Anda di halaman 1dari 4

Pak panji

1. Dalam perbanyakan bibit pisang secara kultur jaringan, ada empat tahap yang harus dilalui yaitu, pertama, tahap
inisiasi. Pada tahap ini eksplan membentuk kalus dan bertunas banyak. Kedua, tahap pelipatan tunas (multiplikasi)
yaitu tunas yang sudah terbentuk dipisahkan kemudian ditumbuhkan dalam medium agar tumbuh tunas baru
(perbanyakan sub kultur). Ketiga, tahap perakaran tunas (regenerasi planlet) dan tahap terakhir yaitu tahap
aklimatisasi lingkungan.

Manfaat perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah untuk perbanyakan vegetatif tanaman yang permintaannya
tinggi tetapi pasokannya rendah, karena laju perbanyakan secara konvensional dianggap lambat. Di samping itu,
perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman introduksi, tanaman
klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perlu diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif
singkat. Perbanyakan bibit secara cepat adalah salah satu dari penerapan teknik kultur jaringan yang telah dilakukan
terutama untuk beberapa jenis tanaman yang diperbanyak secara klonal. Tujuan utamanya adalah memproduksi bibit
secara massal dalam waktu singkat. Hal ini terutama dilakukan pada tanaman-tanaman yang persentase
perkecambahan bijinya rendah.

2.
Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri patogen pada tanaman yang banyak digunakan untuk memasukkan gen
asing ke dalam sel tanaman untuk menghasilkan suatu tanaman transgenik. Secara alami, A. tumefaciens dapat
menginfeksi tanaman dikotiledon melalui bagian tanaman yang terluka sehingga menyebabkan tumor mahkota
empedu (crown gall tumor).
Bakteri yang tergolong ke dalam gram negatif ini memiliki sebuah plasmid besar yang disebut plasmid-Ti yang berisi
gen penyandi faktor virulensi penyebab infeksi bakteri ini pada tanaman. Untuk memulai pembentukan tumor, A.
tumefaciens harus menempel terlebih dahulu pada permukaan sel inang dengan memanfaatkan polisakarida asam
yang akan digunakan untuk mengkoloniasi/menguasai sel tanaman. Selain tanaman dikotiledon, tanaman
monokotiledon seperti jagung, gandum, dan tebutelah digunakan untuk memasukkan sel asing ke dalam genom
tanaman. Agrobacterium tumefaciens adalah bakteri patogen pada tanaman yang banyak digunakan untuk
memasukkan gen asing ke dalam sel tanaman untuk menghasilkan suatu tanaman transgenik. Sebagian besar genus
Agrobacterium menyebabkan tumor pada tanaman dikotil. Species Agrobacterium tergolong bakteri gram negatif
yang tergolong bakteri aerob dan mampu hidup baik sebagai saprofit maupun parasit. Agrobacterium berbentuk
batang, berukuran 0,6 1,0 m sampai 1,5 3,0 m, dalam bentuk tunggal atau berpasangan. Agrobacterium
merupakan bakteri yang mudah bergerak (motile) dan memiliki 1-6 flagela peritrichous serta merupakan bakteri tak
berspora. Suhu optimal pertumbuhan bakteri ini adalah 25-28C. Kumpulan bakteri ini biasanya berbentuk cembung,
bulat, lembut, dan tak berpigmen. Agrobacterium diisolasi dari tanaman yang terinfeksi Crown Gall. Tumor Crown
Gall adalah jaringan tanaman yang pertumbuhannya tidak terdiferensiasi akibat adanya interaksi antara tanaman-
tanaman yang rentan dengan strain virulen Agrobacterium tumefaciens.
Agrobacterium dan Peranannya dalam Transfer Gen Transformasi gen adalah proses dimana DNA asing dimasukkan
kedalam sel tanaman, dimana para pemulian tanaman dapat memasukkan gen asing kedalam sel atau jaringan
tanaman, baik secara langsung maupun tak langsung tanpa merujuk kepada tingkat hubungan genetik atau
kompatibelilitas suatu jenis. Teknologi pemindahan gen atau transfer gen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
langsung dan tidak langsung. Contoh transfer gen secara langsung adalah perlakuan pada protoplas tanaman dengan
eletroporasi atau dengan polyethyleneglycol (PEG), penembakan eksplan gen dengan gene gun atau di vortex dengan
karbit silikon. Teknik pemindahan gen secara tak langsung dilakukan dengan bantuan bakteri Agrobacterium. Dari
banyak teknik transfer gen yang berkembang, teknik melalui media vektorA. tumefaciens paling sering digunakan
untuk metransformasi tanaman, terutama tanaman kelompok dikotil. Bakteri ini mampu mentransfer gen kedalam
genom tanaman melalui eksplan baik yang berupa potongan daun (leaf disc ) atau bagain lain dari jaringan tanaman
yang mempunyai potensi beregenerasi tinggi. Gen yang ditransfer terletak pada plasmid Ti (tumor inducing ).
Segmen spesifik DNA plasmid Ti disebut T-DNA (transfer DNA ) yang berpindah dari bakteri ke inti sel tanaman dan
berintegrasi kedalam genom tanamn. Karena A. tumefaciens merupakan patogen tanaman maka Agrobacterium
sebagai vektor yang digunakan untuk transformasi tanaman adalah bakteri dari jenis plasmid Ti yang dilucuti
virulensinya (disarmed), sehingga sel tanaman yang ditransformasi oleh Agrobacterium dan yang mampu
beregenerasi akan membentuk suatu tanaman sehat hasil rekayasa genetik.

