Anda di halaman 1dari 11

1.

Diversifikasi Pasar Ekspor Harus Dilakukan




JAKARTA - Langkah diversifikasi negara mitra dagang serta produk ekspor dinilai dapat meningkatkan pertumbuhan
nilai ekspor nasional yang terganggu akibat krisis. Jika kita tidak mampu mendiversifikasi pasar ekspor dan produk
ekspor serta komoditas, maka dengan kondisi global sekarang ini sulit nilai ekspor tumbuh.

Menurut Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar saat ini merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan nilai
tambah dan daya saing nasional agar Indonesia dapat menjaga nilai eskpor dan menghasilkan produk berkualitas di
tingkat internasional.

Upaya tersebut, kata dia, harus dilakukan karena beberapa negara mulai membenahi sektor ekspor mereka, sebagai
upaya jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

"Dengan kondisi sulit masih ada peluang bagi kita untuk tumbuh, tapi perlu usaha ekstra dan tidak bisa membiarkan
pemulihan global yang memang lambat," katanya.

Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan industri hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahan.
Sehingga Indonesia dapat mulai melakukan ekspor untuk produk olahan bahan mineral.

"Keberhasilan mendorong hilirisasi industri juga akan menghasilkan lapangan pekerjaan dan keuntungan inovasi
pada produk bernilai tambah tinggi bagi negara kita," ujarnya.

Selain itu, Mahendra menjelaskan upaya hilirisasi dapat melahirkan multiplayer effect berupa kemandirian dalam
sektor ekspor nasional serta peningkatan penerimaan negara.

"Ini menjadi kesempatan bagi kita karena terlalu mengandalkan ekspor barang mentah yang naik turunnya
tergantung dari negara lain memiliki kerawanan dan kesulitan tersendiri," ujarnya.

Ia juga mengatakan pemberian insentif fiskal dapat dimungkinkan untuk mendorong pembangunan pabrik
pengolahan yang bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Perluas Pasar
Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengusulkan diversifikasi atau perluasan tujuan ekspor dari yang
sebelumnya ke Eropa menjadi Afrika dan Timur Tengah untuk menghadapi dampak krisis global.

"Kita mesti melakukan diversifikasi tujuan ekspor dari pasar tradisional di Eropa ke Afrika dan Timur Tengah,"
katanya.

Kemenperin, kata dia, telah meningkatkan target ekspor ke Afrika dan Timur Tengah yang saat ini sekitar 14 persen
menjadi sekitar 30 persen. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang utamanya terjadi di
kawasan Eropa.

Dia juga menambahkan saat ini pemerintah tengah mencoba menyusun matriks perubahan regulasi untuk
mendorong daya saing Indonesia.

Matriks perubahan regulasi itu nantinya juga bisa diguakan untuk menghadapi perjanjian perdagangan bebas
ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada 2015 mendatang.

"Isinya harmonisasi dan juga perubahan untuk meningkatkan competitiveness kita di ASEAN," ujarnya.

Menurut dia, matriks perubahan regulasi itu, nantinya selama tiga tahun ke depan bisa secara bertahap merubah
aturan, terutama terkait ongkos produksi yang saat ini cukup tinggi sehingga membuat daya saingnya rendah.

Menperin juga memproyeksikan pertumbuhan industri 2013 akan berada di kisaran 6,8 hingga 7,1 persen. Dengan
laju pertumbuhan sebesar itu, Menperin memperkirakan bisa menciptakan sekitar 450.000 tenaga kerja baru.

