Anda di halaman 1dari 8

A.

Pengertaian Pers atau Media Massa



Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk
mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas.
Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.
Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah memiliki ketergantungan dan kebutuhan terhadap media
massa yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan tingkat ekonomi tinggi karena pilihan mereka
yang terbatas. Masyarakat dengan tingkat ekonomi lebih tinggi memiliki lebih banyak pilihan dan
akses banyak media massa, termasuk bertanya langsung pada sumber atau ahli dibandingkan
mengandalkan informasi yang mereka dapat dari media massa tertentu.

B. Perkembangan Pers Di Indonesia

Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi
persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi.Tatap muka sebagai
medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi memadai akibat perkembangan masyarakat.
Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media
komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Menurut Rachmadi bahwa pers lahir
dari kebutuhan rohaniah manusia, produk dari kehidupan manusia, produk kebudayaan manusia, adalah
hasil dari perkembangan manusia.Keberadaan pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hubungan
bangsa Indonesia dengan Eropa, khususnya dengan bangsa Belanda. Melalui hubungan itulah, berbagai
anasir kebudayaan Barat dapat dikenal di Indonesia termasuk pers.

Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal awalnya digunakan oleh VOC untuk
menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa maupun dari pos-pos perdagangan Belanda
yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini
dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen
menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang pertama di Indonesia, memuat berita dan
informasi tentang VOC.Sementara surat kabar pertama yang terbit di Indonesia adalah Bataviase
Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula menerbitkan surat kabar. Perancis di bawah
Daendels menerbitkanBataviasche Zoloniale Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris
menerbitkan surat kabar dengan nama The Java Government Gazette.Setelah kekuasaan Inggris
berakhir (1816) di Indonesia, maka surat kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda
adalah Bataviasche Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya
surat kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah yang
berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan pemerintah.

Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit di Indonesia.
Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang diperuntukkan buat kaum pribumi
dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat kolonial sudah dikenal adanya pers yang
berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat kabar pertama berbahasa daerah adalahBromartani yang
terbit di Surakarta pada tahun 1855. Selanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat
Kabar Bahasa Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.8) Di samping itu, dikenal pula surat
kabar yang berbahasa Tionghoa yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa Melayu rendahan
dengan dialek Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial liberal atau dikenal sebagai
politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka dinamika persuratkabaran di Indonesia juga
semakin kompleks. Kaum swasta asing Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia)
semakin banyak menerbitkan surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19),
terdapat kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya orang-
orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam penerbitan pers. Dengan
demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia) yang pertama. Kedudukan orang-orang
ini kelak menjadi sangat penting terhadap kelahiran pers nasional.

Sementara itu, timbulnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme) Indonesia yang
dimanifestasikan melalui perjuangan pergerakan nasional, telah memperjelas dan mempertegas adanya
surat kabar yang mempunyai wawasan dan orientasi informasi untuk kepentingan perjuangan
pergerakan. Surat kabar-surat kabar itulah yang pada gilirannya dikenal sebagai pers nasional atau pers
pergerakan.

Didalam UU 1945 pasal 6 tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa :
1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi
mendorong terwujudnya kebebasan dan hak asasi manusia serta menghormati ke bhinekaan.
2. Mengungkapkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
3. Melakukan kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal benar dengan kepentingan umum
memperjuangkan keadilan

C. Tahap - Tahap Perkembangan PERS Di Indonesia

1. Masa Penjajahan

Pada masa penjajahan, surat kabar yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat
perjuangan pers yang menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa
yang terjajah.

a. Masa Pendudukan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi
Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan Memories der Nouvelles, yang ditulis dengan tangan. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa surat kabar pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan
pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi
pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama
kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat
di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan
Ciri-Ciri pers pada masa belanda :
Dibatasi dan Diancam dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
Persbreidel O rdonantie
Haatzai Artikelen
Kontrol yang Keras Terhadap Pers
b. Masa Pendudukan J epang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa
bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-rencana serta tujuan-
tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka namakan Dai Toa Senso atau Perang
Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-
kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang :
Penekanan Terhadap Pers Indonesia
Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan pemerintahannya
Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
Asia Raya di Jakarta.
Sinar Baru di Semarang.
Suara Asia di Surabaya.
Tjahaya di Bandung.

Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan
kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Insan pers Indonesia banyak yang berjuang tidak
dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan
politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar
pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan
dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. Selain itu Jepang juga
mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor
berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di indonesia
yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:
1. Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang
digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para karyawan pers mendapatkan
pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut.
2. Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin seering dan luas. Penjajah Jepang
berusaha menghapus bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam
berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantuk perkembangan bahasa Indonesia yang
nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3. Adanya pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber-
sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan
Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajah.

C. Masa Revolusi Fisik
Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan,
dengan sendirinya sejalan dengan perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para
wartawan yang langsung turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan Sekali Merdeka Tetap
Merdeka menjadi pegangan teguh bagi para wartawan.
Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode revolusi fisik, membawa coraknya
tersendiri dalam sifat dan fungsi pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua
kategori, yaitu pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan
sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang
kemudian turut bergerilya.
Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:
Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik
Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik
Pembatasan Pers

2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949)
Pada masa itu pers dibagi menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh
tentara pendudukan sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan
dan diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik.

3. Masa Demokrasi Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers.
Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik. Dalam aksi-
aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar. Republik Indonesia Serikat yang
tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers kita yang pada
umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers
(freedom of the press), yang kadang-kadang melampaui batas-batas kesopanan.

Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
Pembatasan Terhadap Pers
Adanya Tindakan Antipers

4. Masa Demokrasi Terpimpin Orde Lama (1959-1966)
Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas menggerakkan aksi-aksi masa
yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar
mendukung pelaksanaan manipol dan ketetapan pemerintah lainya.
Pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, menyebabkan Presiden
Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Pada 28 Oktober 1956, Soekarno
mengajukan untuk mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Selanjutnya, pada
Februari 1957, Soekarno kembali mengemukakan konsep demokrasi Terpimpin yang diinginkannya.
Hampir berselang dengan terjadinya berbagai pemberontakan di banyak daerah di Indonesia yang
melihat sentralitas atas hanya daerah dan penduduk Jawa.
Munculnya berbagai pemberontakan di daerah dan di pusat sendiri, membuat Soekarno
mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14 Maret 1957. Selama dua tahun Indonesia
terkungkung dalam perseturuan antara parlemen melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan
militer. Namun, tak berselang lama, Soekarno menerbitkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar
45, disusul dengan pelarangan Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi, karena keterlibatan kedua partai
tersebut dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tahun
1958 di Sumatera.
Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering disebut sebagai zaman Orde Lama.
Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai
tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September
1965.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi
bahwa langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-
kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional.
Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan
mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol
semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers
merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan pers
itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu TVRI. Sejak
tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Namun,
karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah yang menguasainya.

Ciri-Ciri Pers Masa Demokrasi Terpimpin
Tidak Adanya Kebebasan Pers
Adanya Ketegasan Terhadap Pers
Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers
Prinsip-prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan oleh pemerintah, yaitu sebagai berikut :
1) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi atau kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
2) Demokrasi terpimpin bukanlah diktatur, tetapi demokrasi yang berbedadengan demokrasi
liberal.
3) Demokrasi terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang
meliputi bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial.
4) Demokrasi terpimpin adalah alai, bukan tujuan.

