Anda di halaman 1dari 9

REVIEW JURNAL

EFEK SAMPING PENGGUNAAN ANTIPSIKOTIK


TERHADAP SINDROM PARKINSON PADA PASIEN SCHI ZOPHRENI A DI RSJ. PROF.
HB. SAANIN PADANG

1.1 Latar Belakang Masalah
Schizophrenia termasuk penyakit otak yang serius dengan gejala yang beragam, diantaranya
ketidakmampuan dalam berkomunikasi, kognitif, berbahasa, daya ingat, emosi dan
ketidakmampuan dalam adaptasi sosial. Penyakit schizophrenia biasa menyerang laki-laki dan
perempuan di usia muda yaitu antara 15-30 tahun dengan prevalensi penyebarannya berada di
antara 0,6% sampai 1,9%.
Obat antipsikotik dapat digunakan untuk mengatasi schizophrenia dengan gejala halusinasi,
delusi dan untuk pencegahan keterulangan (British Medical Association, 2004). Obat ini biasa
disebut juga dengan obat neuroleptik (Tjay, 2002). Terapi schizophrenia dengan menggunakan obat
antipsikotik dibagi dalam 3 episode, yaitu terapi awal selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi
selama 6-8 minggu dan terapi penjagaan selama 12 bulan setelah membaiknya episode pertama
psikotik, sedangkan untuk pasien dengan episode akut yang multiple sebaiknya terapi penjagaan
dilakukan minimal selama 5 tahun (Dipiro et al., 2009).
Obat antipsikotik telah banyak diteliti, dan hampir seluruhnya dapat menyebabkan gangguan
pada aktivitas motorik yang disebut dengan gejala ekstrapiramidal. Selanjutnya, bentuk yang paling
umum dari gejala ekstrapiramidal adalah sindrom parkinson atau sering juga disebut parkinsonisme
(Olson, 1993; Tenback et al., 2006). Sindrom parkinson mempunyai manifestasi yang sama dengan
penyakit parkinson yaitu ditandai dengan berkurangnya mobilitas secara abnormal (bradikinesia),
kekakuan anggota gerak (rigiditas) dan postur yang tidak stabil (Kruger, 2003). Gejala ini biasa
timbul dalam satu bulan terapi awal (Olson, 1993; Martindale 38, 2008).
Berdasarkan pemakaian obat antipsikotik dalam jangka waktu yang lama, maka perlu
dilakukan penelitian tentang kemungkinan terjadinya gangguan motorik pada pasien dengan melihat
aktivitas motoriknya. Penelitian ini hanya dibatasi untuk melihat efek sindrom parkinson yang
merupakan efek samping dari pemakaian obat antipsikotik.

1.2 Tujuan Penelitian

Mengetahui pengaruh penggunaan obat-obat antipsikotik yang menimbulkan efek sindrom
parkinson pada pasien schizophrenia di RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Antipsikotika (major tranquillizers) adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi
psikis tertentu tanpa mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal.
Obat ini dapat meredakan emosi dan agresi dan dapat pula menghilangkan atau mengurangi
gangguan jiwa seperti impian dan pikiran khayal (halusinasi) serta menormalkan perilaku yang
tidak normal. Oleh karena itu antipsikotika terutama digunakan pada psikosis, penyakit jiwa hebat
tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizophrenia (gila) dan psikosis mania-
depresif.
Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau klasik dan
obat atypis.
1. Antipsikotika klasik
adalah suatu obat yang efektif mengatasi simptom positif, yaitu berupa waham-waham
(suara orang yang memerintahkannya berbuat sesuatu), halusinasi, pikiran janggal dan
desorganisasi kognitif (daya asosiasi terganggu, tak dapat berpikir jelas). Pada umumnya
antipsikotik klasik dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi sebagai berikut :
- Derivat-fenotiazin : klorpromazin, levomepromazin, dan triflupromazin, thioridazin dan
periciazin, perfenazin, dan flufenazin, perazin, trifluoperazin, proklorperazin, dan
thietilperazin.
- Derivat-thioxanthen : klorprotixen dan zuklopentixol.
- Derivat-butirofenon : haloperidol, bromperidol, pipamperon dan droperidol.
- Derivat-butilpiperidin : primozida, fluspirilen dan penfluridol.