Selain itu, dengan laju pertumbuhan tersebut, dia juga memproyeksikan ekspor barang industri bisa mencapai sekitar
125 miliar dollar AS dan penanaman modal asing bisa mencapai 12 miliar dollar AS.
sumber : Koran Jakarta
2. Dampak Foreign Direct Investment dan Kinerja
Ekspor- Impor terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Nasional: Studi Komparatif Negara Maju dan Negara
Berkembang
Deviyantini
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/55786
Date: 2012
Abstract:
Globalisasi ditandai dengan semakin terbukanya suatu negara terhadap perdagangan internasional serta
investasi asing langsung. Banyak negara-negara di dunia berlomba-lomba dalam meningkatkan aliran
masuk foreign direct investment (FDI) serta pangsa ekspornya dalam perdagangan internasional. Kedua
kegiatan tersebut dianggap dapat mempercepat proses pertumbuhan ekonomi di suatu negara, baik di
negara maju maupun di negara berkembang. Namun, perlu disadari pula bahwa dampak dari FDI serta
perdagangan internasional tidaklah sama antar satu negara dengan negara lainnya, terutama antara
negara maju dan negara berkembang. Sehingga, para pembuat kebijakan atau pemerintah baik di
negara maju maupun di negara berkembang, perlu memilih strategi yang tepat dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kondisi dari masing-masing negara. Pada model pertumbuhan
neoklasik, dikatakan pula bahwa jumlah kapital serta tenaga kerja mempunyai dampak yang positif bagi
pertumbuhan ekonomi. Hal ini pula yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah di seluruh
dunia dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya dari sisi tenaga kerja dan modal.
Pada penelitian ini, ada tujuh belas negara yang terlibat. Ketujuh belas negara tersebut berasal dari
kawasan ASEAN+6, Uni Eropa, dan Amerika Utara. Kemudian, negara-negara yang terlibat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu negara maju dan negara berkembang. Pengelompokkan ini
dilakukan karena adanya perbedaan kondisi ekonomi di negara maju dan negara berkembang. Penelitian
ini mencoba untuk menganalisis hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan inwards FDI,
ekspor, impor, serta jumlah kapital dan angkatan kerja di suatu negara yang juga dianggap mempunyai
pengaruh dalam proses tersebut. Selain itu, penelitian ini juga mencoba menganalisis cara yang paling
baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara berkembang, antara FDI-led
growth atau export-led growth. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu, Granger causality test
dan panel data dinamis. Hasil menunjukkan, secara umum, terdapat hubungan kausalitas satu arah
antara FDI dan GDP, dimana FDI secara signifikan memengaruhi GDP. Hal yang sama juga terjadi
antara hubungan kausalitas antara tenaga kerja dan GDP. Hubungan kausalitas satu arah ditemukan
antara tenaga kerja dan GDP, dimana GDP secara signifikan berpengaruh terhadap tenaga kerja.
Sementara antara variabel ekspor dan GDP, impor dan GDP, serta kapital dan GDP ditemukan
hubungan kausalitas dua arah. Untuk kasus di negara maju, hasil analisis menunjukkan bahwa FDI
merupakan faktor yang mempunyai pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Selain itu, karena FDI mempunyai probabilitas yang signifikan sementara ekspor tidak signifikan, maka
dapat dikatakan bahwa meningkatkan aliran masuk FDI ke negara maju merupakan strategi yang
memungkinkan dibandingkan menggunakan strategi ekspor. Pada kasus di negara berkembang
ditemukan bahwa inwards FDI, ekspor, dan kapital merupakan faktor-faktor yang berpengaruh positif,
semntara impor mempunyai pengaruh yang negatif bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.
Selain itu, koefisien ekspor mempunyai nilai yang lebih besar dibanding koefisien FDI. Dengan kata lain,
ekspor mempunyai dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Dengan
kata lain, menggunakan strategi ekspor dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang dapat menjadi suatu pilihan yang tepat dan memungkinkan.
3. Kagama Berjuang Wujudkan Kedaulatan
Pangan Indonesia

