Anda di halaman 1dari 2

Dekade ini banyak negara di dunia mulai membahas hak individu untuk mengakses,

menggunakan, membuat, dan mempublikasikan media digital, serta hak untuk mengakses dan
menggunakan jaringan komunikasi serta komputer dan perangkat elektronik lainnya. Hak
tersebut dikenal dengan hak digital, yang dikaitkan dengan perlindungan dan realisasi hak-hak
yang telah lebih dulu ada, seperti hak atas privasi, hak atas informasi publik atau kebebasan
berekspresi. Seperti diketahui, akses internet yang terbukti secara empiris mampu
meningkatkan kualitas taraf hidup manusia, telah diakui sebagai hak asasi oleh undang-undang
dari banyak negara di dunia.

Beberapa negara telah menerbitkan undang-undang yang mengharuskan negara untuk
memastikan bahwa akses internet tersedia secara luas dan mencegah negara dari membatasi
akses individu untuk informasi dan Internet secara tidak wajar, seperti antara lain:
Kosta Rika: Pada 30 Juli 2010 putusan Mahkamah Agung Kosta Rika menyatakan: hak
akses ke teknologi sebagai hak fundamental, khususnya, hak akses ke Internet.
Estonia: Pada tahun 2000, parlemen meloloskan undang-undang internet yang
menyatakan bahwa mengakses internet adalah hak asasi manusia dan meluncurkan
program besar-besaran untuk memperluas akses sampai ke pedesaan.
Prancis: Pada bulan Juni 2009, Dewan Konstitusi, pengadilan tertinggi Prancis,
menyatakan akses ke Internet menjadi hak asasi manusia.
Yunani: Pasal 5A Konstitusi Yunani menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk
berpartisipasi dalam Masyarakat Informasi dan bahwa negara memiliki kewajiban untuk
memfasilitasi produksi, pertukaran, difusi, dan akses ke informasi yang ditransmisikan
secara elektronik.
Spanyol: Mulai tahun 2011, Telefnica, perusahaan telekomunikasi negara yang
memegang hak monopoli dan kontrak "layanan universal" negara, harus menjamin
ketersediaan broadband murah, setidaknya satu megabyte per detik bagi seluruh
Spanyol.
Finlandia: Menurut peraturan Kementerian Transportasi dan Komunikasi pada bulan
Juli 2010, setiap orang di Finlandia memiliki hak untuk mendapatkan satu-megabit per
detik (Mbit/s) koneksi broadband, dan pada tahun 2015, akan mendapatkan hak akses
ke koneksi 100 Mbit/s yang dijamin dengan undang-undang.

Pada umumnya negara-negara tersebut mengacu kepada The Universal Declaration of Human
Right 1948, yang mengakui sejumlah hak-hak sosio-ekonomi seperti hak atas pendidikan dan hak
atas standar hidup yang memadai sesuai standar yang berlaku secara universal. Negara-negara
anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memiliki kewajiban hukum untuk menghormati,
melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut, dan mampu mengambil "tindakan progresif"
terhadap pemenuhannya.

Deklarasi tersebut kemudian ditindak-lanjuti dengan deklarasi pada bulan Desember 2003, di
KTT Dunia tentang Masyarakat Informasi (World Summit of Information Society) yang juga
diselenggarakan di bawah naungan PBB. Dalam banyak hal, substansi deklarasi tersebut
menyatakan bahwa frekuensi yang digunakan untuk Internet sebagai sumber daya alam yang
harus diperlakukan seperti pemanfaatan air bersih. Yaitu disediakan melalui infrastruktur publik
serta tersedia secara merata. Ketika suatu negara mulai memperlakukan Internet sebagai barang
publik dan mulai berkomunikasi dengan warga negara secara eksklusif melalui internet, maka
pada saat itu pula negara harus menjamin hak rakyat untuk mengakses internet.

