Anda di halaman 1dari 17

ANATOMI MEDULA SPINALIS

Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam
kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen.
Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula spinalis dari luar ke dalam antara lain :
1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh pembuluh
darah vena
3. duramater
4. arachnoid
5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis
6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus
permukaan sebelah luar medula spinalis Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx
(duramater) dan leptomeninx (arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin
usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang
dalam masa masa berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula
spinalis sehingga ujung kaudal medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat
yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi
kaudal corpus vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula spinalis
umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau setinggi discus
intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat banyak jalur saraf
(tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di
berikut.







Gambar 1. Berbagai jalur saraf dalam medula spinalis

Medula Spinalis merupakan kelanjutan dari otak dimulai setinggi foramen occipitalis
magnum melanjutkan ke bawah di dalam canalis spinalis dan beakhir pada conus medullaris
setinggi V.Lumbalis I. Kemudian hanya berupa serabutserabut saraf yang disebut caudal aquina.
Medulla spinalis ini mempunyai bentuk seperti tabung silindris dan didalamnya terdapat lubang
atau canalis centralis. Bagian tepi atau cortex mengandung serat-serat saraf (white matter) dan
bagian tengahnya berwarna gelap (grey matter) yang mengandung sel-sel body dan bentuknya
seperti kupu-kupu. Dari medulla spinalis ini keluar masuk serabut saraf sebanyak 31 pasang yang
melalui foramen intervertebralis. Sebagaimana otak medulla spinalis juga dilapisi oleh selaput
meningen dan mengandung cairan otak. Pada medulla spinalis terdapat rute utama pada setiap
ketiga columna alba. Pada tractus asendens terdiri atas tiga tractus yaitu:
1. Tractus spinothalamicus anterior atau ventralis
Meneruskan impuls taktil dan tekanan dari medulla ke thalamus. Serabutnya dimulai pada
collumna posterior substantia grisea dari sisi berseberangan dan melintas diatas commisura alba
anterior sebelum naik pada columna alba anterior.
2. Tractus spinothalamicus lateralis
Membawa impuls sakit dan temperatur ke thalamus. Serabutnya bergabung pada medulla dengan
serabut dari tractus spinothalamicus anterior untuk membentuk lemnicus spinalis. Serabut keluar
dari sel yang terletak pada cornu posterior subatantia grisea sisi seberangannya dan terutama
berjalan naik pada columna lateralis.
3. Tractus spinothalamicus anterior posterior atau ventralis dorsalis
Meneruskan informasi ke cerebellum yang dapat membantu koordinasi otot (aktivitas sinergik)
dan tonus otot juga sentuhan dan tekanan. Serabutserabut saraf mulai keluar pada cornu posterius
dari sisi yang sama dan berjalan menuju columna alba lateralis.
Tractus desendens terdiri atas:
1. Tractus corticospinalis atau cerebrospinalis anterior atau ventralis atau
disebut juga tractus pyramidalis direk
Tersusun atas serabut-serabut yang berjalan turun melalui otak dari cortex cerebri. Medulla
terletak didekat fissura antero-media dan berhubungan dengan kontrol voluntaris dari otot
skeletal. Tractus menjadi lebih kecil ketika berjalan naik dan hampir hilang pada regio thoracis
media karena pada ketinggian ini sebagian besar serabut pembentuknya sudah menyeberang ke
sisi berlawanan untuk berakhir dengan cara membentuk sinaps di sekitar cornu anterior dari
neuron motoris inferior. Beberapa serabut yang masih tersisa akan berakhir pada columna
anterior substantia grisea pada sisi chorda yang sama.
2. Tractus lateralis atau tractus pyramidalis transverse
Mengandung sejumlah besar serabut untuk mengontrol gerak otot volunter. Serabutnya keluar
pada cortex motoris dan melintang diatas atau bergabung dengan tractus sisi seberangnya pada
medulla.
3. Tractus vestibulospinalis
Juga berjalan turun pada columna anterior substantia alba. Tractus ini mempunyai hubungan
dengan fungsi keseimbangan dan postur. Serabut saraf mulai keluar pada medulla di sisi yang
sama dari gabungan sel-sel yang disebut nucleus vestibularis.
4. Tractus rubrospinalis
Terletak tepat di depan tractus corticospinalis lateralis, serabutnya dimulai pada mesenchepalon
dan berjalan turun untuk berakhir di sekitar sel-sel cornu anterius. Berhubungan dengan kontrol
aksi otot dan merupakan bagian utama dari sistem extrapyramidal. Tractus motoris dan sensoris
merupakan tractus yang paling penting di dalam otak dan medulla spinalis dan mempunyai
hubungan yang erat untuk gerakan motoris voluntaris, sensasi rasa sakit, temperatur dan
sentuhan dari organorgan indera pada kulit dan impuls propioseptif dari otot dan sendi. Tractus
corticospinalis atau pyramidalis atau motoris berasal dari cortex motoriius precentralis,
serabutnya berjalan turun melalui capsula interna pada genu dan duapertiga anterior limbus
posterior. Tractus cortico ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang melayani otot-
otot pada truncus termasuk mm.intercostalis dan abdominalis. Semua neuron yang menyalurkan
impul-impuls motorik ke nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut
sebagai neuron motor atas (upper motor neuron). Impuls-impuls motorik ini dapat disalurkan
melalui jalurjalur saraf yang termasuk dalam susunan pyramidal dan susunan ekstrapyramidal
oleh karena itu dalam area yang luas sel-sel neuron yang membentuk jalur
desendens pyramidal (tractus corticobulbaris dan corticospinalis) dan ekstrapyramidal (tractus
reticulospinalis dan rubrospinalis) dapat disebut sebagai neuron motor atas sedangkan neuron-
neuron motorik di dalam nuclei motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut
neuron motor bawah (lower motor neuron).






