Anda di halaman 1dari 2

PENGAWASAN MADRASAH BERBASIS AKREDITASI

1

Oleh :
Dr. Mulyawan Safwandy Nugraha, M.Ag., M.Pd.
2



.
Posisi pengawas madrasah sangat urgen dalam meningkatkan kualitas pendidikan madrasah.
Melalui pembinaan kepada kepala madrasah dalam bidang manajemen dan pembinaan pada guru
madrasah melalui pembinaan akademik. Ketika tiga pilar (pengawas, kepala dan guru) berjalan
secara sinergis, maka tujuan pendidikan akan tercapai.
Sebagai pengawas madrasah, tupoksinya telah jelas yaitu berdasarkan Permendiknas No. 12
tahun 2007 tentang standar Pengawas Sekolah/Madrasah, PMA Nomor 2 tahun 2012 tentang
pengawas di lingkungan Kementeria Agama, dan PMA Nomor 31 tahun 2013 tentang perubahan
atas peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengawas madrasah dan pengawas
Pendidikan Agama Islam pada sekolah.
Sebagai bagian yang urgen dalam peningkatan mutu pendidikan madrasah, pengawas dituntut
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan dalam pendidikan dan lingkungannya yang
begitu cepat, menuntut pengawas madrasah untuk mengambil momentum dalam upaya
memujudkan madrasah sebagai pilihan utama, bukan lagi alternatif.
Paradigma kepengawasan pun mengalami perubahan signifikan. Kesan bahwa pengawas
hanya sebagai pelengkap dari struktur peningkatan mutu pendidikan, ternyata kini menjadi suatu
jabatan yang menantang. Bagaimana tidak, diawali dari proses rekrutment, proses seleksi, dan
penempatan yang ketat, sangat berbeda dengan masa-masa yang lalu. Sebelumnya, menjadi
pengawas terkesan merupakan jabatan untuk memperpanjang usia pensiun, jabatan yang diisi oleh
mereka yang tidak produktif, dan lain sebagainya.
Tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengawas madrasah untuk menjadi bagian penting
dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Khusus berkenaan dengan madrasah, tentu telah
menjadi kewajiban semua pihak untuk mendukung bagaimana madrasah memiliki posisi yang
membanggakan ummat.
Ketika madrasah dinyatakan sebagai menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, dengan
adanya pengakuan dalam Undang-undang system pendidikan nasional, tentu hal ini menjadi
tantangan bagi stakeholder pendidikan madrasah (baik birokrasi kementerian agama dari pusat
sampai daerah, pengelola madrasah, termasuk di dalamnya pengawas). Madrasah harus dapat
mensejajarkan diri dengan lingkungan yang ada dan mematuhi aturan perundang-undagan yang
berlaku yang mengikat madrasah untuk sejajar dengan sekolah. Salah satunya adalah akreditasi.
Ukuran keberhasilan akreditasi tidak hanya diukur dari simbol A, B atau C akan tetapi dapat
diukur dari sejauhmana akreditasi dapat mempengaruhi proses pembelajaran di madrasah yang
bermutu sehingga dapat menghasilkan output lulusan berkarakter dan berdaya saing tidak hanya di
kancah nasional tetapi juga pada level internasional.
Madrasah wajib diakreditasi. Target Direktorat Pendidikan Islam Kemenag RI bahwa pada
tahun 2014, semua madrasah telah terakreditasi. Akreditasi merupakan tantangan sekaligus peluang.
Apakah madrasah mampu menjalankan fungsi akuntabilitas secara internal dan eksternal kepada
stakeholder Pendidikan. Secara teoretis, akreditasi merupakan laporan apa yang telah dilakukan

