Anda di halaman 1dari 15

PENYUSUNAN RANCANGAN PROGRAM SAFETY TRAI NI NG

YANG BERBASIS PERILAKU CONSI STENCY SAFETY PADA JABATAN


OPERATOR GONDOLA DI PT. GHP


Indah Martianti Kurnia, SPsi


Taman Juanda Blok I1 No. 19 Bekasi Timur 17111
indah.martianti@gmail.com


ABSTRAK


Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh suatu rancangan program safety training
yang berbasis perilaku consistency safety bagi jabatan operator gondola di PT. GHP.
Keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah safety adalah upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja yang
berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan, proses pengolahan, landasan tempat
kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan agar menghindarkan karyawan
terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkan safety training adalah suatu kegiatan
dimana pekerja memperoleh pengetahuan akan bahaya kecelakaan kerja, memperoleh
keterampilan baru, mendidik pekerja untuk menghadapi potensi bahaya sehingga
pekerja memiliki perilaku sikap kerja yang aman dan peduli terhadap kondisi
keselamatan ditempat kerja serta dapat mempertahankan perilaku yang aman di
lingkungan kerja mereka secara umum, baik di kantor maupun di workshop/luar
lingkungan. Perilaku consistency safety didasarkan atas teori safety dari Geller (1942).
Operator gondola adalah orang yang bekerja dengan mesin gondola yang melakukan
pekerjaan membersihkan kulit luar gedung, bekerja pada ketinggian, mempunyai mental
serta fisik yang bagus, memiliki pengetahuan serta keahlian khusus dibidangnya dan
telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola dari Departemen
Tenaga Kerja (depnaker). Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan disesuaikan
dengan tahapan penyusunan rancangan safety training antara lain melakukan analisa
kebutuhan training, menentukan desain training, pengembangan training,
implementasi/pelaksanaan training dan mengevaluasi program training. Subjek pada
penelitian ini adalah jabatan operator gondola di PT. GHP. Yang diperbolehkan
perusahaan untuk mengikuti training sebanyak 25 (dua puluh lima) orang. Teknik
pengumpulan datanya adalah wawancara tatap muka untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam menyusun program safety training ini. Pejabat yang
diwawancarai adalah general manager yaitu selaku pimpinan di PT. GHP, koordinator
hrd, koordinator training dan operator gondola. Proses pengumpulan data ini
berlangsung selama enam hari kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu
diadakan penambahan safety training dalam hal perilaku consistency safety bagi
operator gondola agar operator gondola menyadari pentingnya bekerja dengan safety
dan memiliki inisiatif untuk bertindak safety tanpa harus diberikan instruksi dan diawasi
oleh atasan/supervisor. Jika operator gondola bekerja dengan safety maka resiko
kecelakaan kerja menjadi nol sehingga nama perusahaan menjadi baik dan customer
banyak yang menggunakan jasa PT. GHP, perusahaan menjadi berjaya dan
kesejahteraan karyawan meningkat.

Kata Kunci : keselamatan kerja, safety training, perilaku consistency safety, operator
gondola.