OBAT ANALGESIK POST OPERASI


Dalam penatalaksanaan nyeri, WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam
penggunaan analgesik.
Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan sedang seperti obat golongan nonopioid seperti
aspirin, asetaminofen, atau AINS, obat ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri masih
menetap atau meningkat,
Langkah 2 ditambah opioid, untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain.
Jika nyeri terus menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi opioid atau
dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain. Dosis tambahan yang
onsetnya cepat dan durasinya pendek digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba. VAS
nyeri
1-3
disebut nyeri ringan,
4-7
disebut nyeri sedang, dan di atas 7 dianggap nyeri hebat.
3
Klasifikasi obat analgesik menurut intensitas nyeri yang menjadi sasarannya, terbagi dalam 2
kelompok:
4

1) Analgetika non-narkotik (non-opioid) dengan kerja perifer
2) Analgetika narkotik dengan kerja sentral
Obat-obatan untuk Nyeri Ringan Sampai Sedang

Banyak orang yang mengelola sakit dan nyeri dengan analgesik, termasuk aspirin, asetaminofen,
dan ibuprofen atau naprokes pada dosis 200 mg dosis formulasi. Untuk nyeri sedang, salisilat,
AINS, atau asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah memadai, jika tidak, dokter dapat
meresepkan obat-obatan seperti kodein atau oksidon.
3


Analgetika non-narkotik
Obat-obat ini dinamakan juga sebagai analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem
Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau ketagihan.
1. Aspirin
3,4