Mekanisme Kerja antipsikotika klasik
Dengan menghambat (agak) kuat reseptor dopamine (D
2
) di sistem limbis otak dan
di samping itu juga menghambat reseptor D
1
/ D
4
,
1
dan
2
adrenergik, serotonin, muskarin
dan histamin. Mula kerjanya cepat, begitu pula efeknya pada gelisah. Sebaliknya, kerjanya
terhadap gejala psikosis lain, seperti waham, halusinasi dan gangguan pikiran baru terasa
setelah beberapa minggu. Hal ini mungkin disebabkan karena system reseptor dopamin
menjadi kurang peka.
1.1 Klorpromazin (CPZ)
Merupakan derivat fenotiazin yang termasuk antipsikotik generasi pertama atau
antipsikotik tipikal. CPZ merupakan obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan,
bekerja dengan jalan memblok reseptor dopaminergik D
2
. (PIO,2009).

1.2 Haloperidol
merupakan derivat butirofenon termasuk antipsikotik golongan pertama sama seperti
CPZ. Dari penelitian sebelumnya dikatakan bahwa haloperidol juga memiliki resiko
tinggi terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal, termasuk sindrom parkinson
(Martindale 35, 2008). Obat ini bekerja dengan cara memblok reseptor dopaminergik D
1
dan D
2
di postsinaptik mesolimbik otak (Martindale 35, 2008).

1.3 Trifluoperazin (TFZ)
merupakan antipsikotik golongan pertama atau antipsikotik tipikal. TFZ merupakan
derivat fenotiazin, secara umum sama dengan chlorpromazine. TFZ memiliki rantai sisi
piperazin. Sama halnya dengan chlorpromazine, obat ini juga menimbulkan gejala
ekstrapiramidal jika dosis hariannya melebihi 6 mg (Martindale 35, 2008).

2. Antipsikotika atypis
Adalah suatu obat yang bekerja efektif melawan simptom negatif, yang praktis kebal
terhadap obat klasik. Simptom negative berupa kemiskinan psikomotorik (berkurangnya
bicara dan pergerakan, pemerataan emosional). Pasien menolak berhubungan social,
menjadi apatis dan kehilangan energi serta inisiatif. Lagipula efek sampingnya lebih ringan,
khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.

Mekanisme Kerja Antipsikotika atypis

Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih besar untuk reseptor D
1
dan D
2
, sehingga
lebih efektif daripada obat-obat klasik dalam melawan simptom negatif.

2.1 Risperidon
Risperidon merupakan obat atipikal baru (1993) termasuk obat antipsikotik generasi
kedua (Tjay, 2002). Obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal
(>10%) terutama menyebabkan diskenia setelah penggunaan selama 5 hari (PIO, 2009;
Martindale 35, 2008).

2.2 Olanzapin
Menghambat semua reseptor dopamin ( D
1
sampai D
5
) dan reseptor H
1
, -5HT
2
, -
adrenergis, dan -kolinergis, dengan afinitas lebih tinggi untuk reseptor -5HT
2
dibandingkan D
2
.

2.3 Klozapin
Ikatannya pada reseptor -D
2
agak ringan (k.l 20 %) dibandingkan obat-obat klasik (60-
75%), namun afinitasnya pada reseptor lain dengan efek antihistamin, antiserotonin,
antikolinergik dan antiadrenergik relatif tinggi.
Khasiat dan penggunaan
Antipsikotika memiliki sejumlah kegiatan fisiologis, yakni :
a. Antipsikotis
Obat-obat ini digunakan untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis, seperti schizophrenia,
mania dan depresi psikotik. Di samping itu, antipsikotika digunakan untuk menangani
gangguan perilaku serius pada pasien dengan handikap rohani dan pasien demensia, juga
untuk keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata.

