Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fenol
Fenol (C
6
H
6
O) merupakan senyawa organik yang mempunyai gugus
hidroksil yang terikat pada cincin benzena. Senyawa ini merupakan turunan dari
benzena melalui penggantian gugus hidrogen dengan hidroksil, sehingga senyawa
ini sering disebut hidroksi benzena. Senyawa fenol juga mempunyai beberapa
nama lainnya seperti asam karbolik, fenat monohidroksibenzena, asam fenat,
asam fenilat, fenil hidroksida, oksibenzena, benzenol, monofenol, fenil hidrat,
fenilat alkohol, Bakers P dan S, dan fenol alkohol.
Fenol merupakan senyawa padat tidak berwarna dengan berat molekul
94,11 g/mol, massa jenis 1.072 dan titik didih sebesar 181.9
o
C. Fenol bersifat
higroskopis, berbau tajam dan bersifat iritasi. Fenol menguap lebih lambat
daripada air dan larut dengan baik dalam air, tetapi tidak larut dalam natrium
karbonat. Fenol juga dapat larut dalam pelarut organik seperti aromatik
hidrokarbon, alkohol, keton, eter, asam, dan hidrokarbon halogen. Fenol lebih
asam bila dibandingkan dengan alkohol, tetapi lebih basa daripada asam karbonat.
Fenol dan turunannya bersifat toksik dan termasuk ke dalam zat berbahaya.
Keberadaan fenol di lingkungan dapat bersumber dari aktivitas alam
ataupun aktivitas manusia. Fenol merupakan unsur pokok aspal, dan senyawa
tersebut dibentuk selama proses dekomposisi materi organik. Peningkatan
konsentrasi fenol di lingkungan dapat disebabkan oleh kebakaran hutan. Fenol
juga banyak terdapat dalam buangan limbah industri.
Tanah yang terkontaminasi fenol akan menyebabkan kualitas air tanah
tersebut akan menurun. Fenol terdegradasi di udara sekitar 1-2 hari, sedangkan di
dalam air fenol bersifat persisten. Sementara itu, fenol yang terdapat di tanah
dapat didegradasi oleh bakteri atau mikroorganisme lainnya yang dapat
menggunakan fenol sebagai sumber karbonnya.
Fenol dapat menyebabkan efek akut yaitu terganggunya sistem saraf pusat
yang dapat mengakibatkan pingsan dan koma. Fenol juga dapat menyebabkan
hipotermia (penurunan suhu tubuh) dan depresi miokardial. Efek akut fenol yang
paling seringterjadi adalah iritasi kulit seperti luka bakar. Apabila fenol kontak
dengan mata dapat menyebabkan iritasi, pembengkakan, pemutihan kornea, dan
pada akhirnya kebutaan. Fenol dapat juga menyebabkan kerusakan hati.
Sementara itu, efek kronis lainnya yang ditimbulkan yaitu anoreksia, gangguan
saluran pencernaan, muntah-muntah, nyeri otot, dan gangguan syaraf. Fenol juga
diduga dapat menyebabkan kelumpuhan dan kanker. Fenol dapat bersifat
karsinogenik bagi manusia pada konsentrasi 5-25 mg/L
Hewan yang menghirup fenol dalam waktu yang lama akan menderita
iritasi paru-paru,kejang otot, kehilangan keseimbangan, nekrosis hati, luka pada
ginjal, dan jantung.fenol juga dapat menurunkan respon antibodi mencit secara
signifikan terhadap sel darahmerah biri-biri yang diinjeksikan apabila diberi fenol
6.2 mg/kg/hari di dalam airminumnya.
