Anda di halaman 1dari 11

PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN DENGAN RUYATUL HILAL

Oleh : Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia



Sebagai bulan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan, bulan Ramadhan selalu dinantikan
kehadirannya oleh umat Islam. Namun sayangnya, momentum penting itu hampir selalu
diwarnai perbedaan di antara umat Islam dalam mengawali dan mengakhirinya. Patut dicatat,
problem tersebut itu tidak hanya terjadi di tingkat nasional, namun juga dunia Islam pada
umumnya. Bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut?

Sabab Pelaksanaan Puasa: Ruyah Hilal

Telah maklum bahwa puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap
mukallaf. Allah Swt berfirman:



(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu (QS al-Baqarah [2]: 183-185).

Rasulullah saw bersabda:



Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa
Ramadhan (HR al-Bukhari no. 7; Muslim no. 21; al-Nasai no. 4915; Ahmad no. 4567, dari Ibnu
Umar ra ).

Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu
ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara tidak hanya menjelaskan status
hukumnya bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu ain, tetapi juga secara gamblang dan rinci
menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al-syarth, al-
mni, al-shihah wa al-buthln, dan al-azhmah wa al-rukhshah-nya.

Berkenaan dengan sabab (sebab dilaksanakannya suatu hukum) puasa Ramadhan, syara
menjelaskan bahwa ruyah al-hill merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan.
Apabila bulan tidak bisa diruyah, maka puasa dilakukan setelah istikml bulan Syaban.
Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut:



Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).
Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Syaban
menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).



Apabila kamu melihatnya (hila)l, maka berpuasalah; dan apabila kamu melihatnya, maka
berbukalah. Jika ada mendung menutupi kalian, maka hitunglah (HR al-Bukhari no. 1767 dari
Abu Hurairah)



Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal).
Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh bulan hari (HR Muslim
no.1810, dari Abu Hurairah ra.)



Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika
kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR.
Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).



Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali
seseorang di antara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan janganlah kalian berpuasa
sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan
tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari (HR. Abu Dawud
no. 1982, al-Nasai 1/302, al-Tirmidzi 1/133, al-Hakim 1/425, dari Ibnu Abbas dan di shahih kan
sanadnya oleh al-Hakim dan disetujui oleh al-Dzahabi.)



Sesungguhnya bulan itu ada dua puluh sembilah hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Dan janganlah kalian berbuka hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi
kalian, maka perkirakanlah. (HR. Muslim 1797, HR Ahmad no. 4258, al-Darimi no. 1743, al-
Daruquthni no. 2192, dari Ibnu Umar ra).

Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan
akhir Ramadhan didasarkan kepada ruyah al-hill. Imam al-Nawawi menyatakan, Tidak wajib
berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka
mereka wajib menyempurnakan Syaban (menjadi tiga puluh hari), kemudian mereka
berpuasa.[1]

Ali al-Shabuni berkata, Bulan Ramadhan ditetapkan dengan ruyah hilal, meskipun berasal dari
seroang yang adil atau dengan menyempurnakan hitungan Syaban menjadi tiga puluh hari;
dan tidak dianggap dengan hisab dan astronomi; berdasarkan sabda Rasulullah saw. Shum li
ruyatihi wa afthir li ruyatihi.[2]

Menurut pendapat Jumhur, kesaksian ruyah hilal Ramadhan dapat diterima dari seorang saksi
Muslim yang adil.[3] Ketetapan itu didasarkan oleh beberapa Hadits Nabi saw. Dari Ibnu Umar
ra:



Orang-orang melihat hilal, kemudian saya sampaikan Rasulullah saw, Sesungguhnya saya
melihatnya (hilal). Kemudian beliau berpuasa dan memrintahkan orang-orang untuk berpuasa
(HR Abu Dawud no. 1995; al-Darimi no, 1744; dan al-Daruquthni no. 2170).