b. Anxiolitis
Yaitu mampu meniadakan rasa bimbang, takut, kegelisahan dan agresi yang hebat. Oleh
karena itu adakalanya obat ini digunakan dalam dosis rendah sebagai minor tranquillizer
pada kasus-kasus serius, dimana benzodizepin kurang efektif, misalnya pimozida dan
thioridiazin.

c. Antiemetis
Berdasarkan perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger Zone) ke pusat muntah
dengan memblokade reseptor dopamin. Karena sifat inilah obat ini sering digunakan untuk
melawan mual dan muntah yang hebat seperti pada terapi sitostatika; sedangkan pada
mabuk-jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetis kuat adalah proklorperazin dan
thietilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah adalah
klorpromazin, flufenazin, haloperidol dan metoklopramida.

d. Analgetis
Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetis kuat, antara lain levopromazin,
haloperidol dan droperidol. Tetapi obat ini jarang digunakan sebagai obat anti nyeri, kecuali
droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan
ambang-nyeri, misalnya klorpromazin.



Efek samping Obat Antipsikotik
Sejumlah efek samping dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan yang paling sering terjadi
adalah :
a. Gejala Ekstrapiramidal (GEP), yang berkaitan dengan daya antidopaminnya dan bersifat
lebih ringan pada senyawa butirofenon, butyl piperidin dan obat atypis. GEP dapat berbentuk
banyak macam, yaitu sebagai berikut :
1) Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya gerak berkurang,
berjalan langkah demi langkah) dan kekakuan anggota tubuh, kadang-kadang tremor
tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala lainnya rabbit-syndrome (mulut membuat
gerakan menguyah, mirip kelinci), yang dapat muncul setelah beberapa minggu atau
bulan. Terutama pada dosis tinggi dan lebih jarang pada obat dengan kerja antikolinergis.
Insidensinya 2-10%.
2) Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan
menelan, sukar bicara dan kejang rahang. Guna menghindarkannya dosis harus dinaikkan
dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis.
3) Akathisia, dari bahasa Yunani kathisis = duduk, a = tidak, tanpa, yakni selalu ingin
bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh.
Akathisia dapat diobati dengan propanolol atau benzodizepin.
Ketiga GEP tersebut dapat dikurangi dengan menurunkan dosis dan dapat diobati dengan
antikolinergika.

b. Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang identik dengan PIF
(Prolactine Inhibiting Factor).
c. Sedasi, yang berkaitan dengan khasiat antihistamin, khususnya pada klorpromazin,
thioridazin, dan klozapin.
d. Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor
1
-adrenergik, misalnya klorpromazin,
thioridazin dan klozapin.
e. Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, dengan ciri-ciri mulut kering,
penglihatan buram, obstipasi, retensi kemih dan tachycardia, terutama pada lansia. Efeknya
khusus kuat pada klorpromazin, thioridazin dan klozapin.
f. Efek antiserotonin akibat blockade reseptor -5HT, yang berupa stimulasi nafsu makan
dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia.
(Tjay, Drs. Tan Hoan, 2007 : 448-454)

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama lebih kurang empat bulan dari April 2011 sampai Juli
2011 di bangsal rawat inap RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang.

3.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif
terhadap suatu populasi terbatas.

3.3 Jenis Data
Jenis data yang digunakan terbagi atas 2 bagian yaitu :
3.3.1 Data kualitatif
Meliputi terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal yaitu sindrom
parkinson pada pengunaan obat antipsikotik.

3.3.2 Data kuantitatif
Meliputi persentase jenis obat antipsikotik yang digunakan. Persentase
jumlah pasien yang menjalani terapi schizophrenia berdasarkan jenis kelamin,
rentang umur, diagnosa penyakit dan riwayat penyakit keluarga.

3.4 Sumber Data
Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi obat
antipsikotik dengan masa rawatan lebih dari 1 bulan, melihat langsung kondisi pasien, serta
wawancara dengan tenaga kesehatan lain yang ada di bangsal rawat inap
RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang.

