Anda di halaman 1dari 4

261

CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012


TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (SKA) masih tetap
merupakan masalah kesehatan publik yang
bermakna di negara industri, dan mulai
menjadi bermakna di negara-negara sedang
berkembang.
1
Di Amerika Serikat, 1,36 juta pe-
nyebab rawat inap adalah kasus SKA, 0,81 juta
di antaranya adalah kasus infark miokardium,
sisanya angina tidak stabil.
2,3
Sebelum era fbrinolitik, infark miokardium
dibagi menjadi Q-wave dan non Q-wave.
Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran
elektrokardiogram (EKG) yang terjadi pada
beberapa hari setelah serangan. Infark miokar-
dium tipe Q-wave menggambarkan adanya in-
fark transmural. Sedangkan infark non Q-wave
menggambarkan infark yang terjadi hanya
pada lapisan subendokardium.
7
Pada saat ini,
istilah yang dipakai adalah STEMI (ST elevation
myocardial infarction), NSTEMI (non ST elevation
myocardial infarction), dan angina pektoris tidak
stabil; ketiganya merupakan suatu spektrum
klinis yang disebut sindrom koroner akut.
4,5
Ke-
tiganya mempunyai dasar patofsiologi yang
sama, hanya berbeda derajat keparahannya.
Adanya elevasi segmen ST pada EKG meng-
gambarkan adanya oklusi total arteri koroner
yang menyebabkan nekrosis pada seluruh
atau hampir seluruh lapisan dinding jantung.
Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil
terjadi oklusi parsial arteri koroner. Keduanya
mempunyai gejala klinis dan patofsiologi se-
rupa, tetapi berbeda derajat keparahannya. Di-
agnosis NSTEMI ditegakkan jika iskemi cukup
parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel
miokardium; hal ini menyebabkan pelepasan
biomarker dari sel-sel miokardium (Troponin
T atau I, atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Se-
baliknya, pada pasien dengan angina pektoris
tidak stabil tidak didapatkan peningkatan bio-
marker tersebut di sirkulasi.
2,4,6
PATOFISIOLOGI SINDROM KORONER
AKUT (SKA)
Hampir semua kasus infark miokardium dise-
babkan oleh aterosklerosis arteri koroner.
4

Untuk memahaminya secara komprehensif
diperlukan pengetahuan tentang patofsiolo-
gi iskemia miokardium. Iskemia miokardium
terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar
daripada suplai oksigen ke miokardium. Ok-
lusi akut karena adanya trombus pada arteri
koroner menyebabkan berkurangnya suplai
oksigen ke miokardium (Gambar 1). Contoh
lain, pada pasien dengan plak intrakoroner
yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi de-
nyut jantung dapat menyebabkan terjadinya
iskemi karena meningkatkan kebutuhan ok-
sigen miokardium, tanpa diimbangi kemam-
puan untuk meningkatkan suplai oksigen ke
miokardium.
6
Jika terjadi penyempitan arteri koroner,
iskemia miokardium merupakan peristiwa
yang awal terjadi. Daerah subendokardial
merupakan daerah pertama yang terkena,
karena berada paling jauh dari aliran darah.
Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusak-
an sel miokardium. Infark miokardium adalah
nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark
miokardium dapat terjadi nontransmural (ter-
jadi pada sebagian lapisan) atau transmural
(terjadi pada semua lapisan).
7
Faktor-faktor
yang berperan dalam progresi SKA dapat di-
lihat pada gambar 2.
Patof siologi Sindrom Koroner Akut
Risalina Myrtha
RS Anak Astrini, Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia
Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan oksigen miokardium
6
Gambar 2 Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya SKA
6
Penurunan
suplai oksigen
Peningkatan
kebutuhan
oksigen
Berkurangnya aliran darah koroner stenosis
vasospasme
hipotensi
takikardi
bradikardi
hipovolemia
trombosis koroner
Berkurangnya kandungan oksigen dalam darah
anemia
hipoksia
Peningkatan kecepatan metabolisme jaringan
demam
hipertiroid
Peningkatan denyut jantung takiaritmia atrium
takiaritmia ventrikel
Peningkatan wall stress
hipertensi
LVH
stenosis aorta
SKA
Aktivasi, agresi,
adhesi trombosit
Aktivasi sekunder
sistem koagulasi
palsma
Vasokonstriksi
koroner
Ketidakseimbangan
suplai dan
kebutuhan oksigen
miokardium
Ruptur plak
atherosklerotik
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 261 4/10/2012 2:56:05 PM
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
262
TINJAUAN PUSTAKA
PEMBENTUKAN PLAK ATEROSKLEROTIK
Pada saat ini, proses terjadinya plak ateroskle-
rotik dipahami bukan proses sederhana ka-
rena penumpukan kolesterol, tetapi telah
diketahui bahwa disfungsi endotel dan proses
infamasi juga berperan penting. Proses pem-
bentukan plak dimulai dengan adanya dis-
fungsi endotel karena faktor-faktor tertentu.
Pada tingkat seluler, plak terbentuk karena
adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel
darah, seperti monosit, melekat ke lumen
pembuluh darah.
3
1. Inisiasi proses aterosklerosis: peran
endotel
Aterosklerosis merupakan proses pemben-
tukan plak di tunika intima arteri besar dan
arteri sedang. Proses ini berlangsung terus
selama hidup sampai akhirnya bermanifestasi
sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi
melalui 4 tahap, yaitu kerusakan endotel, mi-
grasi kolesterol LDL (low-density lipoprotein) ke
dalam tunika intima, respons infamatorik, dan
pembentukan kapsul fbrosis.
2,6,8
Beberapa faktor risiko koroner turut berperan
dalam proses aterosklerosis, antara lain hiper-
tensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan me-
rokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga
menyebabkan kerusakan endotel.
6,8
Faktor-
faktor risiko ini dapat menyebabkan kerusak-
an endotel dan selanjutnya menyebabkan
disfungsi endotel. Disfungsi endotel meme-
gang peranan penting dalam terjadinya pro-
ses aterosklerosis. Jejas endotel mengaktifkan
proses infamasi, migrasi dan proliferasi sel,
kerusakan jaringan lalu terjadi perbaikan, dan
akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak.
2,6