Antisipasi teknologi dan pengaturannya harus menjadi satu paket hukum yang dinamis dan
progresif, demi hak atas kesetaraan individu. Termasuk menjamin ketersediaan konten serta
aplikasi digital yang memadai dan bermanfaat. Yaitu konten yang mendidik serta inspiratif, dan
aplikasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup secara umum. Dalam konteks inilah
pengembangan konten dan aplikasi digital kemudian harus mengambil perannya sebagai
instrumen pemberdayaan sosio-ekonomi, dan bukan hanya sebagai komoditi konsumsi
masyarakat dan masuk ke dalam strategi pembangunan nasional. Namun dalam proses menuju
masyarakat digital yang modern, harus dicermati bahwa ada bahaya laten dalam teknologi
tersebut.

Jika dahulu kala negara-negara kolonial mencari tanah atau negara untuk dijadikan koloni, jaman
sekarang ini perusahaan multimedia raksasa di negara maju berusaha untuk menangkap bola
mata, telinga dan pikiran jutaan pemirsa, pembaca, atau pendengar di negara-negara lain untuk
menjadi koloninya. Perusahaan-perusahaan seperti Disney, MTV, Blockbuster, CNN, BBC, Fox,
Google, dan lain-lain dengan memanfaatkan landasan internet atau multimedianya berusaha
untuk mempengaruhi, bukan dengan kekuatan senjata, tetapi kemasan media informatif untuk
mempengaruhi cara berpikir masyarakat dunia. Media massa dari waktu ke waktu akan semakin
berdampak seperti tsunami budaya yang diciptakan dengan kualitas tinggi, serta diproduksi
secara massal dalam sebuah sistem pemasaran yang modern.

Hal itu disebut dengan teori kolonialisme elektronik atau kolonialisme digital. Teori yang
menjelaskan bagaimana media massa yang dimanfaatkan sebagai cara menuju ke suatu konsep
kerajaan atau kolonialisme baru. Suatu konsep kolonialisme yang tidak mengandalkan kekuatan
militer atau mengarah ke pembebasan lahan, tapi suatu konsep terintegrasi yang mengendalikan
pikiran. Suatu pembentukkan kerajaan psikologis atau mental. Suatu perkembangan "Empire of
the Mind." Suatu pendekatan yang secara kolektif mempengaruhi pikiran, sikap, nilai, dan bahasa
individu di seluruh dunia. Ini adalah fenomena yang dari waktu ke waktu tidak hanya akan
memperluas batas-batas perusahaan komunikasi multi-nasional, tetapi akan memperluas
jangkauan korporasi global dalam membangun pasar dunia.

Contoh utama kolonialisme digital adalah inisiatif dari Google Incorporated dan Facebook.
Google dan Facebook dengan teknologi platform global, semakin lama semakin menentukan
masa depan pengetahuan serta pola komunikasi dalam suatu peradaban dengan kekuatan
jaringan yang sangat luas. Dengan menggunakan inovasi program pencarian bagi individu dan
teknologi digital lainnya, Google berniat untuk menyesuaikan informasi serta pola pemikiran
penggunanya dengan kepentingan korporasi global, termasuk di dalamnya pembelian bandwidth
suatu negara untuk akses ke luar negerinya. Sedangkan Facebook dengan milyaran penggunanya
mampu menciptakan landasan bagi pola komunikasi industri maupun individu di dunia. Teori
kolonialisme digital juga berlaku pada kekuasaan hegemonik Amerika Serikat dalam industri
budaya global, termasuk kontrol internet Amerika-sentris melalui ICANN dan perluasan media
dan kerajaan komunikasi Amerika di seluruh dunia.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, hendaklah dipahami bahwa integrasi teknologi digital kedalam
proses kemajuan peradaban di dunia ini harus dicermati pemanfaatannya dengan seksama.
Teknologi yang sejatinya mempercepat peningkatan pemberdayaan masyarakat ini harus
dipisahkan dari bentuk-bentuk komersialisasi dalam utilisasinya. Ekosistem digital harus
dibangun diluar dari sistem industri dan ditempatkan di tataran infrastruktur dasar seperti
listrik dan air. Pola pemanfaatan yang konsumeristis harus dihindari dalam program penetrasi
digital, dan lebih menekankan ke pembangunan demokratisasi bermasyarakat melalui teknologi.

Adie Marzuki

Anda mungkin juga menyukai