JAKARTA - Langkah diversifikasi negara mitra dagang serta produk ekspor dinilai dapat meningkatkan pertumbuhan nilai ekspor nasional yang terganggu akibat krisis. Jika kita tidak mampu mendiversifikasi pasar ekspor dan produk ekspor serta komoditas, maka dengan kondisi global sekarang ini sulit nilai ekspor tumbuh.
Menurut Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar saat ini merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing nasional agar Indonesia dapat menjaga nilai eskpor dan menghasilkan produk berkualitas di tingkat internasional.
Upaya tersebut, kata dia, harus dilakukan karena beberapa negara mulai membenahi sektor ekspor mereka, sebagai upaya jangka panjang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Dengan kondisi sulit masih ada peluang bagi kita untuk tumbuh, tapi perlu usaha ekstra dan tidak bisa membiarkan pemulihan global yang memang lambat," katanya.
Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan industri hilirisasi dengan membangun pabrik pengolahan. Sehingga Indonesia dapat mulai melakukan ekspor untuk produk olahan bahan mineral.
"Keberhasilan mendorong hilirisasi industri juga akan menghasilkan lapangan pekerjaan dan keuntungan inovasi pada produk bernilai tambah tinggi bagi negara kita," ujarnya.
Selain itu, Mahendra menjelaskan upaya hilirisasi dapat melahirkan multiplayer effect berupa kemandirian dalam sektor ekspor nasional serta peningkatan penerimaan negara.
"Ini menjadi kesempatan bagi kita karena terlalu mengandalkan ekspor barang mentah yang naik turunnya tergantung dari negara lain memiliki kerawanan dan kesulitan tersendiri," ujarnya.
Ia juga mengatakan pemberian insentif fiskal dapat dimungkinkan untuk mendorong pembangunan pabrik pengolahan yang bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Perluas Pasar Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat mengusulkan diversifikasi atau perluasan tujuan ekspor dari yang sebelumnya ke Eropa menjadi Afrika dan Timur Tengah untuk menghadapi dampak krisis global.
"Kita mesti melakukan diversifikasi tujuan ekspor dari pasar tradisional di Eropa ke Afrika dan Timur Tengah," katanya.
Kemenperin, kata dia, telah meningkatkan target ekspor ke Afrika dan Timur Tengah yang saat ini sekitar 14 persen menjadi sekitar 30 persen. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang utamanya terjadi di kawasan Eropa.
Dia juga menambahkan saat ini pemerintah tengah mencoba menyusun matriks perubahan regulasi untuk mendorong daya saing Indonesia.
Matriks perubahan regulasi itu nantinya juga bisa diguakan untuk menghadapi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada 2015 mendatang.
"Isinya harmonisasi dan juga perubahan untuk meningkatkan competitiveness kita di ASEAN," ujarnya.
Menurut dia, matriks perubahan regulasi itu, nantinya selama tiga tahun ke depan bisa secara bertahap merubah aturan, terutama terkait ongkos produksi yang saat ini cukup tinggi sehingga membuat daya saingnya rendah.
Menperin juga memproyeksikan pertumbuhan industri 2013 akan berada di kisaran 6,8 hingga 7,1 persen. Dengan laju pertumbuhan sebesar itu, Menperin memperkirakan bisa menciptakan sekitar 450.000 tenaga kerja baru.
