Anda di halaman 1dari 19

PEACEFUL KETENANGAN HATI (SAKINAH)

Prolog
Roda kehidupan terus menggelinding. Banyak cerita dan episode yang dilewati pada setiap
putarannya. Ada sedih, ada senang. Ada derita, ada bahagia. Ada suka, ada duka. Ada
kesempitan, ada keluasan. Ada kesulitan, dan ada kemudahan. Tidak ada manusia yang tidak
melewatinya. Hanya kadarnya saja yang mungkin tidak selalu sama. Maka, situasi apapun
yang tengah engkau jalani saat ini, tenangkanlah hatimu ..
Manusia bukan pemilik kehidupan. Tidak ada manusia yang selalu berhasil meraih
keinginannya. Hari ini bersorak merayakan kesuksesan, esok lusa bisa jadi menangis
meratapi kegagalan. Saat ini bertemu, tidak lama kemudian berpisah. Detik ini bangga
dengan apa yang dimilikinya, detik berikutnya sedih karena kehilangannya. Maka, episode
apapun yang sedang engkau lalui pada detik ini, tenangkanlah hatimu ..
Cerita tidak selalu sama. Episode terus berubah. Berganti dari satu situasi kepada situasi yang
lain. Berbolak-balik. Bertukar-tukar. Kadang diatas, kadang dibawah. Kadang maju, kadang
mundur. Itulah kehidupan. Namun, satu hal yang seharusnya tidak pernah berubah pada kita;
yaitu, hati yang selalu tenang dan tetap teguh dalam kebenaran
Saudaraku, ketenangan sangat kita butuhkan dalam menghadapi segala situasi dalam hidup
ini. Terutama dalam situasi sulit dan ditimpa musibah. Jika hati dalam kondisi tenang, maka
buahnya lisan dan anggota badan pun akan tenang. Tindakan akan tetap pada jalur yang
dibenarkan dan jauh dari sikap membahayakan. Kata-kata akan tetap hikmah dan tidak keluar
dari kesantunan, sesulit dan separah apa pun situasi yang sedang kita hadapi. Dan dengan itu
lah kemudian insya Allah- kita akan meraih keuntungan.
Ketenangan Milik Orang yang Beriman
Ketenangan adalah karunia Allah yang hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman.
Tentang hal ini Allah berfirman:
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al Fath [48]: 4)
Syaikh Abdurrahman As-Sidy rahimahullah berkata, Allah mengabarkan tentang karunia-
Nya atas orang-orang yang beriman dengan diturunkan kepada hati mereka sakinah. Ia adalah
ketenangan dan keteguhan dalam kondisi terhimpit cobaan dan kesulitan yang
menggoyahkan hati, mengganggu pikiran dan melemahkan jiwa. Maka diantara nikmat
Allah atas orang-orang yang beriman dalam situasi ini adalah, Allah meneguhkan dan
menguatkan hati mereka, agar mereka senantiasa dapat menghadapi kondisi ini dengan jiwa
yang tenang dan hati yang teguh, sehingga mereka tetap mampu menunaikan perintah Allah
dalam kondisi sulit seperti ini pun. Maka bertambahlah keimanan mereka, semakin
sempurnalah keteguhan mereka. (Taisir al Karim: 791)

Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang
beriman. (QS. Al Taubah [9]: 26)

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan
kemenangan yang dekat (waktunya). (QS. Al Fath [48]: 18)
Senjata Orang Beriman
Jiwa yang tenang dan hati yang teguh adalah senjata orang-orang shaleh dari sejak dahulu
dalam menghadapi kondisi sulit yang mereka temui dalam kehidupan mereka.
Ashabul Kahfi adalah diantaranya. Saat mereka mengumandangkan kebenaran tauhid dan
orang-orang pun berusaha untuk menyakiti mereka, sehingga mereka terusir dari tempat
mereka dengan meninggalkan keluarga dan kenyamanan hidup yang sedang mereka nikmati,
serta tinggal di gua tanpa makanan dan minuman, ketenangan dan keteguhanlah yang
membuat mereka mampu bertahan. Allah berfirman tentang mereka,
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka
adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk
mereka petunjuk. Dan Kami meneguhkan hati mereka diwaktu mereka berdiri, lalu mereka
pun berkata, Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak
menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan
perkataan yang amat jauh dari kebenaran. (QS. Al Kahfi [18]: 14)
Dalam perjalanan dakwah dan jihad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, kita tentu ingat
kisah perjalanan hijrah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sahabatnya yang mulia
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu. Ketika mereka berdua masuk ke dalam gua,
berlindung dari kejaran orang-orang musyrik yang saat itu tengah dalam kemarahan yang
memuncak dan dengan pedang-pedang yang terhunus, hingga Abu Bakar berkata, Jika salah
satu mereka menundukkan pandangannya ke arah kedua sandalnya, niscaya ia akan melihat
kita. Dalam kondisi genting itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan penuh ketenangan
berkata, Bagaimana menurutmu tentang dua orang, yang Allah ketiganya. (Lihat Shahh al
Bukhri no: 3653, Shahh Muslim no: 2381)
Allah berfirman:


Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah
menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari
Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu dia berkata kepada temannya: Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya. (QS. Al Taubah [9]: 40)
Kisah lain yang sangat menakjubkan adalah kisah pada hari perang badar. Musuh dalam
kondisi sangat kuat dan digdaya, dengan persenjataan yang cukup lengkap di depan mata,
menghadapi tentara Allah yang sedikit, persenjataan kurang dan tanpa persiapan untuk
berperang. Akan tetapi ketenangan bersemayam dalam hati-hati mereka. Maka Allah
memenangkan mereka dengan kemenangan yang jelas.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, Oleh karena itu, Allah mengabarkan tentang
turunnya ketenangan kepada Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang yang
beriman dalam situasi-situasi sulit. (Madriju al Slikn: 4/392 cet. Dr al Thbah)
Meraih Ketenangan
Jika demikian penting ketenangan dalam hidup kita, karena kesuksesan juga sangat
bergantung kepadanya, maka bagaimanakah cara untuk meraih ketenangan itu? Sebagian
orang mencari ketenangan dengan perbuatan sia-sia, sebagian mereka bahkan mencari
ketenangan di tempat-tempat kemaksiatan. Semua itu keliru dan fatal akibatnya. Alih-alih
ketenangan, semua itu justru akan semakin membuat hati diliputi kesedihan. Jika pun
ketenangan didapatkannya, namun ia adalah ketenangan yang palsu dan sesaat.
Syaikh Dr. Saad bin Nashir al Syatsry semoga Allah menjaganya- dalam kitabnya Haytu
al Qulb menyebutkan arahan-arahan yang terdapat dalam al Qur`an dan sunnah untuk
meraih ketenangan tersebut:
1. Berkumpul dalam rangka mencari ilmu.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabada:


