Anda di halaman 1dari 15

RESUME

KONFLIK NEGOISASI & BUDAYA ORGANISASI





DISUSUN OLEH:
NICO ARFI S
[ 115020300111018]


KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
2012
BAB 14
KONFLIK DAN NEGOSIASI
A. DEFINISI KONFLIK
Kita dapat mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula ketika satu pihak
merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera
mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian pihak pertama.
B. TRANSISI DALAM PEMIKIRAN KONFLIK
Banyak pemikiran telah menyatakan bahwa konflik harus dihindari. Kita menyebutnya
sebagai pandangan tradisional. Aliran pemikiran lain, pandangan hubungan manusia,
mengemukakan bahwa konflik adalah hasil yang wajar dan tidak terelakkan dalam setiap
kelompok dan bahwa itu tidak perlu dianggap buruk, melainkan sebaliknya berpotensi
menjadi kekuatan positif dalam menetapkan kinerja kelompok. Perspektif ketiga,
mengemukakan bahwa konflik tidak hanya dapat menjadi kekuatan positif dalam
kelompok tetapi juga secara eksplisit berargumen bahwa mutlak diperlukan sejumlah
konflik agar kelompok dapat berkinerja secara efektif, dinamakan sebagai pendekatan
interaksionis.
Pandangan Tradisional
Pendekatan terdahulu terhadap konflik menganggap bahwa semua konflik itu buruk.
Konflik dipandang secara negatif, dan disinonimkan dengan istilah seperti kekerasan,
pengrusakan, dan irasionalitas demi memperkuat konotasi negatifnya. Konflik
berdasarkan definisi, memiliki sifat dasar merugikan dan harus dihindari.
Pandangan bahwa semua konflik bersifat buruk tentu mengemukakan pendekatan
sederhana dalam melihat perilaku orang yang menciptakan konflik. Karena semua
konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan perhatian kita pada penyebab
konflik dan mengoreksi kesalahan fungsi ini untuk memperbaiki kinerja kelompok
dan organisasi.
Pandangan Hubungan Manusia
Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang
wajar dalam semua kelompok dan organisasi. Karena konflik itu bersifat tidak
terelakkan, aliran hubungan manusia menganjurkan penerimaan konflik. Para
pendukung merasionalkan eksistensinya: Konflik tidak dapat disingkirkan, dan
bahkan ada kalanya konflik bermanfaat bagi kinerja kelompok. Pandangan hubungan
manusia itu mendominasi teori konflik akhir dasawarsa 1940-an sampai pertengahan
1970-an.
Pandangan Interaksionis
Meski pendekatan hubungan-manusia menerima konflik, pendekatan interaksionis
mendorong konflik atas dasar bahwa kelompok yang kooperatif, tenang, damai, dan
serasi cenderung menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan
perubahan dan inovasi. Oleh karena itu, sumbangan utama dari pendekatan
interaksionis adalah mendorong pemimpin kelompok mempertahankan tingkat
konflik minimum yang berkelanjutan-cukup untuk membuat kelompok itu bertahan
hidup, kritis terhadap dirinya sendiri, dan kreatif.
Dengan adanya pandangan interaksionis menjadi jelas bahwa untuk mengatakan
konflik itu seluruhnya baik atau buruk tidaklah tepat dan naif. Apakah konflik itu baik
atau buruk bergantung pada tipe konflik.

