Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Nosokomial
2.1.1. Pengertian Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI)
adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di rumah
sakit (WHO, 2004). Sumber lain mendefinisikan infeksi nosokomial merupakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan setelah dirawat
2x24 jam. Sebelum dirawat, pasien tidak memiliki gejala tersebut dan tidak dalam
masa inkubasi. Infeksi nosokomial bukan merupakan dampak dari infeksi penyakit
yang telah dideritanya. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien
merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya infeksi nosokomial, karena
infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pengunjung
atau keluarga ataupun dari petugas ke pasien (Husain, 2008).
Menurut Vincent (2003) Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang tidak
terinkubasi dan terjadi ketika pasien masuk ke rumah sakit atau akibat dari fasilitas
kesehatan lainnya yang ada di rumah sakit. Menurut Breathnach (2005) Infeksi
nosokomial adalah suatu infeksi yang terjadi di rumah sakit yang berasal dari alat-alat
medis, prosedur medis atau pemberian terapi.


8
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Cara penularan Infeksi Nosokomial
Menurur Depkes RI (1995) macam-macam penularan infeksi nosokomial bisa
berupa :
1) Infeksi silang (Cross Infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang
didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak
langsung.
2) Infeksi sendiri (Self infection, Auto infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh
kuman dari penderita itu sendiri berpindah tempat dari satu jaringan kejaringan
lain
3) Infeksi lingkungan (Enverenmental infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh
kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada
di lingkungan rumah sakit, misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain.

2.1.3. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial







Penjamu yang
Rentan
Tempat Masuk
Cara Penularan
Kontak Langsung
dan Tidak
Langsung
Tempat Keluar
Sumber
Penyebab
Gambar 2.1. Skema Rantai Penularan Infeksi Nosokomial (Spiritia, 2006)
Universitas Sumatera Utara
Dari gambar 2.1. diatas di jelaskan bahwa awal rantai penularan infeksi
nosokomial dimulai dari penyebab (di bagian tengah gambar) dimana penyebabnya
seperti jamur, bakteri, virus atau parasit menuju ke sumber seperti manusia ataupun
benda. Selanjutnya kuman keluar dari sumber menuju ke tempat tertentu, kemudian
dengan cara penularan tertentu (baik itu kontak langsung maupun tidak langsung)
melalui udara, benda ataupun vektor masuk ke tempat tertentu (pasien lain). Di
karenakan di rumah sakit banyak pasien yang rentan terhadap infeksi maka dapat
tertular. Selanjutnya kuman penyakit ini keluar dari pasien tersebut dan meneruskan
rantai penularan lagi.

2.1.4. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Pengendalian infeksi nosokomial adalah kegiatan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya menurunkan angka
kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit (Depkes, 1993). Center for disease
control and prevention (2002) menjelaskan bahwa salah satu pengendalian infeksi
nosokomial adalah cuci tangan. Intervensi lainnya seperti pemasangan dan perawatan
yang tepat dari peralatan invasif, penggunaan alat steril dan aseptik pada waktu
pergantian balutan, perawatan kebersihan kulit, dekontaminasi dan sterilisasi dan
surveilans yang berkelanjutan terhadap infeksi nosokomial.

2.1.5. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial
terdiri dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
Universitas Sumatera Utara
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan kondisi-kondisi
tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat, kelompok yang
merawat, alat medis serta lingkungan (Parhusip, 2005).
Menurut WHO (2004) faktor yang berhubungan dengan infeksi nosokomial
adalah tindakan invasif dan pemasangan infus, ruangan terlalu penuh dan kurang staf,
penyalahgunaan antibiotik, prosedur strilisasi yang tidak tepat dan ketidaktaatan
terhadap peraturan pengendalian infeksi khususnya mencuci tangan.
Weinstein (1998) menyatakan bahwa meningkatnya kejadian infeksi
nosokomial dipengaruhi oleh 3 hal utama yaitu pemakaian antibiotik dan fasilitas
perawatan yang lama, beberapa staf rumah sakit gagal mengikuti program
pengendalian infeksi dasar seperti mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien dan
kondisi pasien rumah sakit yang semakin immunocompromised.

