu. Evaluasi Kinerja Evaluasi kinerja berdasarkan-perilaku itu konsisten dengan peningkatan layanan pelanggan. Mengapa dalam memperbaiki layanan, perilaku lebih unggul daripada hasil? Karena penilaian itu mendorong karyawan berperilaku yang kondusif terhadap peningkatan mutu pelayanan dan memberi karyawan lebih banyak kendali atas kondisi yang mempengaruhi evaluasi kinerja mereka.
Sistem Imbalan Jika manajemen ingin agar karyawan memberikan layanan yang baik, maka ia harus memberikan imbalan berdasar layanan yang baik. Ia perlu memberikan pengakuan terus menerus kepada karyawan yang menunjukkan usaha yang luar biasa untuk menyenangkan pelanggan. F. SPIRITUALITAS DAN BUDAYA ORGANISASI Ciri-ciri Organisasi Spiritual Konsep tentang spiritualis tempat kerja muncul dari pembahasan kita sebelumnya tentang topik-topik seperti nilai, etika, motivasi, kepemimpinan, dan keseimbangan kehidupan pribadi/kerja. Sangat Memperhatikan Tujuan ; Organisasi spiritual membangun budaya mereka berdasar tujuan yang bermanfaat. Walaupun kalau perlu, laba bukan merupakan nilai utama organisasi. Fokus pada Pengembangan Individu ; Organisasi-organisasi spiritual mengakui bobot dan nilai orang. Mereka tidak hanya memberikan jabatan. Mereka berusaha menciptakan budaya yang memungkinkan karyawan dapat terus menerus belajar dan tumbuh. Dengan mengakui pentingnya orang, mereka juga berusaha memberikan keamanan kerja. Kepercayaan dan Keterbukaan ; Ciri-ciri organisasi spiritual adalah kepercayaan timbal balik, kejujuran, dan keterbukaan. Para manajer tidak takut mengakui kesalahan. Dan mereka cenderung sangat berterus terang dengan karyawan, pelangga, dan pemasok. Pemberdayaan Karyawan ; Iklim kepercayaan-tinggi dalam organisasi spiritual, bila digabungkan dengan keinginan memajukan pembelajaran dan pertumbuhan karyawan, mengakibatkan manajemen memberdayakan karyawan sehingga mampu mengambil sebagian besar keputusan yang berhubungan dengan kerja. Toleransi terhadap Ekspresi Karyawan ; Karakter terakhir yang membedakan organisasi berbasis spiritual adalah mereka tidak melumpuhkan emosi karyawan. Mereka memungkinkan orang untuk menjadi diri sendiri-mengekspresikan suasana hati dan perasaan mereka tanpa rasa salah dan takut ditegur.