C. PROSES KONFLIK
Tahap 1 : Potensi Oposisi atau Ketidakcocokan
Adanya kondisi yang menciptakan kesempatan untuk kemunculan konflik itu. Kondisi itu
tidak selalu langsung mengarah ke konflik, tetapi salah satu kondisi itu perlu agar konflik
itu muncul.
Komunikasi ; Tinjauan atas penelitian mengemukakan bahwa kesulitan semantik,
pertukaran informasi yang tidak cukup, dan kebisingan saluran komunikasi semuanya
merupakan penghalangan terhadap komunikasi dan kondisi anteseden yang potensial bagi
konflik. Secara khusus, bukti menunjukkan bahwa kesulitan semantik timbul sebagai
akibat perbedaan latihan, persepsi selektif, dan informasi tidak memadai mengenai orang-
orang lain. Potensi konflik meningkat bila terdapat terlalu sedikit atau terlalu banyak
komunikasi. Saluran yang dipilih untuk berkomunikasi dapat berpengaruh merangsang
oposisi. Proses penyaringan yang terjadi ketika informasi disampaikan para anggota dan
penyimpangan komunikasi dari saluran formal atau yang sudah ditetapkan sebelumnya,
menawarkan potensi kesempatan bagi timbulnya konflik.
Struktur ; Ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai kekuatan untuk merangsang konflik.
Semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, semakin besar
kemungkinan terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik ditemukan berbanding terbalik.
Potensi konflik cenderung paling besar terjadi pada anggota kelompok yang lebih muda
dan ketika tingkat pengunduran diri tinggi. Semakin besar ambiguitas dalam
mendefinisikan secara cermat letak tanggung jawab tindakan, semakin besar potensi
munculnya konflik. Ambiguitas jurisdikasi semacam itu meningkatkan perselisihan antar-
kelompok untuk mendapatkan kendali atas sumber-daya dan teritori.
Variabel Pribadi ; Pernahkah menjumpai seseorang yang langsung tidak disukai?
Sebagian besar pandangan yang dinyatakan tidak disukai, atau dengan ciri-ciri tidak
pentingnya seperti suara, senyuman, sikapnya, terasa menjengkelkan. Pasti semua pernah
bertemu dengan orang semacam itu. Bila harus bekerja bersama individu seperti itu,
sering terdapat potensi konflik
Tahap 2 : Kognisi dan Personalisasi
Jika kondisi-kondisi yang disebut dalam tahap sebelumnya secara negatif mempengaruhi
sesuatu yang diperdulikan oleh salah satu pihak, maka potensi oposisi atau
ketidakcocokan terwujud dalam tahap kedua.
Hendaknya diingat dua poin. Yang pertama, tahap 2 penting karena disitulah persoalan
konflik cenderung didefinisikan. Inilah tempat dalam proses di mana pihak-pihak
memutuskan mengenai apakah konflik itu. Dan, pada gilirannya, penalaran ini penting
karena cara pendefinisian konflik menempuh jalan panjang menuju penetapan jenis hasil
yang mungkin diselesaikan. Yang kedua kita adalah emosi memainkan peran utama
dalam membentuk persepsi. Emosi negatif dijumpai menghasilkan penyederhanaan
berlebihan atas suatu persoalan. Sebaliknya, emosi positif terbukti meningkatkan
kecenderungan melihat potensi hubungan di antara unsur-unsur masalah, dan
mengembangkan penyelesaian yang lebih inovatif.
Tahap 3 : Maksud
Maksud ; berada di antara persepsi dan emosi orang serta perilaku terang-terangan
mereka. Maksud merupakan keputusan untuk bertindak dalam cara tertentu.
Banyak sekali konflik meningkat semata-mata karena satu pihak menghubungkan maksud
yang keliru pada pihak yang lain. Di samping itu, lazimnya terdapat banyak sekali
kontradiksi antara maksud dan perilaku, sehingga perilaku tidak selalu mencerminkan
dengan tepat maksud-maksud seseorang.
Persaingan ; Bila seseorang berusaha memenuhi kepentingannya sendiri, tidak peduli
dampaknya terhadap pihak-pihak lain pada konflik itu, ia sedang bersaing. Contohnya :
mencapai sasaran atas pengorbanan sasaran orang lain, berupaya meyakinkan orang lain
bahwa kesimpulan yang dipunyai benar dan kesimpulan mereka keliru, dan berupaya
membuat orang lain menerima untuk disalahkan dalam masalah.
Kolaborasi ; Bila pihak-pihak dalam konflik masing-masing berhasrat untuk memenuhi
sepenuhnya kepentingan semua pihak, kita mempunyai kerjasama dan pencarian hasil
yang membawa manfaat timbal balik. Dalam kolaborasi, maksud pihak-pihak tersebut
adalah memecahkan masalah dengan mengklarifikasi perbedaan bukannya dengan
mengakomodasi berbagai sudut pandangan.
Penghindaran ; Seseorang mungkin menyadari bahwa konflik itu ada dan ingin menarik
diri dari dalamnya atau menekannya. Contoh penghindaran antara lain adalah berupaya
mengabaikan konflik dan menghindari orang-orang yang tidak sependapat dengan anda.
Akomodasi ; Bila salah satu pihak berusaha memuaskan lawan, pihak tersebut mungkin
bersedia memperlakukan kepentingan lawan itu di atas kepentingannya sendiri. Dengan
kata lain, agar hubungan terpelihara, salah satu pihak bersedia mengorbankan diri. Kita
menyebut maksud ini sebagai akomodasi.
Kompromi ; Bila setiap pihak dalam konflit itu berusaha melepaskan sesuatu, terjadilah
saling memberi, yang menghasilkan suatu hasil yang terkompromikan. Dalam kompromi
tidak ada pemenang atau pecundang yang jelas. Sebaliknya, terdapat kesediaan membagi
obyek konflik itu dan menerima pemecahan yang memberikan kepuasan tidak lengkap
atas kepentingan kedua belah pihak.
Tahap 4 : Perilaku
Disinilah konflik tampak nyata. Tahap perilaku mencangkup pernyataan, tindakan, dan
reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Perilaku konflik ini biasanya secara terang-terangan berupaya melaksanakan maksud-
maksud setiap pihak. Tetapi perilaku-perilaku ini mempunyai ciri perangsangan yang
terpisah dari maksud. Sebagai hasil salah perhitungan atau tindakan yang tidak terampil,
kadangkala perilaku terang-terangan menyimpang dari maksud-maksud yang awal.
Tahap 5 : Hasil
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan konsekuensi. Hasil
ini dapat bersifat fungsional, dalam arti konflik itu menghasilkan perbaikan kinerja
kelompok, atau disfungsional, dalam arti merintangi kinerja kelompok.