Dalam Hadits ini, Rasulullah saw berpuasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa
berdasarkan kesaksian Ibnu Umar ra. Itu artinya, kesaksian seorang Muslim dalam ruyah hilah
dapat diterima.
Dari Ibnu Abbas bahwa:



Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad saw kemudian berkata, Sungguh
saya telah melihat hilal. Rasulullah bertanya, Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah
selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah? Orang tersebut
menjawab, Ya. Lalu Rasulullah bersabda, Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak)
agar mereka berpuasa besok. (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Dalam Hadits tersebut dikisahkan, Rasulullah saw tidak langsung menerima kesaksian
seseorang tentang ruyah. Beliau baru mau menerima kesaksian ruyah orang itu setelah
diketahui bahwa dia adalah seorang Muslim. Andaikan status Muslim tidak menjadi syarat
diterimanya kesaksian ruyah Ramadhan, maka Rasulullah saw tidak perlu melontarkan
pertanyaan yang mempertanyakan keislamannya

Tidak Terikat dengan Mathla

Persoalan berikutnya adalah mathla (tempat lahirnya bulan). Sebagian ulama Syafiiyyah
berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari
pusat ruyah bisa mengikuti hasil ruyat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu
boleh melakukan ruyah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ruyat daerah lain.

Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:



Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata,
Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Ternyata bulan Ramadhan tiba
sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu aku
memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan
menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, Kapan kalian melihat hilal? Aku menjawab, Kami
melihatnya pada malam Jumat. Dia bertanya lagi, Apakah kamu sendiri melihatnya? Aku
jawab lagi, Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula
Muawiyyah. Dia berkata lagi, Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka
kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami
melihatnya. Aku lalu bertanya, Tidak cukupkah kita berpedoman pada ruyat dan puasa
Muawiyyah? Dia menjawab, Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah Saw telah memerintahkan
kepada kami. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasai no. 2084;
Ahmad no. 2653).

Hadits yang diriwayatkan Kuraib ini dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan
akhir Ramadhan karena perbedaan mathla. Apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat
ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya:

Pertama, dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marf atau
mawqf. Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu Abbas, Hakadz amaran Raslullh saw
(demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami), seolah-olah menunjukkan sebagai
Hadits marf. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai
Hadits marfu perlu dipertanyakan.

Jika dicermati, perkataan L, hakadz amaran Raslullh saw merupakan jawaban Ibnu
Abbas atas pertanyaan Kuraib dalam merespon suatu peristiwa yang terjadi pada masa beliau.
Yakni terjadinya perbedaan antara penduduk Madinah dan penduduk Syam dalam mengawali
puasa. Penduduk Syam melihat hilal pada malam Jumat, sementara penduduk Madinah
melihatnya pada malam Sabtu. Ketika kejadian itu ditanyakan kepada Ibnu Abbas, mengapa
penduduk Madinah tidak mengikuti ruyah penduduk Syam saja, kemudian keluarlah jawaban
Ibnu Abbas tersebut.

Bertolak dari kisah tersebut, maka ke-marfu-an Hadits ini perlu dipertanyakan: Apakah
peristiwa serupa memang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw dan demikianlah keputusan
beliau saw dalam menyikapi perbedaan itu? Ataukah itu merupakan kesimpulan Ibnu Abbas
atas sabda Rasulullah saw mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan, sehingga perkataan
Ibnu Abbas itu adalah penerapan hasil ijtihad beliau terhadap kasus ini?

Di sinilah letak syubhat Hadits ini, apakah tergoloh marf atau mawqf. Agar lebih jelas, kita
bisa membandingkan Hadits ini dengan Hadits lain yang tidak mengandung syubhat, yang
sama-sama menggunakan ungkapan amaran Raslullh saw. Hadits dari Ibnu Umar yang
berkata:



Rasulullah saw memerintahkan kami dalam zakat fithri agar ditunaikan sebelum keluarnya
orang-orang untuk shalat (HR Abu Dawud).

Hadits ini tidak diragukan sebagai Hadits marf. Sebab, Hadits ini berisi sebuah ketentuan
hukum atas suatu perbuatan. Berbeda halnya dengan Hadits Ibnu Abbas di atas, yang berisi
jawaban beliau mengenai suatu kasus yang terjadi masa beliau. Tampak bahwa perkataan Ibnu
Abbas tersebut merupakan ijtihad beliau dalam menyikapi kejadian yang terjadi pada saat itu.
Kesimpulan demikian juga disampaikan oleh sebagian ulama, seperti al-Syaukani yang
menggolongkan Hadist ini sebagai ijtihad Ibnu Abbas.[4]

Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas.
Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara, yang darinya digali hukum-hukum syara, jelas
tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang mashum. Ijtihadnya tidak termasuk
dalam dalil syara.[5]

Kedua, jika dalam Hadits ini kaum Muslim diizinkan untuk mengikuti ruyah di masing-masing
daerahnya, pertanyaan yang muncul adalah: Berapa jarak minimal antara satu daerah dengan
daerah lainnya yang mereka diperbolehkan berbeda? Jika dalam Hadits ini jarak antara
Madinah dengan Syam diperbolehkan bagi penduduknya untuk berbeda mengawali dan
mengakhiri puasa, bagaimana jika jaraknya lebih dekat? Hadits ini juga tidak memberikan
jawabannya. Oleh karena itu, para ulama yang mengamalkan Hadits Kuraib ini pun berbeda
pendapat mengenai jarak minimalnya.