2.1.6. Kondisi-kondisi yang mempermudah terjadinya Infeksi nosokomial
Menurut (Farida, 1999) Infeksi nosokomial mudah terjadi karena adanya
beberapa keadaan tertentu, yaitu sebagai berikut:
1) Rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit atau pasien, sehingga
jumlah dan jenis kuman penyakit yang ada lebih banyak dari pada ditempat lain.
2) Pasien mempunyai daya tahan tubuh rendah, sehingga mudah tertular.



Universitas Sumatera Utara
3) Rumah sakit sering kali melakukan tindakan invasif mulai dari sederhana
misalnya suntikan sampai tindakan yang lebih besar, operasi. Dalam
melakukan tindakan sering kali petugas kurang memperhatikan tindakan aseptik
dan antiseptik.
4) Mikroorganisme yang ada cenderung lebih resisten terhadap antibiotik, akibat
penggunaan berbagai macam antibiotik yang sering tidak rasional.
5) Adanya kontak langsung antara pasien atau petugas dengan pasien, yang dapat
menularkan kuman patogen.
6) Penggunaan alat-alat kedokteran yang terkontaminasi dengan kuman
Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari pasien, petugas rumah sakit,
pengunjung ataupun lingkungan rumah sakit. Selain itu setiap tindakan baik
tindakan invasif maupun non invasif yang akan dilakukan pada pasien
mempunyai resiko terhadap infeksi nosokomial. Menurut Farida (1999) sumber
infeksi tindakan invasif (operasi) adalah :
1. Petugas :
a) Tidak/kurang memahami cara-cara penularan
b) Tidak/kurang memperhatikan kebersihan perorangan
c) Tidak menguasai cara mengerjakan tindakan
d) Tidak memperhatikan/melaksanakan aseptik dan antiseptik
e) Tidak mematuhi SOP (standar operating procedure)
f) Menderita penyakit tertentu/infeksi/carier

Universitas Sumatera Utara
2. Alat :
a) Kotor
b) Tidak steril
c) Rusak/karatan
d) Penyimpanan kurang baik
3. Pasien:
a) Persiapan diruang rawat kurang baik
b) Higiene pasien kurang baik
c) Keadaan gizi kurang baik (malnutrisi)
d) Sedang mendapat pengobatan imunosupresif
4. Lingkungan
a) Penerangan/sinar matahari kurang cukup
b) Sirkulasi udarah kurang baik
c) Kebersihan kurang (banyak serangga, kotor, air tergenang)
d) Terlalu banyak peralatan diruangan
e) Banyak petugas diruangan

2.1.7. Penyebab Infeksi Nosokomial
Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan
parasit, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus, kadang-kadang jamur dan
jarang disebabkan oleh parasit. Peranannya dalam menyebabkan infeksi nosokomial
tergantung dari patogenesis atau virulensi dan jumlahnya.
Universitas Sumatera Utara
2.1.8. Patogenesis Infeksi Nosokomial
Patogenesis adalah kemampuan mikroba menyebabkan penyakit,
patogenitas lebih jauh dapat dinyatakan dalam virulensi dan daya invasinya.
Virulensi adalah pengukuran dari beratnya suatu penyakit dan dapat diketahui
dengan melihat morbiditas dan derajat penularan.
Daya invasi adalah kemampuan mikroba menyerang tubuh. Jumlah
mikroba yang masuk sangat menentukan timbul atau tidaknya infeksi dan bervariasi
antara satu mikroba dengan mikroba lain dan antara satu host dengan host yang
lain (Wirjoatmodjo, 1993).