Selain itu, dengan laju pertumbuhan tersebut, dia juga memproyeksikan ekspor barang industri bisa mencapai sekitar 125 miliar dollar AS dan penanaman modal asing bisa mencapai 12 miliar dollar AS. sumber : Koran Jakarta 2. Dampak Foreign Direct Investment dan Kinerja Ekspor- Impor terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional: Studi Komparatif Negara Maju dan Negara Berkembang Deviyantini URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/55786 Date: 2012 Abstract: Globalisasi ditandai dengan semakin terbukanya suatu negara terhadap perdagangan internasional serta investasi asing langsung. Banyak negara-negara di dunia berlomba-lomba dalam meningkatkan aliran masuk foreign direct investment (FDI) serta pangsa ekspornya dalam perdagangan internasional. Kedua kegiatan tersebut dianggap dapat mempercepat proses pertumbuhan ekonomi di suatu negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Namun, perlu disadari pula bahwa dampak dari FDI serta perdagangan internasional tidaklah sama antar satu negara dengan negara lainnya, terutama antara negara maju dan negara berkembang. Sehingga, para pembuat kebijakan atau pemerintah baik di negara maju maupun di negara berkembang, perlu memilih strategi yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan kondisi dari masing-masing negara. Pada model pertumbuhan neoklasik, dikatakan pula bahwa jumlah kapital serta tenaga kerja mempunyai dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi. Hal ini pula yang perlu menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah di seluruh dunia dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya dari sisi tenaga kerja dan modal. Pada penelitian ini, ada tujuh belas negara yang terlibat. Ketujuh belas negara tersebut berasal dari kawasan ASEAN+6, Uni Eropa, dan Amerika Utara. Kemudian, negara-negara yang terlibat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu negara maju dan negara berkembang. Pengelompokkan ini dilakukan karena adanya perbedaan kondisi ekonomi di negara maju dan negara berkembang. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dengan inwards FDI, ekspor, impor, serta jumlah kapital dan angkatan kerja di suatu negara yang juga dianggap mempunyai pengaruh dalam proses tersebut. Selain itu, penelitian ini juga mencoba menganalisis cara yang paling baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara maju dan negara berkembang, antara FDI-led growth atau export-led growth. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu, Granger causality test dan panel data dinamis. Hasil menunjukkan, secara umum, terdapat hubungan kausalitas satu arah antara FDI dan GDP, dimana FDI secara signifikan memengaruhi GDP. Hal yang sama juga terjadi antara hubungan kausalitas antara tenaga kerja dan GDP. Hubungan kausalitas satu arah ditemukan antara tenaga kerja dan GDP, dimana GDP secara signifikan berpengaruh terhadap tenaga kerja. Sementara antara variabel ekspor dan GDP, impor dan GDP, serta kapital dan GDP ditemukan hubungan kausalitas dua arah. Untuk kasus di negara maju, hasil analisis menunjukkan bahwa FDI merupakan faktor yang mempunyai pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Selain itu, karena FDI mempunyai probabilitas yang signifikan sementara ekspor tidak signifikan, maka dapat dikatakan bahwa meningkatkan aliran masuk FDI ke negara maju merupakan strategi yang memungkinkan dibandingkan menggunakan strategi ekspor. Pada kasus di negara berkembang ditemukan bahwa inwards FDI, ekspor, dan kapital merupakan faktor-faktor yang berpengaruh positif, semntara impor mempunyai pengaruh yang negatif bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Selain itu, koefisien ekspor mempunyai nilai yang lebih besar dibanding koefisien FDI. Dengan kata lain, ekspor mempunyai dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Dengan kata lain, menggunakan strategi ekspor dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dapat menjadi suatu pilihan yang tepat dan memungkinkan. 3. Kagama Berjuang Wujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia
Seminar Nasional Kedaulatan Pangan sebagai Pilar Utama Kedaulatan Bangsa. (Foto: Diah A.R) JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) mengadakan sebuah seminar yang berupaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Keprihatinan soal pangan di negara kita saat ini akan berpotensi menjadi ancaman bencana pangan di masa depan yang bersumber dari tata kelola sektor pertanian yang tidak sehat, kata Haryadi Himawan, ketua panitia seminar dalam konferensi pers Seminar Kedaulatan Pangan di Restoran Sari Kuring, Jakarta, Minggu (1/6). Jika terus dibiarkan berlarut maka pangan di Indonesia sebagai negara agraris tidak akan menjadi pilar utama perekonomian bangsa. Indikasi tata kelola pangan yang tidak sehat antara lain tampak pada impor pangan yang semakin meningkat selama 10 tahun terakhir. Menurutnya, ada beberapa akar permasalahan yang terjadi pada tata kelola pangan yaitu subsidi pupuk yang tidak jelas dinikmati oleh siapa, bagaimana pemanfaatan anggaran pemerintah untuk sektor pertanian dalam 10 tahun terakhir ini yang meningkat 600 persen serta mengapa konvensi lahan subur banyak yang berubah menjadi areal pemukiman dan industri. Beberapa permasalahan ini akan menjadi bertambah buruk dengan adanya ancaman perubahan iklim. Haryadi menyatakan bahwa seminar ini bertujuan untuk membedah fakta-fakta melalui eksplorasi pemikiran para pakar, pemerhati/pengamat, pelaku dan pemangku kewenangan tentang persoalan pangan secara detil. Hal ini terus diangkat sehingga masyarakat luas mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang hal pangan. Dia juga berharap agar masyarakat akan sadar sehingga mampu mengawal pemerintah yang baru untuk dapat menyusun kemungkinan perencanaan dan mengeksekusi kebijakan. Dalam seminar tersebut ada empat pembicara yaitu Prof. Dr. Mohamad Maksum Kabul yang membawakan materi Kedaulatan Pangan Sebagai Kiblat Kedaulatan Pangan, Prof. Dr. Andreas dengan materi Penataan Kebijakan Tata Kelola Pangan, Dr. Hendri Saparini dengan materi Meluruskan Kebijakan Tata Niaga Pangan dan Irwan Nurdin, M.Si dengan materi Penataan Kembali Kebijakan Agraria sebagai Kondisi Pemungkin Mewujudkan Kemandirian Pangan. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Slamet Rahardjo juga turut hadir dalam acara ini untuk menyampaikan kata sambutannya. 4. Ketika Indonesia berdiri sebagai negara-bangsa berdaulat, para bapak bangsa sudah memprediksi bahwa salah satu masalah krusial era Indonesia merdeka adalah persoalan pangan. Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka. Karena itu, perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner. (Ir Soekarno, 1952).
Indonesia adalah salah satu diantara 3 (tiga) negara berkembang disamping China dan India yang berpenduduk banyak. Indonesia adalah negara net-importir pangan (yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik volume maupun nilainya), sebaliknya untuk China dan India.
Setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa untuk mengimpor komoditas konsumtif pangan dari negara lain akibat yang diproduksi di dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, kecuali ubi kayu dan minyak goreng sawit.
Sejauh ini, ada lima komoditas yang selalu memercikkan isu nasional, utamanya menjelang Lebaran dan Tahun Baru, yaitu padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
Mengatasi kekurangan komoditas konsumtif pangan itu dapat dilakukan dengan meningkatkan jenis sumber lain melalui diversifikasi pangan dengan kembali kepada kearifan gastronomi lokal yang selama digunakan masyarakat di daerah dan pedesaan.
Variasi jenis dan macam pangan lokal Indonesia sangat beragam, hal ini tergantung dari budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Nasi jagung, sagu dan gaplek bukan mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang rendah tetapi kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam memanfaatkan keadaan alam yang harmonis dan selaras.
Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan peng-aneka-ragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan adalah dengan mengembalikan pola peng-aneka- ragaman konsumsi pangan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan gastronomi lokal.
Kearifan gastronomi lokal sebagai sumber karbohidrat masyarakat di pedesaan yang biasa dikonsumsi adalah jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong (sebek), surak, gembili (kemilik), uwi dan perenggi.
Sedangkan sebagai sumber protein, masyarakat juga telah terbiasa mengkonsumsi aneka jenis ikan, seperti belut, siput, kerang dan unggas yang berasal dari hasil budidaya maupun hasil tangkapan di alam.
Adapun untuk sumber mineral dan vitamin, didapat dari buah-buahan dan sayuran yang tersedia di pinggiran hutan, kebun, pematang sawah, saluran irigasi maupun di pekarangan rumah.
Pembudidayaan beberapa komoditas pangan lain saat ini memang seperti kurang diperhatikan yang seharusnya sudah saatnya kembali memerhatikan pangan-pangan potensial seperti umbi-umbian atau biji-bijian yang dapat menjadi substitusi beras.