D. PERUNDINGAN
Perundingan atau negosiasi mewarnai interaksi hampir semua orang dalam kelompok dan
organisasi. Kita mendefinisikan perundingan sebagai proses di mana dua pihak atau lebih
bertukar barang atau jasa dan berupaya menyepakati nilai tukar barang dan jasa tersebut.
Proses Perundingan
Persiapan dan Perencanaan ; Apakah sifat dasar konflik itu? Bagaimana sejarah
yang memicu perundingan ini? Siapa yang terlibat dan bagaimana mereka
mempersepsikan konflik itu? Apa yang diinginkan dari perundingan itu? Apakah
sasaran yang ingin dicapai?
Penilaian yang dirasa merupakan pendirian pihak lain atas sasaran perundingan juga
harus disiapkan. Apa yang mungkin mereka minta? Seberapa besar mereka bertahan
pada posisi mereka? Kepentingan tidak berwujud atau tersembunyi apakah yang
mungkin penting bagi mereka? Apa yang mungkin ingin mereka selesaikan? Bila
dapat mengantisipasi pendirian lawan, pasti akan lebih siap melawan argumennya
dengan fakta dan angka yang mendukung pendirian.
Setelah mengumpulkan informasi, gunakanlah informasi itu untuk menyusun strategi.
Definisi Aturan-Aturan Dasar ; Setelah menyelesaikan perencanaan dan menyusun
suatu strategi, pasti akan siap menetapkan aturan-aturan dasar dan prosedur dengan
pihak lain mengenai perundingan itu sendiri. Siapa yang akan melakukan
perundingan? Di mana akan diadakan? Apakah waktu akan menjadi kendala?
Terbatas pada persoalan apakah perundingan itu akan diadakan? Pada tahap ini,
pihak-pihak itu juga akan mempertukarkan usulan atas tuntutan awal mereka.
Penjelasan dan Pembenaran ; Bila pendirian awal telah dipertukarkan, pihak kita
dan pihak lain akan menerangkan, menegaskan, memperjelas, memperkuat, dan
membenarkan permintaan asli pihak kita. Ini tidak selalu bersifat konfrontasional.
Sebaliknya, ini merupakan kesempatan saling mendidik dan memberi informasi
mengenai persoalan, mengapa persoalan itu penting, dan bagaimana cara masing-
masing pihak menghasilkan permintaan awal mereka.
Tawar-Menawar dan Pemecahan Masalah ; Hakikat proses perundingan adalah
proses aktual memberi-dan-menerima sebagai upaya memperbincangkan persetujuan.
Tidak diragukan di sinilah kompromi perlu dibuat oleh kedua pihak.
Penutupan dan Implementasi ; Langkah terakhir dalam proses perundingan adalah
menformalkan persetujuan yang telah diwujudkan dan menyusunkan setiap prosedur
yang diperlukan untuk pelaksanaan dan pemantauan. Untuk perundingan besar, hal ini
akan memerlukan pengesahan hal-hal spesifik ke dalam kontrak formal. Tetapi untuk
sebagian besar kasus, penutupan proses perundingan tidak lebih formal daripada jabat
tangan.












