Anda di halaman 1dari 10

GENDER DAN KETIDAKADILAN GENDER

JUDUL PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAK ADILAN



A. PENDAHULUAN
Dalam beberapa wacana yang berkembang di masyarakat, tidaklah salah jika ditanyakan
tentang sosok perempuan ideal, jawabnya adalah sebagai Ibu dan istri yang baik. Ketika
pertanyaan yang sama diajukan pada sekelompok perempuan, mereka juga menjawab dengan
jawaban seperti tersebut, ketika ditanyakan lagi, ibu dan istri yang baik itu yang bagaimana,
mereka pasti akan menjawab yaitu wanita yang nurut pada suami, yang merawat anak-
anaknya dengan baik (Abduallah, 1997). Sebagai istri dan ibu yang baik haruslah yang selalu
patuh dan barada di samping suami dan anak-anak serta mendorong keberhasilan suami.
Blue-print semacam ini berkembang dan ikut dilanggengkan oleh institusi dan pranata yang
ada dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi cara pandang tidak saja oleh laki-laki
terhadap sosok perempuan, tetapi juga terhadap peremuan itu sendiri dalam memandang
sosok dirinya dan mengambil tempat dalam mengambil tempat dalam berbagai proses sosial
dalam masyarakat.
Agaknya gambaran tersebut diatas sudah tidak bisa dipertahankan terus-menerus secara
absolut, mengingat seiring dengan kemajuan jaman banyak perempuan keluar rumah untuk
bekerja mencari nafkah, demi tegaknya ekonomi rumah tangga. Pada tataran berikutnya
mulai berkembang fenomena bahwa ada juga perempuan bekerja keluar rumah aspirasi dan
aktualisasi diri.
Fenomena perginya perempuan seorang perempuan keluar rumah untuk bekerja seolah
menandakan adanya gugatan ideologi familialisme yang selama ini menjadi anggapan di
masyarakat bahwa perempuan adalah sosok yang nrimo, selalu menurut dan merawat anak
dan suami. Beban atau tugas-tugas tersebut merupakan tugas rutin perempuan yang
ditempatkan sosoknya sebagai Ibu dan istri.
Bagaimanapun, slogan partisipasi perempuan dalam pembangunan yang selalu
didengungkan sejak jaman Orde Baru telah turut memicu semangat para perempuan untuk
bekerja keluar rumah. Era indrustrialisasi yang mulai dikembangkan juga mempunyai andil
yang besar bagaimanapun perempuan berbondong-bodong meninggalkan sektor domestik
kedunia publik. Meskipun, keduanya telah banyak terbukti makin menyebabkan
termarginalisasinya kaum perempuan.
Pilihan perempuan untuk keluar rumah bekerja akan membawa berbagai implikasi baik
sosial, ekonomi, politis dan psikologis. Dunia kerja yang selama ini dianggap milik laki-laki
sebagai dunia publik mulai mendapat penghuni baru yang namanya perempuan yang
selama ini selalu diasumsikan menghuni dunia domestik, dunia rumahan. Tentu saja
pergeseran ini akan membawa dampak pada perempuan, laki-laki dan masyarakat secara
umum.
Mungkin banyak orang yang belum memahami akan konsep gender itu sendiri dan
mengapa gender bisa menimbulkan ketidakadilan gender dan bias gender. Untuk itu dalam
karya ilmiah ini penulis ingin menyampaikan berbagai hal yang berhubungan dengan konsep
gender diantaranya adalah:
1. Konsep gender, jenis kelamin dan kodrat.
2. Perbedaan gender melahirkan ketidakadilan.
3. Ketimpangan gender di berbagai bidang.