Seminar Nasional Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Utama Kedaulatan Bangsa. (Foto: Diah A.R)
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada
(Kagama) mengadakan sebuah seminar yang berupaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.
Keprihatinan soal pangan di negara kita saat ini akan berpotensi menjadi ancaman bencana pangan di masa depan yang
bersumber dari tata kelola sektor pertanian yang tidak sehat, kata Haryadi Himawan, ketua panitia seminar dalam konferensi pers
Seminar Kedaulatan Pangan di Restoran Sari Kuring, Jakarta, Minggu (1/6).
Jika terus dibiarkan berlarut maka pangan di Indonesia sebagai negara agraris tidak akan menjadi pilar utama perekonomian
bangsa. Indikasi tata kelola pangan yang tidak sehat antara lain tampak pada impor pangan yang semakin meningkat selama 10
tahun terakhir.
Menurutnya, ada beberapa akar permasalahan yang terjadi pada tata kelola pangan yaitu subsidi pupuk yang tidak jelas dinikmati
oleh siapa, bagaimana pemanfaatan anggaran pemerintah untuk sektor pertanian dalam 10 tahun terakhir ini yang meningkat 600
persen serta mengapa konvensi lahan subur banyak yang berubah menjadi areal pemukiman dan industri. Beberapa permasalahan
ini akan menjadi bertambah buruk dengan adanya ancaman perubahan iklim.
Haryadi menyatakan bahwa seminar ini bertujuan untuk membedah fakta-fakta melalui eksplorasi pemikiran para pakar,
pemerhati/pengamat, pelaku dan pemangku kewenangan tentang persoalan pangan secara detil. Hal ini terus diangkat sehingga
masyarakat luas mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang hal pangan. Dia juga berharap agar masyarakat akan sadar
sehingga mampu mengawal pemerintah yang baru untuk dapat menyusun kemungkinan perencanaan dan mengeksekusi
kebijakan.
Dalam seminar tersebut ada empat pembicara yaitu Prof. Dr. Mohamad Maksum Kabul yang membawakan materi Kedaulatan
Pangan Sebagai Kiblat Kedaulatan Pangan, Prof. Dr. Andreas dengan materi Penataan Kebijakan Tata Kelola Pangan, Dr.
Hendri Saparini dengan materi Meluruskan Kebijakan Tata Niaga Pangan dan Irwan Nurdin, M.Si dengan materi Penataan
Kembali Kebijakan Agraria sebagai Kondisi Pemungkin Mewujudkan Kemandirian Pangan.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Slamet Rahardjo juga turut hadir dalam acara ini untuk menyampaikan kata sambutannya.
4. Ketika Indonesia berdiri sebagai negara-bangsa berdaulat, para bapak bangsa sudah memprediksi
bahwa salah satu masalah krusial era Indonesia merdeka adalah persoalan pangan. Pangan merupakan
soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka.
Karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. (Ir Soekarno, 1952).

Indonesia adalah salah satu diantara 3 (tiga) negara berkembang disamping China dan India yang
berpenduduk banyak. Indonesia adalah negara net-importir pangan (yang semakin meningkat dari tahun
ke tahun, baik volume maupun nilainya), sebaliknya untuk China dan India.

Setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa untuk mengimpor komoditas konsumtif pangan dari
negara lain akibat yang diproduksi di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, kecuali ubi kayu dan
minyak goreng sawit.

Sejauh ini, ada lima komoditas yang selalu memercikkan isu nasional, utamanya menjelang Lebaran dan
Tahun Baru, yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.

Mengatasi kekurangan komoditas konsumtif pangan itu dapat dilakukan dengan meningkatkan jenis
sumber lain melalui diversifikasi pangan dengan kembali kepada kearifan gastronomi lokal yang selama
digunakan masyarakat di daerah dan pedesaan.

Variasi jenis dan macam pangan lokal Indonesia sangat beragam, hal ini tergantung dari budaya dan
kebiasaan masyarakat setempat. Nasi jagung, sagu dan gaplek bukan mencerminkan keadaan sosial
ekonomi masyarakat yang rendah tetapi kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam
memanfaatkan keadaan alam yang harmonis dan selaras.

Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan peng-aneka-ragaman konsumsi
pangan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan adalah dengan mengembalikan pola peng-aneka-
ragaman konsumsi pangan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan gastronomi lokal.

Kearifan gastronomi lokal sebagai sumber karbohidrat masyarakat di pedesaan yang biasa dikonsumsi
adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong (sebek), surak, gembili (kemilik), uwi dan perenggi.