Ada yang menyatakan, jarak yang diperbolehkan berbeda puasa itu adalah perbedaan mathla.
Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh al-Nawawi dalam al-Rawdhah dan Syarh al-
Muhadzdzab. Ada pula yang menggunakan ukuran jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan
Imam al-Baghawi dan dibenarkan oleh al-Rafii dalam al-Shaghr dan al-Nawawi dalam Syarh al-
Muslim. Lainnya mendasarkan pada perbedaan iklim. Dan sebagainya. Patut dicatat, semua
batasan jarak itu tidak ada yang didasarkan pada nash yang sharih.

Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya
perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla. Dalam penetapan
awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil-dalil Hadits yang jelas marfu
kepada Nabi saw. Imam al-Amidi mengatakan, Hadits yang telah disepakati ke-marfu-annya
lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke-marfu-annya. Hadits yang
dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang
diriwayatkan bil makna.[6]

Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri
yang tidak diragukan ke-marfu-annya, seperti Hadits:



Dari Ibnu Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian berpuasa
sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia
(hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari. (HR al-Tirmidzi no.
624; Ibnu Hibban no. 2301)

Juga Hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke-marfu-annya. Dalam Hadits-Hadits itu kaum
Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berbuka karena adanya ruyah hilal. Semua perintah
dalam Hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan Hadits-Hadits itu yang
menggunakan kata shm dan afthir (dhamr jamah, berupa wwu al-jamah). Pihak yang
diseru oleh Hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka
seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang
Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan
Pakistan.

Demikian juga, kata li ruyatihi (karena melihatnya). Kata ruyah adalah ism al-jins. Ketika ism
al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam
shighah umum, [7] yang memberikan makna ruyah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada
yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan
kepada yang lain untuk berpuasa dan berbuka. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal
oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ruyah itu mewajibkan kepada seluruh kaum
Muslim untuk berpuasa dan berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri
yang dekat atau negeri yang jauh dari tempat terjadinya ruyah.

Imam al-Syaukani menyatakan, Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu
daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan
khitb (seruan) yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah
sampai kepadanya. Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh
kaum Muslim telah melihatnya. Ruyah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim
lainnya.

Imam al-Syaukani menyimpulkan, Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila
penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ruyatul hilal), maka ruyat ini berlaku pula
untuk seluruh negeri-negeri yang lain.[8]

Imam al-Shanani berkata, Makna dari ucapan karena melihatnya adalah apabila ruyah
didapati di antara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ruyah pada suatu negeri adalah ruyah
bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.[9]

Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya
perbedaan mathla. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor:



Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada
keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah.
Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin
(sore). Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka (kaum Muslim) untuk segera berbuka dan
melaksanakan sholat Ied pada keesokan harinya (HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir
dan Ibnu Hazm).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan kaum Muslim untuk
membatalkan puasa setelah mendengar informasi ruyah hilal bulan Syawal dari beberapa orang
yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang
dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat
di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu Abbas:



Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat
hilal. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal
Ramadhan). Rasulullah SAW bersabda, Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?
Dia berkata, Benar. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, Apakah kau bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Dia berkata, Ya benar. Kemudian Rasulullah
bersabda, Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok. (HR Abu Daud
and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Dalam Hadits tersebut, Rasulullah saw tidak menanyakan asal si saksi, apakah dia melihatnya di
daerah mathla yang sama dengan beliau atau berjauhan. Akan tetapi beliau langsung
memerintahkan kaum Muslim untuk berpuasa ketika orang yang melakukan ruyah itu adalah
seorang Muslim.

Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang
tidak mengakui absahnya perbedaan mathla. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama,
yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya
perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla.[10] Ketiga madzhab
(Abu Hanifah, Maliki, Ahmad) itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan
ruyah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla.