2.1.9. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Terjadinya Infeksi
Nosokomial

Menurut depkes (1998), upaya pencegahan terhadap terjadinya infeksi
nosokomial dirumah sakit yaitu untuk menghindarkan terjadinya infeksi selama
pasien di rawat di rumah sakit. Adapun bentuk upaya pencegahan yang dilakukan
antara lain :
a. Cuci Tangan
Cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting. Cuci tangan
harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah melakukan kegiatan. Walaupun
memakai sarung tangan atau alat pelindung lainnya. Untuk mengetahui kapan
sebaiknya perawat melakukan cuci tangan dan bagaimana cara mencuci tangan
yang benar, berikut ini akan dijelaskan mengenai tujuan mencuci tangan, dan
prosedur standar dari mencuci tangan.
Universitas Sumatera Utara
1. Tujuan
a) Menekan pertumbuhan bakteri pada tangan
b) Menurunkan jumlah kuman yang tumbuh dibawah sarung tangan
2. Indikasi
a) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, sebelum dan sesudah
melakukan tindakan pada pasien, seperti mengganti, membalut, kontak
dengan pasien selama pemeriksaan harian atau mengerjakan pekerjaan
rutin seperti membenahi tempat tidur
b) Sebelum dan sesudah membuang wadah sputum, secret ataupun darah
c) Sebelum dan sesudah menangani peralatan pada pasien seperti infus set,
kateter, kantung drain urin, tindakan operatif kecil dan peralatan
pernafasan.
d) Sebelum dan sesudah ke kamar mandi
e) Sebelum dan sesudah makan
f) Sebelum dan sesudah membuang ingus/membersihkan hidung
g) Pada saat tangan tampak kotor
h) Sebelum dan sesudah bertugas di sarana kesehatan
3. Prosedur Standar
a) Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir
b) Taruh sabun dibagian tengah tangan yang telah basah
c) Buat busa secukupnya
d) Gosok kedua tangan termasuk kuku dan sela jari selama 10-15 detik
Universitas Sumatera Utara
e) Bilas kembali dengan air sampai bersih
f) Keringkan tangan dengan handuk atau kertas bersih atau tisu atau handuk
katun sekali pakai
g) Matikan keran dengan kertas atau tissue
h) Pada cuci tangan aseptic diikuti larangan menyentuh permukaan tidak
steril dan penggunaan sarung tangan dan waktu untuk mencuci tangan
antara 5-10 menit
b. Dekontaminasi
Menurut depkes (1998) dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme
patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya.
Agar seorang perawat dapat melakukan proses dekontaminasi dengan benar, maka
perawat tersebut haruslah mengetahui tujuan dari dekontaminasi, indikasi dari proses
dekontaminasi, dan prosedur standar dari dekontaminasi.
1. Tujuan Dekontaminasi
a) Mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau suatu
permukaan benda
b) Mematikan mikroorganisme, misalnya HIV, HBV, dan kotoran lain yang
tidak tampak
c) Mempersiapkan permukaan alat untuk kontak langsung dengan
desinfektan atau bahan sterilisasi
d) Melindungi petugas dan pasien

Universitas Sumatera Utara
2. Indikasi
a) Langkah pertama bagi alat kesehatan bekas pakai sebelum dicuci dan
proses lebih lanjut
b) Langkah pertama pada penanganan tumpahan darah/cairan tubuh
c) Langkah pertama pada dekontaminasi meja/permukaan lain yang mungkin
tercemar darah/cairan tubuh lain
d) Langkah pertama pada sarana kesehatan yang tidak memiliki insenerator
yaitu sebelum alat tersebut dikubur dengan cara kapurisasi
3. Prosedur Standar
a) Cuci tangan
b) Pakai sarung tangan, masker, kaca mata/pelindung wajah
c) Rendam alat kesehatan segera setelah dipakai dalam larutan desinfektan
selama 10 menit
d) Segera bilas dengan air sampai bersih
e) Lanjutkan dengan pembersihan
f) Buka sarung tangan, masukkan dalam wadah sementara menunggu
dekontaminasi sarung tangan dan proses selanjutnya
g) Cuci tangan