Sedangkan sebagai sumber protein, masyarakat juga telah terbiasa mengkonsumsi aneka jenis ikan,
seperti belut, siput, kerang dan unggas yang berasal dari hasil budidaya maupun hasil tangkapan di
alam.

Adapun untuk sumber mineral dan vitamin, didapat dari buah-buahan dan sayuran yang tersedia di
pinggiran hutan, kebun, pematang sawah, saluran irigasi maupun di pekarangan rumah.

Pembudidayaan beberapa komoditas pangan lain saat ini memang seperti kurang diperhatikan yang
seharusnya sudah saatnya kembali memerhatikan pangan-pangan potensial seperti umbi-umbian atau
biji-bijian yang dapat menjadi substitusi beras.

Sejak 1974, awal 1990-an dan tahun 1996, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai inpres tentang
pentingnya penganekaragaman pangan dan gizi sebagai tujuan menuju diversifikasi pangan. Kegagalan
diversifikasi pangan selama ini disebabkan beras mempunyai citra superior ketimbang pangan sumber
karbohidrat lainnya. Dengan memerhatikan sumber daya lokal, sesungguhnya ada peluang untuk
mengurangi konsumsi beras bagi bangsa ini.

Arti penting menanamkan pemikiran untuk memanfaatkan bahan pangan lokal yang tersedia di tempat
sebagai makanan sehari-hari akan sangat terdukung, jika pengetahuan tentang memasak makanan yang
lezat dan menarik telah dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat. Bahwa selama ini, pendidikan
memasak makanan yang dilakukan para ibu, hasilnya merupakan legenda nenek, yang terkesan kurang
prestisius untuk disampaikan secara formal.

Apalagi fenomena memasak legenda leluhur itu dengan kombinasi sifat bahan, jenis bumbu dan teknik
mengolah tidak pernah atau sedikit sekali diungkap dan dijelaskan. Pelajaran memasak makanan dan
tata boga yang ada dalam kurikulum lembaga pendidikan di Indonesia dinilai kurang menekankan
penggunaan bahan pangan lokal, serta tidak didasari penguasaan ilmu dan teknoloi pangan yang
memadai.

Bahkan cenderung, para juru masak profesional Indonesia menggunakan bahan-bahan import seperti
terigu, keju, saos, karena terkesan seseorang lebih modern dan seleable dalam memiliki kemampuan
dan kepandaian mengolahnya.

Oleh karena itu pemikiran untuk mendekatkan kearifan masakan-makanan lokal pada masyarakat
menjadi sangat strategis. Banyak bahan pangan yang perlu digali peranannya secara ilmiah, seperti gula
kelapa, legen, kluwak, untuk membentuk cita rasa dalam kuliner Nusantara. Setelah itu baru diadakan
bimbingan inovasi dalam pengolahan menjadi produk siap saji yang memenuhi tuntutan selera konsumen
segala kelompok usia.

Untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang mampu mendukung menciptakan budaya baru dalam
pemanfaatan pangan lokal. Sumber daya manusia yang dapat diharapkan untuk berperan antara lain
adalah sumber daya manusia yang mampu untuk menguasai ilmu pangan serta menyesuaikan dengan
selera konsumen yang selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai perkembangan. Diperlukan
kemampuan baru agar menggunakan kuliner warisan tradisional Nusantara sebagai dasar
pengembangan produk supaya produk tetap berakar pada budaya Indonesia namun mampu memenuhi
selera konsumen.

KEARIFAN GASTRONOMI LOKAL
Diversifikasi pangan seyogianya tidak hanya diterjemahkan sebagai mengganti pangan pokok. Upaya
mengurangi konsumsi beras (serealia) harus diikuti dengan peningkatan konsumsi berbagai kelompok
pangan lainnya seperti pangan hewani dan kacang-kacangan, dengan tetap memerhatikan aspek
keseimbangan.