PENDAHULUAN
Semakin ketatnya persaingan dibidang industri menuntut perusahaan harus
mampu bertahan dan berkompetisi. Namun beberapa perusahaan mengesampingkan
pentingnya keselamatan kerja dalam berkompetisi dengan perusahaan lain. Perusahaan
mengorbankan keselamatan pekerjanya dengan dalih penghematan keuangan
perusahaan. Padahal keselamatan kerja merupakan salah satu persyaratan untuk
meningkatkan produktivitas kerja karyawan disamping itu keselamatan kerja adalah hak
asasi setiap tenaga kerja (Indopos, Kamis 25 Maret 2010 hal. 10). Di era globalisasi,
untuk memenangkan persaingan bebas, keselamatan kerja menjadi salah satu
persyaratan yang harus dipenuhi oleh industri di Indonesia. Oleh karena itu,
keselamatan kerja perlu diterapkan di semua tempat kerja untuk meningkatkan
keselamatan kerja tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Namun kesadaran perusahaan di Indonesia terhadap keselamatan kerja masih
jauh dari yang diharapkan. Dari 26.000 (dua puluh enam ribu) perusahaan di Jakarta,
hanya 200 perusahaan yang sudah menerapkan keselamatan kerja secara baik dan
konsisten. Padahal di Indonesia telah memiliki undang undang mengenai keselamatan
kerja yaitu Undang Undang No. 1 Tahun 1970 (Indopos, Kamis 25 Maret 2010 hal.
10). Program-program keselamatan kerja pun sering menempati prioritas terendah dan
terakhir bagi manajemen perusahaan. Memang keselamatan kerja bukanlah segala-
galanya, namun tidak disadari bahwa tanpa keselamatan kerja segalanya tidak berarti
apa-apa jika terjadi kecelakaan kerja berupa kematian yang dialami oleh tenaga kerja.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Dede Sukendar (Indopos,
Kamis 25 Maret 2010 hal. 10) mengatakan bahwa perusahaan baru menyadari
pentingnya keselamatan kerja setelah terjadi kecelakaan kerja. Perusahaan yang dengan
alasan penghematan mengorbankan keselamatan pekerjanya kurang melihat manfaat
keselamatan kerja dalam jangka panjang. Menyadari pentingnya keselamatan kerja bagi
semua orang dimanapun berada maupun bekerja, serta adanya persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap perusahaan di era globalisasi ini maka mau tidak mau upaya untuk
meningkatkan keselamatan kerja harus menjadi prioritas dan komitmen semua pihak
baik pemerintah maupun swasta dari tingkat pimpinan sampai manajemen perusahaan
dan seluruh karyawan. Dengan tingkat keselamatan kerja yang baik kerugian akibat
kecelakaan kerja berkurang, tenaga kerja lebih produktif sehingga keuntungan
perusahaan meningkat dan kesejahteraan karyawan akan meningkat pula. Melihat
keadaan tersebut maka diperlukan suatu manajemen perusahaan yang berorientasi pada
keselamatan kerja.
Agar dapat berkompetisi dengan perusahaan lain yang memiliki core bisnis yang
sama dengan PT. GHP, selain mengutamakan services PT. GHP juga mengutamakan
safety. Manajemen PT. GHP telah menerapkan safety untuk pekerjaan operator gondola.
Safety dalam pekerjaan operator gondola sangat diperlukan, karena pekerjaan operator
gondola memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Operator gondola
adalah seorang pelaksana bidang kebersihan kulit luar gedung yang mempunyai mental
dan fisik yang bagus, umumnya mereka memiliki keahlian khusus dibidangnya dan
telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola dari Departemen
Tenaga Kerja (Arif dalam http://gondolaman-bi.blogspot.com/). SOP (standard
operation procedure) milik PT. GHP mengatakan untuk pekerjaan membersihkan kaca
gedung diatas ketinggian 2 meter wajib memakai mesin gondola. Dapat dikatakan
operator gondola adalah salah satu profesi yang memiliki resiko pekerjaan yang sangat
tinggi, untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang resiko dan peralatan
yang menunjang pekerjaan tersebut agar dalam melakukan pekerjaan operator gondola
dapat bekerja dengan aman.
Untuk pekerjaan dengan resiko tinggi, perusahaan hendaknya memiliki program
training atau pelatihan untuk pekerjanya agar terampil dalam bekerja dan dapat bekerja
dengan aman. PT. GHP sudah memiliki program training untuk para pekerjanya yang
dilakukan secara berkala agar sistem kerja yang efektif dapat tetap terjaga. Jenis
training yang ada berupa product knowledge training untuk seluruh karyawan PT. GHP.
Untuk operator gondola terdapat training tambahan mengenai pengetahuan tentang
safety equipment dan safety body. Safety equipment dan safety body diberikan kepada
calon karyawan operator gondola selama tiga hari masa training sebelum terjun ke
lapangan. Dengan adanya program training berupa training safety equipment dan safety
body, operator gondola diharapkan dapat mengetahui dan memahami betul akan
pekerjaannya dan diharapkan operator gondola dapat menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi ketika bekerja terutama yang berhubungan dengan penggunaan safety
equipment dan safety body sebagai alat pelindung diri. Dalam hal ini manajemen PT.
GHP sudah memiliki program training yang berorientasi pada keselamatan kerja.
Program training tersebut bersifat teknikal dan belum mengarah secara psikologis.
Program safety training PT. GHP belum menyentuh segi psikologis karyawan. Segi
psikologis perlu karena sistem kerja PT. GHP adalah mengadakan pendekatan secara
kekeluargaan antara pimpinan dan karyawan. Sehingga yang terjadi penerapan disiplin
terhadap penggunaan peralatan safety operator gondola agak kurang. Atasan/supervisor
lebih sering melakukan intervensi kepada operator gondola untuk menggunakan
peralatan safety sebelum melakukan pekerjaan. Sehingga kesadaran operator gondola
kurang untuk menjalankan keselamatan kerja dilapangan/ditempat kerjanya.
Untuk itulah perlu diadakan program safety training yang bersifat psikologis,
dimana prinsip kekeluargaan yang telah terjalin di PT. GHP dapat mendukung
terlaksananya keselamatan kerja secara baik. Penelitian dalam keselamatan kerja
(safety), menurut Geller (1942) adalah pendekatan yang berbasis psikologis yang
merupakan salah satu dari pendekatan yang direkomendasikan dalam aplikasi
keselamatan kerja (safety). Namun belum ada jenis safety training yang berbasis
psikologis secara umum, yang ada hanya bersifat teknikal. Menurut Geller (1942) ada
training yang mengacu kepada perilaku safety. Ilmu yang mempelajari tentang perilaku
manusia dan binatang serta penerapannya pada permasalahan manusia, fokusnya kepada
perilaku individual adalah pengertian psikologi secara umum, psikologi membahas
perilaku yang dihasilkan berdasarkan adanya faktor stimulus, proses dan respon
(Morgan, 1986).
Safety training yang berbasis perilaku consistency safety mengacu kepada teori-
teori behavior based safety (Geller, 1942), digunakan untuk merubah perilaku pekerja
untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku yang akan dirubah adalah
perilaku selamat yang mengacu kepada total safety culture. Total safety culture
merupakan budaya untuk meningkatkan keselamatan ditempat kerja, budaya selamat
tersebut terbentuk atas faktor lingkungan (environment), faktor individu (person) dan
faktor perilaku (behavior).
Menurut Heinrich (1990), penyebab kecelakaan kerja yang sering ditemui adalah
perilaku yang tidak aman sebesar 88%, kondisi lingkungan yang tidak aman sebesar
10%. Oleh karena itu, pelaksanaan safety training yang berbasis perilaku consistency
safety dapat mencegah perilaku yang tidak aman, dapat menimbulkan perilaku
consistency safety dan memperbaiki kondisi lingkungan yang tidak aman. Sehingga
safety training yang berbasis consistency safety perlu diadakan untuk memunculkan
kesadaran berperilaku selamat pada operator gondola dan melindungi operator gondola
dari kecelakaan kerja akibat faktor kelalaian manusia (human eror).
Agar tujuan program safety training yang berbasis consistency safety pada
jabatan operator gondola tepat sasaran, dalam pelaksanaannya trainer/pelatih akan
membina hubungan baik dengan trainee/peserta training melalui pendekatan bersifat
kekeluargaan, sehingga dapat memotivasi operator gondola untuk mengikuti
keseluruhan rangkaian acara training dan tujuan perusahaan dapat tercapai yaitu
operator gondola dapat meningkatkan kinerjanya dengan mengutamakan safety dalam
bekerja.
Dengan diadakannya program safety training yang berbasis consistency safety
pada jabatan operator gondola, perusahaan akan mendapatkan keuntungan
meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan dalam bekerja yang mengacu kepada
perilaku consistency safety operator gondola, perusahaan akan mendapat kepercayaan
pelanggan tetap dan memperoleh kepercayaan dari pelanggan baru karena
mengutamakan safety sehingga keuntungan perusahaan meningkat maka kesejahteraan
karyawan pun akan meningkat.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
suatu rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety bagi
jabatan operator gondola di PT. GHP.