2.2. Pengetahuan
Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan merupakan hasil tahu, yang terjadi
setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, pengetahuan dapat
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dari pendidikan formal atau melalui mendengar, melihat, merasa baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan (Sumantri, 1984), mengatakan
pada hakekatnya pengetahuan adalah segenap apa yang diketahi manusia tentang
objek tertentu, termasuk ilmu pengetahuan yang ada pada manusia bertujuan untuk
menjawab permasalahan yang dihadapinya sehari-hari untuk memepermudah
manusia itu sendiri. Pengetahuan di ibaratkan merupakan suatu alat yang dapat
dipergunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut Purwanto (1990), pengetahuan merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan individu berbuat atau bertindak. Dengan demikian perbuatan atau
tingkah laku sesorang dapat terjadi menurut apa yang diketahui dan diyakini sesuai
dengan pengetahuan yang dimiliki. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda,
pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan peranan penting dalam
pekerjaannya. Hal ini berarti pengetahuan berpengaruh dalam kehidupan seseorang
karena pengetahuan akan melahirkan sikap yanga akan mengarahkan seeorang untuk
berbuat sesuatu.
Parkinson (1982) mengatakan meningkatkan kesadaran, meningkatkan
pengetahuan, merubah sikap, mengubah perilaku dan menurunkan resiko merupakan
urutan kompleksitas kebutuhan dan tujuan mulai dari sederhana hingga yang paling
komplek dan tidak selalu berhubungan sebab akibat antara yang satu dengan yang
lain dan bukan merupakan urutan kejadian.
Pudjowati (1998) mengatakan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
pengetahuan perawat denga risiko terjadinya infeksi. Hal ini dapat kita mengerti
Universitas Sumatera Utara
karena berasal dari pedidikan non formal maupun informal dapat meningkatkan
pengetahuan serta mempengaruhi perilaku. Ini bisa dimaklumi mengingat bahwa
pengetahuan adalah sesuatu yang perlu, tapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat untuk mengubah perilaku, bahkan tidak jarang orang yang mempunyai
pengetahuan tinggi tentang sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan cendrung
untuk bertindak ceroboh. Berdasarkan kenyataan diatas sebetulnya dengan
pengetahuan yang cukup tinggi merupakan modal utama untuk merubah perilaku,
tetapi tentunya perlu diimbangi dengan niat yang kuat sehingga seseorang bertindak
sesuai dengan pengetahuannya.

2.3. Sikap
Gibson (2002) mengatakan bahwa sikap merupakan faktor penentu perilaku.
Sikap menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap obyek. Sikap
diperoleh dari pengalamn sendiri atau dari pengalaman orang lain yang paling dekat.
Notoatmojo (2003) menyatakan sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek, sesuai dengan bagan
dibawah in :





Universitas Sumatera Utara








2.4. Fasilitas Keperawatan
Fasilitas keperawatan adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat
untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial, seperti peralatan untuk mencuci
tangan, melaksanakan dekontaminasi alat-alat kesehatan dan untuk mengelola limbah
padat yang ada di ruang rawat inap. Musadad (1992) menyatakan bahwa hanya
42,9% rumah sakit yang menyediakan sarana untuk cuci tangan sesuai dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Menurut Depkes (1998)
agar perawat pelaksana dapat bekerja secara maksimal pimpinan harus bertanggung
jawab atas penyediaan, pemeliharaan sarana klinis dan non klinis yang dibutuhkan
untuk pelaksanaan kewaspadaan umum, misalnya menyediakan sarana untuk cuci
tangan ditempat yang mudah dijangkau.
Menurut Green (1996) sarana dan fasilitas merupakan faktor predisposisi yang
dapat bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu perilaku kepatuhan seseorang
sangat dipengaruhi oleh sarana dan fasilitas yang tersedia, bagaimana cara
Stimulus
Rangsangan
Proses
Stimulus
Reaksi
Tingkah Laku
(terbuka)
Sikap
(tertutup)
Gambar 2.2. Diagram terjadinya sikap (Notoatmodjo, 2003)
Universitas Sumatera Utara
penggunaanya, posisi atau letak dari sarana tersebut dan bagaimana cara
pemeliharaan sarana tersebut.