Sejak 1974, awal 1990-an dan tahun 1996, Pemerintah telah mengeluarkan berbagai inpres tentang pentingnya penganekaragaman pangan dan gizi sebagai tujuan menuju diversifikasi pangan. Kegagalan diversifikasi pangan selama ini disebabkan beras mempunyai citra superior ketimbang pangan sumber karbohidrat lainnya. Dengan memerhatikan sumber daya lokal, sesungguhnya ada peluang untuk mengurangi konsumsi beras bagi bangsa ini.
Arti penting menanamkan pemikiran untuk memanfaatkan bahan pangan lokal yang tersedia di tempat sebagai makanan sehari-hari akan sangat terdukung, jika pengetahuan tentang memasak makanan yang lezat dan menarik telah dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat. Bahwa selama ini, pendidikan memasak makanan yang dilakukan para ibu, hasilnya merupakan legenda nenek, yang terkesan kurang prestisius untuk disampaikan secara formal.
Apalagi fenomena memasak legenda leluhur itu dengan kombinasi sifat bahan, jenis bumbu dan teknik mengolah tidak pernah atau sedikit sekali diungkap dan dijelaskan. Pelajaran memasak makanan dan tata boga yang ada dalam kurikulum lembaga pendidikan di Indonesia dinilai kurang menekankan penggunaan bahan pangan lokal, serta tidak didasari penguasaan ilmu dan teknoloi pangan yang memadai.
Bahkan cenderung, para juru masak profesional Indonesia menggunakan bahan-bahan import seperti terigu, keju, saos, karena terkesan seseorang lebih modern dan seleable dalam memiliki kemampuan dan kepandaian mengolahnya.
Oleh karena itu pemikiran untuk mendekatkan kearifan masakan-makanan lokal pada masyarakat menjadi sangat strategis. Banyak bahan pangan yang perlu digali peranannya secara ilmiah, seperti gula kelapa, legen, kluwak, untuk membentuk cita rasa dalam kuliner Nusantara. Setelah itu baru diadakan bimbingan inovasi dalam pengolahan menjadi produk siap saji yang memenuhi tuntutan selera konsumen segala kelompok usia.
Untuk itu diperlukan sumber daya manusia yang mampu mendukung menciptakan budaya baru dalam pemanfaatan pangan lokal. Sumber daya manusia yang dapat diharapkan untuk berperan antara lain adalah sumber daya manusia yang mampu untuk menguasai ilmu pangan serta menyesuaikan dengan selera konsumen yang selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai perkembangan. Diperlukan kemampuan baru agar menggunakan kuliner warisan tradisional Nusantara sebagai dasar pengembangan produk supaya produk tetap berakar pada budaya Indonesia namun mampu memenuhi selera konsumen.
KEARIFAN GASTRONOMI LOKAL Diversifikasi pangan seyogianya tidak hanya diterjemahkan sebagai mengganti pangan pokok. Upaya mengurangi konsumsi beras (serealia) harus diikuti dengan peningkatan konsumsi berbagai kelompok pangan lainnya seperti pangan hewani dan kacang-kacangan, dengan tetap memerhatikan aspek keseimbangan.
Ketersediaan bahan pangan yang bersumber warisan negeri sendiri, hari ini justru termarjinalkan karena dianggap sebagai bahan pangan kelas dua yang tidak memenuhi standar pangan masyarakat modern. Hal tersebut dikarenakan beras yang dianggap sebagai satu-satunya bahan pangan terbaik bagi masyarakat Indonesia. Adanya anggapan bahwa makan tanpa beras (dibaca nasi) tidak dianggap sebagai makan, ditenggarai menyebabkan konsumsi beras nasional menjadi tidak terkendali, sehingga hari ini sebenarnya diperlukan pengambilan sikap serius dan tegas dari Pemerintah untuk menghentikan konsep pangan beras-isasi tersebut.