TINJAUAN PUSTAKA

Keselamatan Kerja.
Keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah safety adalah upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja yang
berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan, proses pengolahan, landasan tempat
kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan agar menghindarkan karyawan
terhadap terjadinya kecelakaan kerja.
Menurut Geller (1942) keselamatan kerja (safety) dapat ditinjau dari dua segi
yaitu segi engineering/fisikal dan segi behavior/psikologis. Pada penelitian ini akan
dibatasi pembahasannya mengenai safety secara psikologis. Pelaksanaan safety yang
profesional ditanggapi dengan mengingatkan karyawan terus menerus atas resiko
dengan pemberian memo, berita, pertemuan keselamatan, dan tanda-tanda.

Ada tiga macam strategi intervensi safety:
1. Instructional Intervention.
Tujuannya adalah untuk memperoleh perhatian dari orang tersebut dan
menginstruksikannya untuk bergerak dari tidak sadar (unconscious) ke kemampuan
(competence). Intervensi ini akan efektif jika dilakukan secara spesifik dan satu
lawan satu.
2. Supportive Intervention.
Intervensi ini memfokuskan pada penerapan konsekuensi positive. Ketika kita
memberikan feedback pada perilaku safety seseorang berarti kita menunjukan
penghargaan kita atas usahanya untuk meningkatkan perbaikan atas perilaku yang
safety.
3. Motivational Intervention.
Tujuannya adalah memotivasi orang lain untuk merubah perilakunya dari
kemampuan kesadaran menuju disadari. Implementasi jangka panjang dari
motivasional intervensi disertai dengan dukungan yang konsisten terhadap proses
intervensi itu dapat mengarah pada kebiasaan yang baik.

Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh safety secara
psikologis yang menyeluruh :
1. Mendapatkan dukungan dari manajemen.
2. Membuat tim keselamatan.
3. Membangun prosedur evaluasi yang valid.
4. Membangun proses pendidikan & pelatihan.
5. Mempertahankan perubahan budaya dengan aktivator, konsekuensi, teknik
evaluasi, pelatihan sebagai tindak lanjut.
6. Kesepakatan dengan pihak luar (kontraktor).
7. Pemecahan masalah, penyelarasan yang baik & prosedur proses yang bervariasi.
8. Memberi umpan balik konsekuensi.
9. Konsekuensi yang nyata.
10. Pengukuran dan evaluasi yang berkelanjutan.
11. Follow- up instruction /booster session.
12. Melibatkan kontraktor.
13. Mengatasi masalah dan menyelaraskan dengan baik (fine tuning).