Endotel yang mengalami disfungsi ditandai
hal-hal sebagai berikut
2
:
a. Berkurangnya bioavailabilitas nitrit ok-
sida dan produksi endothelin-1 yang
berlebihan, yang mengganggu fungsi
hemostasis vaskuler
b. Peningkatan ekspresi molekul adhesif
(misalnya P-selektin, molekul adhesif
antarsel, dan molekul adhesif sel pembu-
luh darah, seperti Vascular Cell Adhesion
Molecules-1 [VCAM-1])
2,8

c. Peningkatan trombogenisitas darah
melalui sekresi beberapa substansi aktif
lokal.
2. Perkembangan proses
aterosklerosis: peran proses infamasi
Jika endotel rusak, sel-sel infamatorik, teru-
tama monosit, bermigrasi menuju ke lapisan
subendotel dengan cara berikatan dengan
molekul adhesif endotel. Jika sudah berada
pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengala-
mi diferensiasi menjadi makrofag.
2
Makrofag
akan mencerna LDL teroksidasi yang juga ber-
penetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi
sel foam dan selanjutnya membentuk fatty
streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepas-
kan zat-zat kemoatraktan dan sitokin (misalnya
monocyte chemoattractant protein-1, tumor
necrosis factor , IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive
protein) yang makin mengaktifkan proses ini
dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel
T, dan sel otot polos pembuluh darah (yang
mensintesis komponen matriks ekstraseluler)
pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos
pembuluh darah bermigrasi dari tunika me-
dia menuju tunika intima, lalu mensintesis ko-
lagen, membentuk kapsul fbrosis yang men-
stabilisasi plak dengan cara membungkus inti
lipid dari aliran pembuluh darah.
8
Makrofag
juga menghasilkan matriks metaloproteinase
(MMPs), enzim yang mencerna matriks ek-
straseluler dan menyebabkan terjadinya dis-
rupsi plak (Gambar 4).
2,8
Tabel 1 Komponen primer pembentukan plak aterosklero-
sis karena disfungsi endotel
6,8
Peningkatan adhesivitas endotel
Peningkatan permeabilitas endotel
(memudahkan migrasi LDL dan monosit ke tunika
intima pembuluh darah)
Migrasi dan proliferasi sel otot polos dan
makrofag
Pelepasan enzim hidrolitik, sitokin, dan faktor
pertumbuhan
Nekrosis fokal dinding pembuluh darah
Perbaikan jaringan dengan fbrosis
Gambar 3 Fase awal disfungsi endotel
2
Gambar 4 Pembentukan fatty streaks
6
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 262 4/10/2012 2:56:06 PM
263
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
TINJAUAN PUSTAKA
3. Stabilitas plak dan kecenderungan
mengalami ruptur
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Per-
bandingan antara sel otot polos dan makrofag
memegang peranan penting dalam stabilitas
plak dan kecenderungan untuk mengalami
ruptur.
2
LDL yang termodifkasi meningkatkan respons
infamasi oleh makrofag. Respons infamasi
ini memberikan umpan balik, menyebabkan
lebih banyak migrasi LDL menuju tunika in-
tima, yang selanjutnya mengalami modifkasi
lagi, dan seterusnya. Makrofag yang terstimu-
lasi akan memproduksi matriks metaloprotei-
nase yang mendegradasi kolagen. Di sisi lain,
sel otot pembuluh darah pada tunika intima,
yang membentuk kapsul fbrosis, merupakan
subjek apoptosis. Jika kapsul fbrosis meni-
pis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan
paparan aliran darah terhadap zat-zat trom-
bogenik pada plak. Hal ini menyebabkan ter-
bentuknya bekuan. Proses proinfamatorik ini
menyebabkan pembentukan plak dan insta-
bilitas. Sebaliknya ada proses antiinfamatorik
yang membatasi pertumbuhan plak dan men-
dukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan
TGF- bekerja mengurangi proses infamasi
yang terjadi pada plak. Hal ini terjadi secara
seimbang seperti pada proses penyembuhan
luka. Keseimbangan ini bisa bergeser ke salah
satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan
plak, maka plak semakin besar menutupi lu-
men pembuluh darah dan menjadi rentan
mengalami ruptur
8
(Gambar 5).
4. Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkem-
bang perlahan-lahan seiring berjalannya wak-
tu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala mun-
cul bila stenosis lumen mencapai 70-80%.
Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan
hanya menyumbat kurang dari 50% diameter
lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan
ada plak yang tetap stabil belum diketahui
secara pasti. Beberapa penelitian menunjuk-
kan bahwa inti lipid yang besar, kapsul fbrosa
yang tipis, dan infamasi dalam plak merupa-
kan predisposisi untuk terjadinya ruptur.
2,6
Setelah terjadi ruptur plak maupun erosi en-
dotel, matriks subendotelial akan terpapar
darah yang ada di sirkulasi. Hal ini menyebab-
kan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi
dan agregasi trombosit, selanjutnya terben-
tuk trombus.
2,3,6,8
Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit,
pembentukan trombus juga melibatkan
sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi
plasma merupakan jalur hemostasis sekunder.
Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan
dengan sistem hemostasis primer yang di-
mediasi trombosit.
6
Proses hemostasis primer
maupun sekunder bisa dilihat pada gambar
6.
Ada 2 macam trombus yang dapat terben-
tuk
2
:
a. Trombus putih: merupakan bekuan yang
kaya trombosit. Hanya menyebabkan
oklusi sebagian.
b. Trombus merah: merupakan bekuan
yang kaya fbrin. Terbentuk karena akti-
vasi kaskade koagulasi dan penurunan
perfusi pada arteri. Bekuan ini bersuper-
imposisi dengan trombus putih, me-
nyebabkan terjadinya oklusi total.
GAMBARAN KLINIS ISKEMIA
SKA merupakan suatu kontinuum. Gejala
muncul apabila terjadi ketidakseimbangan
antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen
jantung. Angina stabil ditandai dengan adanya
plak ateroskerosis dengan stenosis permanen.
Gejala klinis muncul apabila kebutuhan oksi-
gen melebihi suplai oksigen ke jantung (lati-
han, stres). Jika terjadi dalam jangka waktu
lama, biasanya didapatkan aliran darah kola-
teral yang signifkan. Angina tak-stabil terjadi
karena menurunnya perfusi ke jantung (dis-
rupsi plak menyebabkan terbentuknya trom-
Gambar 5 Pembentukan lesi aterosklerotik yang semakin kompleks
6
Gambar 6 Skema pembentukan trombus dan target farmakologis obat-obat penghambat pembentukan trombus
6
Coagulation cascade Platelets
Collagen
Tissue factor
TFPI
A
n
t
it
h
r
o
m
b
in
A
n
t
it
h
r
o
m
b
in
Factor Xa
Thromboxane ADP vWF A2
Prothrombin
Thrombin
Platelets
Activated platelets
Fibrinogen crosslinking
Platelet aggregation
Thrombus
Plasmin
Thrombolytics
Direct
thrombin
inhibitors
LMWH
UFH
Fondaparinux
LMWH
UFH
Asprin
Fibrin
Fibrin
degradation
Fibrinogen
Leukocytes
Clopidogrel
LMWH
GP IIb/IIa
inhibitors
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 263 4/10/2012 2:56:07 PM
CDK-192/ vol. 39 no. 4, th. 2012
264
TINJAUAN PUSTAKA
bus dan penurunan perfusi) atau peningkatan
kebutuhan oksigen (oxygen mismatch). Trom-
bus biasanya bersifat labil dengan oklusi tidak
menetap. Pada angina tak stabil, miokardium
mengalami stres tetapi bisa membaik kem-
bali. NSTEMI terjadi bila perfusi miokardium
mengalami disrupsi karena oklusi trombus
persisten atau vasospasme. Adanya tromboli-
sis spontan, berhentinya vasokonstriksi, atau
adanya sirkulasi kolateral membatasi keru-
sakan miokardium yang terjadi. Sedangkan
STEMI terjadi bila disrupsi plak dan trombosis
menyebabkan oklusi total sehingga terjadi
iskemia transmural dan nekrosis.
8
IMPLIKASI PADA TERAPI SKA
Patogenesis SKA melibatkan peranan endotel,
sel infamatorik, dan trombogenisitas darah.
2