3. lmuwan jepang telah mengawali mengisolasi gen yang menyandi jalur biosintesa karotenoid dari bakteri
fitopatogenik Erwina Uredovora. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa gen Crtl mengkode enzim
phytoene desaturase yang bertanggung jawab untuk mengubah phytoene menjadi lycopene.

4. Rekayasa padi golden rice memang baru terdengar saat keberhasilan tersebut termuat dalam jurnal Science pada tahun
2000. Namun sebenarnya sekitar sepuluh tahun sebelumnya, ilmuwan Jepang telah mengawali mengisolasi gen yang
menyandi jalur biosintesa karotenoid dari bakteri fitopatogenik Erwinia uredovora [2]. Dari penelitian tersebut
ditemukan bahwa gen CrtI mengkode enzim phytoene desaturase yang bertanggung jawab untuk mengubah phytoene
menjadi lycopene.
Beberapa tahun berselang, ilmuwan Eropa melaporkan bahwa di dalam biji padi terdapat bahan dasar (prekusor)
untuk biosintesa karotenoid, termasuk beta-karoten, yaitu geranyl geranyl diphosphate (GGDP) [3]. Namun secara
alami biji padi tidak menghasilkan phytoene karena terjadi penghambatan fungsi dari enzim phytoene synthase
(PHY) dalam mengubah GGDP menjadi phytoene.
Meskipun demikian, penghambatan fungsi enzim tersebut bisa dihilangkan dengan cara mengintroduksi gen phy
dari tanaman daffodil (bunga narsis/ bakung) dengan menggunakan promoter spesifik untuk endosperma [3]. Selain
phy dan CrtI, masih ada satu enzim lagi yang diperlukan untuk mengubah lycopene menjadi beta-karoten yaitu
lycopene cyclase (LYC) yang juga berasal dari tanaman daffodil. Secara ringkas, rekayasa jalur biosintesa beta-
karoten pada golden rice bisa dilihat pada skema berikut: Fokus riset masih bertumpu pada tingkat efisiensi ke-3
jenis gen yang telah diintroduksikan yaitu psy, crtI dan lyc. Sehingga pada akhirnya para ahli tersebut merumuskan
hipotesa bahwa gen psy-lah yang paling berperan dalam jalur biosintesa karotenoid tersebut.
Untuk menguji kebenaran hipotesa, mereka mengisolasi dan menguji efisiensi gen psy dari berbagai tanaman seperti
Arabidopsis, wortel, paprika, jagung, tomat, bahkan padi sendiri. Pengujian awal dilakukan dengan cara
overeskpresi gen-gen psy pada callus jagung. Callus dipilih karena sifat integrasinya yang stabil terhadap gen yang
ditransformasikan (transgene) [6].
Seleksi efisiensi dilakukan berdasar jumlah karotenoid yang diproduksi dan warna callus (intensitas warna) yang
menunjukkan tingkat efisiensi transgene. Gen psy dari jagung menunjukkan tingkat efisiensi paling tinggi dibanding
dengan psy dari tanaman lainnya. Berdasar pada hasil tersebut, maka transfromasi pada padi lakukan dengan
menyisipkan gen psy dari jagung bersama dengan gen crtI. Hasil yang dicapai bisa dibilang memuaskan karena
kandungan karotenoid pada biji "Golden rice 2" mencapai 37 mikrog/g [7], yang berarti 23 kali lipat dibanding
golden rice generasi pertama. Dari total karotenoid tersebut, 31 mikrog/g-nya adalah beta-karoten.