2.2 Fotodegradasi
Fotodegradasi adalah proses peruraian suatu senyawa (biasanya senyawa
organik) dengan bantuan energi foton. Proses fotodegradasi memerlukan
fotokatalis, yang umumnya merupakan bahan semikonduktor. Prinsip
fotodegradasi adalah adanya loncatan elektron dari pita valensi ke pita konduksi
pada logam semikonduktor jika dikenai suatu energi foton. Loncatan elektron ini
menyebabkan timbulnya hole (lubang elektron) yang berinteraksi dengan pelarut
(air) membentuk radikan OH yang merupakan oksidator kuat. Elektron pada pita
konduksi akan bereaksi dengan oksigen di lingkungan menghasilkan radikan
superoksida yang bersifat sebagai reduktor. Radikal bersifat aktif dan dapat terus
terbentuk sehingga bereaksi dan menguraikan senyawa organik target.
2.3 Fotokatalis ZnO
2.3.1 Definisi Fotokatalis
Fenomena fotokatalis pertama kali dilakukan oleh Renz pada tahun 1921.
Dalam penelitiannya dia melaporkan fenomena fotokatalis pada permukaan
semikonduktor metal-oksida. Kemudian pada tahun 1972, dengan adanya isu
krisis energi maka fotokatalis ini pun semakin popular karena dapat menghasilkan
hidrogen yang lebih ramah lingkungan. Fujishima dan Honda mempublikasikan
fenomena fotokatalisis dimana terjadi pemecahan H
2
O menjadi hidrogen dan
oksigen dengan input sinar UV yang memiliki energi yang rendah. Salah satu
aplikasi yang banyak berkembang dari teknologi material fotokatalis TiO
2
adalah
upaya untuk meminimalkan zat organik berbahaya yang disebabkan oleh
pencemaran limbah industri maupun limbah rumah tangga.
Fotokatalis dapat didefinisikan sebagai suatu proses reaksi kimia yang
melibatkan cahaya dan katalis padat seperti semikonduktor. Proses reaksi kimia
tersebut dapat digunakan sebagai media untuk mengubah zat-zat berbahaya
menjadi zat-zat yang lebih ramah lingkungan. Fotokatalisis menghasilkan
permukaan yang bersifat sebagai pengoksidasi yang kuat sehingga dapat
digunakan untuk mengurangi zat-zat berbahaya seperti senyawa organik atau
bakteri ketika dikenakan cahaya matahari atau lampu yang berpijar. Fotokatalis
dapat terjadi pada material semikonduktor antara lain zink oksida (ZnO),
Titanium Oksida (TiO
2
), Zink Sulfida (ZnS), Tungsten Oksida (WO
3
), Stronsium
Titanat (SrTiO
3
), dan hematite (-Fe
2
O
3
). Fotokatalis semikonduktor sudah
banyak menarik perhatian pada pengolahan air limbah dalam beberapa dekade ini,
karena semikonduktor dapat menghasilkan radikal hidroksil bebas (OH) yang
dapat memineralisasi zat-zat yang berbahaya. Radikal hidroksil (OH) merupakan
sumber oksidator kuat sekaligus akselator proses penyisihan kontaminan dalam
limbah. Pemilihan radikal hidroksil (OH) sebagai oksidator kuat adalah karena
memiliki potensial oksidasi relatif paling tinggi, yaitu 2.8 V.
2.3.2 Mekanisme Fotokatalis
Prose reaksi pada fotokatalisis melibatkan kehadiran pasangan elektron
dan hole (e- dan h+) dan pasangan tersebut akan tercipta akibat penyinaran pada
material semikonduktor. Jika semikonduktor TiO
2
dikenai cahaya yang sama atau
lebih besar dari energi celah pita, maka elektron pada TiO
2
akan tereksitasi dari
pita valensi menuju pita konduksi, pasangan elektron (e-) dan lubang (h+) akan
terbentuk pada permukaan fotokatalis. Elektron akan berkombinasi dengan
oksigen membentuk O
2
dan lubang (h+) akan berkombinasi dengan air
membentuk radikal hidroksil. Sebagian dari pasangan elektron-hole ini akan
berkombinasi kembali dan sebagian lagi akan bertahan pada permukaan
semikonduktor. Pasangan elektron-hole yang bertahan pada permukaan dapat
mereduksi dan mengoksidasi zat kimia yang berbahaya yang berada disekitarnya.