Sayyid Sabiq menyatakan, Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla (ikhtilf
al-mathli). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas
seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, Puasalah kalian karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihatnya. Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh ummat. Jadi siapa
saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ruyah itu berlaku bagi
mereka semuanya.[11]

Abdurahman al-Jaziri menuturkan, Apabila ruyah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka
negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi
antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila (berita) ruyah hilal itu memang telah
sampai kepada mereka dengan cara (terpercaya) yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan
lagi di sini adanya perbedaan mathla hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga imam
madzhab (Abu Hanifah, Malik, Ahmad). Para pengikut madzhab Syafii berpendapat lain. Mereka
mengatakan, Apabila ruyah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian
ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di
antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla, yaitu jarak keduanya kurang dari 24
farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan
ruyah ini, kerana terdapat perbedaan mathla.[12].

Al-Qurthubi menyatakan, Menurut madzhab Malik rahimahullah diriwayatkan oleh Ibnu
Wahab dan Ibnu al-Qasim apabila penduduk kota Basrah (Irak) melihat hilal Ramadhan, lalu
berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa
berdasarkan ruyah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya
terlambat.[13]

Tentang pendapat madzhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, Bahwasanya perbedaan
mathla tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum
dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur (benua Asia) harus
mengikuti (ruyat kaum Muslimin) yang ada di Barat (Timur Tengah), jika ruyat mereka dapat
diterima (syah) menurut Syara .[14]

Tak jauh berbeda, menurut Madzhab Hanbali, apabila ruyat telah terbukti, di suatu tempat
yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa
Ramadhan.[15]

Sebagian pengikut Madzhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyun, menambahkan syarat, ruyat itu
harus diterima oleh seorang khalifah. Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat
negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imm al-adham (khalifah). Setelah itu,
seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan
keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim [16]

Ibnu Taimiyah dalam Majm al-Fatawa berkata, Orang-orang yang menyatakan bahwa ruyah
tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri yang lain) seperti kebanyakan pengikut-pengikut
madzhab Syafii; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada
yang membatasi dengan perbedaan mathla seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan
Khurasan, sesungguhnya kedua-duanya lemah (dhaif) karena jarak qashar shalat tidak
berkaitan dengan hilalApabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Syaban di
suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia
menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka ia harus imsak (berpuasa) untuk
waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.[17]

Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur
(benua Asia) jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka ruyah wajib diikuti oleh kaum Muslimin
yang berada di negeri-negeri belahan Barat (Timur Tengah), tanpa kecuali. Siapapun dari
kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ruyatuh hilal maka ruyah tersebut
merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri
tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain.

Akibat Nasionalisme dan Garis Batas Nation State

Patut digarisbawahi, perbedaan awal dan akhir puasa yang terjadi di negeri-negeri Islam
sekarang ini bukan disebabkan oleh perbedaan mathla sebagaimana dibahas oleh para ulama
dahulu. Pasalnya, pembahasan ikhtilf al-mathli (perbedaan mathla) oleh fuqaha dahulu
berkaitan dengan tempat terbit bulan. Sehingga yang diperhatikan adalah jarak satu daerah
dengan daerah lainnya. Apabila suatu daerah itu berada pada jarak tertentu dengan daerah
lainnya, maka penduduk dua daerah itu tidak harus berpuasa dan berbuka puasa. Sama sekali
tidak dikaitkan dengan batas begara.

Berbeda halnya dengan saat ini. Perbedaan mengawali dan mengakhiri Ramadhan diakibatkan
oleh pembagian dan batas-batas wilayah negeri-negeri Islam. Di setiap negeri Islam terdapat
institusi pemerintah yang memiliki otoritas untuk menentukan itsbt (penetapan) awal dan akhir
Ramadhan. Biasanya, sidang itsbt tersebut hanya mendengarkan kesaksian ruyah hilal orang-
orang yang berada dalam wilayah negeri tersebut. Apabila di negeri itu tidak ada seorang pun
yang memberikan kesaksiannya tentang ruyah hilal, maka langsung digenapkan, tanpa
menunggu terlebih dahulu apakah di negeri-negeri lainnya bahkan yang berada di sebelahnya
sekalipun terdapat kesaksian dari warganya yang telah melihat hilal atau belum. Hasil
keputusan tersebut lalu diumumkan di seluruh negeri masing-masing. Akibatnya, terjadilah
perbedaan dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan antara negeri-negeri muslim.

