Rancangan undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban
Kode buku 348.02/Red/U penerbit Sinar Grafika
Pengertian saksi dalam RUU Perlindungan saksi dan korban ini menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Saksi dinyatakan sebagai orang yang hendak memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan atau ia alami sendiri. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa bahwa rumusan saksi dalam RUU ini mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP mulai dari tahap penyidikan. Definisi saksi yang demikian ini dapat dikatakan mencoba menjangkau pada saksi pelapor yang sering terdapat dalam kasus-kasus korupsi. Tentang Pelapor sendiri telah diatur dalam pasal 31 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjelaskan bahwa pelapor tidak dapat diajukan dalam sidang pengadilan melainkan harus dilindungi identitas dan alamatnya. Saksi dalam rumusan RUU ini dinyatakan sebagai saksi yang akan memberikan keterangan untuk mendukung proses penyelesaian perkara pidana. Saksi dalam definisi ini terpisah dengan pihak lain yang ada korelasi dengan saksi yang bisa terlibat atau mendapatkan hak- hak yang tercatum dalam RUU ini. Pembentuk RUU lebih memilih pihak-pihak yang termasuk dalam pengertian saksi dalam RUU ini dipisah yaitu antara saksi itu sendiri dengan keluarga saksi. Poin 6 pasal 1 RUU PSK menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan keluarga saksi yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan saksi dan atau orang-orang menjadi tanggungan saksi. Rumusan tentang saksi yang demikian berbeda, misalnya, dengan pengertian saksi dalam UU tentang perlindungan saksi negara Kanada yang menyatakan bahwa seorang saksi dalam program in adalah a) saksi adalah seseorang yang memberikan atau setuju untuk memberikan informasi atau bukti atau yang ambil bagian dalam suatu hal yang terkait dengan suatu penyelidikan atau investigasi atau penuntutan suatu kejahatan, danyang mungkin membutuhkan perlindungan karena resiko keamanan atas diriya dalam kaitan dengan penyelidikan, investigasi, atau penuntutan tersebut, atau b) seseorang yang karena hubungan atau ikatannya dengan orang yang disebut pada bagian a diatas mungkin juga membutuhkan perlindungan karena alasan yang sama seperti bagian a diatas. Pengertian tentang saksi yang meluas seperti ini sebetulnya yang perlu dijadikan rumusan, karena saksi dalam pengertian untuk dapat terlibat dalam program perlindungan bukan saja saksi itu sendiri dan keluarga saksi tetapi juga pihak-pihak lain yang ada ikatan atau hubungan dengan saksi yang juga mungkin juga membutuhkan perlindungan. Ketentuan mengenai dapat dimasukkannya pihak lain selain saksi dan keluarga saksi sebagai bagian pengertian saksi yang dapat menerima perlindungan karena ada ikatan dengan saksi akan menjamin bahwa pihak-pihak lain yang mempunyai hubungan dengan saksi mendapatkan perlindungan. Dalam kenyataannya, pihak-pihak yang perlu dilindungi adalah termasuk pihak-pihak yang mempunyai kedekatan atau hubungan dengan saksi bukan hanya dari keluarga saksi. Pengaturan tentang dicantumkannya pihak lain diluar keluarga saksi tapi ikut berpengaruh terhadap seorang saksi akan lebih menjamin bagi seorang saksi untuk memberikan kesaksian.
2. Pengertian Korban Korban dalam RUU dinyatakan sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pengertian keluarga korban dalam RUU ini adalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus, atau mempunyai hubungan darah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga, atau mempunyai hubungan perkawinan dengan korban dan atau orang-orang menjadi tanggungan korban. Dalam rumusan RUU tersebut diatas tidak ada rumusan bahwa korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya bersifat perseorangan. Demikian pula dengan keluarga korban hanya disebutkan tentang orang-orang yang menjadi keluarga korban dan yang menjadi tanggungan korban, seharusnya juga mencakup orang-orang yang mengalami kerugian karena mencagah terjadinya kejahatan. Pengertian korban diatas sangat sempit jika dibandingkan dengan pengertian korban menurut menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orangorang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dikemukakan khususnya sewaktu menjelaskan Victims of Power, bahwa termasuk juga dalam pengertian korban orang- orang yang menjadi Korban dari perbuatan-perbuatan atau tidak berbuat yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma HAM yang diakui secara internasional. Pengertian kerugian (harm) menurut Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985, meliputi kerugian fisik maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak-hak asasi para Korban (substansial impairment of their fundamental rights). Selanjutnya disebutkan, bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dan korban. Istilah korban juga mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban. Pengertian tentang korban juga dapat dilihat dalam PP No. 2 Tahun 2002 tentang tata cara pemberian perlindungan kepada saksi dan korban pelanggaran HAM berat yaitu menyatakan bahwa korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Pengertian tentang korban menurut resolusi MU dan Peraturan Pemerintah diatas menjadi rujukan yang komprehensif untuk menjelaskan tentang siapa korban dan apa yang menjadi kerugian bagi korban Dari pengertian istilah korban diatas tidak hanya mengacu pada perseorangan, tetapi mencakup juga kelompok dan masyarakat. Selain itu, pengertian diatas merangkum hampir semua jenis penderitaan yang mungkin dialami oleh korban. Berkenaan dengan penyebabnya, dalam pengertian itu, ditujukan bukan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dilakukan (by act) tetapi meliputi pula kelalaian atau kegagalan mencegah suatu pelanggaran berat HAM yang terjadi atau dikenal dengan istilah by omission.
