Anda di halaman 1dari 14

KONFLIK SOSIAL dan

POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER


(GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA):
Suatu Pendekatan Pustaka




Oleh
Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si
(Staf Pengajar dan anggota Cadre UKSW)














PROGRAM PROFESIONAL
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2002
ABSTRAK

Realitas kebangsaan bangsa Indonesia saat ini sangat menyedihkan. Bermula dengan
krisis ekonomi pada tahun 1997 dan selanjutnya ibarat bola salju krisis tersebut merambat
ke bidang sosial, politik, budaya, pendidikan, dan bahkan krisis kemanusiaan. Kondisi ini
dikenala dengan krisis multidimensi. Masyarakat yang dulunya dikenal sebagai
masyarakat yang ramah tamah kini berubah menjadi masyarakat yang sangat rentan
terhadap provokasi untuk melakukan tindakan destruktif. Kemampuan untuk
mengendalikan diri mengalami gangguan. Hal ini terpantul dengan jelas dengan
terjadinya konflik social di berbagai daerah. Konflik tersebut telah menelan korban yang
sangat besar, mulai dari bidang materi, sosial, dan psikologis. Hanya sayangnya,
penanganan terhadap dampak psiklogis kurang mendapat perhatian. Kurangnya perhatian
ini merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan terhadap dampak ini. Salah satu
dampak tersebut adalah munculnya gangguan stress pasca trauma/post-traumatic
stress disorder. Gangguan ini memiliki kriteria diagnostik yang khas, berbeda dengan
gangguan kecemasan yang lainnya. Kriteria tersebut adalah stresornya harus merupakan
peristiwa yang tidak biasa dialami oleh manusia, seperti pemerkosaan, peperangan,
penyiksaan anak, kekerasan domestik, dan sebagainya Kriteria lainnya adalah penderita
mengalami ingatan yang tidak dikehendaki/ingatan yang mengganggu, meningkatnya
tingkah laku yang menghindar, dan peningkatan kesadaran/kewaspadaan. Konflik sosial
yang terjadi di Indonesia dengan berbagai dimensi kekerasannya merupakan stressor
yang dapat mengakibatkan munculnya gangguan ini. Oleh karena itu pemahaman dan
pengetahuan terhadap gangguan ini meruapakn syarat utama bagi pihak-pihak yang
konsern terhadap upaya penyelesaian konflik sosial di Indonesia.

ABSTRACT

Nowadays, the reality of Indonesian nationality is very saddened. It was begun with
economics crisis in 1997, and then just like a snow ball, it spreader up go social field,
politics, culture, education, and even humanity. This kind of condition is known as
multidimensional crisis. Once Indonesian people were known very hospitable and
friendly but now they have turned into people who are very susceptible of provocation to
do destructive action. The ability to restrain they self has surely disrupted. It is reflected
clearly from the social conflicts that happen in assorted regions. As a result, this conflict
has caused heavy loses from material side, social side, and psychological side.
Unfortunately the handling of the psychological impacts gets less attention, which are
caused by the lack of knowledge toward these impacts.
One of these impacts is post-traumatic stress disorder. This disorder has several
significant diagnostic criteria, which are different with other anxiety disorders. The main
criteria are its stressor should be an experience that emerges unusually such as rape, war,
hostage, children abuse, domestic violence, etc. Other criteria are the sufferer has
intrusive and unwanted memories, avoidance behaviors, and arousal symptoms.
Social conflict that happens in Indonesia with its various violence dimension is a stressor
that creates this kind of disorder. Therefore the understanding and knowledge toward this
problem are needed as the main condition for those who concern about the settlement
effort of social conflict in Indonesia.
KONFLIK SOSIAL dan GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA:
Suatu Pendekatan Teoritis
1