Behavior Based Safety.
Behavior Based Safety (Geller, 1942) merupakan aplikasi ilmu dari perilaku
yang menangani permasalahan safety at work. Behavior based safety (BBS) berfokus
kepada apa yang orang lain lakukan, kemudian menganalisa mengapa mereka
melakukan hal itu dan menemukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan
kemampuan orang tersebut. BBS biasanya digunakan untuk merubah perilaku pekerja
untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Dr. Mena, seorang profesor
psikolog universitas chile (dalam Syaaf, 2007), dia berhasil mengembangkan BBS
system yang memiliki langkah- langkah : mengidentifikasi perilaku, mengukur perilaku,
intervensi dan evaluasi atau follow up. Untuk mengukur perilaku dilakukan observasi
terhadap perilaku pekerja secara terus menerus.

Kecelakaan Kerja.
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga (tidak ada unsur
kesengajaan) dan tidak diharapkan karena mengakibatkan kerugian, baik material
maupun penderitaan bagi pekerja yang mengalaminya.
Langkah- langkah pencegahan kecelakaan kerja adalah :
a. Berdoa sebelum bekerja.
b. Sehat jasmani dan mental.
c. Memakai peralatan safety (safety body dan safety equipment).
d. Teliti dalam bekerja.

Ergonomi.
Ergonomi berkaitan dengan safety, merupakan studi mendalam tentang
hubungan antara lingkungan dan perilaku serta kemampuan untuk mengembangkan
action plan (seperti perlengkapan kerja, standar operasional yang aman, pelatihan, dsb)
untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan dari interaksi antara lingkungan
dan perilaku tersebut. Lingkungan tersebut adalah lingkungan fisik dimana sesuatu yang
berada di sekitar para pekerja yang meliputi warna, cahaya, udara, suara serta musik
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.
(Moekijat, 1995).
Salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan fisik tempat kerja
adalah warna. Aspek warna dapat diaplikasikan dalam tempat kerja melalui permainan
warna dalam desain baik desain peralatan, produk, atau media- media lain disekitar
tempat kerja seperti dinding, lantai, dan sebagainya.
Beberapa penelitian menunjukan hubungan positif antara arti warna dilihat dari
sudut pandang aspek aesthetic, psychological, physiological, associative, dan symbolic
dengan efek warna pada desain lingkungan kerja terhadap performansi kerja. Misalnya
penelitian yang membuktikan bahwa warna merah cocok untuk meningkatkan
pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi pada hal- hal yang detail yang sifatnya
waspada dan warna biru cocok untuk meningkatkan pekerjaan yang membutuhkan
kreativitas. Warna kuning menstimulasi tubuh dan pikiran, memberi kesan hati- hati
sedangkan warna hijau memberikan kesan perasaan tenang
(http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap performansi.
html).


Gambar 1. Contoh Tanda-tanda Yang Biasa Digunakan Dalam Safety.
Sumber : http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap
performansi. html).


Usaha penerapan K3 mempunyai peranan penting dalam peningkatan
produktivitas kerja. Untuk itu perlu adanya suatu identitas dalam rangka
memasyarakatkan K3. Identitas tersebut tertuang dalam keputusan menteri tenaga kerja
No. KEP-1135-MEN-1987 mengenai bendera K3 (Lestari, 2000). Penjelasan mengenai
bendera K3 tersebut adalah :



Gambar 2. Bendera Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Sumber : Lestari (2000)

Palang : bebas dari kecelakaan dan sakit akibat kerja.
Roda gigi : bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani.
Warna putih : bersih, suci.
Warna hijau : selamat, sehat dan sejahtera.
Sebelas gerigi roda : 11 Bab dalam Undang-undang Keselamatan Kerja.

Faktor-faktor Total Safety Culture.
Menurut Geller (1942) terdapat tiga faktor dalam total safety culture, yaitu :
a. Environment Factors.
Environment factors adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi keselamatan
ditempat kerja, termasuk perlengkapan, peralatan, perawatan mesin, suhu dan standar
operasional prosedur.
b. Person Factors.
Person factors adalah faktor individu yang mempengaruhi keselamatan ditempat
kerja, termasuk sikap dan keyakinan yang berupa pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, inteligensi, dan motivasi dan kepribadian.
c. Behavior Factors.
Behavior factors adalah faktor perilaku yang mempengaruhi keselamatan
ditempat kerja, termasuk pelatihan, komunikasi, peduli secara aktif.
Ketiga faktor itu disebut sebagai The Safety Triad yang bersifat dinamis dan
interaktif. Perubahan pada satu faktor secara langsung akan mempengaruhi dua faktor
lainnya. Berikut adalah gambar yang merepresentasikan hubungan ketiga faktor
tersebut, yaitu :























Gambar 3. Total Safety Culture.
Sumber : Geller (1942)

Safety Training.
Safety training adalah suatu kegiatan dimana pekerja memperoleh pengetahuan akan
bahaya kecelakaan kerja, memperoleh keterampilan baru, mendidik pekerja untuk
menghadapi potensi bahaya sehingga pekerja memiliki perilaku sikap kerja yang aman
dan peduli terhadap kondisi keselamatan ditempat kerja serta dapat mempertahankan
perilaku yang aman di lingkungan kerja mereka secara umum, baik di kantor maupun di
workshop/luar lingkungan.
Menurut Statt (2000) tujuan dan manfaat dari diadakannya training adalah :
a. Meningkatkan produktifitas.
b. Meningkatkan kualitas.
c. Meningkatkan kuantitas.
d. Meningkatkan semangat & moral kerja.
e. Balas jasa tidak langsung.
f. Meningkatkan kesehatan & keselamatan kerja.
g. Kesempatan menjadi tenaga profesional.
h. Kesempatan pengembangan diri.
Menurut Statt (2000) langkah- langkah melakukan training adalah :
a. Training need analysis (analisa kebutuhan training).
b. Menentukan desain training.
c. Pengembangan training.
d. Implementasi/pelaksanaan training.
e. Mengevaluasi program training.

Metode yang akan digunakan dalam program safety training yang berbasis
consistency safetyadalah :
1). Metode kuliah/ceramah, alasannya adalah metode ini memiliki tujuan untuk
menyampaikan informasi terbaru mengenai safety atau gagasan baru kepada pendengar,
dengan sasaran intructor centered (dilaksanakan oleh instruktur) dan subject master
centered (dirumuskan dalam bentuk topik dan konsep yang hendak diajarkan).
2). Metode diskusi terkendali, alasannya ada diskusi untuk mengemukakan fakta, dapat
menguji pemahaman peserta mengenai safety dan menimbulkan partisipasi dengan
Perlengkapan,
peralatan, perawatan
mesin, suhu, standar
prosedur operasional.
Pengetahuan,
keterampilan,
kemampuan, inteligensi,
motivasi, kepribadian.
Safety
Culture
Person Environment
Behavior
Pelatihan, pengenalan,
komunikasi, peduli
secara aktif.
penyaji bertindak sebagai ketua, dengan sasaran trainee activity centered (dalam bentuk
apa yang harus dilaksanakan oleh trainee).
3). Metode sumbang saran, alasannya adalah ada diskusi spontan dari peserta untuk
berfikir kritis mengenai pemecahan masalah mengenai safety sehingga terjadi
pertukaran gagasan, dengan sasaran trainee activity centered (dalam bentuk apa yang
harus dilaksanakan oleh trainee).
4). Metode alat-alat modul, alasannya ada kuesioner sebagai tanggapan atas serangkaian
pertanyaan yang diajukan dan menyadarkan keyakinan mereka akan safety, dengan
sasaran intructor centered (dilaksanakan oleh instruktur) dan subject master centered
(dirumuskan dalam bentuk topik dan konsep yang hendak diajarkan).
Menurut Kirkpatrick (2006) model evaluasi pelatihan menggunakan empat level
dalam mengkategorikan hasil- hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi,
pembelajaran, perilaku dan hasil. Keempat level dapat dirinci sebagai berikut:
Reaksi dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi yang didesain agar mengetahui opini
dari para peserta pelatihan mengenai program pelatihan.
Pembelajaran mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada
materi pelatihan yang telah diberikan.
Perilaku diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku
peserta (karyawan) dalam melakukan pekerjaan.
Hasil untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara
keseluruhan.

Perilaku Consistency Safety.
Perilaku consistency safety didasarkan atas teori safety dari Geller (1942). Menurut
Geller (1942) ada tiga jenis transisi perilaku, yaitu :
1. Merubah kebiasaan yang beresiko menjadi perilaku yang konsisten.
2. Merubah perilaku konsisten yang beresiko menjadi perilaku konsisten yang
aman.
3. Merubah perilaku konsisten menjadi kebiasaan yang selamat dan aman.
Dalam peninjauan total safety culture menurut Geller (1942) sudah melaksanakan atau
sudah menerapkan teori- teori tersebut.