Kaum Muslim di Riau tidak berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Kuala Lumpur. Padahal
perbedaan waktu antara kedua kota itu tidak sampai satu jam. Padahal, pada saat yang sama
kaum Muslim di Acah bisa berpuasa bersama dengan kaum Muslim di Papua. Tentu saja ini
sesuatu yang amat janggal. Penentuan awal dan akhir Ramadhan berkait erat dengan
peredaran dan perputaran bumi, bulan, dan matahari. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan
batas negara yang dibuat manusia dan bisa berubah-ubah. Jelaslah, perbedaan awal dan akhir
puasa yang saat ini terjadi lebih disebabkan oleh batas khayal yang dibuat oleh negara-negara
kafir setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyyah. Garis batas negara bangsa itu pula yang
mengoyak-oyak kesatuan Muslim dalam naungan satu khilafah menjadi lebih dari lima puluh
negara-negara kecil.

Khatimah

Perbedaan awal dan akhir puasa di negeri-negeri Islam hanya merupakan salah satu potret
keadaan kaum Muslim. Kendati mereka satu ummat, namun secara kongkrit umat Islam
terpecah-pecah. Di samping masih mengeramnya paham nasionalisme yang direalisasikan
dalam bentuk nation state di negeri-negeri Islam, keberadaan khilafah sebagai pemersatu
ummat Islam hingga sekarang belum berdiri (setelah khilafah Islamiyyah terakhir di Turki
diruntuhkan oleh kaum kuffar). Ketiadaan khilafah inilah menjadikan kaum muslimin berpecah-
pecah menjadi lebih dari lima puluh negara kecil-kecil, yang masing-masing sibuk dengan
urusannya sendiri-sendiri.

Karena itu, solusi mendasar yang benar untuk menyelesaikan semua problematika kaum
muslimin tersebut sesungguhnya ada di tangan mereka. Yaitu, melakukan upaya dengan
sungguh-sungguh bersama dengan para pejuang yang mukhlish untuk melangsungkan kembali
kehidupan Islam dengan mengembalikan keberadaan Daulah Khilafah, mengangkat seorang
khalifah untuk menyatukan negeri-negeri mereka dan menerapkan syariat Allah atas mereka.
Sehingga kaum muslimin bersama khalifah, dapat mengemban risalah Islam dengan jihad
kepada seluruh ummat manusia. Dengan demikian kalimat-kalimat orang kafir menjadi rendah
dan hina. Dan sebaliknya, kalimat-kalimat Allah Swt menjadi tinggi dan mulia. Kaum muslim-in
hidup dengan terhormat dan mulia di dunia, mendapatkan ridha Allah Swt dan mendapatkan
pahalanya di akhirat nanti. Allah Swt berfirman:



Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman
akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah Swt) yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan (QS al-Taubah [9]: 105).

WaLlh alam bi al-shawb

________________________________________
[1] al-Nawawi, al-MajmSyarh al-Muhadzdzab,6/269
[2] Ali al-Shabuni, Rawi al-Bayn, 1/210
[3] Mahmud bin Abdul Lathif, al-Jmi li Ahkm al-Shalh, 28; Ali al-Shabuni, Rawi al-Bayn,
1/210
[4] al-Syaukani, Nayl al-Awthr,7/25
[5] Dalil syara yang mutabar adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas.
[6] al-Amidi, al-Ihkm fi Ushl al-Ahkm, jld. 2/364.
[7] al-Amidi, al-Amidi, al-Ihkm fi Ushl al-Ahkm, 1/329
[8] Lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalani; Fath al-Br; Bab Shiym.
[9] Al-Shanani, Subul al-Salm, jld. 2, hal. 310.
[10] al-Shabuni, Rawi al-Bayn, 1/210
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al- Sunnah, 1/368.
[12] al-Jaziri, al-Fiqh al al-Madzhhib al-Arbaah, 1/550
[13] al-Qurthuby, al-Jmi li Ahkm al-Qurn, 2/296.
[14] al-Hashfaky, al-Durr al-Mukhtr wa Radd al-Muhtr, 2/131-132
[15] Mughn al-Muhtj, 2/223-224
[16] al-Syaukani, Nayl al- Authar, 2/ 218.
[17] Ibnu Taimiyah, Majmu al-Fatawa, 25/104-105.

Anda mungkin juga menyukai