I. Pendahuluan.


Konflik sosial yang disertai dengan tindak kekerasan seperti telah menjadi
mainan (Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam
bukunya Games People Play, 1967, terlihat bahwa konflik sosial yang terjadi itu
merupakan transaksi (ditunjukkan dengan saling tindak dan saling ucap antarkelompok),
bersifat repetitif (adanya pola yang serupa), bersifat rasional dangkal (dengan mudahnya
dikatakan bahwa penyebab dari semua itu adalah kesenjangan ekonomi dan sosial atau
adanya provokator), dan mengandung motivasi yang tersembunyi (ditunjukkan dengan
tidak terungkapnya dengan tuntas kasus-kasus ini) baru bagi bangsa Indonesia. Dimulai
dengan tumbangnya pemerintahan represif Soeharto, disusul dengan aksi penjarahan
pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan warga nonpribumi (Mei 1998) di J akarta,
pertikaian antarkelompok beragama yang disertai dengan pembakaran gedung gereja
(peristiwa ketapang-J akarta dan Ambon) dan pembakaran Masjid (Kupang) yang
menjalar ke Ambon (bulan J anuari 1999) dan Ujung Pandang (bulan April 1999),
perkelahian antarsuku yang disertai dengan tindak pembunuhan di Sambas dan Batam
pada tahun 1999 (Emil Salim, 2001)
Aksi massa yang dengan terang-terangan menggunakan tindak kekerasan telah
menjadi bukti yang otentik untuk menyatakan bahwa masyarakat mampu melakukan apa
saja yang diinginkan tanpa merasa takut lagi akan tindak represif Pemerintah dan Militer.
Gejala sosial ini menjadi menarik ketika masyarakat mengembangkan mekanisme
pertahanan ego (Ronald M. Doctor and Ada P. Kahn., 1989) yang seakan menjawab
pertanyaan mengapa melakukan tindakan seperti itu. Mekanisme itu antara lain, proyeksi
yang melihat bahwa segala keruwetan yang menimpa bangsa saat ini merupakan hasil
dari kesalahan yang dibuat oleh pemerintahan pimpinan Soeharto; rasionalisasi terhadap

1
Pernah dimuat dalam J urnal ANIMA (Indonesian Psychological Journal), Volume
18, Nomor 2, Januari 2003. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