2.5. Pengawasan
Kontrol atau pengawasan adalah fungsi di dalam manajemen funsional yang
harus dilaksanakan oleh setiap pimpinan atau manajer semua unit/satuan kerja
terhadap pelaksanaan pekerjaan dilingkungannya. Oleh karena itu berarti juga setiap
pimpinan/manajer memiliki fungsi yang melekat didalam jabatannya untuk
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok masing-masing, sehingga disebut
pengawasan melekat.
Sesuai dengan Bird yang dikutip Munir (1998), terjadinya infeksi disebabkan
karena adanya kekurangan dalam system pengawasan manajeman. Kurangnya
pengawasan manajemen (Lack of control Managemen) dapat terbentuk kurang
program, kurangnya standar dari program atau kegagalan memenuhi standar.
Pengawasan salah satu unsur manajer profesional yang harus dilaksanakan oleh
semua anggota manajemen, baik ia seorang pengawas atau pimpinan utama suatu
organisasi.
Supervisi bertujuan untuk mengorientasi, melatih kerja, memimpin, memberi
arahan, dan mengembangkan kemampuan perawat pelaksana. Sedangkan supervisi
berfungsi untuk mengatur dan mengorganisir proses atau mekanisme pelaksanaan dan
standar kerja (Gillies, 1996). Agar perawat pelaksana dapat menerapkan kewaspadaan
umum secara maksimal dibutuhkan supervise yang teratur dari kepala ruangan
Universitas Sumatera Utara
(Depkes, 1998). Menurut Kron (1987) kepala ruangan harus mengajarkan,
membimbing, mengobservasi, dan mengevaluasi setiap kegiatan yang dilakukan oleh
perawat pelaksana selalu melakukan kewaspadaan umum sesuai dengan SOP yang
telah ditetapkan.
Musadad (1992) menyatakan bahwa supervisi dari pimpinan sangan
mempengaruhi kesadaran perawat pelaksana untuk melakukan cuci tangan.
Notoatmodjo (1989) mengemukan bahwa perubahan perilaku pada orang dewasa,
pada umumnya lebih sulit dari pada perubahan orang yang belum dewasa. J adi, ketika
seseorang terus diberi rangsangan dan informasi, maka perilaku kepatuhan dalam
pencegahan infeksi nosokomial akan sulit dilaksanakan, terutama pada perawat
pelaksana yang sudah berumur tua dan sudah lama bekerja.

2.6. Standar Operasional Prosedur (SOP)
Standar operasional prosedur (SOP) infeksi nosokomial adalah prosedur tetap
yang disusun oleh komite pengendalian infeksi nosokomial yang harus dilaksanakan
oleh setiap petugas rumah sakit. SOP ini dibutuhkan untuk menyatukan persepsi
petugas rumah sakit mengenai tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Pemahaman yang benar mengenai SOP infeksi nosokomial, akan berkaitan
langsung terhadap pencegahan terjadinya infeksi nosokomial. Menurut Notoatmodjo
(2003) seseorang baru bisa berperilaku apabila ditunjang oleh pengetahuan, dimana
sebelum mendapatkan pengetahuan seseorang harus melalui tahap belajar.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Green (1996) pengetahuan merupakan faktor predisposisi dalam
perilaku positif, karena dengan pengetahuan seseorang akan mulai mengenal dan
mencoba atau melakukan suatu tindakan. Cara lain untuk menambah pengetahuan
adalah dengan jalan diskusi antar perawat pelaksana, dengan melaksanakan
komunikasi dua arah, diskusi partisipasi merupakan salah satu cara yang paling
efektif dalam memberikan informasi dan pesan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Dengan adanya SOP infeksi nosokomial diharapkan dapat menurunkan angka
terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit.

