Anda di halaman 1dari 41

ISSN 1858-3466

295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13 Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
JITE Vol. 1 No. 13 Hal. 1-75
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
ISSN 1858-3466
295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13 Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
JITE Vol. 1 No. 13 Hal. 1-75
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
ISSN 1858-3466
295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13 Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
JITE Vol. 1 No. 13 Hal. 1-75
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
Jurnal Ilmiah Teknologi Energi (JITE)
Volume 1 Nomor 13Agustusi 2011
ISSN 1858 - 3466
Terdokumentasikan pada Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia
Diterbitkan oleh:
Balai Besar Teknologi Energi - BPPT
d/a Kawasan PUSPIPTEK Gd. 620 - 622, Setu (dh Serpong)
Tangerang 15314, Banten, Indonesia
Copyright Balai Besar Teknologi Energi 2011
Allright reserved. Parts of this publication may be reproduced, stored in any
retrieval system, or transmitted in any forms or by any means, electronic,
mechanical, photocopying or recording with prior written permission from Balai
Besar Teknologi Energi - BPPT.
Alamat surat/pengiriman makalah:
Redaksi Jurnal Ilmiah Teknologi Energi
Balai Besar Teknologi Energi - BPPT
d/a Kawasan PUSPIPTEK Gd. 620 - 622, Setu (dh Serpong)
Tangerang 15314, Banten, Indonesia
Telpon: +62 21 7560550, +62 21 7560092, +62 21 7560916
Fax.: +62 21 7560904
Email: jite@b2te.bppt.go.id
Website: b2te.bppt.go.id
Disain Sampul Depan : Herliyani Suharta
Disain Sampul Belakang : Dwika Budianto
ISSN 1858-3466
No.295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
J.Ilm.Tek. Energi Vol. 1 No. 12 Hal. 1-64
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
ISSN 1858-3466
No.295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
J.Ilm.Tek. Energi Vol. 1 No. 12 Hal. 1-64
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
ISSN 1858-3466
No.295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010
JURNAL I LMI AH
TEKNOLOGI
ENERGI
Volume 1 Nomor 13Agustus 2011
BALAI BESAR TEKNOLOGI ENERGI (B2TE)
DEPUTI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI, ENERGI DAN MATERIAL
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (BPPT)
J.Ilm.Tek. Energi Vol. 1 No. 12 Hal. 1-64
Jakarta
Agustus 2011
ISSN
1858-3466
JURNAL ILMIAH TEKNOLOGI ENERGI
Volume 1 Nomor 13Agustus 2011
Jurnal Ilmiah Teknologi Energi adalah wadah informasi yang memuat hasil-hasil penelitian
ilmiah berkaitan dengan energi dan konsep kebijakan yang berguna bagi penurunan
kebijakan nasional untuk mendukung kesinambungan penyediaan energi. Terbit pertama
kali bulan Agustus 2005 dengan frekuensi terbit 2 kali dalam setahun.
Ketua Penyunting:
Prof. Dr. Herliyani Suharta, Ir., Mphil.
Energy Technology Implementation and Dissemination
Wakil Ketua Penyunting:
Dr. SD. Sumbogo Murti, M.Eng. / Fossil Energy
Penyunting Ahli:
Dr. MAM. Oktaufik (B2TE-BPPT) / Energy Technology
Dr. Kurtubi (Pertamina), Dr. Dadan Kusdiana (ESDM)
Energy Policy, Demand and Resources Projection and Planning
Dr. Edi Hilmawan (B2TE-BPPT) / Energy Efficiency
Prof. Dr. Martin Djamin (RISTEK) / PV Technology
Dr. Unggul Priyanto (BPPT) / Energy Resources
Prof. Dr. Armansyah H. Tambunan, MAgr. (IPB) / Biofuel Technology
Dr. Suryadarma (Pertamina) / Geothermal Technology
Prof. Sidik Budoyo, MEng. (BPPT) / Renewable Electricity and Economy Evaluation
Ir. Trisaksono Bagus Priambodo, M. Eng. (B2TE-BPPT) / Fossil Energy and Gasification
Technology
Dr. Agus R. Hoetman (RISTEK), Dr. Adiarso (B2TE-BPPT) / Energy in Industries
Dr. Achiar Oemry APU (LIPI), Dr. Oo Abdul Rosyid (B2TE-BPPT)
Hydrogen and Electro-chemical Technology
Prof. Dr. Yudi Sutrisno Garno (BPPT) / Environment and Ecology
Alamat Redaksi:
Balai Besar Teknologi Energi - BPPT
d/a kawasan PUSPIPTEK Gd. 620 - 622, Setu, Tangerang 15314, Banten, Indonesia