setiap perbuatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dengan menyatakan bahwa
semua orang juga melakukan hal yang sama; regresi yang menunjukkan adanya
kemunduran kemampuan anggota masyarakat untuk mengendalikan diri.
Dengan berbagai alasan dan argumentasi segala tindakan tersebut telah merusak
hasil-hasil kebudayaan manusia sekaligus manusianya sendiri, seperti gedung
perkantoran, pusat perbelanjaan, rumah-rumah, serta sarana transportasi. Selain itu
hubungan sosial antarindividu maupun antarkelompok (agama, etnis, dan budaya)
menjadi renggang sekaligus rentan untuk diprovokasi. Primordialisme menjadi ancaman
yang sangat serius bagi terciptanya hubungan sosial yang baik.
Konflik sosial yang terjadi di negara kita ini telah merusak kehidupan masyarakat.
Masyarakat yang dahulunya hidup dalam ketenangan dan kedamaian berubah menjadi
masyarakat yang saling membenci, menyerang, dan bahkan saling membunuh. Makna
hidup bersama dalam masyarakat yang plural menjadi terabaikan oleh makna hidup yang
semata-mata didasarkan kepentingan golongan atau kelompok, seperti hanya berdasarkan
pada kepentingan politik dan agama. Kehidupan antarpribadi maupun kelompok diwarnai
oleh rasa curiga, takut, benci, dendam, cemas, dan juga keengganan untuk kembali hidup
bersama dalam situasi kepelbagaian. Di samping itu, konflik telah mengakibatkan
terjadinya arus pengungsian yang sangat besar.
Kehilangan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian/pekerjaan, dan bahkan
kehilangan orang-orang yang dicintai telah menimbulkan rasa tidak aman dan tidak
percaya, telah memaksa mereka untuk mengungsi. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh
lembaga Lintas SARA (Institute for Intercultural and Intergroup Movement) pada
tanggal 21 J uni 2000 di Yogyakarta, pengungsi dikategorikan ke dalam pengungsi tetap
dan tidak tetap. Pengungsi tetap adalah pengungsi yang telah kehilangan rumahnya
karena dibumihanguskan oleh massa penyerang. Sedangkan pengungsi tidak tetap adalah
pengungsi yang rumahnya tidak dirusakkan, tetapi mereka mengungsi karena mendapat
teror dan intimidasi dari berbagai isu yang berkembang.
Kondisi yang dialami oleh pengungsi sebagai dampak dari konflik sosial ini
memungkinkan untuk dialaminya suatu gangguan kejiwaan ( Rusdi Maslim), dan secara
khusus munculnya gangguan psikologis yang dikenal dengan istilah post-traumatic
stress disorder. ( Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan J iwa Di
Indonesia Edisi Ke-II tahun 1983 yang penyusunannya dilakukan oleh Direktorat
Kesehatan J iwa Direktorat J enderal Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia dan yang mengacu pada ICD (International Classification of
Diseases) revisi ke 9, tahun 1977, gangguan ini diterjemahkan menjadi gangguan stres
pascatrauma) Gangguan ini adalah gangguan psikologis yang berkembang atau muncul
dari terjadinya peristiwa-peristiwa traumatik. (American Psychiatric Association,1987;
Bart Smet,1994; J udith Herman,1997). Reaksi gangguan stress pasca trauma dimulai saat
individu mengalami tekanan-tekanan psikologis secara hebat dari sumber tekanan yang
berada di luar jangkauan pengalaman yang biasa dialaminya (adanya extreme stressor).
Adapun yang termasuk extreme stressor antara lain: kecelakaan serius atau bencana alam,
pemerkosaan atau tindak kriminal yang disertai dengan kekerasan, peperangan terbuka,
pelecehan seksual pada anak-anak, menyaksikan peristiwa traumatik, dan kematian yang
tiba-tiba dari orang-orang yang sangat dicintai. ( Foa EB, Davidson J RT, Frances A.
(eds), 1999). Dengan demikian konflik sosial di Indonesia dengan dimensi kekerasannya
telah mendapat tempat untuk disebutkan sebagai stresor yang dapat mengakibatkan
munculnya gangguan gangguan stress pasca trauma.
Dampak yang dapat ditimbulkan pada penderita gangguan stress pasca trauma
antara lain mudah merasa tersinggung, kehilangan kemampuan berkonsentrasi,
kehilangan minat untuk berinteraksi dengan lingkungan, memiliki perasaan terasing dari
orang lain, dan mengalami mimpi buruk.
Melihat dampak psikologis yang dapat ditimbulkan oleh konflik sosial,
menjadikan tema ini menarik untuk dibahas. Dampak psikologis konflik sosial di
Indonesia, baik pemahamannya maupun upaya penanganannya, belum mendapat
perhatian maksimal dari pemerintah maupun anggota masyarakat. Perhatian pemerintah
dan anggota masyarakat lebih terpusat pada penanganan bidang sosial dan materi.
Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dengan mengalirnya bantuan bagi pembangunan
kembali tempat tinggal dan dilakukannya upaya perdamaian antara pihak yang bertikai
serta pemulihan situasi keamanan. Sangat disayangkan bahwa upaya penyelesaian ini
belum menyeluruh, karena dampak psikologisnya diabaikan.