Ketersediaan bahan pangan yang bersumber warisan negeri sendiri, hari ini justru termarjinalkan karena
dianggap sebagai bahan pangan kelas dua yang tidak memenuhi standar pangan masyarakat modern.
Hal tersebut dikarenakan beras yang dianggap sebagai satu-satunya bahan pangan terbaik bagi
masyarakat Indonesia. Adanya anggapan bahwa makan tanpa beras (dibaca nasi) tidak dianggap
sebagai makan, ditenggarai menyebabkan konsumsi beras nasional menjadi tidak terkendali, sehingga
hari ini sebenarnya diperlukan pengambilan sikap serius dan tegas dari Pemerintah untuk menghentikan
konsep pangan beras-isasi tersebut.

Tak hanya itu, masyarakat luas pun diharapkan mampu memahami pentingnya pemanfaatan bahan
pangan lokal yang tersedia setempat sebagai makanan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung
pengembangan pangan lokal apabila pengetahuan tentang memasak makanan berbahan pangan lokal
yang lezat dan menarik dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat.

Kemandirian pangan melalui kedaulatan pangan berperan strategis dalam pembangunan nasional
karena merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kearifan gastronomi lokal bertujuan membuka
wawasan baru untuk mempercepat tercapainya kemandirian pangan melalui kedaulatan pangan,
penganekaragaman pangan melalui tinjauan budaya makan, sejarah makanan dan antropologi budaya
masyarakat terkait tradisi makan, yang selama ini masih terabaikan.

Kemandirian pangan yang dikembangkan dengan bertumpu pada keragaman sumber-daya bahan
pangan lokal merupakan faktor penting dalam kedaulatan pangan. Disamping itu didukung oleh
kelembagaan dan budaya lokal / domestik; distribusi dan ketersediaan pangan mencapai seluruh
wilayah; serta peningkatan pendapatan masyarakat, keluarga dan perorangan agar mampu mangakses
pangan secara berkelanjutan dengan memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar
lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang
usaha seluas- luasnya.

Namun motif utama di balik pangan lokal seyogyanya harus merekam jejak pelaku-pelaku yang
mempersiapkan dan siapa yang menggerakan sampai tersedianya keperluan bahan makanan dan
minuman, antara lain seperti para pembudidaya, petani, nelayan, juru masak, atau apapun judul atau
kualifikasi mereka. Para pelaku-pelaku ini yang menjamin ketersediaan dan mengolah pangan itu
sehingga pancaindra kita seperti mata, hidung, dan lidah, ikut makan disajikan secara sempurna. Tanpa
mereka, bagaimana jadinya perikehidupan bangsa ini. Mungkin budaya Indonesia, jika tidak boleh
disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.

Sayangnya, sejak orde reformasi, mereka itu semua boleh disebut pahlawan pangan yang jarang
diperhatikan. Para pengambil keputusan hampir jarang pernah menyentuh mereka. Semua pelaku di sisi
proses ini memang jarang mendapat perhatian dari para pengambil keputusan. Padahal, mereka ini
adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka juga selalunya terlambat
menafsirkan terus-menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen. Akibatnya secara perlahan-
lahan mereka mati karena tertinggal oleh selera konsumen yang melompat, karena perubahan budaya
makan tak bisa dihindari. Ini sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah poros penggerak
perubahan.

Miskinnya perhatian elite penguasa otomatis berimplikasi ke hilir, yakni pada ketidakmampuan para
pelaku usaha makanan untuk bersaing dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan
perubahan selera konsumen berusia muda. Kelompok usia muda ingin-nya mengonsumsi produk kualitas
premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima.

Sejauh ini, belum pernah didengar ada program aksi Pemerintah untuk kemashlatan rakyat kecil,
misalnya, melatih dan mendidik para juru masak warung tenda kaki lima agar makanan yang mereka
masak dan jual bersih, penampilannya mengundang selera, menggoyang lidah dan rasanya enak. Jika
melihatnya, seakan-akan seluruh panca-indra kita juga ikut makan. Juga belum pernah terdengar kabar,
usaha industri kecil makanan rumah tangga, seperti jajanan pasar tradisional, mendapatkan bimbingan
kulinerologi sehingga penampilannya akan indah dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.