3.5 Penetapan Obat yang Akan Dievaluasi
Obat yang akan dievaluasi adalah obat-obat antipsikotik yang digunakan selama
menjalani terapi schizophrenia, yaitu klorpromazin, haloperidol, trifluoferazin, risperidon,
olanzapin dan clozapin. Obat-obat antipsikotik yang digunakan dapat menimbulkan efek
samping yang merugikan bagi pasien yaitu adanya gangguan motorik sindrom parkinson.

3.6 Penetapan Sampel yang Akan Dievaluasi
Sampel yang dipilih adalah pasien yang menjalani terapi schizophrenia lebih dari 1
bulan dengan menggunakan obat antipsikotik di bangsal rawat inap
RSJ.PROF.HB.SAANIN selama bulan April-Juli 2011.

3.7 Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap di
RSJ.PROF.HB.SAANIN Padang meliputi data kualitatif dan kuantitatif serta kelengkapan
data pasien (seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, tindakan terapi terhadap penyakit schizophrenia.
Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan.
Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, melihat kondisi
pasien langsung atau wawancara dengan keluarga pasien.

3.8 Analisis Data
3.8.1 Analisis kuantitatif
Data ditabulasi berdasarkan persentase pasien yang menjalani terapi
schizophrenia di bangsal rawat inap dan persentase jenis obat antipsikotik yang
digunakan. Persentase jumlah pasien berdasarkan rentang umur pasien, jenis
kelamin, riwayat penyakit keluarga, dan diagnosa dibuat dalam bentuk tabel. Data
yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan.
3.8.2 Analisis kualitatif
Data yang diperoleh mengenai efek samping antipsikotik yaitu sindrom
parkinson dianalisa, dikelompokan berdasarkan tingkatannya dan kemudian data
tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

a. Persentase pasien schizophrenia berdasarkan jenis kelamin (n = 154)
adalah pria 70,12% (108 pasien) dan wanita 29,87% (46 pasien).

b. Persentase pasien schizophrenia berdasarkan rentang usia (n = 154) antara lain:
- Pria
Usia 15 s/d 25 tahun 16,23% (25 pasien); usia 26 s/d 35 tahun 26,62% (41 pasien);
usia 36 s/d 45 tahun 18,83% (29 pasien); usia 46 s/d 55 tahun 5,84% (9 pasien); usia > 55
tahun 2,59% (4 pasien).
- Wanita
Usia 15 s/d 25 tahun 5,19% (8 pasien); usia 26 s/d 35 tahun 8,44% (13 pasien); usia 36
s/d 45 tahun 7,79% (12 pasien); usia 46 s/d 55 tahun 6,49% (10 pasien); usia > 55 tahun
1,95% (3 pasien).

Tabel 1.1 Perbandingan pasien berdasarkan jenis kelamin dan rentang umur

Rentang umur Pria Wanita % Pria % Wanita
16-25 25 8 23,15 17,39
26-35 41 13 37,96 28,26
36-45 29 12 26,85 26,09
46-55 9 10 8,33 21,74
56 4 3 3,7 6,52
Total 108 46 100 100

Diagram 1.2 Perbandingan pasien berdasarkan jenis kelamin dan rentang umur

c. Persentase obat antipsikotik yang diresepkan pada pasien schizophrenia antara lain
- Pria
Chlorpromazine 62,34 %, Haloperidol 55,19 %, Triheksiperidil
32,47 %, Trifluoferazin 18,18 %, Amitriptilin 13,64 %, Diazepam
10,39 %, Risperidon 9,09 %, Vit. B complek 5,19 %,
Carbamazepine 3,25 %, Olanzapin 0,65 %.
- Wanita
Chlorpromazine 21,43 %, Haloperidol 21,43 %, Triheksiperidil
16,88 %, Trifluoferazin 11,69 %, Amitriptilin 4,54 %, Diazepam
5,19 %, Risperidon 9,09 %, Vit. B complek 3,25 %, Carbamazepine
4,54 %, Clozapin 0,65 %.