Telpon: +62 21 7560550, +62 21 7560092, +62 21 7560916
Fax.: +62 21 7560904, e-mail : jite@b2te.bppt.go.id
Redaksi Pelaksana: Dwika Budianto,ST, Taopik Hidayat,ST, Pratiwi,ST
Sekretariat dan Distribusi: Tarno, SE., MM., Drs.Siswanto, dan Madnoh,S.Sos
Jurnal Ilmiah Teknologi Energi diterbitkan oleh Balai Besar Teknologi Energi - BPPT
Pembina:
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material :Dr.Ir.UnggulPriyanto,MSc
Kepala Balai Besar Teknologi Energi: Dr. Ir. Soni Solistia Wirawan, M.En
JURNAL ILMIAH TEKNOLOGI ENERGI
Volume 1 Nomor 13Agustus 2011
DAFTAR ISI
Hartiniati
TEKNOLOGI PENGERING BATUBARASTEAM TUBE DRYER UNTUK
PLTU
1 10
Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi
Nabetani
ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI TERHADAP RESIRKULASI PANAS
PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK
11 22
Cahyadi, Yulianto S.N
STUDI PERILAKU PENYALAAN PARTIKEL BATUBARA INDONESIA
MENGGUNAKAN THERMOGRAVIMETRIC ANALYSIS DALAM KONDISI
O
2
/N
2
DAN O
2
/CO
2
23 32
Muhammad Aziz*, Takuya Oda and Takao Kashiwagi
APPLICATION OF HIGH ENERGY EFFICIENT HEAT CIRCULATION
TECHNOLOGY IN LOW RANK COAL DRYING
33 42
Bambang Suwondo Rahardjo, Rizqon Fajar
KINERJA MESIN DIESEL MENGGUNAKAN BAHAN BAKAR SOLAR, DME
DAN CAMPURANNYA
43 57
Trisaksono B Priambodo,Herliyani Suharta, Dwika Budianto, Andie
Mamonto
SUPPLEMENTAL HYDROGEN GAS TO IMPROVE PERFORMANCE OF
DIESEL ENGINE FOR POWER GENERATION
58 65
Indeks Subyek dan Penulis
Lembar Abstrak
Tuntunan Penulisan Makalah
KATA PENGANTAR
Dengan rendah hati dan penuh syukur kehadirat Tuhan YME, kami hadirkan Jurnal Ilmiah
Teknologi Energi ke hadapan pembaca sekalian. Edisi ini adalah terbitan ke-13 dan
merupakanterbitan kedua setelah mendapatkan akreditasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dengan nomor No.295/Akred-LIPI/P2MBI/08/2010. Dengan capaian ini kami senantiasa
berusaha meningkatkan berbagai perbaikan di dalam penyusunan naskah maupun materi makalah
dengan harapan kualitas jurnal akan semakin baik dan InsyaAllah dapat menjadi bahan rujukan dan
sumber informasi yang bermanfaat bagi para pembaca khususnya yang bekerja di bidang energi.
Jurnal Ilmiah Teknologi Energi Vol. 1 No. 13 ini menyampaikan 6 tulisan hasil Litbangyasa dan
telaah ilmiah di bidang energi, seperti yang tersusun di daftar isi. Kami berharap semoga hasil
kajian dan penelitian yang termuat di dalam jurnal ini dapat memberikan kontribusi informasi yang
bermanfaat baik untuk kalangan praktisi, peneliti, dan pengamat bidang energi. Redaksi menerima
kritik dan saran membangun serta kembali mengundang pembaca semua untuk mempublikasikan
karya ilmiah dari kegiatan penelitian dan inovasi di bidang energi di Jurnal Ilmiah Teknologi
Energi. Terima kasih. (Redaksi)
Teknologi Pengering Batubara Steam Tube Dryer Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Hartiniati)
1
TEKNOLOGI PENGERING BATUBARA
STEAM TUBE DRYER UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA
UAP
Hartiniati
Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi, BPPT
Jl. M.H. Thamrin 8, BPPT Gedung II Lantai 22, Jakarta 10340
Tel. (021) 3169889, E-mail: hartiniati@yahoo.com
ABSTRAK
Pemerintah telah menargetkan untuk meningkatkan akses listrik hingga 90% bagi seluruh rakyat
Indonesia pada tahun 2020. Untuk mencapai target tersebut maka dikembangkanlah program
percepatan 2x10.000MW, yang lebih didominasi oleh PLTU batubara. Karena batubara mutu tinggi
harganya semakin mahal dan ketersediaannya di pasar domestik juga terus berkurang sehingga tidak
mudah untuk mendapatkannya, maka industri kelistrikan perlu mengurangi ketergantungannya pada
batubara mutu tinggi, dan mencari bahan bakar alternatif yang jauh lebih murah seperti lignite. Akan
tetapi membakar lignite pada boiler konvensional secara ekonomi tidak feasible karena memerlukan
boiler dengan ukuran yang lebih besar. PLTU yang ada saat ini juga umumnya dirancang untuk
batubara sub-bit/bitumonuous, karena itu menggantinya dengan lignite akan menurunkan efisiensinya.