Sudah merupakan kewajiban rakyat Indonesia untuk mengangkat kemampuan kelompok ini untuk
menjadi roda utama kreatifitas bangsa dalam mengolah potensi sumber daya yang dimiliki dan
dimanfaatkan pada kesempatan yang tersedia. Kreatifitas yang dimaksud bersumber pada akar budaya
bangsa yang semakin besar keanekaragaman akar budaya itu akan semakin besar potensi kreatifitas
yang dihasilkan serta semakin besar pula potensinya untuk maju berkembang dalam persaingan global.

Sebuah negara dikatakan memiliki kedaulatan pangan yang baik apabila pangan itu tersedia, baik jumlah
maupun mutunya aman dan merata. Rakyat dapat membeli dengan harga terjangkau dan kita tidak harus
tergantung secara mutlak kepada sumber-sumber pangan negara lain di pasar internasional.

Kelangsungan hidup suatu bangsa bukan ditentukan oleh invasi militer, konflik ideologi, dan kontestasi
politik, melainkan oleh ketersediaan pangan.

Adalah tugas semua pihak, agar masyarakat dapat memperoleh cara yang paling tepat yang dapat
digunakan sebagai salah satu upaya percepatan peng-aneka-ragaman pangan melalui sinergi berbagai
aspek yang belum pernah dilakukan dalam pencapaian tujuan peng-aneka-ragaman pangan.

Kuliner lokal Nusantara sangat mampu memenuhi kebutuhan kita dan dapat memberikan gizi yang
bagus, karena kuliner lokal Nusantara dikenal dan telah dikaji memiliki keunggulan yang terbukti dan
diakui.

Pelestarian kuliner Nusantara mutlak diperlukan untuk membangun bangsa yang maju, mandiri, cerdas,
inovatif, dan produktif, serta visioner.

Saat ini belum ada kesadaran untuk mendokumentasi semua jenis kekayaan kearifan gastronomi lokal
yang tersebar di suruh negeri ini. Catatan tentang kearifan gastronomi lokal merupakan bagian dari
upaya mendokumentasi kekayaan kuliner warisan tradisional Nusantara. Banyak berbagai ragam tulisan
mengenai kuliner tetapi pada umumnya sebatas resep tanpa menjelaskan perihal sejarah, asal usul,
ritual dan hubungannya dengan kearifan lokal.

Mengangkat potensi kearifan gastronomi lokal ke pentas dunia merupakan suatu keharusan. Sebab
potensi kuliner di Tanah Air, sungguh sangat luar biasa beragam, tidak tertandingi dengan negara mana
pun. Sudah ada bukti kuliner nusantara dikenal dunia seperti rendang, di antaranya, adalah masakan
daging paling enak yang sudah dikenal dan diakui dunia.

Mengenal kearifan gastronomi lokal, memahami cara memasak, serta seni menghidang masakan akan
membantu menghasilkan dan meningkatkan citarasa. Citarasa ini pada akhirnya akan membangun rasa
cinta terhadap Tanah Air sendiri. Apabila orang mampu menikmati citarasa yang beragam ini, niscaya
manfaat makanan akan lebih baik dan mampu menanamkan kebajikan dalam hidup di samping
membangun rasa cinta Tanah Air.

Tidak dapat disangkal sumber daya alam nusantara sangat kaya dan menjadi citarasa dunia. Semua itu
ada di bumi Nusantara. Perjalanan mencari dunia baru yang menghasilkan seni dapur (cuisine) sangat
diakui Perancis, yaitu dengan masuknya aneka rempah-rempah dari Maluku, Jawa dan Sumatra ke
Eropa lebih dari 500 tahun silam.

Dalam upaya melestarikan warisan pangan lokal, kearifan gastronomi lokal dapat dijadikan pendamping
dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Karena kearifan gastronomi lokal merupakan internalisasi dari
pengalaman hidup yang panjang dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal dengan norma-
norma sosialnya. Kearifan gastronomi lokal ini dapat sekaligus menjadi penyaring modernisasi yang
dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak
alam lingkungan.