II. Sejarah Perkembangan Studi dan SimptomologiGangguan Stres Pasca Trauma

Pada akhir abad 19 muncul sebuah diagnosa (Kartini Kartono (penerjemah), 2000; Leslie
Stevenson & David L. Haberman, 2001) psikiatri yang saat itu dikenal dengan sebutan
histeria. Histeria dipahami sebagai suatu penyakit yang asing, berhubungan dengan
kaum perempuan dan bersumber dalam uterus ( J udith Herman, hal. 10; Leslie Stevenson
& David L. Haberman, hal. 228; Anne M. Dietrich, 2001) Histeria merupakan suatu
reaksi terhadap tekanan hidup yang ditandai dengan respon somnambulistic crises
(hasutan dan tidak terkontrolnya keinginan yang kuat untuk melakukan tindak kekerasan
bagi diri sendiri atau orang lain), abulia (keluhan psikosomatik dan tingkah laku yang
pasif), dan masalah disosiasi ( Bessel A. van der Kolk, David Pelcovitz, Susan Roth,
Francine S. Mandel, Alexander McFarlane, J udith L. Herman, 1995). Konsep ini
merupakan penemuan yang dilakukan oleh seorang neurolog Prancis, Jean Martin
Charcot pada tahun 1880. Charcot menamakan gangguan ini dengan istilah The Great
Neurosis (Herman, hal 11). Dengan metode hipnotis, Charcot berhasil menampilkan
keadaan lumpuh yang dialami oleh pasien histeris. Penelitian yang dilakukan di rumah
sakit terkenal di Paris yang bernama La Salpetriere membuktikan bahwa kelumpuhan
histeris berkaitan dengan faktor-faktor emosional dan pikiran-pikiran yang ada dalam
benak pasien dan tidak berasal dari gangguan fisik ( Bartens K,1987).
Penemuan Charcot tersebut telah merangsang penelitian-penelitian mengenai
histeria. Pada pertengahan tahun 1890, Pierre J anet di Prancis dan Sigmund Freud beserta
J oseph Breuer di Vienna secara bersama-sama menemukan bahwa histeria merupakan
kondisi yang disebabkan oleh trauma psikologis. Reaksi emosi yang tidak ditampakkan
terhadap suatu peristiwa trauma menghasilkan suatu perubahan terhadap kondisi
kesadaran. J anet menamakan perubahan ini sebagai disosiasi. Sedangkan Freud dan
Breuer menamakannya kesadaran ganda ( Herman, hal 11; Bartens, hal. Xvii). Respon
yang ditampilkan oleh penderita histeria sebagaimana yang dikemukakan oleh Charcot,
menurut J anet merupakan respon dari tingkah laku dan emosi terhadap suatu peristiwa
masa lalu yang menakutkan.
Peristiwa traumatik membuat pasien histeria menderita, tidak saja karena ingatan-
ingatan terhadap peristiwa tersebut, tetapi karena secara emosional masih terikat dengan
peristiwa tersebut. Mereka tidak mampu melepaskan diri dari masa lalu dan mengabaikan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat ini. Pasien histeria mengalami fiksasi( Bartens,
hal 54) yang merupakan salah satu ciri terpenting dalam neurosa (Bartens, hal. 11).
Dengan kata lain, pasien histeria dikuasai oleh pengalaman masa lalu yang disertai
dengan kecemasan (Calvin S. Hall,2000).
Penelitian tentang trauma psikologis yang diakibatkan oleh perang baru
mendapat tempat pada saat terjadi Perang Dunia I. Individu yang berada dalam medan
peperangan dibuat merasa dan dibatasi oleh rasa tak berdaya, senantiasa menjadi sasaran
ancaman penghancuran, dan didorong untuk menyaksikan penghancuran dan kematian,
tanpa ada harapan untuk mendapat keringanan atau penangguhan hukuman. Banyak
tentara mengalami gejala-gejala psikologis yang menyerupai gejala yang dimiliki oleh
pasien histeria. Mereka bisa berteriak dan menangis tersedu-sedu tanpa kontrol. Mereka
menjadi bisu dan tidak memberikan respon. Mereka kehilangan ingatan dan
kemampuannya untuk merasa-secara emosional. Oleh psikolog asal Inggris, Charles
Myers, kondisi psikologis yang dialami oleh tentara akibat perang tersebut disebut shell
shock ( Herman, hal. 20; J im Goodwin, 1987; Rachel Yehuda and Alexander C.
McFarlane, 1995).
Pada periode tahun 1970-an, banyak orang yang mengalami pengalaman
traumatis yang penyebabnya lebih bervariasi (tidak saja disebabkan oleh perang), seperti
kecelakaan pesawat terbang, bencana alam, kebakaran, aksi teroris, dan peristiwa lainnya.
Gejala-gejala psikologis yang dialami oleh individu yang terlibat langsung ataupun
menyaksikan peristiwa traumatik itu sama dengan gejala yang dialami oleh veteran
perang (J im Goodwin, 1987)
Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya karakteristik gejala trauma psikologi
menjadi sebuah diagnosa yang jelas. Pada tahun tersebut oleh Asosiasi Psikiatri Amerika,
gejala-gejala yang muncul akibat pengalaman traumatis dikategorikan sebagai gangguan
mental yang disebut post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma).
(Herman, hal. 27-28)