Tidaklah suatu kaum berkumpul sebuah rumah Allah tabaraka wa taala, mereka membaca
Kitabullah azza wa jalla, mempelajarinya sesama mereka, melainkan akan turun kepada
mereka sakinah, rahmat akan meliputi mereka, para malaikan akan mengelilingi mereka dan
Allah senantiasa menyebut-nyebut mereka dihadapan malaikan yang berada di sisi-Nya.
(HR Muslim no. 2699)
2. Berdoa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya pernah mengulang-ulang
kalimat doa berikut dalam perang ahzab:

Maka turunkanlah ketenangan kepada kami


Serta teguhkan lah kaki-kaki kami saat kami bertemu (musuh)
Maka Allah memberikan mereka kemenangan dan meneguhkan mereka.
3. Membaca al Qur`an.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Ia adalah ketenangan yang turun karena al Qur`an. (HR Bukhari: 4839, Muslim: 795)
4. Memperbanyak dzikrullah.
Allah berfirman:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Al Radu
[13]: 28)
5. Bersikap wara (hati-hati) dari perkara syubhat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Kebaikan itu adalah yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tentram kepadanya.
Sementara dosa adalah yang jiwa meresa tidak tenang dan hati merasa tidak tentram
kepadanya, walaupun orang-orang mememberimu fatwa (mejadikan untukmu keringanan).
(HR Ahmad no. 17894, dishahihkan al Albani dalam Shahh al Jmi no: 2881)
6. Jujur dalam berkata dan berbuat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya jujur itu ketenangan dan dusta itu keragu-raguan. (HR Tirmidzi no: 2518)
Begitu pun semua ketaatan kepada Allah dan sikap senantiasa bersegera kepada amal shaleh
adalah diantara faktor yang akan mendatangkan ketenangan kepada hati seorang mukmin.
Jika kita selalu mendengar dan berusaha untuk mentaati Allah dan rasul-Nya, maka hati kita
akan kian tenang dan teguh. Allah berfirman:
Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada
mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman
mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi
Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An Nis [4]: 68)
Saudaraku, jika kita dapat mempertahankan ketenangan hati sehingga senantiasa teguh
berada dalam jalan Allah, apa pun yang terjadi kepada kita, maka bergembiralah, karena
kelak saat kita meninggalkan dunia yang fana ini, akan ada yang berseru kepada kita dengan
seruan ini:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-
Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.
(QS. Al Fajr [89]: 27-30) (Lihat Haytu al Qulb: 90-91)
Wallhu alam, wa shallallhu al nabiyyin Muhammad.
[Meteri ilmiah dalam tulisan ini banyak diispirasi oleh Kitab Madruju al Slikn karya Imam
Ibnul Qayyim rahimahullh, cet. Dr al Thbah dan Kitab Haytu al Qulb cet. Dr Kunz
Isybliy karya Syaikhun Dr. Saad bin Nshir al Syatsry hafidzahullh]
Riyadh, 27 Jumada Tsani 1433 H

Penulis: Ustadz Abu Khalid Resa Gunarsa, Lc (Alumni Universitas Al Azhar Mesir dan dai
di Maktab Jaliyat Bathah Riyadh KSA)
Artikel Muslim.Or.Id


ANTARA KETENANGAN JIWA, KEDAMAIAN HATI DAN SEBUAH KEBENARAN


Oleh
Abu Abdillah Arief B. bin Usman Rozali



Pada zaman ini, banyak permasalahan yang dihadapi setiap manusia -dan secara
khusus kaum Muslimin-, baik berkaitan dengan masalah lahir, batin, ataupun
kejiwaan. Dari sini, muncullah berbagai ragam usaha untuk mengatasi problematika
hidupnya. Tujuan utamanya, pada dasarnya hanya satu, yaitu; mendapatkan
kepuasan hati, ketenteraman hidup, dan ketenangan jiwa.

Yang amat disayangkan, munculnya anggapan keliru karena ketidakpahaman atau
karena belum mengerti, bahwa tidak semua hal yang mampu mendatangkan
kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa menunjukkan kebenaran
sesuatu tersebut. Ya, kita bisa katakan, benar, memang sesuatu tersebut dapat
mendatangkan kepuasan, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa. Namun
permasalahannya, apakah semua hal yang bisa mendatangkan kepuasan,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa bisa dibenarkan secara syari? Jadi, yang
dimaksud benar disini adalah, benar secara tinjauan dan hukum syari. Jika tidak
demikian, kita akan menemukan betapa banyak praktek-praktek yang memang telah
terbukti mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan
jiwa orang. Sebagai contoh, sebutlah bersemedhi, bertapa, atau meditasi, atau
terapi psikologis lainnya. Hal-hal tersebut memang terbukti mampu mendatangkan
kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa orang yang melakukannya
[1]. Namun, apakah syariat Islam yang mulia dan sempurna ini membenarkannya?
Atau minimal mengizinkannya? Atau; apakah kepuasan hati, ketenteraman hidup
dan ketenangan jiwa tersebut -jika memang terjadi- adalah hakiki dan abadi? Inilah
permasalahannya.

Al Imam al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Adapun di bawah derajat
orang ini (yakni orang yang merasakan kelezatan dengan mengenal Allah dan
bertaqarrub denganNya), maka sangatlah banyak, dan tidak bisa menghitung
banyaknya kecuali Allah. Bahkan, sampai pada derajat orang (yang masih bisa
merasakan kelezatan dengan) melakukan hal-hal yang sangat hina, hal-hal yang
kotor dan menjijikan, baik berupa perkataan maupun perbuatan.[2]

Perkataan beliau ini menjelaskan, ternyata ada hal-hal yang memang terbukti
mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
orang yang melakukannya, namun, tentu sangat berbeda derajat orang yang
merasakan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa dengan cara
bertaqarrub dan taat kepada Allah, dengan orang yang mencapainya tetapi dengan
cara bermaksiat dan meninggalkan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Permasalahan ini, persis dengan seseorang yang mencari kesembuhan dari
penyakit kronis yang dideritanya, sementara para dokter telah angkat tangan dari
penyakitnya tersebut, lalu akhirnya, orang ini berobat ke dukun, kemudian sembuh.
Maka, apakah kesembuhannya bisa ia jadikan dalil atas bolehnya berobat atau
mendatangi dukun? Apakah kesembuhan yang ia dapati -dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta'ala - menunjukkan bahwa dukun tersebut berada di atas al haq
(baca : kebenaran)? Apakah kesembuhannya itu berasal dari cara yang dibenarkan
oleh syariat? [3]

Sebagai seorang muslim -yang mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala
senantiasa memberikan taufiqNya- kita tentu tidak boleh ragu dan syak, bahwa
kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa adalah salah satu sifat
syariat Islam yang mulia dan sempurna ini. Itupun, harus dilakukan sesuai dengan
tuntunan syariat yang benar dalam beribadah. Yaitu, ikhlash hanya untuk Allah l
semata, dan mutabaatur rasul (mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam), sebagaimana yang telah banyak diterangkan oleh para ulama tentang
masalah ini.[4]

Dari sekilas penjelasan di atas, kita bisa pahami, bahwa merupakan kekeliruan jika
ada seseorang yang berkata Segala sesuatu yang bisa mendatangkan dan
menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa, maka hal itu
boleh-boleh saja dilakukan, karena hal itu merupakan indikasi kebenaran sesuatu
tersebut.

Di manakah letak kekeliruan perkataan ini? Kita katakan : Memang, salah satu bukti
benarnya sesuatu hal adalah timbulnya kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa pada si pelakunya. Dan ini merupakan salah satu sifat syariat Islam
jika dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat yang benar dalam beribadah,
sebagaimana telah diterangkan di atas. Namun, tidak semua yang bisa
mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa sebagai sebuah kebenaran.

Seandainya orang itu hanya berkata Segala sesuatu yang bisa mendatangkan dan
menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa boleh-boleh
saja dilakukan, hanya sampai disini saja, mungkin masih bisa kita benarkan. Itupun
selama perbuatan tersebut tidak melanggar syariat. Karena segala sesuatu yang
dilakukan, selama tidak berhubungan dengan permasalahan ibadah, dan selama
tidak ada dalil yang melarangnya, maka hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana
telah diterangkan oleh para ulama dalam masalah ini.[5]

Permasalahannya, jika kita perhatikan dan pelajari secara lebih dalam, hal-hal yang
bisa mendatangkan dan menimbulkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwa yang banyak digemari orang saat ini, pada kenyataannya tidak
mungkin dapat dipisahkan dari praktek ibadah, bahkan sangat berkaitan erat dengan
masalah aqidah yang letaknya di dalam hati, sedangkan hati merupakan sumber
dari kebaikan atau keburukan seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

...

.

"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila ia
(segumpal daging) tersebut baik, baiklah seluruh jasadnya, dan apabila ia (segumpal
daging) tersebut rusak (buruk), maka rusaklah (buruklah) seluruh jasadnya.
Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati".[6]

Oleh karena itu, jika ingin selamat dari hal-hal yang dapat merusak agama kita,
bahkan dalam hal aqidah, hendaknya seorang muslim senantiasa berhati-hati dan
waspada, serta penuh pertimbangan demi keselamatan agamanya, dan bertanya,
apakah perbuatan yang hendak dilakukan untuk pencarian kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya bertentangan dengan aqidah? Ataukah
bagaimana?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Karena hati itu diciptakan
untuk diketahui kegunaannya, maka mengarahkan penggunaan hati (yang benar)
adalah (dengan cara menggunakannya untuk) berfikir dan menilai. [7]

Berkaitan erat dengan permasalahan ini, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah memberikan solusi bagi setiap muslim yang senantiasa ingin mendapatkan
kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki dan abadi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram". [ar
Rad/13 : 28].

Asy Syaikh Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr -hafizhahullah-
berkata," Sesungguhnya al Imam al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah telah
menyebutkan di dalam kitab beliau yang sangat berharga, al Wabil ash Shayyib
sebanyak tujuh puluh sekian faidah dzikir. Dan di sini, kami akan sempurnakan
untuk menyebutkan beberapa faidah dzikir lainnya, dari sekian banyak faidah yang
telah beliau sebutkan di dalam kitabnya. Di antara faidah-faidah dzikir yang begitu
agung, yaitu (dzikir) dapat mendatangkan kebahagiaan, kegembiraan, dan
kelapangan bagi orang yang melakukannya, serta dapat melahirkan ketenangan dan
ketenteraman di dalam hati orang yang melakukannya. Sebagaimana firman
Allah, dan asy Syaikh membawakan ayat ke-28 surat ar Rad di atas.

Kemudian beliau kembali menjelaskan dan berkata,"Makna firman Allah (

)
adalah hilangnya segala sesuatu (yang berkaitan dengan) kegelisahan dan
kegundahan dari dalam hati, dan dzikir tersebut akan menggantikannya dengan rasa
keharmonisan (ketentraman), kebahagiaan, dan kelapangan. Dan maksud
firmanNya (

) adalah sudah nyata, dan sudah sepantasnya hati


(manusia) tidak akan pernah merasakan ketentraman, kecuali dengan dzikir
(mengingat) Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bahkan, sesungguhnya dzikir adalah penghidup hati yang hakiki. Dzikir merupakan
makanan pokok bagi hati dan ruh. Apabila (jiwa) seseorang kehilangan dzikir ini,
maka ia hanya bagaikan seonggok jasad yang jiwanya telah kehilangan makanan
pokoknya. Sehingga tidak ada kehidupan yang hakiki bagi sebuah hati, melainkan
dengan dzikrullah (mengingat Allah). Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata [9] : "Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi seekor ikan. Maka, bagaimanakah
keadaan seekor ikan jika ia berpisah dengan air?[10]

Dari penjelasan yang begitu gamblang di atas, jelaslah sesungguhnya tidak ada
penawar bagi orang yang hatinya gersang dan selalu gelisah, resah, dan gundah,
melainkan hanya dengan dzikrullah.

Dzikrullah dapat dilakukan dengan dua cara, dengan mengingat Allah dan banyak
berdzikir dengan bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laa ilaha illallaah),
ataupun bertakbir. Dan dengan memahami makna-makna al Qur`an dan hukum-
hukumnya; karena di dalam al Qur`an terdapat dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang
jelas, serta bukti kebenaran yang nyata.[11]

Namun, yang amat disayangkan, masih banyak kaum Muslimin yang belum
memahami hal ini. Bahkan, untuk mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup
dan ketenangan jiwa, justru mencari-cari solusi selainnya. Padahal kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki tidaklah mungkin dihasilkan
melainkan hanya dengan dzikrullah.

Al Imam al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : Sesungguhnya, hati
tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian, melainkan jika
pemiliknya berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan melakukan
ketaatan kepadaNya) sehingga, barangsiapa yang tujuan utama (dalam
hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan ketergantungannya hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, maka ia telah mendapatkan kenikmatan dariNya, kelezatan
dariNya, kemuliaan dariNya, dan kebahagiaan dariNya untuk selama-lamanya. [12]

Penjelasan beliau ini, juga menujukkan pemahaman, bahwa jika seseorang
meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau bahkan bermaksiat
kepadaNya, maka hatinya akan sempit, gersang, selalu gelisah, resah, dan gundah
[13]. Adapun kemaksiatan yang terbesar adalah syirik, dan Allah tidak akan
mengampuni orang yang berbuat syirik sampai ia bertaubat sebelum ia mati. (Lihat
an Nisaa`/4 : 48 dan 116). Juga Allah berfirman:



"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat
dalam keadaan buta". [Thaha/20 : 124].

Salah satu penafsiran ulama tentang lafazh (

) pada surat Thaha ayat ke-


124 di atas adalah, kehidupan yang sangat sempit dan menyulitkan di dunia ini,
disebabkan berpalingnya ia dari kitabullah dan dzikrullah. Ia akan merasakan
kesempitan, kegelisahan, dan kepedihan-kepedihan lainnya dalam kehidupannya,
dan itu adalah adzab secara umum.[14]

Adapun kadar kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa seseorang,
itu sangat bergantung kepada sejauh mana kedekatannya kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Al Imam al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : Kelezatan
(yang dirasakan oleh hati) setiap orang, bergantung pada sejauh mana keinginannya
dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan (keinginannya
dalam meraih) kemuliaan dirinya. Orang yang paling mulia jiwanya, yang paling
tinggi derajatnya dalam merasakan kelezatan (dalam hatinya), adalah (orang yang
paling) mengenal Allah, yang paling mencintai Allah, yang paling rindu dengan
perjumpaan denganNya, dan yang paling (kuat) mendekatkan dirinya kepadaNya
dengan segala hal yang dicintai dan diridhai olehNya. [15]

Itulah dzikrullah dan thaatullah, sebagai kunci utama untuk membuka hati
seseorang dalam merealisasikan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan
ketenangan jiwanya. Sedangkan tingkatan thaatullah yang paling tinggi dan agung
adalah tauhidullah (mentauhidkan Allah). Dan (sebaliknya), tingkatan maksiat yang
paling besar dosanya dan paling buruk akibatnya, adalah asy syirku billah
(menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dengan kata lain, orang yang paling
berbahagia, tenteram, dan tenang jiwanya adalah seorang muslim yang bertauhid
dan merealisasikan tauhidnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang yang
paling sengsara hidupnya di dunia ini, dan tidak merasakan kebahagiaan,
ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang hakiki dan abadi, adalah orang yang
musyrik dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala [15].

Kemudian, adakah hal lainnya setelah dzikrullah dan thaatullah yang secara khusus
mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa
seseorang? Jawabnya, ada. Yaitu shalat.

Hendaknya seorang mukmin menyibukkan dirinya untuk meraih kepuasan hati,
ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya dengan melakukan shalat secara
benar dan khusyu. Dengan demikian, ia merasa tenang ketika berhadapan dengan
Rabb-nya. Hatinya menjadi tenteram, lalu diikuti ketenangan dan ketenteraman
tersebut oleh seluruh anggota tubuhnya. Dari sini, ia akan merasakan kedamaian
hati dan ketenangan jiwa yang luar biasa. Dia memuji Rabb dengan segala macam
pujian di dalam shalatnya. Bahkan, ia berkata kepada Rabb-nya


(hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan). Dia memohon kepada Rabb-nya segala kebutuhannya. Dan yang
terpenting dari seluruh kebutuhannya adalah memohon untuk istiqamah (konsisten)
di atas jalan yang lurus. Yang dengannya terwujudlah kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Dia pun berkata

(Tunjukilah kami jalan yang lurus). Dia


mengagungkan Rabb-nya saat ruku dan sujud, dan memperbanyak doa di dalam
sujudnya.

Betapa indah dan agungnya komunikasi yang ia lakukan dengan Rabb-nya. Sebuah
komunikasi yang sangat luar biasa, mampu menumbuhkan ketenteraman dan
kedamaian jiwa, sekaligus menjauhkan dirinya dari segala macam kegelisahan,
keresahan, dan kesempitan hati dan jiwanya. Maka, tidak perlu heran, jika shalat ini
merupakan penghibur dan penghias hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...

.

"dan telah dijadikan penghibur (penghias) hatiku (kebahagiaanku) pada
shalat".[17]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berkata kepada salah satu
sahabatnya:

.

"Bangunlah wahai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan (melakukan) shalat".[18]

Al Imam al Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah, setelah menjelaskan hikmah-
hikmah dan beberapa keistimewaan shalat, beliau berkata : Kemudian,
disyariatkan baginya untuk mengulang-ulang rakaat ini satu per satu, sebagaimana
disyariatkannya mengulang-ulang (lafazh) dzikir dan doa satu per satu. Hal itu agar
ia mempersiapkan dirinya dengan rakaat yang pertama tadi, untuk
menyempurnakan rakaat yang berikutnya. Sebagaimana rakaat yang kedua untuk
menyempurnakan rakaat yang pertama. Semuanya itu bertujuan untuk memenuhi
hatinya dengan makanan (rohani) ini, dan mengambil bekal darinya untuk mengobati
penyakit yang ada dalam hatinya. Karena sesungguhnya kedudukan shalat terhadap
hati, bagaikan kedudukan makanan dan obat terhadapnya Maka, tidak ada satu
pun yang mampu menjadi makanan dan bagi hatinya, selain shalat ini. Maksudnya,
(fungsi) shalat dalam menyehatkan dan menyembuhkan hati, seperti (fungsi)
makanan pokok dan obat-obatan terhadap badannya".[19]

Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki berkata,"Tatkala shalat dijadikan sebagai
pembangkit ketenangan dan ketenteraman (jiwa), serta sebagai terapi psikologis,
maka, tidak mengherankan jika sebagian dokter jiwa menganggapnya sebagai terapi
utama dalam penyembuhan para pasien penyakit jiwa. Salah seorang di antara
mereka ada yang mengatakan, sepertinya shalat ini salah satu terapi yang mampu
mendatangkan kehangatan jiwa manusia. Sesungguhnya shalat bisa menjauhkan
dirimu dari segala kesibukan yang membuatmu gundah dan resah. Shalat ini pun
mampu membuatmu merasa tidak menyendiri dalam hidup ini. Mampu membuatmu
merasakan bahwa Allah menyertaimu. Shalat pun ternyata mampu memberimu
kekuatan dalam bekerja, yang sebelumnya dirimu tidak mampu berbuat apa-apa.
Maka, pergilah ke kamar tidurmu! Lalu, mulailah melakukan shalat untuk
menghadap Rabb-mu.[20]

Demikianlah, sehingga memang shalat yang benar dan khusyu, pasti akan
melahirkan ketenteraman jiwa dan kedamaian hati. Bukan seperti shalat yang
dilakukan oleh orang-orang Nashrani, yang telah disifatkan oleh al Imam al Allamah
Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai sebuah shalat yang pembukaannya adalah
kenajisan, takbiratul ihramnya dengan bersalib di wajah, qiblatnya sebelah timur,
syiarnya adalah kesyirikan, (maka) bagaimana hal ini tersembunyi bagi orang
berakal, bahwa hal ini sesuatu yang memang tidak pernah dibenarkan oleh satu
syariat manapun? [21]

Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki kembali menjelaskan : Adapun sebuah
shalat yang permulaannya adalah pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala, dan shalat ini mengandung firmanNya, pujian dan
pengagungan kepadaNya, rasa tunduk yang sempurna si pelakunya kepada
Rabbnya, maka tidak ragu lagi, shalat seperti inilah yang mampu menjadi perantara
seorang hamba dalam berkomunikasi dengan Rabb-nya. Shalatnya ini bermanfaat
baginya untuk memohon kepada Rabb agar (Dia) membebaskan dari segala
kesulitan. Di samping itu, ia pun akan mendapatkan manfaat dan pahala yang besar
di akhirat, serta kemenangan dengan mendapatkan ridha ar Rahman (Allah
Subhanahu wa Ta'ala). Dan kiaskanlah terhadap shalat ini seluruh ketaatan hamba
terhadap Rabb-nya. Sungguh agama Islam adalah sebuah manhaj (metode, tata
cara dan pola hidup) yang sempurna, yang sangat adil. Menjamin setiap orang bisa
mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan ini sebagai sebuah kemenangan
yang besar.[22]

Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, bisa
menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita. Wallahu alam bish shawab.

Maraji & Mashadir:
1. Al Qur`an dan terjemahnya, Cetakan Mujamma Malik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari
(194-256 H), Tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut,
Cetakan III, Tahun 1407 H/1987 M.
3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-
261 H), Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asyats As Sijistani (202-275 H),
Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.
5. Sunan an Nasa-i (al Mujtaba), Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib an Nasa-i
(215-303 H), Tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al Mathbuat, Halab,
Cetakan II, Tahun 1406 H/1986M.
6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy
Syaibani (164-241 H), Muassasah Qurthubah, Mesir.
7. Risalah fii al Qalbi wa Annahu Khuliqa li Yulama bihi al Haqqu wa Yustamalu
fiima Khuliqa Lahu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H), Tahqiq Salim bin Id
al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1411 H/1990 M.
8. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, Syamsuddin Ibnu Qayyim al
Jauziyah (751 H), Takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Tahqiq
Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi,
Dammam, KSA, Cetakan I, Tahun 1424 H.
9. Ad Daau wa ad Dawaa (al Jawab al Kafi liman sa-ala an ad Dawaa asy Syafi),
Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul
Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cetakan VI, Tahun
1423 H.
10. Syifa-ul Alil fi Masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at Talil,
Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tahqiq Khalid Abdullathif as Sabu al
Alami, Daar al Kitab al Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan II, Tahun 1417 H/1997 M.
11. Al Wabil ash Shayyib, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tahqiq
Muhammad Abdurrahman Awadh, Daar al Kitab al Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan
VI, Tahun 1417 H/1996 M.
12. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), Tartib dan
Takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi,
Dammam, KSA, Cetakan V, Tahun 1422 H.
13. Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman bin Nashir
as Sadi, Tahqiq Abdurrahman bin Mualla al Luwaihiq, Daar as Salam, Riyadh, KSA,
Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
14. Shahih Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H),
Maktabah al Maarif, Riyadh.
15. Shahih Sunan an Nasa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H),
Maktabah al Maarif, Riyadh.
16. Shahih al Jami ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H),
al Maktab al Islami.
17. As Silsilah as Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H),
Maktabah al Maarif, Riyadh.
18. Al Qaul al Mufid ala Kitab at Tauhid, Muhammad bin Shalih al Utsaimin (1421
H), Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cetakan III, Tahun 1419 H/1999 M.
19. Ilmu Ushuli al Bida, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari,
Daar ar Rayah, Riyadh, KSA, Cetakan II, Tahun 1417 H.
20. Fiqh al Adiyah wa al Adzkar, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr,
Daar Ibn Affan, Riyadh, KSA, Th. 1419 H.
21. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani al Jazairi,
Mathabi al Humaidhi, KSA, Cetakan II, Tahun 1420 H.
22. Ahkam al Adwiyah Fi asy Syariati al Islamiyyah, Dr. Hasan bin Ahmad bin
Hasan al Fakki, Taqdim Syaikh Dr. Muhammad bin Nashir bin Sulthan as Suhaibani,
Maktabah Daar al Minhaj, Riyadh, Cetakan I, Tahun

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syariah al Islamiyah, hlm. 525-539.
[2]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 367.
[3]. Lihat permasalahan ini di kitab al Qaul al Mufid ala Kitab at Tauhid (1/531-552),
dan yang setelahnya.
[4]. Lihat -contohnya- kitab Sittu Durar min Ushuli Ahli al Atsar, hlm. 13 dan 65.
[5]. Lihat Ilmu Ushuli al Bida, hlm. 69 dan 211.
[6]. HR al Bukhari (1/28 no. 52), Muslim (3/1219 no. 1599), dan lain-lain, dari hadits
an Numan bin Basyir g .
[7]. Lihat Risalah fii al Qalbi wa Annahu Khuliqa li Yulama bihi al Haqqu wa
Yustamalu fiima Khuliqa lahu, hlm. 16.
[8]. Lihat al Wabil ash Shayyib, hlm. 61-111.
[9]. Sebagaimana yang dinukil oleh muridnya di dalam kitab al Wabil ash Shayyib,
hlm. 63.
[10]. Lihat Fiqh al Adiyah wa al Adzkar (1/17-18).
[11]. Lihat penjelasan ini dalam kitab Taisir Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al
Mannan (1/1059-1060).
[12]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 24.
[13]. Sesungguhnya dampak negatif dan pengaruh buruk dari perbuatan maksiat
sangatlah banyak. Al Imam al Allamah Ibnul Qayyim t menerangkan secara khusus
dengan panjang lebar tentang hal ini dalam kitab beliau, ad Daau wa ad Dawaa
atau dengan nama lain al Jawab al Kafi liman sa-ala an ad Dawaa asy Syafi (85-
170).
[14]. Lihat Taisir Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan (2/74-75).
[15]. Lihat Fawa-id al Fawa-id, hlm. 376.
[16]. Lihat permasalahan ini di kitab al Qaul al Mufid ala Kitab at Tauhid (1/60-145),
dan yang setelahnya, tentang keutamaan orang yang merealisasikan tauhid dan
takut terjerumus ke dalam kesyirikan.
[17]. HR an Nasa-i (7/61 no. 3939-3940), Ahmad (3/128 no. 12315-12316, 3/199 no.
13079, 3/285 no. 14069), dan lain-lain dari hadits Anas z . Dan hadits ini dishahihkan
oleh asy Syaikh al Albani t dalam Shahih Sunan an Nasa-i, Shahih al Jami (3124),
dan as Silsilah ash Shahihah (3/98 dan 4/424).
[18]. HR Abu Dawud (4/296 no. 4986). Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al
Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
[19]. Lihat Syifa-ul Alil fi masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at Talil,
hlm. 396.
[20]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syariah al Islamiyah, hlm. 549-550.
[21]. Lihat Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan (2/1052).
[22]. Lihat Ahkam al Adwiyah fii asy Syariah al Islamiyah, hlm. 550.




DAMAI HATI INGAT ALLAH
Menurut penelitian oleh David B Larson dan timnya dari the American National Health
Research Center (Pusat Penelitian Kesehatan Nasional Amerika), pembandingan antara orang
Amerika yang taat dan yang tidak taat beragama telah menunjukkan hasil yang sangat
mengejutkan. Sebagai contoh, dibandingkan mereka yang sedikit atau tidak memiliki
keyakinan agama, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60% lebih sedikit,
tingkat bunuh diri 100% lebih rendah, menderita tekanan darah tinggi dengan tingkat yang
jauh lebih rendah, dan angka perbandingan ini adalah 7:1 di antara para perokok.
Dalam sebuah pengkajian yang diterbitkan dalam International Journal of Psychiatry in
Medicine, sebuah sumber ilmiah penting di dunia kedokteran, dilaporkan bahwa orang yang
mengaku dirinya tidak berkeyakinan agama menjadi lebih sering sakit dan mempunyai masa
hidup lebih pendek. Menurut hasil penelitian tersebut, mereka yang tidak beragama
berpeluang dua kali lebih besar menderita penyakit usus-lambung daripada mereka yang
beragama, dan tingkat kematian mereka akibat penyakit pernapasan 66% lebih tinggi
daripada mereka yang beragama.
Para pakar psikologi yang sekuler cenderung merujuk angka-angka serupa sebagai dampak
kejiwaan. Ini berarti bahwa keyakinan agama meningkatkan semangat orang, dan hal ini
berpengaruh baik pada kesehatan. Penjelasan ini mungkin sungguh beralasan, namun sebuah
kesimpulan yang lebih mengejutkan muncul ketika orang-orang tersebut diperiksa. Keimanan
kepada Allah jauh lebih kuat daripada pengaruh kejiwaan apa pun. Penelitian yang mencakup
banyak segi tentang hubungan antara keyakinan agama dan kesehatan jasmani yang
dilakukan oleh Dr. Herbert Benson dari Fakultas Kedokteran Harvard telah menghasilkan
kesimpulan yang mencengangkan di bidang ini. Walaupun bukan seorang yang beragama,
Dr. Benson telah menyimpulkan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki lebih
banyak pengaruh baik pada kesehatan manusia daripada keimanan kepada apa pun yang lain.
Benson menyatakan, dia telah menyimpulkan bahwa tidak ada keimanan yang dapat
memberikan banyak kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah.
Apa yang mendasari adanya hubungan antara keimanan dan jiwa raga manusia ini?
Kesimpulan yang dicapai oleh sang peneliti sekuler Benson adalah, dalam kata-katanya
sendiri, bahwa jasmani dan ruhani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah.
Kenyataan ini, yang oleh dunia kedokteran pelan-pelan telah mulai diterima, adalah sebuah
rahasia yang dinyatakan dalam Al Quran dengan kalimat ini Hanya dengan mengingat
Allah hati menjadi tenteram. (QS. Ar Rad, 13:28). Alasan mengapa orang-orang yang
beriman kepada Allah, yang berdoa dan berharap kepada-Nya, lebih sehat secara ruhani dan
jasmani adalah karena mereka berperilaku sesuai dengan tujuan penciptaan mereka. Filsafat
dan sistem yang tidak selaras dengan penciptaan manusia selalu mengarah pada penderitaan
dan ketidakbahagiaan.
Kedokteran modern sekarang sedang mengarah menuju pemahaman tentang kebenaran ini.
Seperti kata Patrick Glynn: Penelitian ilmiah di bidang psikologi selama lebih dari 24 tahun
silam telah menunjukkan bahwa, keyakinan agama adalah satu di antara sejumlah kaitan
paling serasi dari keseluruhan kesehatan jiwa dan kebahagiaan.