Aspirin merupakan obat analgesik-antipiretik, antiinflamasi sekaligus antirombotik. Indikasi
penggunaannya selain untuk nyeri ringan sampai sedang, aspirin dapat dikombinasikan dengan
analgesik opioid untuk nyeri kanker. Farmakokinetiknya, aspirin cepat di absorpsi dalam
lambung dan usus kecil bagian atas. Kadar puncak dalam plasma dalam 1-2 jam kemudian
mengalami hidrolisis menjadi asam asetat dan salisilat. Dalam metabolismenya sebagian
dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan
cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal, jantung dan paru-paru.
Dalam darah aspirin akan terikat pada albumin. Mekanisme kerja aspirin dalam antiinflamasi
adalah sebagai penghambat non selektif COX-1 dan COX-2. Aspirin menghambat COX secara
irreversibel, menstabilkan lisosom dan menghambat kemotaksis leukosit PMN dan makrofag.
Efek analgesiknya dicapai dengan menghambat rangsang nyeri pada tingkat subkorteks. Efek
analgesiknya dapat dicapai pada dosis yang lebih rendah daripada dosis antiinflamasinya. Efek
antipiretik dari aspirin adalah dengan menghambat IL-1 yang dilepas makrofag selama inflamasi.
Selain efek analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin juga memiliki efek antitrombotik
pada dosis 80 mg/hari. Pada dosis tepat, obat ini akan menurukan pembentukan prostaglandin
maupun tromboksan A2 dengan cara menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalam
trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit.

Aspirin tidak efektis untuk nyeri viseral yang hebat. Untuk artritis reumatoid, demam rematik,
dan inflamasi sendi lain aspirin akan memberikan hasil pada dosis tinggi. Aspirin tersedia dalam
bentuk sediaan oral yaitu 81; 325; dan 500 mg. Biasanya penggunaan 1 atau 2 tablet (325-650
mg) setiap 4 jam diperlukan, diminum dengan air minum. Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi
dengan makanan dan antasida. Efek utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau pemberian
jangka panjang adalah iritasi lambung dan pada pemeriksaan mikroskopik, dapat terjadi
pendarahan pada usus. Alergi terhadap aspirin jarang terjadi, dan mungkin bermanisfetasi
sebagai rinorhea, polip nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis. Aspirin pada dosis
tinggi dapat menghasilkan zat yang mempengaruhi vitamin K sehingga memperpanjang waktu
penggumpalan. Karena efek sampingnya yang cukup tinggi, aspirin jarang digunakan sebagai
antiinflamasi.




2. Asetaminofen

Asetaminofen pada dosis yang sama (650 mg oral per 4 jam) mempunyai efek analgetik dan
antipiretik yang sebanding tetapi efek antiinflamasinya lebih rendah dibanding aspirin. Obat ini
sangat berguna untuk penderita yang tidak mampu mentoleransi aspirin atau pada gangguan
pendarahan dan pada pasien yang mempunyai resiko reyes syndrome. Asetaminofen
mempunyai waktu paruh yang pendek, sehingga harus diberikan setidak-tidaknya tiap 4 jam
supaya dapat memperbaiki nyeri yang adekuat. Efek sampingnya lebih ringan, khususnya tidak
menimbulkan nefrotoksis dan tidak menimbulkan euforia dan ketergantungan fisik.
3,4


Farmakokinetik dari asetamifen oral adalah mencapai kadar puncak pada waktu 30-60 menit.
Asetaminofen ini di metabolisme di hati, sebagian kecil metabolitnya merupakan metabolit aktif
dan toksik. Dosis tinggi pada pemakaian asetaminofen ini bersifat toksik pada hati dan ginjal.
Masa paruhnya sekitar 2-3 jam. Gangguan saluran cerna akibat asetaminofen jarang terjadi.
Dosis lebih dari 15 g dapat berakibat fatal, kematian karena hepatotoksisitas berat dengan
nekrosis sentrioblaris dan kadang disertai nekrosis akut tubuli ginjal.
1



3. Anti Inflamasi Non Steroid
1,2


Semua obat AINS adalah analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi yang kerjanya tergantung
dosis. Prinsipnya, obat-obatan tersebut digunakan untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada
beberapa gangguan muskuloskeletal, seperti artritis, osteoartritis, terkilir, nyeri menstruasi dan
lainnya teutama keadaan yang bisa sembuh sendiri atau ketidaknyamanan pascaoperasi. AINS
mempunyai keefektifan analgesik yang sesuai atau lebih kuat dari aspirin. Aktivitas AINS
menghambat biosintesis prostaglandin. AINS juga bekerja dengan menghambat kemotaksis,
menurunkan produksi IL-1 serta mengurangi pembentukan radikal bebas. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, AINS ada yang bersifat non selektif yang berarti menghambat COX-1 dan
COX-2 seperti diklofenak, ketoprofen, piroxicam, dan ketorolak.