BAB 18
BUDAYA ORGANISASI
A. APAKAH BUDAYA ORGANISASIONAL ITU?
Definisi
Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama, merupakan seperangkat
karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi itu. Ada tujuh karakteristik primer
berikut yang menangkap hakikat dari budaya organisasi :
1. Inovasi dan pengambilan resiko
2. Perhatian terhadap detail
3. Orientasi hasil
4. Orientasi orang
5. Orientasi tim
6. Keagresifan
7. Kemantapan

Apakah Organisasi Mempunyai Budaya yang Seragam?
Budaya organisasi menunjukkan persepsi bersama yang dianut oleh anggota organisasi itu.
Konsep ini dijadikan eksplisit ketika kita mendefinisikan budaya sebagai sistem makna
yang dianut bersama. Oleh karena itu, kita akan mengharapkan bahwa individu-individu
dengan latar belakang yang berlainan atau pada tingkat-tingkat yang berlainan dalam
organisasi itu akan cenderung mendeskripsikan budaya organisasi dalam istilah-istilah
yang serupa.
Budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh mayoritas
anggota organisasi itu. Bila berbicara mengenai budaya organisasi, kita mengacu ke
budaya dominannya. Pendangan makro mengenai budaya itu memberi organisasi
kepribadian yang jelas terbedakan. Sub-budaya cenderung berkembang dalam organisasi
besar untuk mencerminkan masalah, situasi, atau pengalaman bersama yang dihadapi para
anggotanya. Sub-budaya ini cenderung didefinisikan menurut perancangan departemen
dan pemisahan geografis.
Jika organisasi-organisasi tidak mempunyai budaya dominan dan tersusun sepenuhnya
dari sangat banyak sub-budaya, nilai budaya organisasi sebagai variabel independen akan
sangat berkurang karena tidak akan ada penafsiran yang seragam atas apa yang
merupakan perilaku yang tepat dan tidak tepat.
Budaya Organisasi Lawan Budaya Nasional
Budaya nasional mempunyai dampak lebih besar pada para karyawan daripada budaya
organisasi mereka Karenanya karyawan Jerman pada fasilitas IBM di Munich akan lebih
dipengaruhi oleh budaya Jerman daripada oleh budaya IBM. Ini berarti bahwa meskipun
pengaruh budaya organisasi dalam membentuk perilaku karyawan itu besar, budaya
nasional bahkan lebih besar lagi pengaruhnya.
Fungsi Budaya
Budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam organisasi. Pertama, budaya mempunyai
peran menetapkan tapal batas; artinya, budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara
satu organisasi dan yang lain. Kedua, budaya memberikan rasa identitas ke anggota
organisasi. Ketiga, budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih
luas daripada kepentingan diri pribadi seseorang. Keempat, budaya itu meningkatkan
kemantapan sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu
mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar yang tepat mengenai apa yang
harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan.
Budaya sebagai beban
Hambatan Terhadap Perubahan ; Budaya itu menjadi beban, jika nilai-nilai bersama
tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Ini mungkin
terjadi jika lingkungan organisasi itu dinamis. Bila lingkungan itu mengalami perubahan
yang cepat, budaya organisasi itu yang telah terakar mungkin tidak lagi tepat. Jadi
konsistensi perilaku merupakan aset bagi organisasi bila organisasi itu menghadapi
lingkungan yang stabil.
Hambatan Terhadap Keanekaragaman ; Mempekerjakan karyawan-karyawan baru
karena alasan ras, kelamin, cacat, atau perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas
anggota organisasi, menciptakan paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru itu
menerima nilai budaya inti organisasi itu. Jika tidak, kecil kemungkinan bahwa karyawan
ini diterima. Tapi pada saat yang sama, manajemen ingin mengumumkan dan
menunjukkan dukungan terhadap perbedaan-perbedaan yang dibawa karyawan ini ke
tempat kerja.
Hambatan Terhadap Merger dan Akuisisi ; Secara historis faktor-faktor utama yang
diperhatikan manajemen dalam mengambil keputusan merger atau akuisisi akan terkait
dengan keuntungan finansial atau sinergi produk. Dalam tahun-tahun terakhir ini,
kecocokan budaya telah menjadi perhatian utama.