Operator Gondola
Operator gondola adalah orang yang bekerja dengan mesin gondola yang
melakukan pekerjaan membersihkan kulit luar gedung, bekerja pada ketinggian,
mempunyai mental serta fisik yang bagus, memiliki pengetahuan serta keahlian khusus
dibidangnya dan telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola
dari Departemen Tenaga Kerja (depnaker).
Modul kerja operator gondola (milik PT. GHP) mengatakan pekerja seperti
operator gondola yang bekerja pada ketinggian merupakan pekerjaan yang beresiko
tinggi. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang resiko dan peralatan
yang menunjang pekerjaan tersebut agar dalam melakukan pekerjaan para operator
gondola dapat bekerja dengan aman.
Dalam SOP (standard operation procedure) milik PT. GHP mengatakan
untuk pekerjaan membersihkan kaca gedung diatas ketinggian 2 meter wajib memakai :
Mesin gondola.
Full body harnest.
Helmet.
Hand gloves.
Kacamata safety.
Safety shoes.
Tambang.
Sedangkan prosedur umum pekerjaan yang mengunakan mesin gondola :
Memakai peralatan safety.
Cek keranjang gondola, bersih dan nyaman.
Cek kabel listrik sebelum naik keranjang gondola.
Cek tambang.
Cek peralatan kerja untuk pekerjaan cleaning.
Jika ada masalah gondola sudah naik sampai tengah, gondola nya miring, gondola
dimatikan dahulu, jangan panik, gondola dihidupkan lagi lalu diatur kembali
supaya rata dan stabil.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan disesuaikan dengan tahapan penyusunan
rancangan safety training antara lain melakukan analisa kebutuhan training,
menentukan desain training, pengembangan training, implementasi/pelaksanaan
training dan mengevaluasi program training.
Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah jabatan operator gondola di PT. GHP. Karena
operator gondola PT. GHP memiliki pekerjaan membersihkan gedung bertingkat, yang
beresiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Dengan jumlah karyawan gondola
sebanyak 150 (seratus lima puluh) orang, yang diperbolehkan perusahaan untuk
mengikuti training sebanyak 25 (dua puluh lima) orang.
Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan metode wawancara tatap muka untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dalam menyusun program safety training ini. Pejabat yang
diwawancarai adalah general manager yaitu selaku pimpinan di PT. GHP, koordinator
hrd, koordinator training dan operator gondola. Mereka adalah pihak manajemen dan
pemegang jabatan langsung yang mengetahui dan memahami tugas-tugas pekerjaan
operator gondola. Proses pengumpulan data ini berlangsung selama enam hari kerja.
Dalam metode wawancara ini, alat yang akan digunakan adalah pedoman
wawancara yang disusun peneliti berdasarkan job description operator gondola yang
sudah ada di PT. GHP agar mendapatkan hasil wawancara yang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai yaitu melihat perilaku consistency safety, berdasarkan teori
mengenai behavior based safety menurut Geller (1942) dan langkah- langkah melakukan
training menurut Statt (2000). Behavior based safety digunakan untuk mengumpulkan
informasi terperinci mengenai pekerjaan, sehingga karyawan akan diwawancarai secara
mendetail mengenai perilakunya dalam bekerja, keterampilan dan pengetahuan apa saja
yang dibutuhkan, apa saja hambatan dalam bekerja dan bagaimana cara mengatasinya.
Dengan demikian peneliti memiliki panduan untuk melakukan wawancara kebutuhan
training kepada pejabat yang berwenang, sehingga hasil wawancara mengarah kepada
tujuan yang hendak dicapai.
Peneliti juga menggunakan pulpen dan kertas dalam proses pengambilan data
utnuk mencatat hal- hal atau perilaku penting ketika melakukan wawancara mendalam.

HASIL PENELITIAN
Hasil Pelaksanaan Keselamatan Kerja PT. GHP.
Hasil analisa pelaksanaan keselamatan kerja di PT. GHP dapat dilihat bahwa
belum semua pelaksanaan keselamatan kerja sesuai dengan teori Geller. Yang belum
dilaksanakan dan belum sesuai dengan teori Geller adalah belum menggunakan
pendekatan perilaku manusia dalam pelaksanaan keselamatan kerjanya, belum
ergonomic (comprehensive ergonomic) yaitu belum menyesuaikan kondisi kerja dan
perlengkapan kerja yang digunakan, belum sesuai cara mendesain peringatan yang
sesuai dengan teori Geller, belum membuat perintah yang jelas, belum adanya
pembuatan kode-kode dengan warna, tidak adanya laporan kecelakaan (near-miss
reporting) padahal pernah terjadi kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan. Standar
peralatan safety yang dimiliki oleh PT. GHP belum sesuai dengan teori Geller, seperti
kelaikan mesin gondola masih jauh dari standar safety, masih sedikit pelatihan untuk
menyampaikan informasi tentang keselamatan kerja, kemudian dorongan untuk
menggunakan disiplin untuk berperilaku selamat dalam bekerja belum maksimal
diterapkan. Belum menjalankan intervensi dengan konsekuensi dengan perilaku, belum
ada bentuk-bentuk reward atau imbalan yang diberikan oleh PT. GHP terhadap
karyawan, selain imbalan berupa pujian. Di PT. GHP belum mengajak seseorang untuk
membuat komitmen mengenai safety.
Yang sudah dilaksanakan dan sesuai dengan keselamatan kerja Geller adalah
mengikuti peraturan pemerintah (government action) mengenai pengadaan tim K3 di
PT. GHP, ada pengawasan manajemen (management audit) yaitu dengan memberikan
beberapa pelatihan kepada manajer untuk menerapkan Standard International Safety
Rating (SISR). Ada manajemen stress (stress management) yaitu dengan mengajarkan
kepada karyawan dalam menghadapi stress kerja, sehingga tidak didapati karyawan
yang stres. Melibatkan seluruh pekerja dalam mengurangi resiko kecelakaan kerja dan
ada evaluasi untuk mengetahui perkembangan program keselamatan kerja. Manajemen
memberikan intervensi motivasi yaitu dengan cara memberikan motivasi kepada
karyawan untuk berperilaku safety, sehingga komunikasi antar karyawan mendukung
untuk timbulnya safety at work.
Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan keselamatan kerja di
PT. GHP, secara umum adalah PT. GHP belum menyentuh segi perilaku safety, dimana
perilaku safety dianggap perlu untuk menciptakan budaya safety at work. Safety yang
ada di PT. GHP hanya kepada kewajiban untuk penggunaan peralatan safety. Peralatan
safety juga kurang memenuhi standar safety dan tidak memenuhi ergonomi sehingga
karyawan kurang nyaman dalam menggunakan peralatan safety. PT. GHP belum ada
training secara berkala, pemberian training hanya dilakukan pada saat calon karyawan
memasuki masa orientasi kerja. Training hanya mengenai kewajiban menggunakan
peralatan safety tanpa karyawan mengerti manfaat dari penggunaan peralatan tersebut.
Namun pihak manajemen sudah berusaha untuk melakukan intervensi melalui
komunikasi, dengan memberikan arahan mengenai safety at work dan memberikan
pujian jika karyawan mengutamakan safety dalam bekerja. Pihak manajemen juga
bersedia menerima masukan berupa pemberian safety training yang membahas
mengenai perilaku safety ataupun mengenai budaya safety pada jabatan operator
gondola yang diharapkan dapat meminimalkan kecelakaan kerja sehingga produktivitas
kerja karyawan meningkat dan perusahaan mendapatkan kepercayaan dari customer
yang ingin menggunakan jasa mereka.