d. Pasien yang menunjukkan gangguan aktivitas motorik atau sindrom parkinson dari pasien
dengan masa pengobatan > 1 bulan pada bangsal rawat inap di RSJ.Prof.HB.Saanin adalah
31 pasien dari 154 pasien yang ada (20,13 %) dimana pria sebanyak 14,28% (22 pasien) dan
wanita 5,84 % (9 pasien).

e. Pasien yang menunjukkan terjadi sindrom parkinson tahap I antara lain pria 6,49 % (10
pasien) dan wanita 3,89 % (6 pasien). Sindrom parkinson tahap II antara lain pria 7,79 %
(12 pasien) dan wanita 1,95 % (3 pasien).

Tabel 1.3 Perbandingan Munculnya Gejala Parkinson antara Pria dan Wanita (31 dari 154
pasien)




Diagram 1.4
Perbandingan
Munculnya Gejala
Parkinson antara Pria
dan Wanita (31 dari 154 pasien)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
16-25 26-35 36-45 46-55 56
Pria
Wanita
Gejala Parkinson Pria Wanita % Pria % Wanita
Tahap I 10 6 6,49 3,89
Tahap II 12 3 7,79 1,95
Total 22 9 14,28 5,84



BAB V
PEMBAHASAN

Antipsikotik merupakan golongan obat yang bekerja dengan menekan fungsi susunan syaraf
pusat (SSP). Antipsikotik umumnya digunakan pada pasien yang mengalami gangguan psikotik
yang terjadi akibat gangguan kepribadian atau biasa dikenal sebagai schizophrenia. Antipsikotik
selain dapat mengobati gejala positif maupun negatif dari schizophrenia juga memiliki efek
samping yang cukup serius yaitu gejala ekstrapiramidal (GEP). GEP dapat terjadi dalam beragam
bentuk salah satunya sindrom Parkinson (parkinsonisme). Parkinsonisme adalah gejala penyakit
parkinson dimana terjadi kekakuan anggota gerak, tremor pada kaki dan tangan.
Pada penelitian kali ini dilakukan untuk mengetahui timbulnya parkinsonisme sebagai efek
samping dari penggunaan antipsikotik. Penelitian dilakukan terhadap 154 pasien schizophrenia
yang ada di RSJ. Prof. HB Saanin Padang selama kurun waktu April hingga Juli 2011.
Dari 154 pasien tersebut 108 diantaranya adalah pria dan 54 adalah wanita. Berdasarkan
rentang usia pasien baik pada pasien pria maupun wanita penderita paling banyak berada pada
rentang usia 26-35 tahun dan 36-45 tahun dengan jumlah pria 41 orang dan wanita 13 orang
(rentang usia 26-35 tahun) dan pria 29 orang, wanita 12 orang (rentang usia 36-45 tahun).
Sebenarnya prevalensi pria dan wanita adalah sama, tetapi onset penyakitnya lebih awal
pada pria (Fatemi, 2009). Hal ini dapat disebabkan diantaranya karena adanya efek neuroprotektif
dari hormon pada wanita dan kecenderungan yang lebih besar mendapatkan trauma kepala pada
pria (Seeman, 2004; Lalloo, 2003). Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pria akan lebih
mungkin daripada wanita untuk mengalami gangguan gejala negatif dan wanita lebih mungkin
untuk memiliki fungsi sosial yang lebih baik dari pria (Kaplan, 1997). Pada umumnya hasil akhir
untuk pasien schizophrenia wanita lebih baik daripada hasil akhir pasien pria (Kaplan, 1997). Ini
kemungkinan salah satu penyebab pasien yang dirawat lebih banyak yang pria dibandingkan
wanita.