B. MENCIPTAKAN AN MEMPERTAHANKAN BUDAYA
Asal Mula Budaya
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum organisasi melakukan segala sesuatu pada sekarang ini
sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang telah dilakukannya sebelumnya dan tingkat
keberhasilan yang telah diperoleh melalui usaha keras tersebut. Ini membimbing kita ke
sumber paling akhir dari budaya organisasi : pendirinya.
Proses penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara : Pertama, para pendiri hanya
mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang berpikir dan merasakan cara yang
mereka tempuh. Kedua, mereka mengindoktrinasikan dan mensosialisasikan para
karyawan ini dengan cara berpikir dan cara berperasaan mereka. Dan akhirnya perilaku
pendiri itu sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
mengidentifikasikan diri dengan mereka dan oleh karenanya menginternalisasikan
keyakinan, nilai, dan asumsi-asumsi mereka. Bila organisasi berhasil, visi pendiri menjadi
terlihat sebagai penentu utama keberhasilan. Pada titik ini, keseluruhan kepribadian
pendiri menjadi tertanam ke dalam budaya organisasi.
Menjaga Budaya agar Tetap Hidup
Seleksi
Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan mempekerjakan
individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Tetapi lazimnya lebih
dari satu calon akan diidentifikasi sebagai memenuhi persyaratan bagi pekerjaan
tertentu. Bila titik itu sudah tercapai, akan naif unuk mengabaikan bahwa keputusan
akhir mengenai siapa yang akan dipekerjakan bakal sangat dipengaruhi oleh penilaian
pengambil keputusan mengenai seberapa baik calon-calon itu cocok dengan
organisasi itu. Proses seleksi membeerikan informasi pada pelamarnya mengenai
organisasi itu. Dan jika mereka merasakan konflik antara nilai mereka dan nilai
organisasi, mereka dapat menyeleksi diri kemudian keluar dari kumpulan pelamar.
Dengan cara ini, proses seleksi mendukung budaya organisasi dengan menyeleksi
keluar individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai
intinya.
Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya organisasi.
Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, eksekutif senior
menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang organisasi, misalnya,
apakah pengambilan resiko diinginkan; berapa banyak kebebasan seharusnya
diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian apakah yang pantasl
dan tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah, promosi dan imbalan
lain.
Sosialisasi
Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan organisasi itu dalam perekrutan dan
seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terdoktrinasi oleh budaya organisasi itu.
Mungkin yang paling penting, karena mereka tidak kenal baik dengan budaya
organisasi, karyawan baru justru menganggu keyakinan dan kebiasaan yang ada. Oleh
karena itu, organisasi akan membantu karyawan baru menyesuaikan diri dengan
budayanya. Proses penyesuaian ini disebut sosialisasi.
Sosialisasi dapat dikonsepkan sebagai proses yang terdiri dari tiga tahap:
Prakedatangan, keterlibatan, dan metamorfosis. Tahap pertama meliputi semua
pembelajaran yang terjadi sebelum anggota baru bergabung dengan organisasi itu.
Dalam tahap kedua, karyawan baru itu melihat seperti apakah organisasi itu
sebenarnya dan menghadapi kemungkinan bahwa harapan dan kenyataan dapat
berbeda. Tahap ketiga, perubahan yang relatif lama-lama akan terjadi. Karyawan baru
itu menguasai keterampilan yang diperlukan untuk pekerjaannya, berhasil melakukan
perannya dan melakukan penyesuaian terhadap nilai dan norma kelompok kerjanya.
Proses tiga-tahap ini berdampak pada produktivitas kerja, komitmen pada tujuan
organisasi, dan keputusan akhir untuk tetap bersama organisasi itu.