B. Simptomologi gangguan stress pasca trauma
Pengalaman traumatis dikonsepkan oleh DSM-III (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder) sebagai suatu bencana yang besar, yang berada di luar
jangkauan pengalaman manusia yang biasa dihadapi. Sebagai contoh, peristiwa yang
dimaksud antara lain, pemerkosaan, penyiksaan, bencana alam dan sebagainya. Hal
tersebut di atas berbeda dengan pengalaman/peristiwa seperti perceraian, penolakan,
penyakit yang serius, atau masalah keuangan, yang oleh DSM-III dikategorikan sebagai
gangguan penyesuaian (Adjustment Disorder). Asumsi yang menjadi dasar untuk
pembedaan kedua gangguan ini adalah meskipun banyak orang yang memiliki
kemampuan untuk mengatasi stres, namun ketika berhadapan dengan suatu peristiwa
traumatis, maka besar kemungkinan kapasitas adaptif mereka akan terganggu. (
Friedman, National Center of PTSD)
Pada tahun 1987 diterbitkan DSM-III edisi revisi (DSM-III-R), gangguan stress
pasca trauma memiliki kategori sebagai berikut (American Psychiatry Association,1987):
1. Mengalami kembali peristiwa traumatik.
2. Penghindaran terhadap stimulus yang dapat dihubungkan dengan peristiwa traumatik
atau timbulnya respon yang hampa (matirasa) terhadap aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum.
3. Adanya peningkatan kesadaran, seperti kewaspadaan serta kecurigaan yang
berlebihan.
Sedangkan kategori peristiwa traumatik sebagai stresor, DSM-III-R
membaginya dalam 4 bagian, yaitu ( Patience H.C. Mason,1995):
1. Ancaman kematian atau kehilangan integritas fisik (seperti pada peperangan,
pemerkosaan, insest, gempa bumi, dan lain-lain).
2. Kematian, ancaman kematian atau kehilangan integritas fisik pada keluarga atau
teman dekat.
3. Kehilangan rumah atau komunitas secara tiba-tiba.
4. Melihat orang lain terbunuh atau terluka parah.
Tahun 1994, Asosiasi Psikiater Amerika mengeluarkan DSM-IV yang di
dalamnya diagnosa mengalami perluasan, yaitu ( Harold I. Kaplan, Benjamin J . Saddock,
J ack A. Grebb, hal. 55):
A. Individu telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana kedua dari berikut
terdapat:
Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang
berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang
serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri maupun orang lain
Respon orang tersebut berupa rasa yakut tang hebat, rasa tidak berdaya, atau
mengerikan (horor). Pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku
yang kacau atau teragitasi.
B. Kejadian traumatis secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara
berikut:
1. Pengingatan yang berulang-ulang dan mengganggu tentang kejadian, termasuk
bayangan, pikiran, atau persepsi. Pada anak kecil dapat menunjukkan permainan
yang berulang-ulang dengan tema atau aspek trauma
2. Mimpi menakutkan yang berulang-ulang tentang kejadian. Pada anak-anak
mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali
3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali
(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan kilas
balik, disosiasi, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi.
Pada anak kecil dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma
4. Penderitaan/tekanan psikologis yang hebat saat berhadapan dengan tanda-tanda,
baik secara internal atau eksternal yang menyerupai peristiwa traumatik
5. Munculnya reaksi fisik saat berhadapan dengan tanda-tanda, baik secara internal
atau eksternal yang menyerupai peristiwa traumatik (Kaplan, hal. 52)
C. Penghindaran yang tetap terhadap stimulus yang berhubungan dengan trauma dan
matirasa/kaku (tidak muncul sebelum trauma), yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih)
hal sebagai berikut:
1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan
dengan trauma
2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang dapat
mengingatkannya dengan trauma
3. Tidak mampu untuk mengingat aspek yang penting dari trauma
4. Hilangnya minat atau peran serta dalam aktivitas yang bermakna
5. Perasaan terasing atau lepas dari orang lain
6. Rentang afek yang terbatas (misalnya: tidak mampu untuk memiliki rasa cinta)
7. Perasaan bahwa masa depan adalah pendek (misalnya: tidak berharap memiliki
karir, menikah, dan anak-anak).
D. Adanya gejala peningkatan kesadaran yang tetap (tidak ditemukan sebelum trauma),
seperti yang ditunjukkan oleh dua hal (atau lebih) berikut:
1. Kesulitan untuk tertidur/tetap tertidur
2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3. Sulit berkonsentrasi
4. Kewaspadaan yang berlebihan
5. Respon terkejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dan kriteria B, C, dan D) adalah lebih dari 1 (satu) bulan.
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
J ika pemunculan gejala kurang dari 3 bulan setelah mengalami stresor, maka akan
digolongkan sebagai penderita gangguan stress pasca trauma akut, dan akan digolongkan
sebagai penderita gangguan stress pasca trauma kronis ketika pemunculan gejala lebih
dari 3 (tiga) bulan. Sedangkan, jika gejala muncul sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan
setelah stresor akan digolongkan sebagai penderita gangguan stres pasca traumadengan
onset lambat.
Dalam DSM-III, DSM-III-R, dan DSM-IV terdapat beberapa perbedaan yang
cukup signifikan. Perbedaan itu yaitu kriteria stresor, khususnya ketika orang mengalami,
menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian
atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada
integritas fisik diri sendiri maupun orang lain (kriteria A1) bukan lagi sesuatu yang
berada di luar jangkauan normal pengalaman manusia tetapi sebagai aspek yang tidak
biasa bagi kondisi manusia. Kemudian terdapat penambahan kriteria stresor yang
menyatakan bahwa pasien juga mengalami reaksi emosi yang hebat terhadap peristiwa
traumatik (A2). Dalam DSM-III dan DSM-III-R kriteria A hanya dibahas untuk A1 dan
tidak untuk A2. Pada kriteria B, C, dan D gejala-gejala tetap sama dengan pengecualian
bahwa D6 di DSM-III-R telah diubah menjadi B5 (munculnya reaksi fisik saat
berhadapan dengan tanda-tanda, baik secara internal atau eksternal yang menyerupai
peristiwa traumatik) dalam DSM-IV.
DSM-IV menyebutkan bahwa gejala yang ada dalam gangguan stress pasca
trauma harus berlangsung lebih sari 1 (satu) bulan. Bagi pasien yang mengalami gejala
kurang dari 1 (satu) bulan, maka diagnosanya adalah gangguan stres akut (Kaplan, hal.
56). DSM-IV juga memungkinkan klinisi untuk dapat menentukan apakah gejala yang
dialami oleh pasien adalah akut, krosnis, atau onset lambat. Dalam hal ini faktor yang
dapat mempercepat munculnya gejala gangguan stress pasca trauma adalah adanya
stimulus yang mirip dengan peristiwa traumatik yang dialaminya atau dialaminya
peristiwa traumatik lainnya.
Upaya pemulihan terhadap penderita posttraumatic stress disorder biasanya
mengalami kesulitan. Kendala yang biasa dialami dan yang perlu mendapat perhatian
adalah:
1. Individu yang mengalami peristiwa traumatik biasanya mencoba untuk
mengatasi sendiri atau mencoba untuk melupakan.
2. Adanya perasaan bersalah pada diri sendiri mengenai peristiwa traumatik yang
dialaminya. Peristiwa tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan atau
memalukan untuk dibicarakan dengan orang lain.
3. Keengganan untuk kembali mengingat sesuatu yang menyakitkan. Dengan
kata lain penderita PTSD mengembangkan perilaku menghindar.
4. Perasaan terisolasi dan kesepian membuat penderita PTSD enggan untuk
mencari pertolongan atau bantuan.
5. Kurang informasi mengenai lembaga-lembaga atau perorangan yang
memberikan layanan kepada penderita gangguan ini.
6. Kurangnya perhatian yang diberikan oleh masyarakat dalam menyediakan
layanan untuk membantu penderita gangguan ini.
7. Belum terciptanya situasi keamanan yang kondusif.

III. Penutup
Mencermati konflik sosial di Indonesia yang belum tuntas penyelesaiannya dan
aksi-aksi kekerasan di berbagai bidang, serta implikasi dialaminya gangguan ini maka
upaya untuk mensosialisasikan pemahaman mengenai gangguan ini menjadi sangat
penting. Adalah merupakan tantangan bagi kita semua yang mempunyai konsern
terhadap situasi kemanusiaan bangsa ini untuk juga memberikan perhatian kepada
pendekatan psikologis. Semua upaya perdamaian dan rekonsialiasi akan menjadi sia-sia
ketika pemahaman terhadap kondisi psikologis masyarakat yang terkena atau mengalami
konflik social tidak mendapat perhatian.



Salatiga, November 2002
Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si
Pustaka


American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder, Third Revised-Edition, Washington DC: 1987

Berne, Eric., Games People Play, New York: Grove Press,1967

Caplin,C.P, Kamus Lengkap Psikologi, Dr. Kartini Kartono (penerjemah), Rajagrafindo
Persada:J akarta,2000

Doctor,Ronald M. and Kahn, Ada P., The Ensyclopedia of Phobias, Fears, and Anxieties,
New York-Oxford:Facts On File,1989

Dietrich,Anne M, As the Pendulum Swings: The Etiology of PTSD, Complex PTSD, and
Revictimization, TRAUMATOLOGYe, Volume 6 (1): 2001 dalam
http://www.fsu.edu

Foa EB, Davidson J RT, Frances A. (Eds), The Expert Consensus Guideline Series:
Treatment of Posttraumatic Stress Disorder, The Journal of Clinical
Psychiatry, Vol. 60 Supplement 16:1999

Friedman, Matthew J ., PTSD Dignosis and Treatment for Mental Health Clinicians,
National Center of PTSD:USA dalam http://www.ncptsd.org

Goodwin, J im., The Etiology of Combat-Related Post-Traumatic Stress Disorder,
Ohio:1987 dalam http://www.fsu.edu

Goble, Frank G, Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, A. Supratiknya
(penerjemah) Yogyakarta: Kanisius,1994

Herman, J udith, Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence-from Domestic Abuse
to Political Terror, New York:Basic Books,1997

Hall, Calvin S, Libido Kekuasaan Sigmund Freud, S. Tasrif (penerjemah),
Yogyakarta:Tarawang,2000

Kaplan, Harold I., Benjamin J . Saddock, J ack A. Grebb., Sinopsis Psikiatri:Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,jilid II,edisi ke 7,Widjaja Kusuma
(penerjemah),J akarta:Binarupa Aksara,1997
.
K. Bartens, (Penterjemah dan Pendahuluan), Sigmund Freud: Memperkenalkan
Psikoanalisa,J akarta:Gramedia,1987

Maslim, Rusdi (editor) Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III

Mason, Patience H.C., PTSD:What it is and How to Recover, The Post-Traumatic
Gazette:Florida,1995 dalam http://www.patiencepress.com

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia Edisi Ke-II tahun
1983 yang penyusunannya dilakukan oleh Direktorat Kesehatan J iwa
Direktorat J enderal Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia

Salim, Emil., Membangun Integrasi Bangsa (bag. I), Kompas, Kamis 2 September 1999


van der Kolk, Bessel A., Pelcovitz, David, et.al., Dissociation, Affect Dysregulation and
Somatization: The Complex Nature of Adaptation to Trauma ,1995 dalam
http://www.fsu.edu

Anda mungkin juga menyukai