Hormon wanita yang berperan sebagai neuroprotektif adalah estrogen. Bukti eksperimental
menyebutkan peranan estrogen, terutama estradiol pada perempuan relatif pada gejala psikose.
Gejala psikose ini cenderung timbul pada masa remaja yang umumnya terkait masalah-masalah
sosial, sehingga dengan adanya estrogen pada wanita dapat menunda onset prepsikotik dan
memungkinkan mereka menyelesaikan sekolah, memulai pekerjaan, membangun hubungan sosial
di masyarakat. Hal sebaliknya terjadi pada pria, dimana gejala psikotik yang biasa terjadi pada masa
sekolah dan tidak adanya perlindungan dari estrogen menyebabkan mereka mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan sekolah, memulai pekerjaan dan mengembangkan keterampilan sosial yang
dibutuhkan untuk berinteraksi dengan individu lain (Seeman, 1997).

Sedangkan menurut rentang usia pasien schizophrenia paling banyak berada di usia 26-35
tahun dan disusul usia 36-45 tahun. Ini menunjukkan bahwa schizophrenia lebih sering menyerang
manusia baik pria maupun wanita di usia produktif karena di usia ini beban hidup yang ditanggung
seseorang berada pada puncaknya sehingga seseorang rentan mengalami stress. Telah banyak
penelitian yang menyebutkan adanya hubungan yang nyata antara schizophrenia dengan stres.
0
2
4
6
8
10
Tahap I Tahap II
Pria
Wanita
Dimana teori diatesis stress menyebutkan seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress
memungkinkan perkembangan gejala schizophrenia (Kaplan, 1997). Stress dapat menyebabkan
peningkatan sekresi neurotransmitter glutamat (suatu senyawa prekursor GABA) di daerah
prefrontal korteks dan dopamin pada sistem limbis (Savioli, 2009). Ketidakseimbangan
neurotransmitter inilah yang mencetuskan terjadinya schizophrenia.

Pada rentang usia 16-25 tahun pria memiliki persentase terjadinya schizophrenia lebih tinggi
dibandingkan wanita yaitu 23,15 % pria dan 17,39 % wanita, persentase ini diperoleh dari populasi
masing-masing kelompok jenis kelamin, berbeda dengan data sebelumnya. Hal ini menunjukkan
bahwa onset penyakit pada pria lebih awal dibandingkan dengan wanita, karena lebih banyak
pasien rawat inap pria dengan usia lebih muda dibandingkan pasien wanita. Tidak
ada ditemukan pasien schizophrenia rawat inap dengan umur < 15 tahun. Hal ini
sesuai dengan literatur bahwa penyakit schizophrenia biasanya baru muncul pada usia muda yaitu
15 -30 tahun (Bertolote, 1992).

Akan tetapi memasuki rentang usia 46-55 tahun jumlah pasien wanita justru lebih banyak
dibandingkan dengan pasien pria, hal ini dapat terjadi karena Efek neuroprotektif dari hormon
wanita ini akan berkurang seiring dengan kadar estrogen yang mulai menurun. Sehingga wanita
akan menunjukkan gejala psikose yang lebih parah pada rentang umur yang lebih tua.

Antipsikotik yang digunakan untuk pasien di RSJ. HB Saanin Padang adalah clorpromazin,
haloperidol, dan trifluoperazin sebagai antipsikotik klasik serta risperidon, olanzapin dan clozapin
sebagai antipsikotik atypis. Dari obat-obat antipsikotik tersebut yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan efek samping GEP paling besar adalah haloperidol dan trifluoperazin (Katzung, 2007
: 472). Selain penggunaan antipsikotik pasien juga diberikan adjunctive drugs seperti THP
(triheksiperidil), amitriptilin, carbamazepine, diazepam dan vitamin B kompleks yang digunakan
untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan oleh obat-obat antipsikotik.