C. BAGAIMANA KARYAWAN MEMPELAJARI BUDAYA
Cerita
Cerita-cerita tentang organisasi biasanya berisi dongeng peristiwa mengenai pendiri
organisasi, pelanggaran aturan, sukses dari miskin ke kaya, pengurangan angkatan kerja,
lokasi karyawan, reaksi terhadap kesalahan masa lalu, dan cara mengatasi masalah
organisasi. Cerita-cerita ini menautkan masa kini ke masa lampau dan memberikan
penjelasan dan pengesahan atas praktik-praktik dewasa ini. Sebagian besar cerita ini
berkembang secara spontan. Namun beberapa organisasi benar-benar berusaha mengelola
unsur pembelajaran budaya ini.
Lambang Kebendaan
Tata letak markas perusahaan, tipe mobil yang diberikan kepada eksekutif puncak, dan
ada-tidaknya pesawat terbang korporasi merupakan beberapa contoh lambang kebendaan.
Contoh lain adalah ukuran dan tata letak kantor, keanggunan perabot, penghasilan
tambahan eksekutif, dan pakaian. Lambang kebendaan ini menyampaikan kepada para
karyawan siapa yang penting, sejauh mana egalitarianisme yang diinginkan oleh eksekutif
puncak, dan jenis perilaku yang tepat.
Bahasa
Banyak organisasi dan unit di dalam organisasi menggunakan bahasa sebagai cara
mengidentifikasi anggota budaya atau sub-budaya. Dengan mempelajari bahasa ini,
anggota membuktikan penerimaan mereka akan budaya itu dan, dengan berbuat seperti
itu, membantu melestarikannya.
Dari waktu ke waktu, organisasi-organisasi sering mengembangkan istilah yang unik
untuk mendeskripsikan peralatan, kantor, personil utama, pemasok, pelanggan, atau
produk yang berkaitan dengan bisnisnya. Karyawan baru sering dibanjiri dengan akronim
dan jargon yang, setelah enam bulan pada pekerjaan itu, telah menjadi bagian dari bahasa
mereka. Setelah diserap, peristilahan ini bertindak sebagai sebutan bersama yang
menyatukan anggota-anggota budaya atau sub-budaya tertentu.


D. MENCIPTAKAN BUDAYA ORGANISASI YANG ETIS
Apa yang dapat dilakukan manajemen untuk menciptakan budaya yang lebih etis?
Jadilah model peran yang kelihatan
Komunikasikanlah harapan etis
Berikanlah pelatihan etis
Berikanlah imbalan secara terang-terangan terhadap tindakan etis dan berikan
hukuman terhadap tindakan yang tidak etis
Sediakanlah mekanisme yang bersifat melindungi

E. MENCIPTAKAN BUDAYA YANG TANGGAP TERHADAP PELANGGAN
Organisasi berusaha menciptakan budaya yang tanggap terhadap pelanggan karena
mereka mengakui bahwa ini merupakan jalur menuju kesetiaan pelanggan dan
kemampuan menghasilkan laba jangka panjang.
Variabel-Variabel Kunci yang Membentuk Budaya Yanggap terhadap Pelanggan
Singkatnya, budaya tanggap-terhadap-pelanggan mempekerjakan karyawan yang
berorientasi-layanan dengan keterampilan mendengar yang baik dan keinginan bekerja
melebihi batas uraian jabatannya agar dapat melakukan apa yang perlu untuk
menyenangkan pelanggan. Hal itu kemudian memperjelas peran mereka, membebaskan
mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah dengan
meminimalisir kaidah dan peraturan, dan memberikan keleluasaan keputusan yang luas
untuk melakukan pekerjaan mereka bila mereka menganggap keleluasaan itu memang
perlu.
Tindakan Manajerial
Seleksi
Keramahan, kegairahan, dan perhatian dalam diri karyawan jasa secara positif
mempengaruhi persepsi pelanggan tentang mutu layanan. Maka manajer harus mencari
ciri semacam ini dalam diri para pelamar