B. KONSEP GENDER DAN KELAMIN.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan
adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin), dan konsep gender.pemahaman dan
pembadaan terhadap kedua konsep tersebut sangat diperlukan karena alasan sebagai berikut.
Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender sangatlah di perlukan dalam
melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa
kaum perempuan.
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep jenis kelamin atau seks.
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 1996). Misalnya, manusia
jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduki sperma.
Sedangkan manusia jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki rahim,
mempunyai payudara, vagina, dn indung telur. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada
manusia laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan karena
merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan kodrat.
Sedangkan konsep gender yakni, suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan
karena dikonstruksikan secara sosial dan kultural. Karena konstruksi tersebut berlangsung
selama terus menerus dan dilanggengkan di berbagai pranata sosial maka seolah-olah sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan tersebut merupakan sesuatu yang harus
dimiliki oleh keduanya. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik,
emosional, keibuan, nrimo, manut, tidak neko-neko. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan, perkasa. Sebenarnya cirri atau sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat
dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada
perempuan yang kuat, perkasa anpa harus bertukar jenis kelamin. Perubahan sifat-sifat yang
dikonstruksikan pada laki-laki dan perempuan tersebut dapat berubah dari tempat ketempat
yang lain, dari waktu ke waktu, dan dari masyarakat yang berbeda.
Jadi semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa
berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya, itulah yang dikenal dengan
konsep gender. Jadi selama hal itu bisa dipertukarkan, bisa dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan namanya bukan kodrat, tetap konstruksi gender.
C. PERBEDAAN GENDER MELAHIRKAN KETIDAKADILAN
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi sepanjang tidak melahirkan
ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun
perempuan. Ketidakadilan gender merupakan system dan struktur dimana baik dari kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari system tersebut. Untuk memahami bagaimana
perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai
manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai
bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotope atau melalui
pelabelannagatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih banyak (burden), serta sosialisasi
ideology nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan,
karena saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada
satupun manisfestasi ketidakadilan gender yang lebih penting , lebih esensial, dari yang lain.
Misalnya, marginalisasi ekonoimi kaum perempuan justru terjadi karena stereotype tertentu
atas kaum perempuan dan itu menyumbang kepada subordinasi, kekerasan pada kaum
perempuan, yang akhirny tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum
perempuan sendiri. Dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan bahwa marginalisasi kaum
perempuan adalah menetukan dan terpenting dari yang lain d oleh karena itu perlu mendapat
perhatian lebih. Atau sebaliknya bahwa kekerasan fisik adalah masalah paling mendasar yang
harus dipecahkan terlebih dahulu.
1. Gender dan Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk pemiskiskinan perempuan yang disebabkan oleh gender, dari segi
sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan
tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.selain itu juga progam
pembangunan pemerintah ya menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya,
progam swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) secara ekonomis telah
menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaanya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa
misalnya, progam revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh
llebih rendah, dan pendekatan panen dengan system tebang menggunakan sabit, tidak
memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan digunakan
oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin didesa termarginalisasi,
yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada
musim panen. Berarti progam revolusi hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek
gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan juga terjadi dalam
rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan Negara. Marginalisasi perempuan sudah
terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki
dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan.
Misalnya banyak suku-suku di Indonesia yang tidak member hak pada kaum perempuan
untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan memberikan hak waris
setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
2. Gender dan Subordinasi
Pandangan gender juga bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan
bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempua tidak bisa tampil
memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting.
Subordinasi karena gendertersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari
tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan, pemerintah
pernh memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar dia bisa mengambil
keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas belajar keluar negeri harus seijin
suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas,
dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahka anak-anaknya maka anak laki-laki
yang akan mendapatkan prioritas utama.
3. Gender dan Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu. Dan stereotype selalu merugikan menimbulkan ketidakadila. Salah satu jenis
stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan
terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan ynag
dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan
bersolek adalah daam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus
kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada
pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan
korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah
melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan dinomor
duakan. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan
pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikemangkan karena
stereotipe tersebut.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan adalah serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence.
Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam
masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan
gender, diantaranya:
Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan.
Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga.
Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin, misalnya penyunatan
terhadap anak perempuan.
Kekerasan dalam bentuk pelacuran.
Kekerasan dalam bentuk pornografi.
Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana.
Jenis kekerasan terselubung, yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh
perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakuka dimasyarakat yakni
yang dikenal dengan pelecehan seksual.
5. Gender dan Beban Kerja
Anggapan bahwa kaum perempun memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok
menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga
menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempua yang
harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya,
mulai dari mebersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi
dan memelihara anak.
D. KETIMPANGAN GENDER DIBERBAGAI BIDANG
1. Ketimpangan Gender dibidang Politik
Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan
memungkinkan, namun karena berbagai factor hal itu jarng sekali terjadi. Factor utmanya
adalah pandangan stereotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras,
dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-
pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsian sebagai milik laki-laki bukan milik
perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah penghuni dapur
atau domestik. Tidak bisa berpikir rasional dan kurang berani mengambil resiko, yang
kesemuanya itu sudah menjadi stereotipe perempuan. Akibatnya baik perempuan maupun
laki-laki dan masyarakat secara umum sudah menarik kutub yang berbeda dunia public milik
lakilaki dan dunia domestic milik perempuan.
2. Ketimpangan Gender dalam Bidang Ekonomi
Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang meyebabkn perempuan tidak diakui
perananya karena kiprahnya hanya disekitar ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih
sedikit pengakuan pada kaum perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku
ekonomi karena dianggap itu hanya kerja main-main bukan kerja yang prestisuis, seperti
halnya yang dilakukan oleh laki-laki. Kiprah laki-laki didunia ekonomi diakui karena mereka
bisa masuk pada level penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan strategis pada
kantor-kantor yang terkait dengan perekonomian. Sementara perempuan belum banyak yang
menduduki level tersebut, akibatnya kegiatan perempuan dibidang ekonomi yang terpusat
pada sekitar keluarga dan dirinya sendiri, meskipun menghasilkan bahkan menjadi penunjang
hidup keluarga, tak diakui dan hanya dianggap sebagai pekerja sambilan.
Banyak hal yang masih mencerminkan ketimpangan dibidang ekonomi, misalnya upah
perempuan lebih rendah daripada laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar, karena
perempuan dianggap lajang bukan kepala keluarga, bila akan mengajukan kredit di Bank
masih harus memerlukan tanda tangan suami sementara jika suami yang mengajukan tidak
perlu minta tanda tangan istri, meskipun keadaanya istripun yang tanggung jawab terhadap
utang tersebut.
3. Ketimpangan Gender dalam Dunia Kerja
Kerasnya dunia publik menunjukan bahwa perempuan belum di akui sebagai pekerja
profesional. Perempuan sebagai obyek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat
dalam bidang publik, padahal perempuan sudah mampu memainkan peran sebagai subyek
dalam berabagai proses ekonomi. Sector public Nampak belum disiapkan untuk mnerima
kaehadiarn kaum perempuan dengan semestinya. Hal ini memaksa erempuan untuk selalu
berusaha menjadi laki-laki didunia kerja. Dia harus bersaing ketat dengan rekan sesame kerja
yang tidak saja laki-laki tetapi juga perempuan. Dia harus menunjukan kemampuannya
bahwa dia tidak seperti blue- print yang selama ini ada, hanya bisa menjadi ibu dan istri tetapi
juga harus menunjukan bahwa dia juga bisa menjadi pekerja yang professional.
Ketika melamar pekerjaan seorang perempuan tidak sja dipandang kualitas
intelektualitasnya, melainkan juga sosok dan status sebagai perempuan. Biaya ideologis yang
harus dibayar adalah, permpuan hars mampu memenuhi criteria tersebut, tidak hanya
berkualitas tapi juga berusaha menampilakan diri habis-habisan agar sebagai pendatang dia
bisa diterima.
4. Ketimpangan Gender dalam Pendidikan
Dalam hal pendidikan normal, perempuan diseluruh dunia menghadapi problem yang
sama. Disbanding lawan jenisnya, kesertaan perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih
rendah. Jumlah murid perempuan umumnya hanya separoh atau sepertiga dari jumlah murid
laki-laki. Demikian pula dalam jenjang pendidikan tinggi, kesertaan perempuan sangat
rendah dan umumnya terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora, dan bidang
pendidikan .
Sistem pendidikan yang berlaku di sekolah cenderung memperkuat ketimpangan
gender. Ilustrasi buku pelajaran dan bacaan lain menampilkan figur-figur laki-laki sebagai
pemegang stetoskop, tabung reaksi, dan computer. Sedangkan figure perempuan sebagai
pemegang alat-alat penunjang kehidupan domestic.