Untuk mengatasi hal ini, BPPT bekerjasama dengan Tsukishima Kikai Co., Ltd/Sojitz Corp, Jepang
melakukan penelitian terhadap teknologi pengering batubara, yang memanfaatkan uap tekanan rendah
dari PLTU untuk mengeringkan lignite. Pengeringan tidak langsung dari Steam Tube Dryer (STD)
menghasilkanjumlah gas buang yang minimal. Disamping itu gerakan STD yang dinamis seperti kiln
menghasilkan high drying performance. Investigasi awal pemanfaatan STD di PLTU mengindikasikan
adanya penurunan konsumsi batubara dan emisi CO
2
. Tulisan ini membahas hasil investigasi awal
tersebut dibandingkan bila lignite diumpankan langsung ke PLTU.
Kata kunci :Steam Tube Dryer, coal drying, dewatering, lignite, batubara mutu rendah, PLTU
ABSTRACT
The Indonesian government has targetted to raise electrical access up to 90% of the Indonesian
population by the year 2020. To achieve this target, fast track program 2x10,000 MW has been
developed, which mainly dominated by coal power generation. Since the price of good quaility coals
becomes more and more expensive and its amount at domestic market continues decreases and
therefore is not easy to get, power industry needs to reduce its dependence on good quality coal, and
find alternative fuel, which is much less expensive such as lignite. Burning lignite at a conventional
boiler, however, is not economically feasible because requires bigger size. Additionally, the existing
power units generally is designed to used sub-bit/bituminous coals or good quality coals, so burning
lignite will reduce efficiency. To overcome this problem, an indirect heating dryer, which utilizes low
pressure steam from power plant to dry coal, is investigated at Puspiptek, Serpong laboratory in
cooperation with Tsukishima Kikai Co., Ltd/Sojitz Corp,, Japan. As such, the exhaust gas from the
steam tube dryer (STD) can be minimized. Its dynamic kiln action makes STD operation has high
drying performance. This paper discuss preliminary investigation results on the advantage of appyling
STD in power generationcompare to the condition when Indonesia lignite is directly used as intake in
PLTU.
Keywords :Steam Tube Dryer, coal drying, dewatering, lignite, low rank coal, Coal Fired Power Plant
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
2
1. PENDAHULUAN
Hingga saat ini Indonesia masih mengalami permasalahan energi yang cukup serius, antara
lain kurangnya pasokan listrik. Ini menyebabkan pemadaman bergilir masih sering
berlangsung terutama di luar Jawa. Terus meningkatnya permintaan listrik Indonesia terjadi
sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, dengan perkiraan
pertumbuhan mencapai 7,3% pertahun selama 10 tahun dari 2009-2019
[1]
.
Kondisi yang memprihatinkan ini tidak dapat dibiarkan terus berlangsung karena listrik
merupakan salah satu infrastruktur utama dalam pengembangan ekonomi dan industri di
suatu wilayah. Disamping itu, kondisi ini juga akan merugikan industri dan menurunkan
daya saing.
Sementara itu potensi batubara Indonesia sebagai bahan bakar pembangkit listrik mencapai
sekitar 105 milyar ton (ESDM 2010), namun60% nya (54.6 milyar ton) adalah batubara
muda yang nilai kalornya rendah(<4000 kkal/kg). Gambar 1 menampilkan peta lokasi
penyebaran batubara dan potensi cadangannya (2010)
[1]
.Pemanfaatan langsung batubara
jenis ini sebagai bahan bakar PLTU akan sangat mahal karena membutuhkan ukuran boiler
dan pembangkit listrik yang besar. Disamping itu, juga akan dihasilkan emisi CO
2
yang
jauh lebih besar per kilowatt energi output dibandingkan dengan batubara sub-bit/
bituminous.