Pada prinsipnya, reaksi oksidasi pada permukaan semikonduktor dapat
berlangsung melalui donor elektron dari substrat ke h
+
. Apabila potensial oksidasi
yang dimiliki oleh h
+
pada pita valensi ini cukup besar untuk mengoksidasi air
pada permukaan partikel, maka akan dihasilkan gugus hidroksil.
Diantara berbagai macam semikonduktor oksida logam, Titanium dioksida
atau titania atau TiO
2
merupakan salah satu semikonduktor oksida yang telah
dipelajari secara ekstensif sebagai fotokatalis sejak ditemukan efek sensitisasi
cahaya oleh Honda dan Fujishima pada tahun 1971 karena memiliki sifat kimia
fisik yang menguntungkan, biaya rendah, mudah untuk didapatkan, kestabilan dan
ketahanan terhadap korosi pada media air. Akan tetapi semikonduktor ini
memiliki kelemahan yakni membutuhkan energi UV yang tinggi untuk
mengeksitasi elektron dan laju transfer elektron yang rendah untuk oksigen dan
laju rekombinasi yang tinggi antara pasangan elektron-hole, dan laju oksidasi
nanopartikel TiO
2
yang terbatas. Pada beberapa tahun belakangan ini,
nanopartikel ZnO merupakan alternatif yang dapat menggantikan semikonduktor
TiO
2
. Substitusi TiO
2
dengan ZnO sebagai fotokatalis memiliki mekanisme
degradasi foton yang sama dengan TiO
2
. ZnO memberikan efisiensi yang lebih
baik dibandingkan dengan TiO
2
sebagai fotokatalisis dalam larutan air.
2.4 Semikonduktor ZnO
Semikonduktor adalah sebuah bahan yang dapat digunakan sebagai
material fotokatalis. Untuk meningkatkan sifat fotokatalis dari material ini maka
pembuatan material fotokatalis ini dilakukan dalam skala nanopartikel.
Nanostruktur semikonduktor tersusun teratur dan mempunyai dimensi yang sangat
kecil telah dibuktikan sangat potensial untuk meningkatkan sifat fotokatalisis.
Prinsip dasar dari teknologi nano ini adalah pemanfaatan material yang
mempunyai struktur berskala nano yaitu berkisar antara 1-100 nm.
Semikonduktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semikonduktor ZnO. Material ZnO merupakan semikonduktor golongan II-VI
yang memiliki jarak celah pita sebesar 3,4eV dan mempunyai struktur yang stabil
yakni wurtzite dengan jarak kisi a=0,325 nm dan c=01,521 dengan energi eksitasi
ikatan sebesar 60 meV.
Secara kristalografi, seng oksida memiliki tiga jenis struktur kristal, yaitu
wurtzite, zincite atau zincblende dan rocksalt. Seng oksida yang tersedia sebagai
mineral di alam memiliki struktur zincite. Struktur kristal ini berbentuk sphalerite
dengan adanya atom Zn di setiap sudut dan bagian tengah sisi dan atom O sebagai
interstisi di antara empat atom Zn yang berdekatan. Dilain hal, seng oksida yang
biasa diproduksi secara komersial merupakan hasil sintesis dan berstruktur
wurtzite. Struktur ini memiliki bentuk heksagonal dan stabil pada suhu ruang.