Tak hanya itu, masyarakat luas pun diharapkan mampu memahami pentingnya pemanfaatan bahan pangan lokal yang tersedia setempat sebagai makanan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung pengembangan pangan lokal apabila pengetahuan tentang memasak makanan berbahan pangan lokal yang lezat dan menarik dimiliki oleh setiap individu dalam masyarakat.
Kemandirian pangan melalui kedaulatan pangan berperan strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kearifan gastronomi lokal bertujuan membuka wawasan baru untuk mempercepat tercapainya kemandirian pangan melalui kedaulatan pangan, penganekaragaman pangan melalui tinjauan budaya makan, sejarah makanan dan antropologi budaya masyarakat terkait tradisi makan, yang selama ini masih terabaikan.
Kemandirian pangan yang dikembangkan dengan bertumpu pada keragaman sumber-daya bahan pangan lokal merupakan faktor penting dalam kedaulatan pangan. Disamping itu didukung oleh kelembagaan dan budaya lokal / domestik; distribusi dan ketersediaan pangan mencapai seluruh wilayah; serta peningkatan pendapatan masyarakat, keluarga dan perorangan agar mampu mangakses pangan secara berkelanjutan dengan memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan menciptakan iklim berusaha yang kondusif dan peluang usaha seluas- luasnya.
Namun motif utama di balik pangan lokal seyogyanya harus merekam jejak pelaku-pelaku yang mempersiapkan dan siapa yang menggerakan sampai tersedianya keperluan bahan makanan dan minuman, antara lain seperti para pembudidaya, petani, nelayan, juru masak, atau apapun judul atau kualifikasi mereka. Para pelaku-pelaku ini yang menjamin ketersediaan dan mengolah pangan itu sehingga pancaindra kita seperti mata, hidung, dan lidah, ikut makan disajikan secara sempurna. Tanpa mereka, bagaimana jadinya perikehidupan bangsa ini. Mungkin budaya Indonesia, jika tidak boleh disebut peradaban, tidak akan pernah tegak dan sarat konflik.
Sayangnya, sejak orde reformasi, mereka itu semua boleh disebut pahlawan pangan yang jarang diperhatikan. Para pengambil keputusan hampir jarang pernah menyentuh mereka. Semua pelaku di sisi proses ini memang jarang mendapat perhatian dari para pengambil keputusan. Padahal, mereka ini adalah jejaring penentu agar makanan sampai di mulut konsumen. Mereka juga selalunya terlambat menafsirkan terus-menerus pergerakan selera dan budaya baru konsumen. Akibatnya secara perlahan- lahan mereka mati karena tertinggal oleh selera konsumen yang melompat, karena perubahan budaya makan tak bisa dihindari. Ini sesuai dengan adagium bahwa konsumen adalah poros penggerak perubahan.
Miskinnya perhatian elite penguasa otomatis berimplikasi ke hilir, yakni pada ketidakmampuan para pelaku usaha makanan untuk bersaing dengan waralaba internasional, yang mampu menafsirkan perubahan selera konsumen berusia muda. Kelompok usia muda ingin-nya mengonsumsi produk kualitas premium, dengan rasa, bau, warna, kecepatan penyajian, dan kemasan prima.
Sejauh ini, belum pernah didengar ada program aksi Pemerintah untuk kemashlatan rakyat kecil, misalnya, melatih dan mendidik para juru masak warung tenda kaki lima agar makanan yang mereka masak dan jual bersih, penampilannya mengundang selera, menggoyang lidah dan rasanya enak. Jika melihatnya, seakan-akan seluruh panca-indra kita juga ikut makan. Juga belum pernah terdengar kabar, usaha industri kecil makanan rumah tangga, seperti jajanan pasar tradisional, mendapatkan bimbingan kulinerologi sehingga penampilannya akan indah dan rasanya pun enak menjemput selera konsumen.