Dengan memahami patofsiologinya, terapi
SKA mudah dipahami. Pada angina tidak stabil
dan NSTEMI, hanya didapatkan trombus putih.
Sedangkan pada STEMI, selain trombus putih,
juga didapatkan trombus merah. Pada angina
tak-stabil maupun NSTEMI, tujuan terapi anti-
trombotik adalah untuk mencegah terjadinya
trombosis lebih lanjut. Revaskularisasi sering
digunakan untuk meningkatkan perfusi dan
mencegah reoklusi atau iskemia rekuren.
Pada STEMI diperlukan reperfusi farmakologi
atau dengan kateter secepatnya, supaya da-
pat mempertahankan perfusi koroner.
2
Terapi
fbrinolisis hanya dilakukan pada STEMI dan
merupakan kontraindikasi pada angina tidak
stabil maupun NSTEMI.
6
Terapi aterosklerosis juga berkembang ber-
dasarkan korelasi epidemiologi, meliputi
statin untuk hiperlipidemia, kontrol gula
darah pada pasien diabetes melitus, kontrol
berat badan, diet, dan olahraga. Penelitian
membuktikan bahwa terapi tersebut dapat
memodifkasi proses aterotrombotik dengan
mengurangi proses infamasi. Pada subjek
sehat yang menjalani progam latihan se-
DAFTAR PUSTAKA
1. ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. http://circ.ahajournals.org/cgi/reprint/110/9/e82.pdf
2. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management Part I. Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917-938. http://www.mayoclinicproceedings.com/content/84/10/917.
full.pdf
3. Kleinschmidt KC. Epidemiology and Patophysiology of Acute Coronary Syndrome. Adv Stud Med. 2006;6(6B):S477-S482. http://www.jhasim.com/fles/articlefles/pdf/ASIM_6_6Bp477_482_
R1.pdf
4. Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology, Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwalds Heart Disease. 8th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.
5. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI. Pedoman Praktis Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. 2008. Jakarta: FKUI.
6. Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam: Gelfand Eli V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary Syndromes. West Sussex: Wiley Blackwell.
2009. Pp: 1-11; http://media.wiley.com/product_data/excerpt/75/04707255/0470725575-1.pdf
7. Canadian Institute For Health Information. 2007. Acute Coronary Syndromes: Understanding the Spectrum. http://www.smgh.ca/_uploads/PageContent/documents/ACS-spectrum.
pdf
8. Char DM. The Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. http://www.emcreg.org/publications/monographs/acep/2004/char.pdf
lama 6 bulan, didapatkan penurunan sitokin
aterogenik (IL-1, TNF) sebanyak 58% dan
kenaikan sitokin ateroprotektif (IL-4, TGF-)
sebanyak 35%. Obesitas juga dianggap ber-
sifat proinfamatorik. Penurunan berat badan
rata-rata 14 kg dalam 14 bulan menurunkan
kadar CRP sebanyak 32%. Diet rendah lemak
nampaknya meningkatkan fungsi endotel
dan mengurangi molekul adhesif, seperti P-
selektin.
8
Infamasi memegang peranan sentral dalam
patofsiologi SKA. Setelah mengetahui pe-
ranan proses infamasi dalam patofsiologi SKA,
terbuka peluang strategi diagnostik maupun
terapi baru. Dengan begitu, semakin terbuka
peluang untuk menjadikan penanda infamasi
dalam praktik diagnostik SKA. Pasien dengan
kadar CRP tinggi mempunyai risiko tinggi
mengalami SKA dan memerlukan terapi an-
tiinfamasi. Makin terbuka peluang pendeka-
tan diagnostik infamasi dan iskemia seluler,
bukan hanya nekrosis seperti sekarang, makin
dini intervensi dapat diberikan. Suatu saat,
modalitas terapi mungkin akan ditargetkan
pada proses infamasi yang terjadi, dengan
mengintervensi molekul adhesif, sitokin, sel
T, makrofag, dan mediator infamasi lain yang
turut berperan.
8
Selain itu, dengan memahami peran proses
hemostasis dalam patofsiologi SKA, kita bisa
memahami dengan baik pula obat-obatan
yang dapat menghambat proses tersebut
pada tingkat yang berbeda. Aspirin masih
merupakan terapi paling efektif sebagai upa-
ya pencegahan primer maupun sekunder
penyakit jantung koroner. Aspirin mempunyai
daya antiplatelet sedang, dan yang juga pen-
ting, mempunyai efek antiinfamasi.
8
Gambar 7 Ruptur plak
6
CDK-192_vol39_no4_th2012 ok.indd 264 4/10/2012 2:56:08 PM

Anda mungkin juga menyukai