3. Pengertian Perlindungan Istilah perlindungan dalam RUU ini adalah bentuk perbuatan untuk memberikan tempat bernaung atau berlindung bagi seseorang yang membutuhkan sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Pengertian perlindungan ini hampir sama pengertiannya dengan pengertian perlindungan dalam PP No. 2 tahun 2002 yang menyatakan bahwa perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajin dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Dari dua pengertian diatas istilah perlindungan mempunyai makna yang sempit dimana istilah perlindungan dalam ketentuan RUU tersebut dimaknai sebagai memberikan perlindungan dalam kaitan dengan penyediaan tempat bernaung atau berlindung sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Pengertian ini membatasi atau berbeda dengan pengertian perlindungan dalam konteks pemberian hak-hak tertentu kepada saksi dan korban sehingga saksi dan korban atau bahwa perlindungan diartikan adanya jaminan hukum adanya hak-hak saksi dan korban. Pengertian perlindungan dalam RUU ini berhubungan jika dikaitkan dengan pasal 18 RUU tersebut yang mengatur tentang tata cara perlindungan dimana perlindungan yang dapat diajukan adalan perlindungan sebagaimana diatur dalam pasal 5 undang-undang ini. Sedangkan dalam pasal 5 istilah perlindungan hanya terdapat dalam poin 1 yaitu perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana. Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa perlindungan yang dapat diberikan adalah hanya perlindungan atas ancaman yang berkenaan dengan pemberian kesaksian dipengadilan. Istilah perlindungan seperti yang dinyatakan dalam ketentuan umum jika dikaitkan dengan dengan judul bab II RUU semakin jelas maksudnya. Pada Bab II RUU judul babnya adalah tentang perlindungan dan hak-hak saksi dan korban, yang berarti bahwa ada pembedaan antara perlindungan dan hak-hak yang dapat diterima oleh saksi dan korban. Tetapi jika dikaitkan dengan judul RUU yang juga menggunakan istilah perlindungan, maka pengertian perlindungan dalam ketentuan ini menjadi rancu karena menyempitkan makna perlindungan itu sendiri yang sebenarnya lebih tepat bahwa istilah perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak-hak yang diberikan kepada korban dan saksi.
UU Nomor 42 tahun 1999 tentang Fidusia
A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Fidusia
Adapun yang melatar belakangi UU fidusia lahir adalah karena kebutuhan praktis, kebutuhan tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta berikut :
a. Barang Bergerak Sebagai Jaminan Hutang.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut sistim hukum kita, dan juga hukum di kebanyakan negara-negara Eropa Kontinental, bahwa jika yang menjadi objek jaminan utang adalah benda bergerak, maka jaminannya diikat dalam bentuk gadai.
Dalam hal ini, objek gadai tersebut harus diserahkan kepada pihak yang menerima gadai (kreditur). Sebaliknya, jika yang menjadi objek jaminan hutang adalah benda tidak bergerak, maka jaminan tersebut haruslah berbentuk hipotik (sekarang ada hak tanggungan). Dalam hal ini barang objek jaminan tidak diserahkan kepada kreditur, tetapi tetap dalam kekuasaan debitur. Akan tetapi terdapat kasus-kasus dimana barang objek jaminan hutang masih tergolong barang bergerak, tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas barang tersebut kepada kreditur, sementara pihak kreditur tidak mempunyai kepentingan, bahkan kerepotan jika barang tersebut diserahkan kepadanya, karena itulah dibutuhkan adanya satu bentuk jaminan hutang yang objeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Akhirnya, muncullah bentuk jaminan baru dimana objeknya benda bergerak, tetapi kekuasaan atas benda tersebut tidak beralih dari debitur kepada kreditur.
b. Tidak Semua Hak Atas Tanah Dapat dihipotikkan.