Penelitian dilakukan dengan teknik simulasi
Gambar1. Peta lokasi penyebaran sumberdaya batubara dan cadangannya
(desember 2010)
Batubara jenis lignite ini juga tidak mungkin diumpankan langsung pada existing boiler di
PLTU, karena sebagian besar PLTU yang ada saat ini dirancang untuk batubara sub-bit/
bituminuous. Karena itu untuk dapat memanfaatkannya sebagai bahan bakar PLTU,
diperlukan suatu proses coal upgrading guna meningkatkan mutu/nilai kalor batubara
tersebut menjadi batubara sekelas sub-bit/bituminous. Mengingatmayoritas batubara muda
Indonesia mempunyai kandungan abu dan sulfur yang rendah, maka proses up
Teknologi Pengering Batubara Steam Tube Dryer Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Hartiniati)
3
gradingbatubara yang diperlukan praktis hanya untuk menghilangkan kandungan airnya
saja, yang jumlahnya mencapai 25-50%.
Sejalan dengan komitmen Pemerintah untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat melalui
peningkatan suplai energi listrik yang andal, murah, dan menyeluruh, maka Pemerintah
pada tahun 2006 telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 71yang menugaskan PLN
untuk membangun pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan batubara melalui
program Fast Track 10.000 MW Tahap-1 dan 10.000 MW Tahap-2. Berbeda dengan
pembangunan tahap pertama yang seluruhnya terdiri dari pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) berbahan bakar batubara, maka pada tahap kedua, meskipun masih didominasi
oleh PLTU batubara juga terdapat proyek PLTU panas bumi, gas, dan PLTA. Dominasi ini
timbul karena besarnya potensi cadangan batubara Indonesia yang sebagian besar belum
dimanfaatkan secara maksimal terutama batubara muda/jenis lignite.
Membakar batubara muda/lignit di PLTU yang ada saat ini, misalnya di Suralaya, kurang
ekonomis karena meskipun harga batubaranya murah akan tetapi nilaikalornya juga rendah
sehingga menyebabkan efisiennya turun. Pemanfaatan langsung batubara jenis ini sebagai
bahan bakar PLTU juga akan sangat mahal karena kandungan airnya yang tinggi sehingga
membutuhkan boiler dan pembangkit listrik dengan ukuran yang besar. Disamping itu,
juga akan dihasilkan emisi CO
2
yang jauh lebih besar per kilowatt energi output
dibandingkan batubara sub-bit/ bituminous. Jadi, untuk dapat memanfaatkan batubara
muda/lignite sebagai bahan bakar di PLTU, sebelum diumpankan ke boiler, perlu diproses
terlebih dahulu guna menurunkan kadar airnya dan dengan demikian nilai kalornya juga
akan meningkat menjadi batubara sekelas sub-bit/bituminous.
Berbagai teknologi peningkatan mutu batubara telah dikembangkan diseluruh dunia dengan
berbagai macam variasi kondisi operasi sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 2,
dimana teknologi GTL Energy-Australia dan STD-Japan dioperasikan pada temperatur dan
tekanan yang paling rendah.Salah satu teknologi peningkatan mutu batubara dengan teknik
pengeringan tidak langsung melalui pemanfaatan uap tekanan rendah dari existing PLTU,
yang disebut dengan Steam Tube Dryer (STD) merupakan teknologi yang cukup
menjanjikan untuk diterapkan di Indonesia karena dioperasikan pada temperatur dan
tekanan rendah, high drying performance, dan bersih. Tabel 1 berikut menampilkan list dari
STD komersial yang telah beroperasi di dunia sebagai pengering batubara.
Tabel1. Daftar coal-STD komersial di dunia(Sumber: Sojitz)
Kategori
Kapasitas
(ton/jam unit)
Kandungan Air
(In/Out) [brt %]
Ukuran
Unit
No.