5. Pemuliaan Tanaman dan Biologi Molekuler Pemuliaan tanaman konvensional menggunakan hasil observasi
fenotipe, kadang kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu unggul dalam populasi
pemuliaan. Namun demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan fgenetik dari sebagian besar sifat-sifat
agronomidan adanya interaksi yang kuat dengan faktor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa
mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan tehnik dan metodologi pemuliaan molekular dengan
menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan pemuliaan molekuler ini telah menjanjikan kesederhanaan
terhadap kendala dan tantangan tersebut. Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang
terikat dengan sifat-sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini,
mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat
ekspresi sifat yang disebabkan oleh faktor eksternal lokus genetik ganda. Selanjutnya dengan kemajuan iptek di
bidang teknologi molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana beberapa aspek
mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain : (1) identifikasi dan penentuan letak gen; (2)
pemindahan gen tak terbatas; (3) peningkatan pemahaman proses genetik dan fisiologi tanaman; (4) perbaikan
diagnosis penyakit dengan metodemolekuler ; (5) pengaturan produksi protein pada tanaman serealia dan kacang
kacangan untuk meningkatkan gizi; (6) memudahkan dalammenghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama,
penyakit dan cekaman lingkungan; serta (7) memungkinkan dilakukannya transformasi, konstruksi, dan ekspresi
genetik melalui teknologi DNA.
Bu siti
1. Bioteknologi Perkembangan bioteknologi dibagi menjadi 6 Era sebelum Louis Pasteur (1965) Fermentasi Ganggang
suku astek Tembaga ditambang dengan bantuan mikroba Era setelah Pasteur Teknik isolasi Alkhohol sebagai bahan
bakar motor Pemanfaatan mikroba sebagai penanganan limbah Era antibiotika Penicillin dan streptomycin Phase
produksi steroid Metode dan teknologi asam amino Tahun 1975 Rekayasa genetika Kultur sel Cakupan bioteknologi
di bidang pertanian Biotek organismic Biotek molekuler Rekayasa genetika Bioteknologi tanaman Memperbaiki
tanaman dengan produk yang dihasilkan Meningkatkan resistensi Memiliki karakteristik yang diinginkan. Aplikasi
Bioteknologi dalam HPT Penerapan Introduksi agen biologi penyakit PGPR PGPF Nematoda pemakan jamur Dll
Pengendalian biologi hama parasitoid predator Entomopatogen Penerapan kultur jaringan Pemeliharaan patogen
obligat Mengkaji interaksi patogen-inang Produksi tanaman bebas virus Seleksi tanaman in vitro Produksi tanaman
tahan melalui fusi protoplas.

2. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) atau hak pemulia tanaman adalah hak kekayaan intelektual yang diberikan
kepada pihak pemulia tanaman atau pemegang PVT untuk memegang kendali secara eksklusif terhadap bahan
perbanyakan (mencakup benih, stek, anakan, atau jaringan biakan) dan material yang dipanen (bunga potong,
buah, potongan daun) dari suatu varietas tanaman baru untuk digunakan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan. Suatu kultivar yang didaftarkan untuk mendapatkan PVT harus memiliki karakteristik berikut ini : baru,
unik, seragam, stabil, dan telah diberi nama. Hak ini merupakan imbalan atas upaya yang dilakukan pemulia dalam
merakit kultivar yang dimuliakannya, sekaligus untuk melindungi konsumen (penanam bahan tanam atau
pengguna produk) dari pemalsuan atas produk yang dihasilkan dari kultivar tersebut. Sedangkan Pengertian
Perlindungan Varietas Tanaman menurut UU PVT UU NO 29 Tahun 2000 Pasal 1(1) adalah : Perlindungan khusus
yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor
Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui
kegiatan pemuliaan tanaman.
Pissler & Mellon berpendapat, terdapat empat hal yang akan berpengaruh bagi lingkungan hidup akibat adanya
pelepasan organisme baru atau organisme dengan sifat-sifat baru ke alam bebas terutama dampaknya bagi
ekosistem, yaitu:
1. Tanaman transgenetic dapat berubah menjadi gulma yang akan membanjiri lading, lahan dan ekosistem.
2. Tanaman transgenetic akan menjadi perantara bagi perpindahan gen-gen baru ke tanaman liar. Dampaknya
bagi ekosistem belum dapat diperkirakan.
3. Tanaman yang direkayasa dengan menyisipkan virus akan mem-fasilitasi terciptanya virus-virus baru yang
dapat menimbulkan penyakit baru bagi tanaman.
4. Tanaman yang direkayasa mengendung bahan-bahan beracun yang bersifat obet atau pestisida akan
membawa resiko bagi makhluk lain, misalnya burung dan hewan liar lain (Rissler & Mellon dalam
Adiwibowo, 1995)

Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa proses pengembangan bioteknologi akan dapat merugikan manusia yang
selalu berpandangan antroposentris yang memandang segala sesuatu termasuk lingkungan hidup dari sudut pandang
kepentingan manusia. Kerugian yang tampak dari rusaknya keanekaragaman hayati akan sangat kita rasakan,
contohnya yaitu hilangnya spesies-spesies tanaman yang sangat dibutuhkan bagi kepentingan dunia kedokteran
(Soemarwoto, 1992: 4). Penggunaan teknologi yang tidak bijaksana akan mengakibatkan erosi gen, yaitu
berkurangnya keanekaan gen, dimana keanekaan gen mempunyai tujuan pengedalian hama (Soemarwoto, 1994: 24).
Vandana Shiva salah seorang tokoh gerakan lingkungan hidup dan pemerhati masalah pengembangan bioteknologi
menjelaskan bahwa pengembangan bioteknologi pada tanaman dan keanekaragaman sifat genetic tunggal secara
luas telah menimbulakan Epidemi penyakit pada jamur dan jagung di tahun 1970 (Shiva, 1994). Salah satu bahaya
pelepasan organisme hasil rekayasa genetika ke alam bebas adalah kemungkinan tercemarnya jenis-jenis asli atau
liar oleh gen-gen dari tanaman transgenetic. Keadaan ini dapat mengancam keanekaragaman hayati karena
organisme yang telah berubah dengan akibat-akibat pada lingkungan dan kesehatan yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya. Sekali dilepaskan dan berkembang biak, gen-gen hasil rekayasa genetika tidak dapat diisolasi kembali
dari lingkungan.
Permasalahan hukum yang muncul dari adanya proses pengembangan bioteknologi ini antara lain:
1. Dari Sudut Kelembagaan
Adanya proses perizinan yang tidak terkoordinasi terhadap peneliti asing yang hendak melakukan penelitian di
Indonesia khususnya tentang keanekaragaman hayati dimana di dalamnya terkandung kekayaan plasma nutfah.
Akibat negatif dari tidak terkoordinasinya proses perizinan tersebut, maka dapt dimanfaatkan dengan baik oleh para
peneliti asing untuk melakukan pencurian terhadap plasma nutfah sebagai bahan dasar proses pengembangan
bioteknologi. Selain itu pula apabila terjadi perusakan lingkungan maka masing-masing lembaga akan melempar
tanggung jawab karena tidak terjadi koordinasi lintas sektoral.
Pertama adalah, lemahnya pengetahuan para aparat penegak hukum tentang fungsi, kegunaan, dan tujuan
kelestarian lingkungan hidup khususnya keanekaragaman hayati. Kedua, masih belum dimilikinya pengetahuan
akan dampak negatif yang dapat timbul dari adanya pengembangan produk-produk bioteknologi terhadap kondisi
lingkungan hidup oleh aparat penegak hukum. Ketiga, terbatasnya jumlah aparat penegak hukum yang tersedia
untuk melindungi luas wilayah hutan Indonesia dimana plasma nutfah berada, dalam arti lain bahwa terbatasnya
jumlah aparat hukum yang tersedia untuk melindungi luas sebaran keanekaragaman hayati Indonesia. Keempat,
terbatasnya peralatan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum yang mampu melihat kondisi kerusakan
keanekaragaman hayati Indonesia dari adanya sebuah uji coba pelepasan GMO ke alam bebas.


Virus tungro oleh wereng hijau
Penyakit tungro merupakan proses interaksi yang sangat komplek antaradua jenis virus yang berbeda,
yaitu virus bentuk batang (RTBV) dan virusbentuk bulat (RTSV),wereng hijau sebagai vektor spesifik, dan
tanaman padi.Kedua jenis virus tersebut tidak memiliki kekerabatan serologi dan dapatmenginfeksi satu
sel tanaman secara bersama-sama tanpamengakibatkanproteksi silang antara keduanya (Mukhopadhyay
1995). Virus tungro hanyaditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten, tidak terjadi multiplikasi
virus dalam tubuh vektor dan tidak terbawa pada keturunannya (Hibino andCabunagan 1986). Dalam
penularan virus tungro, RTBV merupakan virusdependen, sedangkan RTSV sebagai virus pembantu
(helper virus).Werenghijau dapatmenularkan RTSV danRTBV secara bersama-sama dari
umberinokulumyangmengandung kedua virus.PenularanRTBVhanya terjadi apabilavektor telah
menghisap RTSV terlebih dahulu, sedangkan penularan RTSVdapat terjadi tanpa bantuan RTBV (Hibino
et al. 1977, Sumardiyono et al.2004). Di dalam suatu populasi di lapangan, terdapat wereng hijau sebagai
penular aktif (active transmitter) dan nonaktif (non active transmitter).Keberadaan populasi penular aktif di
pertanaman akanmeningkatkan efisiensi
dan efektivitas penularan virus tungro.Pendekatan biologimlekuler diharapkan dapat digunakan untuk
mempelajaripatogenisitas virus tungro,mekanisme patogenesis penyakit tungro,dan proses
penularannya. Penggabungan teknikmolekuler dan biologi dapatdigunakan untukmengetahui gen-gen
penyusun genomvirus tungro (struktur

Anda mungkin juga menyukai