E. PENUTUP
Perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan melalui proses
yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh banyak hal,
diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial dan
kultural melalui ajaran keagamaan dan Negara. Melalui proses yang panjang sosialisasi
gender akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang tak bisa diubah lagi, sehingga
perbedaan-perbedaan gender dipahami sebagai kodrat laki-laki dan perempuan. Misalnya,
karena konstruksi sosial, laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki terlatih
dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menjadi atau menuju ke sifat yang dikonstruksikan
tersebut. Yakni, secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sebaliknya kaum perempuan harus
lemah lembut, pasif, maka perempuanpun terlatih dan termotivasi untuk menjadi sosok
perempuan yang diinginkan masyarakat. Hal ini disosialisasikan oleh keluarga sejak kecil dan
berlanjut sampai dewasa meskipun perempuan bekerja dan berkarir bagus, perempuan tetap
harus bertanggungjawab terhadap urusan domestic, sementara laki-laki tetap dianggap
sebagai kepala keluarga yang urusanya mencari nafkah dan tidak perlu bertanggungjawab
dengan urusan domestic, meski pada akhir-akhir ini perempuan menjadi kepala keluarga yang
mencari nafkah, tetapi tidak pernah diakui.
Dari perbedaan gender inilah yang kemudian menimbulkan ketidakadilan gender.
Ketidakadilan tersebut diantaranya marginalisasi perempuan, subordinasi, stereotype,
kekerasan, dan beban kerja ganda. Selain itu juga menimbulkan ketimpangan gender
diberbagai bidang. Diantaranya adalah dibidang politik, ekonomi, dunia kerja, dan juga
pendidikan.
Semua manefestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi.
Hal itu tersosialisasikan kepada laki-laki dan perempuan secara mantap yang lambat laun
akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya dipercaya bahwa
peran gender itu seolah-olah merupakn kodrat. Lambat laun tercipatalah suatu struktur dan
system ketidakadilan gender yang diterima dan sudah menjadi hal yang tak lagi dapat
dirasakan ada sesuatu yang salah.



















DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Arief. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia.
Handoyo, Eko. 2007. Studi Masyarakat Indonesia. Semarang: FIS UNNES.




















KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul perbedaan gender melahirkan
ketidakadilan dengan lancar.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : ibu st nurbayan
m,si yang telah memberikan kesempatan sehingga makalah ini dapat selesai serta Mama dan Bapak
dirumah yang telah memberikan bantuan materil maupun doanya, sehingga pembuatan makalah ini
dapat terselesaikan. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu
pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada
khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah
kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Penulis

Anda mungkin juga menyukai