5. Orde Baru (1966-21 Mei 1998)
Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula masa pemerintahan Orde Lama.
Kemudian bangsa Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde Baru ini fungsi
-
dan sistem pers masih belum berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang
terbit merupakan terompet masyarakat untuk menentang kebijaksanaan Orde Lama clan menyokong
aksi-aksi mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang terbit merupakan parlemen
masyarakat.
Gejala-gejala pers liberal kembali melekat. Apalagi ketika menjelang Pemilu 1971, sinisme dan
kritik yang sifatnya tidak membangun kembali memenuhi lembaran-lembaran surat kabar kita.
Timbulnya gejala-gejala yang tidak menguntungkan tersebut, antara lain disebabkan tidak adanya
pembinaan yang tegas, baik dari instansi-instansi resmi maupun badan-badan atau organisasi-organisasi
yang berkepentingan tentang adanya pers nasional yang sehat, pers nasional yang dapat melaksanakan
fungsi-fungsinya, baik yang bersifat universal maupun sebagai alat perjuangan bangsa.
Namun, ketika alam Orde Baru ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang,
kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena pers mencerminkan situasi
dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu bergerak. Oleh karenanya, pada masa ini pers
merupakan salah satu unsur penggerak pembangunan. Kita tentu menyadari bahwa pembangunan pada
hakikatnya merupakan suatu proses perubahan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat.
Namun demikian, kita juga menyadari bahwa perubahan sebagai akibat dari pembangunan
tidak akan terjadi jika rakyat tidak mengetahui dan dapat menerima motivasi, metode, dan hasil-hasil
yang akan dibawa oleh pembangunan itu. Untuk inilah diperlukan penerangan yang lu
g
s kepada
rakyat tentang maksud Berta tujuan pembangunan. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi
merupakan salah satu alat yang vital dalam proses pembangunan.
Seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat pada masa Orde Baru, ternyata tidak
berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi
masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi
rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bemegara. Kondisi yang demikian dilatarbelakangi adanya keinginan
sekelompok elit yang ingin menguasai pemerintahan. Dengan segala daya dan upaya, para elit
berusaha membendung berbagai pemberitaan dan informasi yang dianggap merugikandiri atau
kroni-kroninya. Kehidupan pemerintahan diliputi denganpenyalahgunaan kekuasaan, termasuk
praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah mengkhianati amanat rakyat
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan
rakyat yang dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan mahasiswa-rakyat Wall adanya
kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, yang berarti
adanya jaminan kebebasan pers.
Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di
keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru ditandai dengan
kegiatan pembangunan di segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan
sendirinya karena pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu
bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang vital dalam
proses pembangunan.
Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan
tuntutan dan aspirasi masyarakat. Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi
penghalang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masa indah antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang
Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta
penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif
dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun
karena sejak terjadinya Peristiwa Malari (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers
mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada
tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada
tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.

Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru
Kebebasan Terhadap Pers
Pers Masa itu Sangat Buram
Berkembangnya Dunia Pers
6. Masa Reformasi (21 Mei 1998-sekarang)
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ialah terjadinya
reformasi sejak 1998 dengan turunnya Soeharto sebagai presiden RI. Runtuhnya Orde Baru membuka
era demokrasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak pernah mampu dinikmati bangsa Indonesia.
Kemudian yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah reformasi, proses demokratisasi, dan kebebasan
pers An sudah berjalan dengan balk, khususnya dalam membawa kemajuan rakyat banyak?
Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang hares disyukuri ialah pers yang
bebas. Pemerintahan Presiders Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan pers,
sekalipun barangkah kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.

Kebebasan di Indonesia dalam era reformasi ditandai dengan lahirnya UU No. 40 tahun
1999 tentang Pers. Dengan adanya UU Pers tersebut, setiap orang boleh menerbitkan media
massa tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah seperti sebelumnya. Pers dalam era reformasi
tidak perlu takut kehilangan ijin penerbitan jika mengkritik pejabat, baik sipil maupun militer. Dengan
UU Pers diharapkan media massa di Indonesia dapat menjadi salah satu di antara empat pilar
demokrasi.
Beratnya ongkos produksi dan banyaknya pesaing tidak mengurangiperkembangan media
massa di Indonesia sekarang. Akan tetapi, kondisi yang sama juga telah melahirkan jenis-jenis
pers yang aneh. Banyak pengamat mengeluh bahwa pers kini sudah memberitakan apa saja, kecuali
yang benar. Bila pers Orde Baru ditandai dengan pers yang tidak bebas dan bertanggung jawab; pers
Orde Habibie adalah pers yang bebas dan tidak bertanggung jawab.