MENCAPAI KETENANGAN DAN KEDAMAIAN HATI
Asslmkm. wr.wb.
Facebooker's yang selalu membaca penjelasanku...

Masalah dzikir meskipun Allah SWT telah membentangkan keutamaan-
keutamaannya dan menjanjikan hadiah-Nya kebanyakan orang (hampir semuanya)
tdk mau melakukan atau mengerjakannya. Padahal bila melakukan atau
mengerjakan suatu dzikir itu mereka dapat merasa aman dan tenteram
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Ar-Ra'd ayat 28, bhw "...maka hatipun akan
merasa aman dan tenteram". Semestinya dengan ayat ini, kita tidak merasa
canggung atau ragu-ragu.
Penyebab tidak aman dan tenteram berawal dari berduka atau hatinya gelisah, dan
terjadinya berduka atau gelisah itu karena ulah otak yang bertentangan dengan hati,
sehingga hati tidak tenteram dan terganggu. Contohnya, jika anda berbuat dosa, dan
anda tahu bahwa perbuatan yang dilakukan itu berdosa, tahu juga ancamanNya.
Selanjutnya secara naluri pikiran anda akan membela diri dan menyangkal (mencari
pembenaran) yang bertentangan dengan kata hati. Hati tetap mengakui hal yang
sebenarnya dan hati selalu pada posisi yang benar sebagaimana firman Allah SWT
dalam Surat An-Najm ayat 11, bhw "Hati tiada berdusta apa yg dilihatnya".

Lalu pertanyaannya, bagaimana cara mengatasi untuk mencapai ketenangan dan
kedamaian bathin ini?

Satu-satunya jalan adalah dengan cara menenangkan diri atau menetralisir anggota
tubuh. Dalam ajaran Islam pelaksanaan penenangan diri dan penetralan anggota
tubuh dengan berdzikir, bermunajat memohon pertolongan Allah SWT (waktu yg
baik adalah malam hari disaat sepi dan heningnya kehidupan).

Waktu di dalam Islam sangat dihargai dan dimuliakan, dan Allah SWT telah
mengingatkan manusia berkali-kali akan pentingnya "waktu", yaitu dalam surat al-
'Ashr, al-Fajr, ad-Dluha dan msh banyak lagi. Allah SWT bersumpah atas nama
waktu, agar manusia dpt memahami makna waktu. Berfikir, menerung, serta
mengingat kembali tentang amal ibadah apa yang telah dilakukan dalam mengisi
waktu-waktu tersebut. Jika melakukan perbuatan dosa, maka istighfar sebagai
penawarnya, dan jika waktu-waktu itu diisi dengan kebajikan, selanjutnya adalah
rutinitas. Hal ini, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Furqan ayat 62, "Dia (Allah
SWT) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu
(kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang
yg bersyukur".
Penentuan waktu (janji menemui Allah SWT) berdzikir baik dalam al-Qur'an maupun
hadist bisa siang atau malam (tidak secara tepat ditentukan), hanya disebutkan
dalam surat Al-Imran ayat 41, "Berdzikirlah kepada Allah pagi dan petang",
selanjutnya dalam surat Ad-Dahr ayat 25, "Dan sebutlah nama Tuhanmu pagi dan
petang. Dan di sebagian malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah
kepada-Nya di malam yang panjang". Coba tengok surat Qaf ayat 40, "Dan
bertasbihlah kepada-Nya dalam sebagian malam dan di akhir sholat", surat Thaha
ayat 130, "Bertasbihlah pada beberapa jam dari malam...".

Menurut Imam al-Ghazali dalam penentuan waktu (janji menemuiMu) untuk sholat
tahajjud membagi enam alternatif, yaitu : (1) Seluruh wkt malam, sebagaimana
dilakukan oleh Sa'id bin Musayyab, Fudhail bin 'iyadh, Abu Abdillah al-Khawas,
Thawus dan lain lain (2) Separuh malam (jam 00.00 WIB) sebagaimana Surat al-
Muzammil ayat 3, "seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit", (3)
Sepertiga malam (antara jam 22.00 wib - jam 23,00 wib),(4) Dua pertiga malam atau
jam 02.00 wib - 03.00 wib, sebagai yang dilakukan oleh Dhigham bin Malik, (5)
Seperenam malam, sebagaimana surat Shaad ayat 17, (6) Kira2 empat rakaat atau
dua rakaat sebelum fajar.
Baik sholat tahajud dan dzikir, orang dpt menggunakan waktu yang tepat dan lebih
khusyu' (sebaiknya malam hari), maka Allah SWT akan memberikan kemenangan
dan rahmat-Nya sebagaimana dijelaskan dalam surat Az-Zumar ayat 9, "Atau
adakah orang yang berbakti di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, dalam
keadaan takut kepada adzab akherat dan mengharap rahmat Tuhannya?
Katakanlah :"Adakah sama mereka yang tahu dan mereka yang tidak tahu".
Demikian pula dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Turmudzi,
bahwa dari Amr Ambasah, menanyakan kepada Rosulullah SAW, "Malam manakah
yang lebih didengar doa?" Nabi menjawab, "Tengah Malam". Nabi Daud a.s. berdoa
:"Wahai Tuhanku, Sesungguhnya aku amat suka berbuat ibadah kepadaMu. Maka
waktu manakah yang lebih utama?". Maka diwahyukan Allah kepadanya : "Wahai
Daud, Janganlah kamu bangun pada awal malam dan jangan pada akhir malam.
Sesungguhnya orang yang bangun awal malam, niscaya ia tidur pada akhir malam.
Dan orang yang bangun pada akhir malam niscaya tidak bangun pada awal malam.
Tetapi bangunlah tengah malam sehingga engkau besunyi-sunyi dengan Aku dan
Aku berkhalwat dengan engkau dan sampaikanlah kepada-Ku segala hajat engkau".
Dari uraian tersebut dpt disimpulkan bahwa janji menemui Allah SWT baik dalam
sholat tahajud dan dzikir ditentukan "tengah malam".