AINS secara umum tidak diberikan pada pasien yang menerima antikoagulan oral. Keuntungan
AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yang lebih lama sehingga frekuensi pemberian
lebih rendah dan kepatuhan pasien lebih baik. Selain itu, efek samping pada gastrointestinal lebih
rendah. Penghambat selektif COX-2 dpat meningkatkan insidens edema dan hipertensi.


Obat-Obatan untuk nyeri sedang sampai berat

Analgesik opioid
1,3


Jika dosis analgesik non opioid cukup adekuat dan telah diberikan secara reguler, namun
perbaikan nyerinya minimal; atau pasien yang mengalami efek samping berlebihan, maka
pendekatan pengobatan yang terpilih adalah kombinasi obat opioid lemah dengan obat non
opioid. Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Zat-zat ini memiliki
daya menghalang nyeri yang kuat sekali dengan titik kerja yang terletak di sistem saraf pusat.
Umumnya bersifat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan nyaman. Analgesik
narkotik atau opioid merupakan tulang punggung pengobatan nyeri kanker, perbaikan nyeri
dicapai pada lebih dari 95% pasien, namun penggunaannya harus dipertimbangkan dengan efek
sampingnya. Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang terus menerus dapat
mengakibatkan toleransi dan ketergantungan fisik. Toleransi yang dimaksud adalah peningkatan
dosis opioid yang dibutuhkan untuk dapat menghasilkan sifat analgesik yang sama. Obat opioid
menurut interaksinya dengan reseptor opioid di sistim saraf pusat yang multipel, digolongkan
sebagai :

1. Obat opioid agonis, yang morphine like

2. Obat opioid antagonis

3. Obat campuran opioid agonis - antagonis.

Opioid agonis yang morphine like, membentuk ikatan dengan reseptor opiat yang diskret,
sehingga menghasilkan analgesia. Opioid antagonis juga membentuk ikatan dengan reseptor
opioid, tapi memblok efek agonis morphine-like, sehingga tidak mempunyai sifat analgesik dari
dirinya sendiri. Opioid campuran agonis-antagonis, tergantung lingkungannya dapat bersifat
agonis atau antagonis. Analgesik opioid sanggup menghasilkan analgesia dalam rentangan dosis
yang lebar. Pada opioid bila dosis ditingkatkan dalam skala logaritmik, akan terjadi peningkatan
analgesia yang linear, sampai titik hilangnya kesadaran. Empat pereparat analgesik narkotik yang
terpenting di Asia Tenggara yaitu kodein, morfin, bruprenorfin dan methadon



Opioid lemah
2,4,5


Pasien kanker dengan nyeri ringan sampai sedang, yang tidak memberi respons terhadap
analgesik non opioid, atau tidak dapat mentolerir analgesik non opioid, maka pilihan pertama
adalah analgesik opioid lemah per oral, misalnya kodein atau oksikodon, dengan dosis yang
adekuat dalam pemberian yang reguler.

Agonis ringan sampai sedang:

1. Fenantren: Kodein, oksaikodon, dihidrokodein, hidrokodon

2. Fenilheptilamin: Propoksifen

3. Fenilperidin: Difenoksilat, difenoksin, untuk diare bukan analgesik, loperamid untuk diare

Kodein paling baik untuk nyeri ringan sampai sedang. Ia dikonversi menjadi morfin sehingga
mempunyai efek terapetik. Kodein sering digunakan bersama dengan aspirin atau asetaminofen
untuk memperkuat efek analgesiknya. Dosis 30 mg kodein sebanding kekuatan analgesiknya
dengan 650 mg aspirin. Kodein harus diberikan tiap 46 jam untuk mencapai perbaikan nyeri
yang terus menerus. Komplikasi utamanya adalah konstipasi. Oksidoson dan Hidrokodon, obat
ini diberikan secara oral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-7,5 mg setiap 4-6
jam pada tablet yang mengandung aspirin 325 mg atau 500 mg.

Jika opioid lemah tidak (berhasil, dapat diberikan kombinasi dengan obat non opioid, misalnya
parasetamol, atau dikombinasi dengan ajuvan misalnya antidepresan dan fenothiazin.
Keuntungan pokok kombinasi obat opioid lemah dengan analgesik non opioid adalah
meningkatkan dan menambah analgesia. Obat opioid bekerja pada reseptor opiat di sistim saraf
pusat, sedangkan analgesik non opioid menginhibisi biosintesis prostaglandin pada reseptor
perifer. Aspirin atau parasetamol yang digunakan dalam kombinasi hendaknya diberikan dalam
dosis penuh : 650 mg.


Opioid kuat
4,5,8


Jika opioid lemah tidak efektif, langkah berikutnya adalah morfin oral. Morfin oral merupakan
obat pilihan garis pertama pada pengelolaan pasien dengan nyeri kanker stadium lanjut karena
beberapa alasan; waktu paruh morfin singkat, farmakokinetiknya tetap linear pada pemberian
yang berulang. Pada sebagian besar pasien nyeri kanker stadium lanjut, morfin dapat diberikan
per oral. Morfin oral diberikan tiap 4 jam, namun sesuai kebutuhan kadang-kadang diberikan tiap
3 jam. Efek samping pada awal pemberian adalah drowsiness, akan menghilang dalam beberapa
hari. Dosis morfin dapat dinaikkan pelan-pelan sesuai kebutuhan pasien.Dosis permulaan morfin
biasanya 10 mg tiap 4 jam setelah menggantikan narkotik lemah. Dosis ini dinaikkan jika nyeri
tidak terkontrol setelah pemberian dosis pertama, atau perbaikan nyeri tidak 90% setelah 24 jam.
Pada malam hari dapat diberikan dosis ganda, untuk mencapai durasi 68 jam, sehingga dapat
memberi kesempatan tidur malam yang baik.

Methadon merupakan altematif yang berguna untuk morfin, namun untuk penggunaan klinis
memerlukan kecanggihan yang lebih besar. Methadon paling berguna untuk pasien yang telah
mengembangkan toleransi terhadap morfin, atau yang telah mempunyai pengalaman opioid
sebelumnya. Methadon merupakan analgesik opioid garis kedua pada pengelolaan nyeri kanker.
Walaupun waktu paruhnya panjang tapi durasi analgesianya hanya 4--8 jam. Dosis repetitif dapat
menimbulkan akumulasi obat, khususnya pada gagal hati atau ginjal. Methadon tidak
direkomendasikan pada usia lanjut dan keadaan lemah. Pada orang yang tak terlalu lemah,
penggunaan methadon diawasi atau diubah ke morfin. Selain morfin dan methadon, alternatif
lain adalah hidromorfon dan levorfanol.

Obat ajuvan dan kombinasi
3,5


Termasuk dalam obat analgesik ajuvan adalah obat-obat yang digunakan sebagai koanalgesik
pada jenis nyeri yang spesifik atau obat yang digunakan untuk melawan efek samping analgesik
opioid. Obat koanalgesik tidak mempunyai aktivitas anti nosiseptif spesifik, namun dalam
kombinasi dengan analgesik akan meningkatkan sifat menyembuhkan nyeri dari analgesiknya.
Kombinasi obat analgesik dan obat ajuvan dapat memberikan tambahan analgesia, mengurangi
efek samping dan mengurangi kecepatan eskalasi dosis opioid. Kombinasi dapat dilakukan juga
antara opioid dengan non opioid (aspirin, asetaminofen, ibuprofen).

Kortikosteroid digunakan untuk nyeri kanker akut dan khronik, dapat menghasilkan keuntungan
spesifik dan non spesifik. Kortikosteroid menimbulkan euphoria, nafsu makan meningkat dan
dapat menambah berat badan, sehingga dengan demikian akan menambah sense of well being
pada pasien kanker. Kortikosteroid juga mengurangi nyeri tulang yang berasal dari metastasis,
dan bekerja sebagai agen onkolitik untuk tumor-tumor jenis tertentu. Pada pasien kanker stadium
lanjut penggunaan kortikosteroid akan memperpanjang waktu survival dan kebutuhan dosis
opioid dapat dikurangi. Kortikosteroid berperanan memberikan analgesia yang sementara pada
pasien dengan metastasis tulang yang tersebar luas atau pada pasien dengan infiltrasi tumor ke
saraf perifer atau pleksus. Namun maintenance kortikosteroid tidak memberikan perbaikan nyeri
dalam derajat yang kontinu. Dosis kortikosteroid yang diberikan tergantung situasi klinisnya.
Pada pasien yang menerima kortikosteroid, AINS hendaknya dihindarkan, karena bersama AINS
risiko efek samping gastrointestinal menjadi lebih besar, khususnya ulserasi dan perdarahan
gastrointestinal.



PENATALAKSANAAN NYERI NON-FARMAKO
3


Blok Saraf. Blok saraf sederhana dengan anestetik lokal jangka panjang ditambah suntikan
steroid dapat meringankan nyeri bahu, nyeri dada, dan nyeri paha. Blok pada saraf simpatik dpat
membantu untuk mengurangi nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kronik, dan angina kronik.

Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi
nyeri dan radang sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan dnegan bimbingan sinar X.
Prosedur ini juga dapat meredakan nyeri kronik pada sendi panggul dan sendi bahu.

Terapi Stimulasi

ENS (Trans Cutaneus Electrical Stimulation) menggunakan bantal khusus yang dihubungkan
dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik lemah ke permukaan kulit dari area nyeri.

Akupuntur

Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan untuk mengurangi nyeri kronik.
Terapi ini merupakan lini terakhir yang dilakukan bila semua usaha untuk mengurangi nyeri
gagal.


Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Profilaktik
Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan operasi
dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
2. Terapi Aktif
Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-
cara berbagai berikut :
a. Obat-2 sistemik analgesik dan ajuvant
b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)
c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.
d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve
stimulation = TENS), atau dengan electroacupuncture.
e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.
Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan
Golongan opiat
Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari
tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-
lain.
a. Opioid Intra Muskular
Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek
anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna,
terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif
lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan
harus di suntik
b. Opioid Intravena
Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara
ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus
dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus
yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infus
c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid
Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid
yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman
untuk pasien.
d. Opioid Subligual
Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling
sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi
nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).
e. Opioid Oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan
analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.
Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh :
1. Morphine
Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard
dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :
1. Mudah didapat
2. Murah
Pemberiannya mudah dan efektif
Cara pemberian dapat :
Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.
Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan a.l : onset obat cepat, hasilnya cepat
terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan
individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun,
sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa
nyeri dan efek samping obat.
2. Pethidine
Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian
iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan
Untuk Morphine : 2-3 minggu diencerkan dalam PZ.
Untuk Petidhine : 20-30 minggu diencerkan dalam PZ.
Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat
ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.
Infusi (continuous infusion)
Perlu monitoring yang lebih ketat.
Bahaya overdosis mudah terjadi.
Morphin :
Kecepatan pemberian (rate) 0,1 mg/menit (6 mg/jam)
Pethidine :
Rate 1,0 mg/menit (60 mg/jam). Terjadinya analgesi lebih cepat dicapai dan berlangsung dalam
15 20 jam. Pethidine mempunyai efek lokal anestesi, dengan akibat menghambat atau blok
saraf simpatik, sensorik, motorik.
Patient Cotrolled Analgesik adalah salah satu cara penggunaan analgesik. Cara ini dimulai pada
th 1970 an. Caranya dapat dilakukan oleh penderita dengan alat yang sudah di program sesuai
kebutuhan penderita (on demand). Hasilnya sangat memuaskan 88% penderita bebas nyeri,
dengan alat ini konsentrasi obat narkotik di plasma hampir mendekati minimal effective
analgesic concentration (MEAC). Yang harus diperhatikan pada pemakaian narkotik adalah
keadaan sebagai berikut:
1. Penderita sakit berat
2. Manula (Geriatric)
3. Status hidrasi penderita (Hypovolemik)
4. C.O.P.D (cronic obstructive pulmonary disease)
5. Trauma kepala
6. Advance liver disease
Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non
steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic.
Yang termasuk golongan ini adalah :
Golongan Salisilat
Acetyl salicylic acid (Aspirin)
Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan
lambung, reaksi hipersentitif.
Acetaminophen (Parasetamol)
Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak
mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg
setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.
Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang
sama dan ada yang lebih kuat. Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek
samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.
1. Proprionic acid derivat
Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari (Brufen)
Ketiprofen (profenid): Dosis 25 50 mg, setiap 6 8 jam p.o dosis max 300 mg sehari
2. Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 jam.
3. Pyrazole deciv.
o Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
o Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
4. Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam
Epidural / Intrathecal Narkotik
Tehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-2 ini. Namun cara ini
memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga
paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian
narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak
mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik.
Intrathecal narkotik mengurangi refleks-refleks pascabedah, sehingga membantu hemodinamik
penderita tetap stabil.
Dosis : 0,5 1 mg Marphine. Analgesi timbul 15 30 menit, dan berakhir 8 24 jam. Epidural
narkotik. Dosis : 2 10 mg, Morphine, onset 5 10 menit, lamanya 6 24 jam.
Komplikasi :
Pruritus 15 20 %
Retensi urinae 15 20 %
Nausea 15 25 %
Depresi nafas (delayed)

Regional anestesi dengan lokal anastesi
Kerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan
efferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya
sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi.
Intercostal block
Cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan
mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.
TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)
Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy
maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak
memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatip untuk
mengurangi kebutuhan narkotik.
Hipnosis dan sugesti. Dalam upaya menghilangkan rasa nyeri, rasa takut perlu perlu dihilangkan
untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pelaksanaan pembedahan. Oleh karena hal tersebut
maka hypnosis dan sugesti dapat membantu menghilangkan komplikasi nyeri pasca bedah.
Pedoman Pemberian analgetik pasca bedah
Awal, diberikan obat dengan potensi dan dosis yang sangat kuat (2 hari)
Selanjutnya diturunkan potensi dan dosisnya


DAFTAR PUSTAKA

1. Dewoto HR. Slide kuliah Nyeri Pada Muskuloskeletal. 2006
2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005.
3. Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam. 2006. h.1182-1183
4. Tan, Rahardja K. Obat-Obat Penting Khasiat dan Penggunaannya. Jakarta: 2000
5. Cherry DA, Gourlay GK. Pain relief in tenninal care. Med Progr 1986. 13(9).p. 29-36.
6. Lee E, Merriman A. Management of pain in the terminal cancer patient. Med Progr. 1988;
15(5). p.16-23
7. Foley KM, Inturissi CE. Pharmacologic approaches to cancer pain. In : KM Foley, RM
Payne (eds.). Current Therapy of Pain. Toronto : BC Decker Inc. 1989 : 303-31
8. Adams RD, Martin JB. Harrison's Principles of Internal Medicine. Acute and chronic pain :
pathophysiology and management.New York; McGraw Hill, 1983 :14.
9. Tsao Jennie CI. Effectiveness of massage therapy for chroni, non-malignat pain. 2007.
Diunduh dari http://www.medscape.com/viewarticle/559775 pada tanggal 28 Desember
2009

Anda mungkin juga menyukai