Hasil dan Pembahasan Analisa Kebutuhan Tingkat Organisasional PT. GHP.
Berdasarkan data-data perusahaan, PT. GHP berdiri sejak tahun 1990 dan
bergerak dalam bidang industri jasa perawatan gedung seperti mall, apartement dan
perkantoran. PT. GHP telah memiliki 38 klien. Untuk memberikan pelayanan yang
optimal kepada kliennya, manajemen PT. GHP memberikan training kepada
karyawannya agar bekerja sesuai dengan visi dan misi perusahaan. PT. GHP sudah
melaksanakan training secara rutin untuk karyawan baru yaitu training orientasi
perusahaan dan training product knowledge, untuk operator gondola yaitu safety
training dalam hal safety body & equipment.
PT. GHP membutuhkan sumber daya manusia (sdm) yang handal. Telah
dilaksanakan proses rekruitmen yang ketat dan seleksi fisik untuk calon karyawan,
proses pelatihan sikap, kemampuan teknis dan manajerial untuk calon supervisor dan
sudah terdapat penilaian kinerja/jalur kerja. Sehingga proses kenaikan jabatan, promosi,
mutasi ataupun resign sudah terdapat pengaturan administrasinya.
Kebutuhan perusahaan akan sumber daya manusia yang handal menjadikan
pelayanan PT. GHP berkualitas, sehingga dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan.
PT. GHP menerima perbaikan didalam perusahaan demi mendapatkan kualitas sdm
yang sesuai dengan visi, misi dan nilai- nilai perusahaan. Maka perlu diadakan
penambahan safety training dalam hal perilaku consistency safety bagi operator gondola
agar operator gondola menyadari pentingnya bekerja dengan safety dan memiliki
inisiatif untuk bertindak safety tanpa harus diberikan instruksi dan diawasi oleh
atasan/ supervisor. Jika operator gondola bekerja dengan safety maka resiko kecelakaan
kerja menjadi nol sehingga nama perusahaan menjadi baik dan customer banyak yang
menggunakan jasa PT. GHP, perusahaan menjadi berjaya dan kesejahteraan karyawan
meningkat.

Hasil dan Pembahasan Analisa Kebutuhan Tingkat Jabatan PT. GHP.
Berdasarkan data-data perusahaan, operator gondola PT. GHP memiliki
pekerjaan membersihkan gedung bertingkat, yang beresiko terhadap terjadinya
kecelakaan kerja seperti terjatuh atau tersetrum. Untuk mengurangi kecelakaan kerja,
PT. GHP telah memberikan operator gondola pelatihan safety training body dan
equipment. Operator gondola PT. GHP telah memiliki SOP namun dalam
pelaksanaannya terkadang membutuhkan pengawasan dari supervisor. Maka itu, safety
training yang berbasis perilaku consistency safety perlu diadakan agar dalam pelaksaan
kerja, operator gondola disiplin menjalankan SOP.

Hasil Rancangan Program Safety Training Yang Berbasis Perilaku Consistency
SafetyPada Jabatan Operator Gondola di PT. GHP.