Sudah merupakan kewajiban rakyat Indonesia untuk mengangkat kemampuan kelompok ini untuk menjadi roda utama kreatifitas bangsa dalam mengolah potensi sumber daya yang dimiliki dan dimanfaatkan pada kesempatan yang tersedia. Kreatifitas yang dimaksud bersumber pada akar budaya bangsa yang semakin besar keanekaragaman akar budaya itu akan semakin besar potensi kreatifitas yang dihasilkan serta semakin besar pula potensinya untuk maju berkembang dalam persaingan global.
Sebuah negara dikatakan memiliki kedaulatan pangan yang baik apabila pangan itu tersedia, baik jumlah maupun mutunya aman dan merata. Rakyat dapat membeli dengan harga terjangkau dan kita tidak harus tergantung secara mutlak kepada sumber-sumber pangan negara lain di pasar internasional.
Kelangsungan hidup suatu bangsa bukan ditentukan oleh invasi militer, konflik ideologi, dan kontestasi politik, melainkan oleh ketersediaan pangan.
Adalah tugas semua pihak, agar masyarakat dapat memperoleh cara yang paling tepat yang dapat digunakan sebagai salah satu upaya percepatan peng-aneka-ragaman pangan melalui sinergi berbagai aspek yang belum pernah dilakukan dalam pencapaian tujuan peng-aneka-ragaman pangan.
Kuliner lokal Nusantara sangat mampu memenuhi kebutuhan kita dan dapat memberikan gizi yang bagus, karena kuliner lokal Nusantara dikenal dan telah dikaji memiliki keunggulan yang terbukti dan diakui.
Pelestarian kuliner Nusantara mutlak diperlukan untuk membangun bangsa yang maju, mandiri, cerdas, inovatif, dan produktif, serta visioner.
Saat ini belum ada kesadaran untuk mendokumentasi semua jenis kekayaan kearifan gastronomi lokal yang tersebar di suruh negeri ini. Catatan tentang kearifan gastronomi lokal merupakan bagian dari upaya mendokumentasi kekayaan kuliner warisan tradisional Nusantara. Banyak berbagai ragam tulisan mengenai kuliner tetapi pada umumnya sebatas resep tanpa menjelaskan perihal sejarah, asal usul, ritual dan hubungannya dengan kearifan lokal.
Mengangkat potensi kearifan gastronomi lokal ke pentas dunia merupakan suatu keharusan. Sebab potensi kuliner di Tanah Air, sungguh sangat luar biasa beragam, tidak tertandingi dengan negara mana pun. Sudah ada bukti kuliner nusantara dikenal dunia seperti rendang, di antaranya, adalah masakan daging paling enak yang sudah dikenal dan diakui dunia.
Mengenal kearifan gastronomi lokal, memahami cara memasak, serta seni menghidang masakan akan membantu menghasilkan dan meningkatkan citarasa. Citarasa ini pada akhirnya akan membangun rasa cinta terhadap Tanah Air sendiri. Apabila orang mampu menikmati citarasa yang beragam ini, niscaya manfaat makanan akan lebih baik dan mampu menanamkan kebajikan dalam hidup di samping membangun rasa cinta Tanah Air.
Tidak dapat disangkal sumber daya alam nusantara sangat kaya dan menjadi citarasa dunia. Semua itu ada di bumi Nusantara. Perjalanan mencari dunia baru yang menghasilkan seni dapur (cuisine) sangat diakui Perancis, yaitu dengan masuknya aneka rempah-rempah dari Maluku, Jawa dan Sumatra ke Eropa lebih dari 500 tahun silam.
Dalam upaya melestarikan warisan pangan lokal, kearifan gastronomi lokal dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Karena kearifan gastronomi lokal merupakan internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal dengan norma- norma sosialnya. Kearifan gastronomi lokal ini dapat sekaligus menjadi penyaring modernisasi yang dapat berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun merusak alam lingkungan.
Mewujudkan kedaulatan pangan nasional melalui peningkatan produksi komoditas pangan lokal bukan berarti harus mengabaikan norma-norma sosial budaya, mengabaikan daya dukung dan kelestarian alam, serta memarginalisasi eksistensi masyarakat lokal. Kedaulatan pangan nasional akan menjadi terlalu mahal ongkosnya bila harus mengabaikan ketahanan sosial budaya masyarakat pedesaan dan menimbulkan kerusakan alam.