Meskipun penggunaan antipsikotik telah dikombinasikan dengan adjunctive drugs tetap saja
masih terdapat pasien yang mengalami gejala Parkinson (Parkinsonisme), seperti yang dituliskan
pada hasil penelitian bahwa dari 154 pasien yang dirawat dan diberikan obat antipsikotik sebanyak
31 pasien yang mengalami parkinsonisme dengan pria sebanyak 22 pasien dan wanita sebanyak 9
pasien dimana pasien dengan gejala Parkinson ringan (tahap I) pada pria sebesar 6,49 % (10 pasien)
dan wanita sebesar 3,89 % (6 pasien) sedangkan pasien dengan gejala Parkinson sedang (tahap II)
pada pria sebesar 7,79 % (12 pasien) dan wanita sebesar 1,95 % (3 pasien). Hasil ini sesungguhnya
tidak sesuai dengan pendapat (Seeman, 2004) yang menyatakan bahwa wanita akan lebih mungkin
mengalami efek samping dari penggunaan obat. Hal ini dikarenakan wanita memiliki jaringan
adipose yang lebih banyak dibandingkan pria, sedangkan obat-obat antipsikotik umumnya bersifat
lipofil sehingga dikhawatirkan terjadi penumpukan obat yang menyebabkan efek samping lebih
besar terjadi pada pasien wanita. Akan tetapi hal ini dapat saja terjadi karena wanita lebih patuh
untuk teratur minum obat dan bisa merawat dirinya sendiri dibandingkan pria (Kaplan, 1997).
Faktor merokok mungkin dapat pula dijadikan salah satu faktor penyebab timbulnya efek samping,
dimana pada umumnya semua pasien pria yang dirawat di bangsal rawat inap RSJ Prof. HB.
Saanin Padang merupakan perokok aktif. Rokok dapat mempengaruhi keterlangsungan
biotransformasi obat, dimana biotransformasi lebih cepat pada orang yang banyak merokok karena
adanya induksi enzim seperti yang terjadi pada diazepam (Tjay, 2002).

Gejala Parkinson dapat terjadi karena adanya kombinasi penggunaan obat antipsikotik
dimana diketahui dari hasil penelitian bahwa pasien pada umumnya mendapatkan obat
clorpromazin dan haloperidol baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi selain itu terdapat pula
kombinasi antara clorpromazin, haloperidol dan triheksiperidil. Dari penelitian diketahui bahwa
pasien yang mengalami gejala Parkinson tahap II terjadi karena penggunaan clorpromazin dan
haloperidol dalam dosis tunggal maupun campuran tanpa disertai penggunaan triheksiperidil.
Sedangkan penggunaan campuran CPZ-HLP-THP tetap menyebabkan gejala Parkinson namun
lebih ringan yaitu gejala Parkinson tahap I. Ini menunjukkan bahwa penggunaan THP sebagai
antikolinergik mampu mengurangi terjadinya gejala Parkinson pada pasien.


Gejala Parkinson tahap I ditunjukkan dengan terjadinya tremor ringan, biasanya hanya pada
salah satu anggota tubuh dan hal ini kadang tidak disadari oleh pasien itu sendiri karena tidak
mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Sedangkan gejala Parkinson tahap II ditunjukkan dengan
pasien mengalami tremor sedang yang terjadi pada kedua sisi tubuh, gaya berjalan yang mulai
pelan, wajah topeng dan hal ini sedikit menganggu aktivitas sehari-hari pasien.

BAB VI
KESIMPULAN

1. Kejadian sindrom parkinson pada pasien schizophrenia di bangsal rawat inap RSJ Prof.
HB. Saanin Padang (n=154) adalah 20,13 % (31 pasien).

2. Sebanyak 20,13 % (31 pasien) yang mengalami sindrom parkinson, terdapat pasien pria
6,49 % (10 pasien) mengalami sindrom Parkinson tahap I dan 7,79 % (12 pasien) tahap II.
Untuk pasien wanita terdapat 3,89 % (6 pasien) mengalami tahap I dan 1,95 % (3 pasien)
tahap II.
3. Terdapat hubungan antara penggunaan obat antipsikotik dengan angka kemunculan
sindrom parkinson. Penggunaan obat antipsikotik generasi pertama berpotensi lebih tinggi
untuk menimbulkan sindrom Parkinson dibandingkan obat antipsikotik generasi kedua.

4. Efek sindrom parkinson dapat dikurangi dengan penggunaan obat antikolinergik.

Anda mungkin juga menyukai