Keunggulan nanostruktur ZnO ini dapat dilihat dari segi aplikasinya yang
sangat luas. ZnO dapat digunakan dalam bidang elektronik, tidak hanya sebagai
semikonduktor, tetapi juga piezoelektrik, spintronik, sensor dan sel surya. Selain
dari segi aplikasinya, nanopartikel ZnO juga memiliki sifat yang mudah disintesis
baik secara konvensional sekalipun. Serbuk ZnO dapat disintesis dengan metode
reaksi pada kondisi solid (solid-state reaction) dan metode larutan-cair (liquid
solution). Reaksi pada kondisi padat dilakukan pada temperatur tinggi memiliki
keuntungan antara lain ZnO yang dihasilkan memiliki kemurnian dan kristalinitas
yang baik. Tetapi ZnO yang disintesis dengan metode reaksi pada kondisi padat
menghasilkan partikel dengan ukuran besar dan morfologi tidak teratur. Selain itu,
proses ini memerlukan proses sintering dan pelelehan. Oleh karena hal-hal
tersebut, diperlukan suatu teknologi yang mampu mensintesis nanopartikel ZnO
pada suhu yang renda. Metode yang tepat yang bisa digunakan untuk mengatasi
kekurangan pada kondisi padat adalah metode kimia basah, antara lain metode
sol-gel dan presipitasi. Metode presipitasi merupakan salah satu metode yang
digunakan karena semua produk hasil reaksinya menghasilkan nanopartikel dan
memiliki ukuran kristalit yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil sol-gel.
Metode presipitasi dilakukan dengan temperatur sintesis yang rendah, peralatan
yang digunakan sederhana, proses yang sederhana, dan kemudahan dalam
mengontrol setiap proses.
2.5 Spektroskopi UV-Vis
Spektrofotometer sinar tampak dan Ultraviolet ( UV-Vis) merupakan suatu
alat yang melibatkan spectra energi dan spektrofotometri. Prinsip dasar
spektroskopi UV-Vis adalah terjadinya transisi elektronik yang disebabkan
penyerapan sinar UV-Vis yang mampu mengeksitasi elektron dari orbital yang
kosong. Umumnya, transisi yang paling mungkin adalah transisi pada tingkat
tertinggi (HOMO) ke orbital molekul yang kosong pada tingkat terendah
(LUMO). Pada sebagian besar molekul, orbital molekul terisi pada tingkat energi
terendah adalah orbital , sedangkan orbital berada pada tingkat energi yang
lebih tinggi. Orbital non ikatan (n) yang mengandung elektronelektron yang
belum berpasangan berada pada tingkat energi yang lebih tinggi lagi, sedangkan
orbitalorbital anti ikatan yang kosong yaitu * dan * menempati tingkat energi
yang tertinggi.
Absorpsi cahaya UV-Vis mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi
elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital
keadaan dasar yang berenergi tinggi. Panjang gelombang cahaya UV-Vis
bergantung pada mudahnya promosi elektron. Senyawa yang menyerap cahaya
pada daerah tampak (yaitu senyawa yang berwarna) mempunyai elektron yang
lebih mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang
gelombang UV yang lebih pendek.
Terdapat dua jenis pergeseran pada spektra UV-Vis, yaitu pergeseran ke
panjang gelombang yang lebih besar disebut pergeseran merah (red shift), yaitu
menuju tingkat energi yang lebih rendah, dan pergeseran ke panjang gelombang
yang lebih pendek disebut pergeseran biru (blue shift), yaitu menuju ke tingkat
energi yang lebih tinggi.
Intensitas penyerapan dijelaskan dengan hukum lambert-beer. Hukum
Lambert menyatakan bahwa proporsi berkas cahaya datang yang diserap oleh
suatu bahan/medium tidak bergantung pada intensitas berkas cahaya yang datang.
Hukum Lambert ini tentunya hanya berlaku jika di dalam bahan/medium tersebut
tidak ada reaksi kimia ataupun proses fisis yang dapat dipicu atau diimbas oleh
berkas cahaya datang tersebut
A = b c
Keterangan:
A = Absorbansi
= absorptivitas molar (dalam L mol-1 cm-1)
c = konsentrasi molar (mol L-1)
b = panjang/ketebalan dari bahan/medium yang dilintasi oleh cahaya (cm).
Dengan menggunakan metode kurva kalibrasi, yaitu dengan membuat
grafik absorbansi versus konsentrasi dapat diperoleh suatu kurva linier. Melalui
pengukuran absorbansi suatu sampel dan menginterpolasikaanya ke kurva
kalibrasi, maka konsentrasi sampel dapat ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai