Anda di halaman 1dari 7

Diri, Kelas, atawa Melebur?

David Setiadi

Abstrak
Karya sastra dapat menjadi sebuah dokumen sosiokultural ketika karya sastra tersebut baik secara
tersurat maupun tersirat mengambarkan sebuah gambaran suatu peristiwa. Berdasarkan asumsi
tersebut analisis dalam tulisan ini menitikberatkan pada kaitan antara individualism, kelas, dan
fenomena sosial yang terekam dalam sebuah karya sastra. Sebagai sebuah studi kontestasi,
Pendekatan yang digunakan dalam analisis ini yaitu menggunakan kritik sastra Marxis.
Keyword: Kelas, petit bourgouise, Balai Pustaka, Alienasi

Pendahuluan
Madame Loisel came to know the ghastly life of abject poverty... (Maupassant, hlm.6).
(Sejak itu, Madam Loisel tahu betapa mengerikannya hidup sebagai orang miskin)

Kemiskinan selalu menjadi momok yang menakutkan. Setidaknya bagi tokoh Mathilde (
Madame Loisel), yang merupakan prototipe dari masyarakat kelas menengah (petit bourguise).
Maupassant menampilkan sisi realis dari kehidupan dijamannya secara nyata, dan mengukuhkan
bahwa sastra dapat menjadi cermin dari kondisi sosio-budaya ketika karya tersebut diciptakan.
Walaupun ada ambigu ketika menafsirkan wacana sosio budaya tersebut, karena ada karya yang
memperjuangkan kelas dan ada pula karya yangseolahmengukuhkan kelaspengarangnya.
Dalam teori sosiologi sastra dikemukakan bahwa seorang pengarang merupakan bagian dari
masyarakatnya. Bagian dari komunitas yang serta merta mengakibatkan bahwa sastra selalu
menunjukkan keterlibatannya dalam wacana yang berkaitan dengan masyarakat. Untuk lebih lanjut
dapat saya sebutkan bahwa sastra selalu memihak pada kepentingan setiap pengkaryanya, dan
tentunya tidak lepas dari persoalan diri (si aku), kepentingan kelas, atau keduanya melebur dalam
dunia gagasan sastrawi.
Nietzsche dalam karyanya yang begitu fenomenal Also Sprach Zarathustra pada intinya
menawarkan konsep tentang bermensch (overman) yang kelak konsep tersebut digunakan oleh
Hitler untuk kepentingan Nazi dalam mengedepankan ras bangsanya. Konsep tersebut tentunya
berpusat pada peran kehendak, yang salah satu konsep yang dikembangkan oleh Nietzsche yaitu
kehendak untuk berkuasa. Manusia menurut Nietzsche merupakan mahluk yang ditandai
kekurangan, dan kekurangan tersebut menyangkut kepada konsep diri tentang struktur tubuh yang
ada sebagai pembeda.
Kemiskinan yang melekat pada diri seorang manusiadalam konteks ini melekat pada
Mathilde selalu menjadi media pertentangan kelas. Dalam konsep tentang kelas ini, Marx
mempertentangkan kelas dari dua sudut pandang, kelas pemilik modal dengan kelas ploletar. Dalam
hal ini konsep tentang diri sudah diganti dengan konsep komuni yang tentunya sudah berbicara
tentang masyarakat secara kolektif.
Tujuan dari Marxisme adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas yang berlandaskan pada
kepemilikan umum terhadap alat produksi, distribusi dan pertukaran. Pokok pikiran dari Marxisme
adalah bahwa sejarah sosial manusia tak lain adalah sejarah perjuangan kelas. Pandangan terhadap
sejarah sebagai perjuangan kelas ini melihat sejarah sebagai kekuatan yang dimotori oleh persaingan
ekonomi, keuntungan sosial, dan politik. Eksploitasi kelas sosial yang satu oleh yang lain terutama
dipandang sebagai bentuk kapitalisme industri modern. Hasil eksploitasi ini adalah alienasi, yaitu
kondisi yang terjadi ketika pekerja dihilangkan kemampuannya (deskilled) dan dipaksa melaksanakan
tugas yang terfragmen dan berulang dalam sebuah pengaturan yang sifat dasar dan tujuannya tidak
dapat mereka capai.
Teori Marxis membagi masyarakat ke dalam dua struktur , basestructure dan
superstructure. Basestructure meliputi alat produksi, distribusi, dan pertukaran yang bersifat
material. Superstructure, yaitu dunia kultural gagasan, seni, agama, hukum. Pandangan Marxisme
yang paling penting adalah bahwa superstructure tidaklah polos melainkan ditentukan (dibentuk)
oleh sifat dasar landasan ekonomi. Paham mengenai budaya ini yang dikenal dengan istilah
determinisme ekonomi, merupakan bagian sentral dari tradisi pemikiran Marxisme.
Berdasarkan pada konsep diri dan kelas di atas, Maupassant dalam karyanya coba
menampilkan diri dalam dikotomi antara pilihan kelas. Yang menarik adalah ketika dalam konteks
rentang waktu yang lama muncul Salah Asuhan karya Abdul Moeis sebagaiboleh dikatakankarya
yang membicarakan konsep diri dan kelas tersebut. Sebagai studi kontestasi, menurut hemat saya
menarik untuk dibicarakan.
Suatu Ketika di Prancis
Madame Loisel looked old now. She had become like all the other strong, hard, coarse
women of poor households. Her hair was badly done, her skirts were awry, her hands were
red. She spoke in a shrill voice, and the water slopped all over the floor when she scrubbed it.
But sometimes, when her husband was at the office, she sat down by the window and
thought of that evening long ago, of the ball at which she had been so beautiful and so much
admired... (hlm.6)
Suatu ketika ada tubuh yang jadi mendua dalam satu bahasan tentang tubuh dan menubuh.
Salah satu bagian itu kelak menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan tubuh yang lainnya karena
itu telah menjadi satu, baru kemudian kita mengenal ada perbedaan yang kita sebut lelaki dan
perempuan. Tubuh dalam diri yang melekat pada apa yang menjadi konsep tubuh dalam sebuah
wacana.

Kutipan cerpen The Necklace (La Parure) karya Maupassant di atas menampilkan sosok
tubuh perempuan dalam diri Mathilde. Secara fisiologis, Mathilde digambarkan sebagai sosok
perempuan paruh baya yang hidup dalam kelas masyarakat menengah. Selayaknya perempuan biasa
(orang kebanyakan) yang ada dalam pusaran perbedaan kasta yang menganga, tentunya ada angan
dan harapan yang selalu ia inginkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, kenyataan tak
berpihak pada dirinya. Ia baru sadar betapa mengerikan hidup sebagai orang miskin setelah kejadian
hilangnya kalung yang dipinjam olehnya.
Ditengah ketidakberdayaannya dalam membuai hidupnya, sosok suami yang hadir dalam
cerita tidak bisa pula memberikan apa yang menjadi ingin dalam hidupnya. Kecantikan rupa,
kemewahan harta, dan kebutuhan dari hidup yang membelenggu menjadi suatu ingin yang
diinginkan oleh Mathilde. Semua itu merupakan sebuah asa yang ingin diraih oleh Mathilde
(perempuan). Tentunya kecantikan rupa dan kemolekan tubuh seorang perempuan pada intinya
tetap tergantung pada posisi kelas dimana ia berada.
Dalam kasus Mathilde jelas sekali tampak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan akan
komoditi tersebut. Mathilde memaksakan diri untuk dapat cantik, elegant, rupawan, dan lainnya
demi memimpikan citraan akan diri yang sempurna (ber) walaupun semua itu kiasan belaka.
Penggunaan tubuh sebagai komoditi dalam kasus Mathilde merupakan sebuah relasi ideologi yang
menggunakan tubuh dan citra untuk menandakan sebuah relasi sosial khususnya relasi gender yang
tentunya dikonstruksi berdasarkan sistem ideologi kapitalisme dan patriarki. Oleh karena itu, dalam
tradisi Marxis semua kelas dihapus menjadi kelas yang (meN-) satu dalam masyarakat komunis.
Tubuh dalam tradisi kapitalisme (yang patriarki) menjadi sebuah komoditi yang ditempatkan
dalam konteks dan relasi sosial-ekonomi. Sebagai entitas fisik, tubuh dieksplorasi nilai tukarnya
berdasarkan segala potensi ekonomi yang ada pada tubuh tersebut secara fisik seperti kemudaan,
kecantikan, dan sensualitas.
Bahasan tentang tubuh tentu meyeruak dengan berbagai macam problematika yang hadir
menyertainya. Konon dalam berbagai macam tradisi yang patriarkal sosok tubuh dijadikan oposisi
biner antara tubuh lelaki dengan tubuh perempuan di sudut yang lainnya. Teori ini bersumber pada
tradisi sturkturalis yang mengembangkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural
sekaligus universal. Kelompok strukturalis berpendapat bahwa subordinasi ini berdasarkan
pembagian kerja. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara
perempuan dengan alam (nature) dan lelaki dengan budaya (culture). Semakin jelas disadari bahwa
persepsi tentang tubuh lebih banyak merupakan bentukan sosiokultural.
Kemiskinan yang merupakan bagian dari pertentangan kelas dapat terlihat dari tubuhyang
menandakanyang melekat pada diri seseorang. Maupassant menggambarkan tokoh Mathilde
dengan jelas sebagai prototipe dari kemiskinan yang melekat pada diri tersebut. Mathilde seorang
perempuan pekerja yang miskin, kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut kusut, rok awut-awutan,
dan tangan yang memerah merupakan gambaran yang jelas mengenai ketimpangan kelas yang ada
dalam penanda diri.
Henry-Ren-Albert-Guy de Maupassant (1850-1893) sebagai seorang pengarang perancis
abad ke-19 sadar betul akan perannya dalam masyarakatnya. Sebagai pengarang tentunya ia paham
bahwa tugas sastra dan sastrawan bukan hanya memotret kenyataan yang ada, lebih lanjutnya harus
mempunyai keberanian mengevaluasi dan merevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan.
Maupassant menampilkan cerpen The Necklace (La Parure) ini sebagai bagian dari fungsi didaktif,
sebagai pengukuhan dari kelas yang menghegemoni kelas yang lainnya. Sebagai seorang penulis
dengan tradisi Borjuis yang melekat erat, tentunya Maupassant dengan sadar mewakili kelasnya
dalam menilai kelas lain yang ada. Tentunya dalam konteks Marxis, pertentangan tersebut
melahirkan sebuah kelas Borjuis dan Ploletar.
Yang Lain di Hindia
Maka ditunjukkanya surat kabar pendek, lalu segera dibaca oleh Corrie, demikian bunyinya:
Dengan besluit Pemerintah telah diakui sama hak Hanafi, Commies pada Departemen B.B.
dengan hak bangsa Eropa, dengan memakai nama Christiaan Han... Corrie! Kuketahui
benar, bahwa yang menjadi rintangan antara kita berdua ialah perbedaan bangsa!
Lupakanlah bahwa aku bangsa Melayu... Dengan kekuatan Wet aku sudah sebangsa dengan
engkau...(Moeis, hlm. 135-136).
Hanafi merupakan orang pribumi (inlander), derajat serendah-rendahnya manusia di tanah jajahan
Belanda di Hindia. Pendidikan dan Cinta membuat Hanafi terlena dengan kehidupan barunya sebagai
seorang intelektual muda yang telah mendapat didikan Eropa. Soal cintanya kepada Corriegadis
totokterbentur pada kasta dan aturan hukum yang berlaku. Exhorbitant Rechten hanya berlaku
bagi golongan bangsawan pribumi, yang kadar kebangsawanannya sudah melekat turun menurun.
Kelas sosial tersebut bisa diatasi oleh Hanafi ketika ia mendapat pengakuansecara
yuridissetara dimata hukum dengan orang Eropa. Hal inilah yang membuat kelas yang tadinya
merupakan celah penghalang diantara Hanafi (Pribumi) dengan Corrie (Totok) membuatnya setara
dalam sebuah bentuk pengakuan.
Kelas adalah hubungan antara dua kelompok masyarakat, diperlihatkan oleh suatu perilaku
yang menunjukkan kesatuan sosialnya, yang merujuk kepada perbedaan praktik kelas dan kesadaran
kelas. Namun kelas, tindakan kelas, dan kesadaran kelas, hanyalah perbedaan wajah dari suatu
keterhubungan sosial yang dapat dianggap tunggal, tetapi memang sekaligus kompleks.
Abdoel Moeisdengan sadar kelasmenciptakan ruang pembatas yang jelas berkaitan
dengan perbedaan kelas antara pribumi dalam diri Hanafi dengan kelas golongan Eropa dalam diri
Corrie. Walaupun Hanafi diceritakan sebagai seorang pangreh praja yang bekerja di Binenland
Bestuur, yang tentunya memiliki kelas yang berbeda dari pribumi kebanyakan. Namun, tetap saja
ketika harus bersentuhan dengan golongan yang ada di atasnya persentuhan tersebut membuat
Hanafi ter-alienasi.
Alienasi yang terjadi pada Hanafipribumi kebanyakanterjadi sebagai hegemoni dari
pihak yang kolonial untu menguasai rakyat di daerah koloninya. Hanafi dihilangkan kemampuannya
(deskilled) dan dipaksa melaksanakan tugas yang terfragmen dan berulang dalam sebuah
pengaturan yang sifat dasar dan tujuannya tidak dapat mereka capai. Abdoel Moeis sebagai bagian
dari Balai Pustaka yang notabene merupakan penerbitan di bawah lingkungan pemerintah kolonial
Belanda, tentunya sadar dengan muatan didaktis yang harus ada pada setiap buku yang diterbitkan
melalui Balai Pustaka. Kepentingan kolonial harus secara tersurat maupun tersirat ada dalam setiap
karya yang tercipta.
Balai Pustaka merupakan perusahaan penerbitan yang didirikan oleh pemerintah Belanda,
yang bertujuan untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah. Namun, tujuan utama didirikannya
adalah untuk meredakan dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia. 14 September
1908 berdiri Comimissie voor de Volk Lectuur (komisi bacaan untuk rakyat) sebagai bagian dari politik
etis dalam rangka politik balas budi pihak Belanda terhadap tanah Hindia. Salah Asuhan karya
Abdoel Moeis ini merupakan bagian dari tradisi Balai Pustaka tersebut.
Diri, Kelas, Atawa Melebur?
Setelah mengalami hidup sebagai orang miskin, Mathilde mulai menyadari perbedaan kelas
yang ada dalam kehidupan. Antara si miskin dan kaya (Borjuis) sangat terasa jurang perbedaan yang
terlalu dalam. Mathilde yang tubuhnya menjadi keras, rambut yang acak-acakkan, dan tentunya
dengan penampilan diri yang merepresentasikan kelasnya sebagai orang miskin, terus mengenang
kehidupannya dulu sebelum peristiwa hilangnya kalung yang ia pinjam tersebut.
Kecantikan ragawi yang dipoles dengan berbagai kemanjaan yang dapat dibeli, membuat
Mathilde dapat menyejajarkan dirinya dengan kelas atas yang menjadi impiannya. Tipuan ragawi
tersebut seolah menjadi berputar terbalik ketika ia jatuh miskin, tubuh yang biasa termanjakan
menjadi tumpukan tubuh keras sebagai ekses dari kerja yang harus ia lakukan. Pekerjaan kasar (hina)
ia lakukan dengan tujuan mendapatkan uang agar ia bisa mengganti kalung yang hilang.
...This fearful debt must be paid off. She would pay it. The servant was dismissed. They
changed their flat; they took a garret under the roof.
She came to know the heavy work of the house, the hateful duties of the kitchen. She
washed the plates, wearing out her pink nails on the coarse pottery and the bottoms of pans.
She washed the dirty linen, the shirts and dish-cloths, and hung them out to dry on a string;
every morning she took the dustbin down into the street and carried up the water, stopping
on each landing to get her breath. And, clad like a poor woman, she went to the fruiterer, to
the grocer, to the butcher, a basket on her arm, haggling, insulted, fighting for every
wretched halfpenny of her money.
Tubuh molek dan tubuh kerasdengan gambaran yang menyertainyaseolah menjadi
opsisi diantara keduanya. Gambaran fisik tersebut menyertai setiap gambaran kelas yang ingin
ditampilkan oleh Maupassant dalam Cerpen ini. Sebagai seorang pengarang yang besar dalam tradisi
sastra yang kuat, disertai dengan didikan langsung yang ia terima dari GustaveFlaubert,
membuatnya semakin matang dalam dunia kepenulisan. Tradisi realisme yang kuat di Prancis pada
abad 19 berpengaruh pada setiap karya yang tercipta darinya. Cerpen Maupassant bersifat
realis,objektif, alamiah, dengan gaya tutur yang sangat tertata rapi, yang terkadang mengandung
ironi. Kisah dalam cerita yang ia tulis selalu dibangun dari kehidupan sehari-hari dengan berbagai
macam perbedaan macam kelas yang ada, tentunya seperti yang terdapat dalam cerpen The
Necklace.

Jika Maupassant menggambarkan tentang tubuh (diri) yang menandakan kelas seseorang,
lain halnya dengan Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan. Pemerintah kolonial Belanda menerapkan
stratifikasi sosial terhadap rakyat jajahannya, yang meliputi golongan Eropa, Timur Asing, dan
inlander (pribumi). Stratifikasi tersebut menciptakan kelas yang terdiri dari kelas yang berkuasa dan
kelas yang dikuasai. Tentunya berbicara kolonialisme akan pula berbicara tentang oposisi biner yang
terjadi.
Hanafidiri yang melekatmerupakan prototipe dari seorang pribumi yang merupakan
kelas yang dikuasai. Sedangkan Corrie merupakan simbol dari kekuasaan tersebut, dengan segala
atributsosialyang melekat pada dirinya. Status sosial yang melekat pada Hanafi sebagai seorang
priyayi, tidak dengan serta merta ia dapat meluluhkan kekuasaan yang ada. Terbukti dengan
terhalangnya rasa cinta yang ada kepada Corrie, karena perbedaan kelas antara keduanya. Secara
moral dan etika tidak ada yang salah, namun secara hukum kolonial menjadi salah karena tidak akan
sah sebuah perkawinan dari kelas berbeda.
...Sesayang-sayangnya kepadaku pada mulanya, setelah mendengar bahwa aku bertunangan
dengan seorang Melayu yang masuk Belanda, maka perindahannya kepadaku berubah
(Moeis, hlm.142).

Secara tersirat Abdoel Moeistentunya dengan kuasa Balai Pustakamemberikan pesan
kepada masyarakat pribumi bahwa, selamanya pribumi tidak akan bisa sama dengan bangsa
Eropa, setidaknya hal tersebut yang menjadi tafsiran saya berdasarkan pembacaan secara
sintogmatik. Upaya didaktis yang dilakukan oleh Abdoel Moeis maupun Balai Pustakasebagai
penerbitan kolonialmenjadi berhasil ketika sastra yang diciptakan sebagai hiburan (dulce) tersebut
dapat menggiring pembacanya untuk sadar akan pesan kolonialisme tersebut. Saya jadi teringat
akan perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Anak Semua Bangsa:
Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat, yang
kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengidahkan kepentingan bangsamu...
(Toer, 1987).

Dengan demikian, diri yang melekat pada tubuh tidak serta merta berkehendak untuk
menguasai yang ada di luar dirinya. Kelas, stratifikasi, dan status sosial ada sebagai bagian dari gerak
individu terhadap sebuah komuni dalam bentuk masyarakat yang berkelas-kelas. Di mana ia harus
menyesuaikandirinyadengan kelas yang seolah melekat pada tampilan akan dimensi fisiologis
pada tubuhnya.
Referensi
Damono, S. D. (1978). Sosiolgi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD.

Frow, J. (1986). Marxism and Literary History. London: Basil Blackwell.
de Maupassant, Henry-Ren-Albert-Guy. The Necklace
Moeis, Abdoel. (2000). Salah Asuhan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Depdiknas.

Nietzsche, Friedrich. (2000). Zarathustra Terj. H.B. Jassin. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ratna, N. Kutha. (2005). Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Roxborough, Ian. (1979). Theories of Underdevelopment. London: Blackwell.
Sunardi, St. (1996). Nietzsche. Yogyakarta: LkiS.
Toer, Pramoedya A. (1987). Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.

Anda mungkin juga menyukai