2.7. Perawat
Perawat adalah orang yang memberikan paling banyak tindakan. J ika pasien
memerlukan terapi intravena, biasanya perawat memasang jalur intravena dan
memberikan cairan dan obat yang ditentukan. J ika pasien memerlukan injeksi maka
perawat yang memberikannya. Perawat mengganti balutan pasien dan memantau
penyembuhan lukanya. Perawat memberikan medikasi untuk nyeri. Perawat
memantau kemajuan pasien untuk pemulihan tanpa komplikasi, karena perawat lebih
sering kontak dengan pasien daripada staf lain, mereka sering menemukan masalah
sebelum orang lain menemukannya (Monica, 1998).
Seorang perawat yaitu seorang yang berperan dalam perawatan atau
memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses
pemenuhan dan perawatan professional adalah perawat yang bertanggung jawab dan
Universitas Sumatera Utara
berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengaan kewenangannya (Depkes, 2002)
Perawat merawat pasien secara kontinu, 24 jam sehari, membantu pasien
melakukan apa yang akan mereka lakukan untuk diri mereka sendiri jika mereka
mampu. Perawat memperhatikan pasien, menjamin mereka bernafas dengan baik,
mendapat cairan dan cakupan nutrisi, membantu istirahat dan tidur, menyakinkan
bahwa mereka nyaman dan dukungan pada pasien dan keluarganya (Monica, 1998)

2.7.1. Tujuan dan Manfaat Proses Keperawatan
Tujuan dari penerapan proses keperawatan pada tantanan pelayanan kesehatan
adalah :
1. Untuk mempraktekkan suatu metoda pemecahan masalah dalam praktek
keperawatan.
2. Sebagai standar untuk praktek keperawatan
3. Untuk memperoleh suatu metode yang baku, sistematis, rasional, serta ilmiah
dalam memberikan asuhan keperawatan.
4. Untuk memperoleh suatu metoda dalam memberikan asuhan keperawatan
yang dapat digunakan dalam segala situasi sepanjang siklus kehidupan.
5. Untuk memperoleh hasil asuhan keperawatan yang bermutu.
Penerapan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan klien
akan memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara
a. Meningkatkan mutu pelayanan keperawatan
b. Pengembangan ketrampilan intelektual dan teknis bagi tenaga keperawatan
c. Meningkatkan citra profesi keperawatan
d. Meningkatkan peran dan fungsi keperawatan dalam pengelolaan asuhan
keperawatan
e. Pengakuan otonomi keperawatan
f. Peningkatan rasa solidaritas
g. Meningkatkan kepuasan kerja tenaga keperawatan
h. Untuk mengembangkan ilmu keperawatan

2.7.2. Standar praktik keperawatan
Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada klien, digunakan
standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan telah dijabarkan
oleh PPNI (2000) yang mengacu dalam tahapan proses keperawatanm yang meliputi :
Pengkajian, diagnosis keperawatan, mperencanaan, implementasi dan evaluasi
a. Standar I ; Pengkajian
Perawat mengumpulkan data tentang status kesehatan klien secara sitematis,
menyeluruh , akurat, singkat dan berkesinambungan
Kriteria pengkajian keperawatan meliputi :