Kembali pada masalah dzikir, bahwa pola umum yang dilakukan dalam pelaksanaan
dzikir adalah :
1. Mencari tempat yang tenang, tidak terlalu terang dan berada ditempat sekurang-
kurangnya selama 30 menit tanpa diganggu orang. Duduk dengan tenang dalam
sikap yang nyaman dan santai serta mata terpejam.
2. Dengan keyakinan, lemaskanlah seluruh otot tubuh yang dimulai dari kaki sampai
kepala.
3. Mengatur pernafasan. Lakukan inspirasi yang dalam dengan diikuti oleh istirahat
beberapa saat dan selanjutnya dengan mengucapkan Allah, ya Allah atau Laa
ilaaha illallaah. Setelah selesai (20 menit), tetaplah duduk untuk beberapa saat dan
mata dibuka kembali.
4. Jangan memikirkan apakah kita berhasil atau tidak. Tinggallah tetap pasif dan
membiarkan agar yang dilakukan tetap membekas/menguasai diri kita (biasanya
berbagai fikiran atau angan-angan masuk ke benak kita dan sebaiknya diabaikan
saja).

Pelaksanaan dzikir tersebut sebaiknya dilakukan secara teratur pada malam hari
sebelum tidur atau pagi hari setelah bangun tidur (selesai sholat shubuh). Bila
ketenangan dan kedamaian bathin anda tercapai, maka kesehatan jiwa dan raga
dengan iman yang kuat, tentunya Allah SWT membantu membukakan fikiran anda
sehingga selalu berkeinginan menghadap kepada-Nya dan berpaling dari nafsu.
Selanjutnya Allah SWT memberi jalan keluar dari kesulitan yang diridhoi-Nya
melalaui indra keenam yg disebut Ilham. Untuk itu, marilah kita menghias dan
menikmati hidup ini dengan suatu perjuangan sebagaimana firman Allah SWT dalam
Surat Al-Ankabut ayat 69, "Dan orang-orang yang berjuang dalam urusan Kami,
niscaya Kami tunjukkan kepada jalan Kami".

Bila Anda bermaksud mengobati kedukaan Anda, terlebih dahulu anda mendekatkan
diri kepada Yang Memberi Duka (Allah SWT), kemudian memohon untuk
dilepaskannya kedukaan itu karena hanya Dialah Dzat Yang Memberi ketenangan
jiwa. Ketrentraman jiwa itu akan membawa kepada kenikmatan pada segala karunia-
Nya baik berupa nikmat maupun selainnya. Semuanya itu datang dari dalam diri
anda sendiri.

Imam al-Ghazali, berkata "Kenikmatan itu tidak datang, selain dari kejinakan hati dan
kecintaan. Kejinakan hati itu, tidak timbul selain daripada terus menerus menghadapi
kesulitan dan keberatan pada masa yang panjang, sehing keberatan itu menjadi
biasa". Selanjutnya Imam al-Ghazali, berkata "Bagaimanakah dipandang ini jauh
dari kebenaran, sedang manusia itu pada mulanya merasa berat memperoleh
makanan yang akan mengenyangkannya. Merasa kesulitan memakannya. Dan
membiasakan diri padanya, lalu kemudian menjadi persesuaian dengan tabiatnya,
sehingga ia tidak sabar lagi. Jiwa itu membiasakan memikul apa yang dirasa berat,
sehingga apa yg dibiasakannya menjadi kesenangan".

Jadi kedukaan itu biasanya ditimbulkan oleh dirinya sendiri (bukan dari orang lain),
sedangkan apabila merasa berduka karena orang lain sebenarnya adalah pantulan
dari dirinya sendiri. Contohnya, anda mencintai seseorang, kemudian orang yngg
anda cintai itu meninggal, maka sedihlah anda. Dan kesedihan itu datang pada diri
anda sendiri, mengapa menaruh cinta kepadanya yang mengakibatkan berduka?
Kedukaan itu akan lenyap bila anda sendiri yang melenyapkannya, dan salah satu
cara melenyapkannya adalah dengan mengingat Allah SWT (dzikir kpd Allah) setiap
saat, dan melupakan pantulan duka itu.

Bagaimanakah cara mengingat Allah SWT untuk mencapai ketenangan jiwa dlm
rangka melenyapkan kedukaan? Yang pertama dilakukan adalah timbulkan
keyakinan yang kuat sebagaimana meresapi firman Allah SWT dlm surat Al-Raad
ayat 28 dan surat al-Muzammil ayat 6 (tolong buka al-Quran dan terjemahannya).
Yang kedua adalah menentukan waktunya malam hari. Dalam mengharap
kesembuhan duka dengan dzikir malam hendaknya menyertakan hati (bukan hanya
ucapan melalui mulut tanpa kehadiran hati di dalamnya).

Imam al-Ghazali berkata,"bahwa yang membawa bekas yang bermanfaat yaitu
Dzikir yang terus menerus, disertai dengan hati". Bagi anda yang belum terbiasa
menghadirkan hati dalam dzikir hendaknya melatih diri sedikit demi sedikit. Bila anda
menghadapi hidup ini dengan keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa pertolongan
Tuhan Yang Maha Kuasa, anda bisa mengatasi kesulitan anda, hal ini berlaku dalam
keadaan apa saja yang kita temui dalam hidup ini, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al-A'raf ayat 55 (tolong buka al-Quran dan terjemahannya) .

Selain persiapan keyakinan yang kuat, waktunya malam dan kehadiran hati dalam
pelaksanaan berdzikir juga hendaknya :
1. Dengan pakaian yang bersih.
2. Badan dalam keadaan suci, syukur bila ada wangi-wangian karena yang demikian
itu sesungguhnya akan menambah kegairahan dan ketenangan dalam pelaksanaan
dzikir.
3. Dalam berdoa (dzikir) sebaiknya menghadap kiblat.
4. Mencari tempat yang tenang, deng penerangan yang tidak terlalu terang.
5. Dengan keyakinan, lemaskanlah semua otot tubuh dimulai dari kaki sampai
kepala (maksudnya menyadari bahwa anda adalah makhluk yang lemah).
6. Lakukanlah dengan inspirasi yang dalam.
7. Sebelumnya diawali dengan sholat lebih dahulu, kemudian melakukan dzikir yang
anda kehendaki.

Semoga anda semua dapat mengamalkannya dan mudah-mudahan Allah SWT
mengabulkan doa (dzikir) untuk mengobati kedukaan anda...amiin.
Wasslmkm. wr.wb. (MM2552010)

Anda mungkin juga menyukai