Mewujudkan kedaulatan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pangan lokal bukan
berarti harus mengabaikan norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian
alam, serta memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Kedaulatan pangan nasional akan menjadi
terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya masyarakat pedesaan dan
menimbulkan kerusakan alam.

Kearifan gastronomi lokal ini menjadi benteng yang sangat penting dalam meningkatkan peranan pangan
lokal di Indonesia. Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan lokal atas kearifan gastronomi
lokal memang sulit untuk dimaksimalkan, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong oleh
Pemerintah melalui regulasi dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan. Meski demikian, peranan
dunia usaha tetap harus sejalan dengan kearifan gastronomi lokal yang telah tumbuh dan berkembang
pada kehidupan masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu, kedaulatan pangan nasional akan
terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan berbasis kearifan gastronomi lokal.

RENUNGAN & SARAN
Sebagai negara subtropis, apabila Republik mengurangi karnaval politik dan kontestasi kekuasaan serta
praktek demokrasi lebih difokuskan pada gerakan struktur pangan lokal berbasis kearifan gastronomi
lokal, diyakini Indonesia akan mampu memberi makan rakyatnya. Sebaliknya, bila terus terjebak pada
semata-mata kebebasan berekspresi, kita akan jadi beban dunia.

Untuk itu, Pemerintah harus berperan secara pro-aktif sebagai suporter dan katalisator. Pemerintah
harus memahami perubahan budaya makan masyarakat. Bukan waralaba asing yang sesungguhnya
menjajah Indonesia, tetapi elite penguasa gagal menangkap perubahan selera bangsa sendiri. Tanpa itu,
suara- suara kritis yang mengatakan bahwa makanan asing telah menggeser makanan lokal akan
semakin menebar.

Perjuangan ini semua bukan hanya ada di wilayah kekuasaan Pemerintah, sudah saatnya merangkul
inisiatif kerjasama dengan gerakan Filantropi di Indonesia untuk turut bahu-membahu membangkitkan
pelestarian kearifan gastronomi lokal bangsa ini. Upaya mengembangkan potensi Filantropi bagi
pemberdayaan gastro-kuliner di Indonesia, mengingat upaya ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh
orang-perseorangan, maupun oleh satu dua kelompok atau organisasi atau oleh Pemerintah saja.
Tantangan masalahnya terlalu besar.

Belum adanya infrastruktur kelembagaan dan kebijakan yang mendukung dan mendorong secara intensif
perlu adanya usaha-usaha yang efektif dan terarah dari berbagai komponen pelaku dan pendukung
Filantropi di Indonesia untuk menghimpun, menyatukan dan memperkuat gerak langkah bersama dalam
menghadapai tantangan pelestarian gastro-kuliner di negeri ini. Kontribusi gerakan Filantropi dalam
bidang gastro-kuliner Indonesia sangat potensial bagi bangsa ini, khususnya bila daya kemampuan
mereka ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Jangan sampai kemerdekaan masyarakat tak terwujud, stabilitas politik pun bisa terancam setiap saat
karena rakyat lapar. Ini disebabkan, meminjam istilah Mahatma Gandhi, Bagi orang yang kelaparan, roti
adalah Tuhan. Karena itu harus tersedia di setiap rumah.

"Hiduplah tanahku, hiduplah negeri, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah
Badannya, untuk Indonesia Raya." Inilah syair lagu sekaligus doa dari bangsa ini. Hiduplah tanahku
dengan membangun badannya. Hiduplah negeriku dengan membangun jiwanya. Menghidupkan
Nusantara hanya bisa dilakukan dengan membangun jiwa serta membangun badannya dengan
mencangkul tanah airnya. Kebangkitan kearifan gastronomi lokal terjadi karena bertemunya jiwa dan
raga, pikiran dan perut, esensi dan eksistensi, visi dan aksi, serta ideologi dan pangan kuliner lokal negeri
sendiri sebagai sumber energi rakyat Indonesia. Kembalikan kearifan gastronomi lokal sebagai inspirasi
bagi anak negeri di Bumi Pertiwi.

Akademi Gastronomi Indonesia

Anda mungkin juga menyukai