Kearifan gastronomi lokal ini menjadi benteng yang sangat penting dalam meningkatkan peranan pangan lokal di Indonesia. Peran dunia usaha memproduksi komoditas pangan lokal atas kearifan gastronomi lokal memang sulit untuk dimaksimalkan, sebaliknya peranan tersebut perlu terus didorong oleh Pemerintah melalui regulasi dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan. Meski demikian, peranan dunia usaha tetap harus sejalan dengan kearifan gastronomi lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu, kedaulatan pangan nasional akan terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan berbasis kearifan gastronomi lokal.
RENUNGAN & SARAN Sebagai negara subtropis, apabila Republik mengurangi karnaval politik dan kontestasi kekuasaan serta praktek demokrasi lebih difokuskan pada gerakan struktur pangan lokal berbasis kearifan gastronomi lokal, diyakini Indonesia akan mampu memberi makan rakyatnya. Sebaliknya, bila terus terjebak pada semata-mata kebebasan berekspresi, kita akan jadi beban dunia.
Untuk itu, Pemerintah harus berperan secara pro-aktif sebagai suporter dan katalisator. Pemerintah harus memahami perubahan budaya makan masyarakat. Bukan waralaba asing yang sesungguhnya menjajah Indonesia, tetapi elite penguasa gagal menangkap perubahan selera bangsa sendiri. Tanpa itu, suara- suara kritis yang mengatakan bahwa makanan asing telah menggeser makanan lokal akan semakin menebar.
Perjuangan ini semua bukan hanya ada di wilayah kekuasaan Pemerintah, sudah saatnya merangkul inisiatif kerjasama dengan gerakan Filantropi di Indonesia untuk turut bahu-membahu membangkitkan pelestarian kearifan gastronomi lokal bangsa ini. Upaya mengembangkan potensi Filantropi bagi pemberdayaan gastro-kuliner di Indonesia, mengingat upaya ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh orang-perseorangan, maupun oleh satu dua kelompok atau organisasi atau oleh Pemerintah saja. Tantangan masalahnya terlalu besar.
Belum adanya infrastruktur kelembagaan dan kebijakan yang mendukung dan mendorong secara intensif perlu adanya usaha-usaha yang efektif dan terarah dari berbagai komponen pelaku dan pendukung Filantropi di Indonesia untuk menghimpun, menyatukan dan memperkuat gerak langkah bersama dalam menghadapai tantangan pelestarian gastro-kuliner di negeri ini. Kontribusi gerakan Filantropi dalam bidang gastro-kuliner Indonesia sangat potensial bagi bangsa ini, khususnya bila daya kemampuan mereka ditransformasikan menjadi sesuatu yang lebih berarti.
Jangan sampai kemerdekaan masyarakat tak terwujud, stabilitas politik pun bisa terancam setiap saat karena rakyat lapar. Ini disebabkan, meminjam istilah Mahatma Gandhi, Bagi orang yang kelaparan, roti adalah Tuhan. Karena itu harus tersedia di setiap rumah.
"Hiduplah tanahku, hiduplah negeri, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya, untuk Indonesia Raya." Inilah syair lagu sekaligus doa dari bangsa ini. Hiduplah tanahku dengan membangun badannya. Hiduplah negeriku dengan membangun jiwanya. Menghidupkan Nusantara hanya bisa dilakukan dengan membangun jiwa serta membangun badannya dengan mencangkul tanah airnya. Kebangkitan kearifan gastronomi lokal terjadi karena bertemunya jiwa dan raga, pikiran dan perut, esensi dan eksistensi, visi dan aksi, serta ideologi dan pangan kuliner lokal negeri sendiri sebagai sumber energi rakyat Indonesia. Kembalikan kearifan gastronomi lokal sebagai inspirasi bagi anak negeri di Bumi Pertiwi.