Diwarnai oleh suasana politik yang tidak menentu, hampir Semua surat kabar memusatkan
perhatiannya pada berita politik. Karena situasi politik sebenarnya cenderung tidak banyak berubah,
pers menjadi sangat aktif untuk membuat berita politik dengan mengakses sumber-sumber berita yang
tidak lazim, sekaligus tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan segala efek sampingnya, pers kita sekarang sedang menikmati bulan madu
kebebasannya. Bila kita kecewa dengan kinerjanya, kita tidak punya hak untuk mencabut kebebasan
itu. Semua orang sepakat walaupun sebagian hanya dalam kata-kata bahwa reformasi harus
dilanjutkan. Salah satu institusi yang sangat berperan dalam proses reformasi ini adalah
pers. Sekaranglah saatnya pers Indonesia menemukan jati dirinya, dengan merumuskan
perannya secara jelas. Siapakah yang paling bertanggung jawab di sini? Jelas sekali, bukan
pemerintah, bukan Dewan Pers, apalagi TNI; tetapi insan pers sendiri, khususnya para pemimpin dan
penentu kebijakan surat kabar.
Dalam hubungannya dengan pemerintah, para pakar komunikasi bercerita tentang tiga
modus peran pers. Pers dapat menjadi watch-dog, yang segera menggonggong ketika terjadi
penyimpangan pada perilaku rezim. Semua kebijakan pemerintah menjadi target serangan pers.
Peran watch-dog ini sudah lama kita tepiskan sebagai peran yang tidak sesuai dengan pers
Pancasila.
Secara ideal, kita sudah memilih peran pers sebagai mitra (partner) pemerintah. Di sini pers
berdampingan dengan pemerintah mengemban misi mulia memberikan penerangan dan pendidikan
(membangun masyarakat). Lalu, lahirlah pers pembangunan. Secara praktis, pers kita selama Orde
Baru mengambil posisi sebagai budak pemerintah(slave). Kemitraan hanya tumbuh di antara yang
setingkat, yang sama (equal). Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda
tunggangan pemerintah.
Pers Indonesia sekarang harus menggeser paradigms lama dan harus menjadi lembaga
independen, yang memihak pads kebenaran. Pers Indonesia boleh jadi sekali waktu bekerja untuk
menyukseskan program pemerintah atau menyorot kebijakan pemerintah dengan kritis atau
sekadar mendampingi pemerintah. Akan tetapi, dalam posisi yang bermacam-macarn itu is
tetap menjadi lembaga yang menuntut perubahan demi kepentingan rakyat banyak.
Ini berarti pers harus membantu proses demokratisasi. Demokrasi merupakan sebuah sistem
yang berusaha memenuhi keinginan seluruh rakyat. Karena tidak ada satu pun yang dapat memenuhi
keinginan seluruh rakyat, maka paling tidak kits harus memperhatikan keinginan rakyat
yang terbanyak.
Namun, setelah berjalan kurang lebih lima tahun, yang terjadi bukan pers yang sehat,
tetapi anarki di bidang media massa. Pers Indonesia belum mampu menjadi pilar demokrasi dan
mendukung reformasi, tetapi malah menjadi salah satu penyebab berbagai macam keresahan
sosial. Mengapa demikian? Masalahnya sangat sederhana. Dengan kebebasan pers yang hampir
tanpa batas, tetapi tidak diiringi profesionalitas yang tinggi di kalangan pekerja pers, maka yang
terjadi ialah penyalahgunaan kekuasaan kalangan pers dalam menjalankan tugasnya. Opini
yang berkembang adalah pers gosip, pornografi, clan berita-berita yang tidakbertanggung jawab.
Karena itu, dalam pandangan sebagian anggota DPR, ada wacana tentang perlunya
merombak UU No. 40 tahun 1999 dengan perlunya memasukkan kembali prinsip perijinan dan
mekanisme pengawasan dalam penerbitan pers. Dalam era reformasi ini, bukan pemerintah lagi
yang berperan sebagai regulator, tetapi lembaga yang dibentuk kalangan pers sendiri. Pers harus
bebas, tetapi kebebasannya harus bermanfaat untuk masyarakat. Wacana perlunya regulator bagi
penerbitan media massa mungkin bukan suatu solusi terbaik bagi kalangan media di
Indonesia. Namun demikian, jika ingin menyelamatkan demokrasi dan reformasi, makapers harus
menata dirinya sendiri dan mengatur diri tanpa adanya campur Langan (intervensi) dari penguasa.
Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai undang-undang yang benar-benar
menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus
disyukuri ialah pers yang bebas. Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam
melepaskan kebebasan pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai
presiden.
Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi
Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak Asasi Manusia)
Wartawan Mempunyai Hak Tolak
Penerbit Wajib Memiliki SIUPP
Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk Mendapat
SIUPP
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan
peranan sebagai berikut :
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi
manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan
identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau
dimintai mnejadi saksi di pengadilan

Kebebasan Pers Reformasi saat ini :
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Boediono, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab
(free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola
media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan
serta kekuasaan media massa (the power of the press).
Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenBoediono, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan
kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara
(pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber),
maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap
situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin
pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.

Kesimpulan:
Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi
persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi. Akibat perkembangan itu
pula, masyarakat berusaha menemukan instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media
komunikasi itu adalah pers. Dan perkembangan pers di Indonesia dibagi dalam 6 Masa, yaitu:

1. Masa penjajahan
2. Masa Revolusi
3. Masa Demokrasi Liberal
4. Masa Demokrasi Terpimpin (Order Lama)
5. Masa Orde Baru
6. Masa reformasi

Anda mungkin juga menyukai