1
Disiapkan untuk Artikel di Media Pembinaan,
2
Pengawas Madrasah Aliyah Kemenag di Kabupaten Sukabumi
selama kurun waktu tertentu. Maka bukti fisik merupakan pendukung untuk meyakinkan laporan
tersebut. Karena sesuatunya telah dilakukan, maka seharusnya bukti fisiknya pun ada. Namun
kenyataannya lain. Sepengetahuan penulis, tidak sedikit madrasah yang tidak siap dengan
akreditasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 bahwa Akreditasi adalah kegiatan
penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
[Pasal 1 ayat 21]. Pemerintah melakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk
menentukan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan. [Pasal 86 ayat 1]. Akreditasi
merupakan bentuk akuntabilitas publik dilakukan secara obyektif, adil, transparan, dan
komprehensif dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada Standar Nasional
Pendidikan [Pasal 86 ayat 3].
Adapun dasar penyusunan instrument akreditasi yang mencakup 8 SNP sebagai acuan,
berdasarkan pada landasan hukum sebagai berikut: 1) Standar Isi, berdasarkan Permen No,or 22
tahun 2008; 2) Standar Proses, berdasarkan Permen Nomor 4 tahun 2007; 3) Standar Kompetensi
Lulusan, berdasarkan Permen Nomor 23 tahun 2008; 4) Standar Tenaga Pendidikan dan
Kependidikan, berdasarkan Permen nomor 13 tahun 2007, permen Nomor 16 tahun 2007, dan
permen nomor 24 tahun 2008 ; 5) Standar Sarana Prasarana, berdasarkan Permen nomor 24 tahun
2007; 6) Standar Pengelolaan, berdasarkan Permen nomor 19 tahun 2007; 7) Standar Pembiayaan,
berdasarkan PP No.48/2008, Permen 69/2009; 8)Standar Penilaian Pendidikan, berdasarkan Permen
No.20/2007.
Keberhasilan dari akreditasi madrasah dengan mencapai standar yang baik tentu merupakan
kerja bersama yang harus diapresiasi. Jika saat ini kita sering mendengar keluhan ada madrasah
yang tidak siap diakreditasi, maka perlu ada upaya yang maksimal agar hal ini tidak terulang
kembali. Penulis mengamati bahwa di antara penyebab ketidaksiapan tersebut adalah berkaitan
dengan lemahnya mindset tentang mutu dan kebiasaan tidak mengadministrasikan setiap aktivitas
yang dilakukan dengan rapi. Jika saat mahasiswa, ada istilah SKS (Sistem Kebut Semalam), maka
saat akreditasi tetap saja SKS. Namun kepanjangannya menjadi: Sistem Kebut Sebulan, atau bahkan
Sistem Kebut Seminggu. Akibatnya dari sisi waktu dan tenaga sangat terkuras, aktivitas kepala dan
guru menjadi tidak fokus pada aktivitas rutin (manajerial dan akademik), dari pendanaan membuat
madrasah menjadi was-was (karena membengkak!!) dan masalah lainnya.
Tentu, target agar madrasah seluruhnya diakreditasi pada tahun 2014 ini akan sukses, jika
semua pihak bersama-sama menjadikan akreditasi sebagai kebiasaan dan kebutuhan untuk
mensyiarkan Islam melalui madrasah. Bukan justru menjadikan akreditasi sebagai beban dan tugas
yang dilakukan dengan keterpaksaan dan penuh keluhan.
Sebagai aktivitas yang berkelanjutan, idealnya aktivitas kepengawasan pun diarahkan salah
satunya untuk akreditasi dengan menjadikan perangkat dan instrumen akreditasi sebagai patokan.
Hal ini senantiasa harus diingatkan kepada guru dan kepala madrasah agar mencicil pekerjaan
sebelum akreditasi madrasahnya memasuki jatuh tempo melalui pembinaan yang maksimal dari
pengawas madrasah.
Pembinaan yang selama ini cenderung konvensional oleh pengawas madrasah, harus
direposisi sesuai kebutuhan di lapangan, termasuk kebutuhan mempersiapkan akreditasi sejak dini.
Tentu keuntungannya juga akan lebih besar jika segala sesuatunya dipersiapkan jauh-jauh hari. Saat
madrasah mendapat nilai akreditasi A atau B, mungkin tidak berlebihan jika dikesani bahwa
pembinaan kepengawasan di madrasah itu berhasil.

Anda mungkin juga menyukai