Latar belakang lain yang mendorong timbul atau berkembangnya praktek fidusia adalah adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hipotik atau hak tanggungan.
c. Barang Objek Jaminan Hutang Yang Bersifat Perdata.
Ada barang-barang yang sebenarnya masih termasuk barang bergerak, tetapi mempunyai sifat-sifat seperti barang tidak bergerak sehingga pengikatnya dengan gadai dirasa tidak cukup memuaskan, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari benda objek jaminan hutang tersebut. Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan. d. Perkembangan Pranata Hukum Kepemilikan Yang Baru.
Perkembangan kepemilikan atas barang tertentu yang tidak selamanya dapat diikuti oleh perkembangan jaminan, sehingga hak-hak atas barang sebenarnya tidak bergerak, tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
e. Barang Bergerak Objek jaminan Hutang Tidak Dapat Diserahkan.
Ada kalanya pihak kreditur dan pihak debitur sama-sama tidak berkeberatan agar diikatkan jaminan hutang berupa gadai atas hutang yang dibuatnya, tetapi barang yang dijaminkan karena sesuatu dan lain hal tidak dapat diserahkan kepemilikannya kepada hak kreditur. (lihat Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 1.)
Selain fakta di atas yang melatarbelakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia berdasarkan keadaan sekarang yang dicantumkan dalam konsiderannya adalah :
Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada Yurisprudensi. Dalam rangka memberi kepastian hukum dari perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan.
B. Dasar Hukum Penetapan Jaminan Fidusia.
Sejak lahirnya jaminan fidusia ini sangat kental dengan rekayasa. Sebab dalam sistem hukum Belanda tempo dulu, oleh karena juga di Indonesia untuk jaminan barang bergerak hanya dikenal gadai, sedang barang tidak bergerak dikenal dengan hipotek. (lihat Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Penerbit Ghalia Indonesia, 1983, hal.. 34.)
Tetapi dalam praktek untuk menjaminkan barang bergerak, tetapi tanpa penyerahan barang secara fisik. Untuk maksud tersebut tidak dapat digunakan lembaga gadai (yang mensyaratkan penyerahan benda) dan juga dapat digunakan hipotek yang hanya diperuntukkan terhadap barang tidak bergerak saja. Karena itu dicarikanlah jalan untuk dapat menjaminkan barang bergerak tanpa penyerahan fisik barang tersebut akhirnya muncul rekayasa untuk memenuhi kepentingan praktek seperti itu dengan jalan pemberian jaminan Fidusia yang akhirnya diterima dalam praktek dan diakui oleh yurisprudensi dan diundangkan pada tahun 1999.
Rekayasa tersebut dalam bentuk globalnya disebut dengan constitutum possessorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali). Bentuk rincian dari constitutum possessorium dalam Fidusia ini dilakukan melalui proses tiga fase. (lihat Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 5.)
Fase I - Fase Perjanjian Obligatoir (Obligatoir Overeenkomst). Proses jaminan fidusia diawali oleh adanya suatu perjanjian obligatoir (Obligatoir Overeenkomst). Perjanjian Overeenkomst tersebut berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia diantara pihak pemberi Fidusia (debitur) dengan pihak penerima Fidusia (kreditur).
Fase II - Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst). Selanjutnya diikuti oleh suatu perjanjian kebendaan (Zakelijke Overeenkomst). Perjanjian kebendaan tersebut berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini dilakukan secara constitutum prosessorium, yakni penyerahan hak milik tanpa menyerahkan fisik benda.
Fase III - Fase Perjanjian Pinjam Pakai. Dalam fase ketiga ini dilakukan pinjam pakai, dalam hal ini benda objek Fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut setelah diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.
Jadi dasar dari Fidusia adalah suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia perikatan yang menimbulkan Fidusia ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Antara pemberi Fidusia dengan penerima Fidusia terdapat suatu hubungan perikatan, yang menerbitkan hak bagi kreditur untuk meminta penyerahan barang jaminan dari debitur (secara constitutum posessorium). Perikatan tersebut adalah perikatan untuk memberikan sesuatu karena debitur menyerahkan suatu barang (secara constitutum posessorium) kepada kreditur . Perikatan dalam rangka pemberian Fidusia merupakan perikatan yang assessoir, yakni merupakan perikatan yang membuntuti perikatan lainnya (perikatan pokok) berupa perikatan hutang-piutang. Perikatan Fidusia tergolong kedalam perikatan dengan syarat batal, karena jika hutangnya dilunasi, maka hak jaminannya secara Fidusia menjadi hapus. Perikatan Fidusia tergolong perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian yakni perjanjian Fidusia. Perjanjian Fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong dalam perjanjian tak bernama (Onbenoem De Overeenkomst). Perjanjian Fidusia tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari perikatan yang terdapat dalam KUH Perdata.
C. Ruang Lingkup Objek Fidusia.
Pasal 2 Undang-Undang jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia dengan tegas menyatakan bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia ini tidak berlaku terhadap : Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih ; Hipotek atas pesawat terbang ; dan Gadai.
Seperti telah disinggung di muka, jika diperhatikan sejarah perkembangan fidusia, pada awalnya yaitu pada zaman Romawi, objek fidusia adalah meliputi baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. (Gunawan Widjaja, jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2000, hal. 132.)
Pemisahan mulai diadakan kemudian, orang-orang Romawi mengenal gadai dan hipotek. Ketentuan ini juga diikuti oleh Negeri Belanda dalam Burgerlijke Wetboek-nya. (Gunawan Widjaja, jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2000, hal. 132.)
Pada saat fidusia muncul kembali di Belanda, maka pemisahan antara barang bergerak untuk hipotek juga diberlakukan. Objek fidusia dipersamakan dengan gadai yaitu barang bergerak karena pada waktu itu fidusia dianggap sebagai jalan keluar untuk menghindari larangan yang terdapat dalam gadai. Hal ini terus menjadi yurisprudensi tetap baik di Belanda dan Indonesia.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria yang tidak membedakan atas barang bergerak dan barang yang tidak bergerak melainkan pembedaan atas tanah dan bukan tanah.
Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tidak dapat dijaminkan terlepas dari tanahnya. Jadi orang yang memiliki bangunan di atas tanah dengan hak sewa misalnya tidak dapat membebaninya dengan hak tanggungan tersebut. Oleh karenanya jalan satu-satunya adalah dengan fidusia. Khusus mengenai penyerahan hak sewa ini diperlukan persetujuan dari pemilik tanah yang menyewakan tanah itu untuk sewaktu-waktu mengalihkan hak sewa atas tanah itu kepada yang lain.
Perkembangan ini adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat di Indonesia, dimana banyak orang yang menguasai tanah dengan hak-hak atas tanah yang tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan, seperti hak sewa, hak menumpang dan sebagainya. Bangunan-bangunan yang terletak di atas tanah tersebut tidak dapat dijaminkan Hak Tanggungan dan ini dapat diatasi dengan Jaminan Fidusia.
Dengan lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu dengan mengacu pada Pasal 1 angka 2 dan 4 serta pasal 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah Benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun yang tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau Hipotek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 Kitab Undang-Undang Dagang jis Pasal 1162 Kitab Undang- Undang Perdata.
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka dapat diharapkan bahwa nantinya Jaminan Fidusia akan menggantikan FEO dan cessie jaminan atas utang-piutang (zekerheidcessi van schuldvorderingen fiduciary assignment of receivables) yang dalam praktek pemberian kredit banyak digunakan.
D. Akibat Hukum Dikeluarkannya UU Fidusia Terhadap
Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Untuk memberikan kepastian hukum pasal 11 UU jaminan fidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan Fidusia di daftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia. Kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaannya yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia. Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi Fidusia, pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepsatian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia.
Kita telah dapat melihat pasal 14 (3) UU Fidusia No. 42 Tahun 1999, maka Fidusia oleh UU dianggap lahir pada saat yang sama dengan dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar Fidusia.
Adapun bukti pendaftaran Fidusia yang diterima penerima Fidusia sebagai hak memiliki Fidusia diserahkan kepadanya dokumen yang disebut sertifikat jaminan fidusia. Sertifikat jaminan fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan berwewenang dalam hal ini Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai suatu akta berbentuk dan hanya Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai suatu badan yang berwenang mengeluarkan sertifikat perjanjian Fidusia tersebut.
Karena itu pula, jika ada alat bukti sertifikat jaminan fidusia dan sertifikat tersebut adalah syah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya Fidusia dengan hanya mempertunjukkan akta jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris berdasarkan UU Fidusia pasal 14 (3).
Penjamin Fidusia Dengan keluarnya UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia membawa akibat pada perjanjian Fidusia pada pasal 27 (2). Dengan preferensi adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.