Universitas Sumatera Utara
1) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis, observasi, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang.
2) Sumber data adalah klien, mkeluarga atau orang lain yang terkait, tim
kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
3) Data yang dikumpulkan difokuskan untuk mengevaluasi : status kesehatan
masa lalu, saat ini, bio-psiko-sosial dan spiritual, respon, harapan dan resiko-
resiko tinggi masalah.
4) Kelengkapan data dasar mengandung unsur lengkap, akurat, relevan dan baru.
b. Standar II : Diagnosis keperawatan
Perawat menganalisis data pengkajian untuk merumuskan diagnosa
keperawatan. Kriteria proses meliputi :
1) Proses diagnosa terdiri atas analisa, interpretasi data, identifikasi masalah
klien, dan perumusan diagnosa keperawatan
2) Diagnosis keperawatan terdiri dari : masalah, penyebab dan tanda atau
gejalaatau terdiri dari masalah dan penyebab
3) Bekerjasama dengan klien, dan petugas kesehatan lainnya untuk memvalidasi
diagnosis keperawatan
4) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa berdasarkan data terbaru
c. Standar III : Perencanaan Keperawatan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah
dan meningkatkan kesehatan klien. Kriteria proses iini meliputi :
Universitas Sumatera Utara
1) Perencanaan terdiri atas penetapan prioritas masalah, tujuan dan rencana
tindakan keperawatan
2) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan
3) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien
4) Mendokumentasikan rencana keperawatan.
d. Standar IV : Implementasi keperawatan
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan. Kriteria proses meliputi :
1) Bekerja sama dengan klien dalam pelaksanaan tindakan keperawatan
2) Kolaborasi dengan tim kesehatanh lain
3) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah klien
4) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai
konsep,ketrampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi
lingkungan yang digunakan
5) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan
respon klien
e. Standar V : Evaluasi Keperawatan
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap tindakan keperawatan dalam
pencapaian tujuan, dan merevisi data dasar dan perencanaan.
Proses ini meliputi :
1) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dan intervensi secara komprehensif,
tepat waktu, dan terus menerus
Universitas Sumatera Utara
2) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam mengukur perkembangan
kearah pencapaian tujuan
3) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan teman sejawat.
4) Bekerjasama dengan klien, keluarga untuk memodifikasi rencana asuhan
keperawatan
5) Mendokumentasikan hasil evaluasi dan memodifikasi perencanaan

2.8. Rumah Sakit
Rumah sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara merata dengan mengutamakan upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan penyakit dalam suatu tatanan rujukan serta dapat
dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga dan penelitian (Wiyono, 1997)
Rumah sakit yang ideal adalah tempat orang sakit mencari dan menerima
perawatan, juga menjadi tempat pendidikan klinis bagi tenaga kesehatan. Rumah
sakit juga berperan dalam studi penyelidikan dan penelitian dalam ilmu pengetahuan
kedokteran maupun penelitian ilmu-ilmu dasar (Wolfer, 2001).
Dalam menjalankan fungsinya melayani masyarakat, rumah sakit memberikan
pelayanan dalam bentuk pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat jalan dan
pelayanan rawat inap. Pelayanan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan
kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera mungkin untuk
Universitas Sumatera Utara
menyelamatkan kehidupannya. Di setiap rumah sakit lazim ditemukan unit gawat
darurat (Hospital based emergency unit) (Azwar, 1996).
Menurut Azwar 1996, Pelayanan rawat jalan adalah pelayanan kedokteran
yang disediakan untuk pasien tidak dalam bentuk rawat inap. Pelayanan rawat jalan
oleh klinik rumah sakit secara umum dibedakan :
1. Pelayanan darurat, untuk menangani pasien yang membutuhkan pertolongan
segera dan mendadak.
2. Perawatan rawat jalan paripurna, memberikan pelayanan rawat jalan paripurna
sesuai kebutuhan pasien.
3. Pelayanan rujukan, melayani pasien yang dirujuk oleh sarana kesehatan lain.
4. Pelayanan bedah jalan, memberikan pelayanan bedah yang selesai dan pasien
pulang pada hari yang sama.
Pelayanan rawat inap adalah pelayanan kepada pasien untuk observasi,
perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dan atau kesehatan lainnya
dengan menempati tempat tidur. Batasan tempat tidur adalah tempat tidur yang
tercatat dan tersedia di ruang rawat inap (Wiyono, 1997).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Langsa merupakan Rujukan atas
mata rantai sistim kesehatan di Pemerintah Kota Langsa. Berdasarkan SK Menkes
Republik Indonesia No. 51/Men.Kes/SK/II/1979 tanggal 22 Februari 1979 diberikan
status menjadi Rumah Sakit dalam klasifikasi type C, kemudian pada tahun 1997
ditingkatkan klasifikasinya menjadi Rumah Sakit type B Non pendidikan berdasarkan
Surat keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 479/Men.Kes/SKV/1997
Universitas Sumatera Utara
tanggal 20 Mei 1997. Kemudian berdasarkan Kepres No. 40 tahun 2001 berubah
status menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa dan telah juga ditetapkan
dengan Qanun Pemerintah Kota Langsa No. 5 Tahun 2005, dan Qanun Pemerintah
Kota Langsa No.10 Tahun 2009 tentang rincian pokok dan fungsi pemangku jabatan
struktural dilingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa.
Berdasarkan Qanun Pemerintah Kota Langsa No.10 Tahun 2009 adapun tugas
pokok dan fungsi pemangku J abatan Struktural dilingkungan RSUD Kota Langsa
adalah :
1. Melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan
mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilakukan secara serasi
yang terpadu dengan tidak meninggalkan upaya meningkatkan dan
pencegahan serta melaksanakan pusat rujukan, melaksanakan pendidkan
tenaga kesehatan, penelitian, pengembangan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan
2. Melakasanakan pelayanan kesehatan yang bermutu berdasarkan standar
pelayanan Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip profesional dan Islami.
(Profil Rumah Sakit Umum Daerah Kota Langsa, 2009).