Pelatihan dan Sosialisasi
Organisasi yang berusaha menjadi lebih tanggap terhadap pelanggan tidak selalu harus
melakukan perekrutan semua karyawan baru. Yang lebih umum, adalah bahwa
manajemen menghadapi tantangan untuk membuat karyawan yang sekarang ada menjadi
lebih berfokus pada pelanggan. Dalam hal ini yang lebih ditekankan adalah pelatihan,
bukan perekrutan. Selain itu, karyawan baru yang memiliki sikap ramah terhadap
pelanggan sekalipun mungkin perlu memahami harapan manajemen. Dengan demikian
semua orang di bidang kontak layanan baru hendaknya disosialisasikan mengenai sasaran
dan nilai organisasi.
Rancangan Struktural
Struktur organisasi perlu lebih banyak memberikan kendali ke karyawan. Ini dapat
dicapai dengan mengurangi kaidah dan aturan. Karyawan itu lebih mampu memuaskan
pelanggan bila mereka memiliki beberapa kendali atas perjumpaan pelayanan. Dengan
demikian manajer perlu memberi kesempatan karyawan menyesuaikan perilaku mereka
dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang senantiasa berubah.
Pemberdayaan
Konsisten dengan formalisasi yang rendah adalah pemberdayaan karyawan dengan
memberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan dari hari ke hari menyangkut
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pekerjaan. Komponen ini dianggap sangat
perlu dalam perihal memuaskan pelanggan.
Kepemimpinan
CEO dalam hampir setiap organisasi yang berhasil menciptakan dan mempertahankan
budaya tanggap-terhadap pelanggan, memainkan peran utama dalam menyampaikan
pesan itu.
Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja berdasarkan-perilaku itu konsisten dengan peningkatan layanan
pelanggan. Mengapa dalam memperbaiki layanan, perilaku lebih unggul daripada hasil?
Karena penilaian itu mendorong karyawan berperilaku yang kondusif terhadap
peningkatan mutu pelayanan dan memberi karyawan lebih banyak kendali atas kondisi
yang mempengaruhi evaluasi kinerja mereka.

Sistem Imbalan
Jika manajemen ingin agar karyawan memberikan layanan yang baik, maka ia harus
memberikan imbalan berdasar layanan yang baik. Ia perlu memberikan pengakuan terus
menerus kepada karyawan yang menunjukkan usaha yang luar biasa untuk
menyenangkan pelanggan.
F. SPIRITUALITAS DAN BUDAYA ORGANISASI
Ciri-ciri Organisasi Spiritual
Konsep tentang spiritualis tempat kerja muncul dari pembahasan kita sebelumnya tentang
topik-topik seperti nilai, etika, motivasi, kepemimpinan, dan keseimbangan kehidupan
pribadi/kerja.
Sangat Memperhatikan Tujuan ; Organisasi spiritual membangun budaya mereka
berdasar tujuan yang bermanfaat. Walaupun kalau perlu, laba bukan merupakan nilai
utama organisasi.
Fokus pada Pengembangan Individu ; Organisasi-organisasi spiritual mengakui
bobot dan nilai orang. Mereka tidak hanya memberikan jabatan. Mereka berusaha
menciptakan budaya yang memungkinkan karyawan dapat terus menerus belajar dan
tumbuh. Dengan mengakui pentingnya orang, mereka juga berusaha memberikan
keamanan kerja.
Kepercayaan dan Keterbukaan ; Ciri-ciri organisasi spiritual adalah kepercayaan
timbal balik, kejujuran, dan keterbukaan. Para manajer tidak takut mengakui
kesalahan. Dan mereka cenderung sangat berterus terang dengan karyawan, pelangga,
dan pemasok.
Pemberdayaan Karyawan ; Iklim kepercayaan-tinggi dalam organisasi spiritual, bila
digabungkan dengan keinginan memajukan pembelajaran dan pertumbuhan karyawan,
mengakibatkan manajemen memberdayakan karyawan sehingga mampu mengambil
sebagian besar keputusan yang berhubungan dengan kerja.
Toleransi terhadap Ekspresi Karyawan ; Karakter terakhir yang membedakan
organisasi berbasis spiritual adalah mereka tidak melumpuhkan emosi karyawan.
Mereka memungkinkan orang untuk menjadi diri sendiri-mengekspresikan suasana
hati dan perasaan mereka tanpa rasa salah dan takut ditegur.

Anda mungkin juga menyukai