TUJUAN PELATIHAN
1. Memiliki pengetahuan mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
2. Menimbulkan kebiasaan untuk berperilaku safety.
3. Memahami ancaman resiko/bahaya kecelakaan di tempat kerja.
4. Menggunakan langkah pencegahan kecelakaan kerja.
PESERTA DAN WAKTU
Peserta pelatihan : 25 operator gondola PT. GHP.
Perkiraan waktu : 120 menit x 3 sesi pertemuan.
METODE
1. Penyampaian
Metode yang digunakan dalam penyampaian training ini adalah melalui :
a. Teori/penyajian materi berupa kuliah/ceramah.
b. Diskusi.
c. Sumbang saran.
d. Analisa kasus.
e. Alat-alat berupa gambar.
2. Evaluasi
a. Pre test dan post test.
b. Observasi pekerjaan.
b. Kuesioner.
MATERI
1. Faktor-faktor dalam total safety culture. (waktu : 15 menit)
2. Teori behavior based safety. (waktu : 15 menit)
3. Cara untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. (waktu : 15 menit)
4. Langkah pencegahan kecelakaan kerja. (waktu : 15 menit)
5. Bahan pre test dan post test. (waktu : @30 menit)
6. Bahan focus group disscussion. (waktu : 30 menit)
7. Bahan analisa kasus. (waktu : 30 menit)

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa kebutuhan training (training need analysis) PT. GHP
untuk mengetahui kebutuhan karyawannya akan pengadaan training terutama pada
jabatan operator gondola, maka telah berhasil disusun rancangan program safety
training yang berbasis perilaku consistency safety pada jabatan operator gondola di PT.
GHP.
Adapun simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :
1. Analisa Pelaksanaan keselamatan kerja di PT. GHP, mencakup pendekatan
keselamatan kerja, teori keselamatan kerja, total safety, resiko yang dirasa,
adanya stres/distres, perilaku kritis, analisa terhadap perilaku selamat,
intervensi, intervensi dengan konsekuensi, bentuk rewards/imbalan,
intervensi dengan percakapan yang mendukung, kepedulian aktif, faktor
pendukung kepedulian aktif, meningkatkan perilaku peduli aktif,
meningkatkan kinerja tim, evaluasi peningkatan, memperoleh dan
memelihara keterlibatan.
2. Analisa kebutuhan training (training need analysis) PT. GHP mencakup
analisa kebutuhan tingkat organisasional dan analisa kebutuhan tingkat
jabatan pada PT. GHP.
3. Penyusunan kompetensi jabatan operator gondola PT. GHP mencakup
keterampilan yang dibutuhkan, pengetahuan/pelatihan yang dibutuhkan dan
attitude/kepribadian
4. Rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety
pada jabatan operator gondola di PT. GHP mencakup pendahuluan, tujuan
training, peserta dan waktu training, metode training, materi training,
ringkasan alur sesi training dan lampiran- lampiran (yang tertuang dalam
halaman lampiran).
5. Evaluasi program safety training yang berbasis perilaku consistency safety
pada jabatan operator gondola di PT. GHP mencakup evaluasi per sesi,
evaluasi akhir pelatihan, evaluasi materi training, evaluasi panitia, evaluasi
oleh atasan dan pre test post test.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian serta memperhatikan penjabaran di bagian-bagian
sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:
1. Kepada pihak manajemen PT. GHP disarankan untuk :
a. Menjalankan program safety training yang berbasis perilaku consistency
safety kepada karyawan baru operator gondola.
b. Memberikan program safety training yang berbasis perilaku consistency
safety kepada atasan/supervisor operator gondola supaya atasan memiliki
kesamaan pemahaman dan pengetahuan mengenai perilaku consistency
safety.
c. Melakukan evaluasi per tiga bulan untuk melihat perubahan perilaku
safety operator gondola.
d. Melengkapi peralatan safety sesuai standar dari depnaker yang belum
disediakan oleh perusahaan agar mengurangi resiko terjadinya
kecelakaan kerja.
e. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan operator
gondola sesuai dengan total safety culture.
2. Kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan standarisasi guna
memperkuat keabsahan program safety training yang berbasis perilaku
consistency safety pada jabatan operator gondola di PT. GHP dan dibedakan
untuk customer dengan bisnis mall, apartment dan perkantoran sehingga sasaran
training dapat lebih efektif, karena peralatan safety untuk ketiga bisnis customer
tersebut dapat berbeda-beda dan penanganan kecelakaan kerjanya pun berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Arif. Gondolaman. Diakses pada tanggal 14 Februari 2011 dari http://gondolaman-
bi.blogspot.com/.
Geller, E.S. 1942. The Psychology of Safety Handbook. United States of America:
Lewish Publisher.
Heinrich. B. 1990. Wildlife Rescue. Boston : Joy Streets Books.
Indopos. Terbit Kamis 25 Maret 2010 hal. 10. Jakarta.
Kirkpatrick, D.L. dan Kirkpatrick, J.D., 2006. Evaluating Training Programs: The Four
Levels. San Fransisco : Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Moekijat. 1995. Tata Laksana Kantor. Bandung : Mandar Maju.
Statt, D. 2000. Using Psychology in Management Training : The Psychological
Foundation of Management Skills. London : Routledge.
http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap performansi.
html.

Anda mungkin juga menyukai