2.9. Landasan Teori
Bloom (1956) membedakan perilaku menjadi 3 kelompok yaitu Kognitif,
Afektif, dan Psikomotorik, sedangkan Notoatmojo (1989) membagi ranah perilaku
menjadi tiga bagian yaitu, pengetahuan (Knowledge), sikap (Attitude) dan Tindakan
Universitas Sumatera Utara
(Practice). Bentuk operasional perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3 macam
yaitu :
a. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi atau
rangsangan dari luar
b. Perilaku dalam bentuk sikap yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar subjek
c. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah nyata (konkrit) berupa perbuatan
(action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Manusia berperilaku tertentu karena ada hal-hal yang mendorong serta
mengarahkan untuk memilih bentuk-bentuk perilaku seperti yang sudah
diperlihatkannya. Faktor pendorong ini lazimnya muncul dari sistem kebutuhan yang
didapat dalam dirinya, sedangkan faktor pengarahnya adalah sikap.
Green (1996) menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku dan
faktor diluar perilaku, selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Faktor Predisposing yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. Faktor Enabling yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
3. Faktor Reinforcing yang terwujud dalam peraturan-peraturan, kebijakan,
pengawasan, dan perilaku petugas yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
Universitas Sumatera Utara















Gambar 2.3. Kerangka Teori Green
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa variabel yang termasuk dalam
predisposing antara lain pengetahuan, sikap, norma-norma, kepercayaan, tradisi.
Untuk variabel enabling antara lain ketersediaan fasilitas, sarana dan akses dan untuk
variabel reinforcing antara lain meliputi pelatihan, sikap dan perilaku petugas/pejabat.
peraturan-peraturan, kebijakan dan pengawasan.

Predisposing
Pengetahuan
Sikap
Norma-norma
Kepercayaan
Tradisi
Enabling
Ketersediaan
fasilitas dan
sarana
Akses
Lingkungan
fisik
Reinforcing
Pelatihan
Sikap dan
perilaku
petugas/pejabat
Peraturan-
peraturan
Kebijakan
Pengawasan

Pencegahan Infeksi
Nosokomial

Universitas Sumatera Utara
2.10. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian maka dapat disusun kerangka konsep sebagai
berikut :










Berdasarkan Gambar 2.3. di atas, diketahui variabel independen dalam
penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, ketersedian fasilitas perawatan dan
pengawasan, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pencegahan
infeksi nosokomial di ruang rawat bedah.









Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian

Faktor Internal
Pengetahuan
Sikap
Faktor Eksternal
Fasilitas perawatan
Pengawasan
Pencegahan Infeksi Nosokomial
di Ruang Rawat Bedah

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai