PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2014 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat (index drug) akibat pemakaian obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat sekaligus dalam satu periode (polifarmasi) digunakan bersama-sama. Pasien rawat inap di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia. Beberapa laporan studi menyebutkan proporsi interaksi obat dengan obat lain (antar obat) berkisar antara 2,2% sampai 30% terjadi pada pasien rawat inap dan 9,2% sampai 70,3% terjadi pada pasien-pasien rawat jalan, walaupun kadang-kadang evaluasi interaksi obat tersebut memasukkan pula interaksi secara teoretik selain interaksi obat sesungguhnya yang ditemukan dan terdokumentasi. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs) yang lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma (pengurangan efektivitas obat) yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi. Profil keamanan suatu obat seringkali baru didapatkan setelah obat tersebut sudah digunakan cukup lama dan secara luas di masyarakat, termasuk oleh populasi pasien yang sebelumnya tidak terwakili dalam uji klinik obat tersebut. Konsekuensinya, diperlukan beberapa bulan atau bahkan tahun sebelum diperoleh data yang memadai tentang masalah efek samping akibat interaksi obat. Namun, studi pharmacovigilance dan post marketing surveilance yang antara lain di kelola oleh industri farmasi diharapkan berperan cukup besar guna mendapatkan data interaksi dan efek samping obat, terutama untuk obat-obat baru yang semakin banyak muncul dan beredar di pasaran.
Mekanisme Interaksi Obat Menurut jenisnya, interaksi obat dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Interaksi obat dengan obat a. Interaksi farmasetik Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. b. Interaksi farmakokinetika Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada berbagai tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolism dan ekskresi. Interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia (dalam tubuh) untuk menimbulkan efek farmakologinya. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya c. Interaksi farmakodinamika Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang sinergistik atau antagonistik. Interaksi farmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang berdasarkan perlamaan efek farmakodinamiknya. Disamping itu, kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter mengetahui. Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu sinergisme dan antagonism. 2. Interaksi obat dengan makanan Setiap saat, ketika suatu makanan atau minuman mengubah efek suatu obat, perubahan tersebut dianggap sebagai interaksi obat-makanan. Interaksi seperti itu bisa terjadi. Tetapi tidak semua obat dipengaruhi oleh makanan, dan beberapa obat hanya dipengaruhi oleh makanan tertentu. Interaksi obat-makanan dapat terjadi dengan obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dibeli bebas, produk herbal, dan suplemen diet. Salah satu cara yang paling umum terjadi, dimana makanan mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara obat tersebut diuraikan (dimetabolisme) oleh tubuh. Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas interaksi farmakokinetika pada fase ekskresi. Obat dieliminasi melalui ginjal dengan filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati. Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrate tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena : a. Penghambatan sekresi di tubuli ginjal Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang juga bersifat asam. Contoh: fenilbutazon dan indometasin menghambat sekresi ke tubuli ginjal obat-obat diuretik tiazid dan furosemid, sehingga efek diuretiknya menurun salisilat menghambat sekresi probenesid ke tubuli ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun. b. Perubahan pH urin Perubahan pH urin akibat interaksi obat akan menghasilkan perubahan klirens ginjal melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasif di tubuli ginjal. Interaksi ini akan bermakna klinik jika: (1) fraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginjal cukup besar (> 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 - 7,5. Contoh: obat-obat bersifat basa lemah (amfetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin) dengan obat yang mengasamkan urin (NH 4 C 1 ) meningkatkan klirens ginjal obat-obat pertama sehingga efeknya menurun obat-obat bersifat asam (salisilat, fenobarbital) dengan obat-obat yang membasakan urin seperti antasida (mengandung NaHCO 3 , A1(OH) 3 , Mg(OH) 2 ), akan meningkatkan klirens obat-obat pertama, sehingga efeknya menurun. c. Gangguan pada proses ekskresi melalui empedu dan pada sirkulasi enterohepatik Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama. Contohnya kuinidin menurunkan ekskresi empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin. Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P-glikoprotein. Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestin akan meningkatkan bioavailabilitas substrat P- glikoprotein, sedangkan hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi ginjal substrat. Contohnya itrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein di ginjal, akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika diberikan bersama-sama, sehingga kadar plasma digoksin akan meningkat. Sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan mengikat obat yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat direabsorpsi. Contoh: kolestiramin, suatu binding agents, akan mengikat parent drug (misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorpsinya terhambat dan klirens meningkat. Lithium karbonat adalah jenis garam lithium yang paling sering digunakan untuk mengatasi gangguan bipolar. Sejak disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 1970 lithium digunakan sebagai obat untuk mengatasi mania akut, lithium masih efektif dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan bipolar. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan lithium hampir serupa dengan efek mengonsumsi banyak garam, yakni tekanan darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena itu, selama penggunannya obat ini harus dilakukan tes darah secara teratur (Therapy Drug Monitoring TDM) untuk menentukan kadar lithium mengingat dosis terapeutik lithium berdekatan dengan dosis toksiknya. a. Indikasi Mengatasi episode mania. Gejala hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum obat. Lithium juga digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien bipolar dengan riwayat mania.
b. Mekanisme kerja Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi dopaminereseptor supersensitivity meningkatkan cholinergic muscarinic activity dan menghambat cyclic AMP (adenosine monophospat). c. Efek Samping Efek samping lithium seperti tremor, diare, nausea, dan sering kencing, bergantung pada dosis yang dikonsumsi. Pada kadar lithium darah yang tinggi (> 2 mg), pasien akan mengalami ataksia, kebingungan, bahkan koma. Beberapa pasien dapat mencapai kadar lithium darah normal (sekitar 1 mg) dengan mengkonsumsi dua pil perhari sementara pada pasien lainnya perlu dua belas pil per hari. Jika kita dapat mengukur kadar obat dalam darah pada semua jenis obat serupa, kemungkinan kita dapat menemukan perbedaan individual. Ini dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien kizofrenia menunjukkan perbaikan dengan pemberian 200 mg klorpromazin per hari sementara yang lainnya memerlukan 2000 mg per hari. Diuretik golongan tiazid ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida. Obat-obat diuretik yang termsuk golongan ini adalah ; klorotiazid, hidroklorotiazid, hidroflumetiazid, bendroflumetiazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, dan indapamid. a. Indikasi Mengatasi penyakit jantung kronik, penyakit hati dan ginjal yang disertai edema, menurunkan diurese pada diabetes insipidus. b. Mekanisme kerja Menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada pars asendens ansa henle tebal, yang menyebabkan diuresis ringan. Suplemen kalium mungkin diperlukan karena efeknya yang boros kalium.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik, penyebab, faktor resiko, dan terapi keracunan lithium dilihat dari segi fisiologis, farmakologi, dan lintasan sinyal intraseluler. C. Metode Penelitian BAB 2 HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu setelah diinisiasi oleh ACE inhibitor (lisinopril, captopril, or enalapril), konsentrasi lithium meningkat sebanyak 36% secara perlahan, lithium clearance berkurang sebanyak 26%, dan empat pasien menujukaan gejala keracunan lithium. Si penulis mencatat bahwa usia merupakan pengkontribusi terhadap efek ini, dan pasien lanjut usia lebih cenderung unik terhadap interkasi ini. NSAID mempunyai masalah khusus karena terlalu banyak campurannya yang tersedia tanpa resep, dan pasien mungkin memakainya tanpa menyadari potensi untuk interakis dengan lithium. B. Pembahasan Faktor yang meningkatkan resiko untuk keracunan kronis pada pasien yang sebelumnya dalam keadaan stabil (table 1) termasuk pengobatan, penyakit, dan perubahan dalam level potassium atau sodium. Obat yang mengubah fungsi renal sehingga meningkatakn resiko keracunan lithium kronis, diantaranya adalah inhibitor ACE, NSAID, dan diuretic thiazid yang dapat meningkatkan reabsorbsi lithium dan berakibat pada peningkatan konsentrasi serum lithium. Table 1. Factors that increase the risk for lithium toxicity a
Diuretic thiazide mempunyai potensi yang signifikan untuk meningkatakn konsentrasi serum lithium, di mana diuretic tersebut menyebabkan natriuresis yang dapat menyebabkan peningkatan kompulsari terhadap reabsorbsi sodium dan lithium, di dalam tubulus proksimal. Efek diuretiuc thiazide telah dilibatkan dalam banyak kasus, dideskripsikan keracunan lithium dipicu oleh inisisasi thiazide, dan juga telah didokumentasikan di dalam studi kecil yang terkontrol. Dalam istilah biasa, diuretiuk thiazide dengan dosis terapi menghasilkan 25 hingga 40% pengurangan dalam clearance lithium, bersamaan dengan peningkatan level serum lithium. Sifat interaksi ini cukup varitif, dan cara paling conservative ialah dengan mengindari pengunaan diuretic thiazide sebisa mungkin. Maka, penggunaan diuretik bersama lithium harus dilakukan hati-hati. Hal ini dikarenakan diuretik yang menginduksi pengeluaran natrium, bisa mengurangi klirens renal lithium yang akan menyebabkan kadar lithium serum meningkat dan risiko toksisitas juga meningkat. Tablel 2. Drug interactions with lithium a
Drug Effect on Lithium
Concentration
Diuretics
thiazide Increase
loop diuretics Decrease
osmotic diuretics Decrease
K 1 sparing Decrease
methyl xanthine Decrease
acetazolamide Decrease
ACE inhibitors Increase
NSAID
indomethacin Increase
ibuprofen Increase
mefenamic acid Increase
naproxen Increase
sulindac None
aspirin None
a Modified from reference 5. ACE, angiotensin-converting enzyme inhibitors; NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drugs.
Begitu juga pada pemberian bersamaan dengan beberapa obat lain seperti NSAID dan ACE inhibitor. Lithium sebaiknya tidak diberikan pada pasien jantung dan ginjal. Tapi jika kondisi psikiatri pasien mengancam jiwa dan pasien tidak berespon dengan obat lain, maka lithium bisa diberikan dengan pengawasan yang sangat ketat. Pemeriksaan kadar lithium serum dilakukan tiap hari dan kemudian dilakukan pengaturan dosis. Lithium sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena diduga bisa mendatangkan efek merugikan bagi janin. Lithium juga disekresikan melalui air susu ibu, sehingga tidak dianjurkan diberikan pada wanita yang menyusui. Penggunaan lithium pada anak usia dibawah 12 tahun sebaiknya tidak dilakukan mengingat data keamanan dan keefektifan dari obat ini pada populasi ini belum ada. Pemberian lithium pada orang tua harus dilakukan pengaturan dosis .
BAB 3 KESIMPULAN Permasalahan kasus interaksi obat pada keracunan lithium hanyalah salah satu dari sekian banyak kasus interaksi obat lainnya, baik yang sudah terdokumentasikan atau bahkan yang belum sama sekali diketahui, mengingat obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan lainnya. Problema polifarmasi dalam pemberian obat dalam penanganan penyembuhan suatu penyakit tertentu menjadi hal yang belum dapat atau bahkan tidak dapat kita hindari. Ketidaktauan pasien yang awam terhadap hal ini didukung kurang optimalnya sumber daya tenaga kesehatan ( tenakes ) yang ada menjadi faktor semakin parahnya kasus interaksi obat yang terjadi, untuk kasus-kasus yang sedikit banyak telah terdokumentasikan, sangatlah penting untuk diterapkan seorang tenakes dan diketahui bersama dengan pasien untuk mendapatkan hasil akhir pengobatan yang aman dan tepat guna. Obat yang mengubah fungsi renal sehingga meningkatakn resiko keracunan lithium kronis, diantaranya adalah inhibitor ACE, NSAID, dan diuretic thiazade yang dapat meningkatkan reabsorbsi lithium dan berakibat pada peningkatan konsentrasi serum lithium. Diuretic thiazide mempunyai potensi yang signifikan untuk meningkatakn konsentrasi serum lithium, di mana diuretic tersebut menyebabkan natriuresis yang dapat menyebabkan peningkatan kompulsari terhadap reabsorbsi sodium dan lithium, di dalam tubulus proksimal. Diuretiuk thiazide dengan dosis terapi menghasilkan 25 hingga 40% pengurangan dalam clearance lithium, bersamaan dengan peningkatan level serum lithium.
DAFTAR PUSTAKA 1 Gitawati, R., 2008, Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya, Media Litbang Kesehatan, vol.18 (IV), 175-178 2 Timmer, R., 1999, Lithium Intoxication, J Am Soc Nephrol, vol 10, 666-674