Negara
Pengguna STD
Lignite 10 60 / 10 ID 2.4m x L 19m 1 Australia
Thermal Coal 30 20~30 / 10 ID 2.4m x L 22m 2 Japan
Coking Coal 480 10 / 6 ID 4.2m x L 35.5m 9
Japan, Korea,
Taiwan, China
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
4
Gambar 2. Berbagai teknologi Upgrading batubara di dunia dan kondisi operasinya
(Sumber: Sojitz)
Paper ini menyajikan hasil kajian awal potensi penerapan STD di Indonesia dengan teknik
simulasi dan rencana pengujiannya di laboratorium, menggunakan unit STD kapasitas 100
kg/jam, untuk dibandingkan hasil perhitungan simulasi dan pengujian di Laboratorium.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Banyak proses peningkatan mutu batubara yang telah dan sedang dikembangkan di dunia,
antara lain: Up-grading Brown Coal (UBC), Hot Water Drying (HWD), K-Fuel, Syncoal,
Encoal, Coal dewatering dengan menggunakan DME yang prosesnya mirip dengan UBC,
BCB (Binderless Coal Briqueeting) process oleh White Coal Technology,Proses
Hydrothermal upgrading, dan STD (Steam Tube Dryer)
[2]
. Berbagai proses tersebut
dibedakan berdasarkan kondisi reaksinya, jenis media transfer panas, tipe reaktor, kualitas
limbah cair dan biaya pengolahan.Dibandingkan denganproses lainnya, STD sangat
berbeda dari segi prinsip proses maupun kondisi operasinya
[2,3,4,7]
. Dari Gambar 2
nampak bahwa STD dioperasikan pada suhu dan tekanan yang lebih rendah dibandingkan
teknologi lain.
TeknologiSTD (lihat Gambar 3) pertama kali dikembangkan oleh TSK (Tsukishima Kikai
Co.Ltd), Jepang untuk cooking coal dewatering dan kini diarahkan pada steam coal
dewatering untuk diterapkan di pembangkit listrik, diintegrasikan dengan PLTU batubara
yang baru maupun yang telah beroperasi.STD pada prinsipnya memanfaatkan kelebihan
uap tekanan rendah pada pembangkit listrik untuk mengeringkan batubara, sehingga
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
4
Gambar 2. Berbagai teknologi Upgrading batubara di dunia dan kondisi operasinya
(Sumber: Sojitz)
Paper ini menyajikan hasil kajian awal potensi penerapan STD di Indonesia dengan teknik
simulasi dan rencana pengujiannya di laboratorium, menggunakan unit STD kapasitas 100
kg/jam, untuk dibandingkan hasil perhitungan simulasi dan pengujian di Laboratorium.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Banyak proses peningkatan mutu batubara yang telah dan sedang dikembangkan di dunia,
antara lain: Up-grading Brown Coal (UBC), Hot Water Drying (HWD), K-Fuel, Syncoal,
Encoal, Coal dewatering dengan menggunakan DME yang prosesnya mirip dengan UBC,
BCB (Binderless Coal Briqueeting) process oleh White Coal Technology,Proses
Hydrothermal upgrading, dan STD (Steam Tube Dryer)
[2]
. Berbagai proses tersebut
dibedakan berdasarkan kondisi reaksinya, jenis media transfer panas, tipe reaktor, kualitas
limbah cair dan biaya pengolahan.Dibandingkan denganproses lainnya, STD sangat
berbeda dari segi prinsip proses maupun kondisi operasinya
[2,3,4,7]
. Dari Gambar 2
nampak bahwa STD dioperasikan pada suhu dan tekanan yang lebih rendah dibandingkan
teknologi lain.
TeknologiSTD (lihat Gambar 3) pertama kali dikembangkan oleh TSK (Tsukishima Kikai
Co.Ltd), Jepang untuk cooking coal dewatering dan kini diarahkan pada steam coal
dewatering untuk diterapkan di pembangkit listrik, diintegrasikan dengan PLTU batubara
yang baru maupun yang telah beroperasi.STD pada prinsipnya memanfaatkan kelebihan
uap tekanan rendah pada pembangkit listrik untuk mengeringkan batubara, sehingga
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
4
Gambar 2. Berbagai teknologi Upgrading batubara di dunia dan kondisi operasinya
(Sumber: Sojitz)
Paper ini menyajikan hasil kajian awal potensi penerapan STD di Indonesia dengan teknik
simulasi dan rencana pengujiannya di laboratorium, menggunakan unit STD kapasitas 100
kg/jam, untuk dibandingkan hasil perhitungan simulasi dan pengujian di Laboratorium.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Banyak proses peningkatan mutu batubara yang telah dan sedang dikembangkan di dunia,
antara lain: Up-grading Brown Coal (UBC), Hot Water Drying (HWD), K-Fuel, Syncoal,
Encoal, Coal dewatering dengan menggunakan DME yang prosesnya mirip dengan UBC,
BCB (Binderless Coal Briqueeting) process oleh White Coal Technology,Proses
Hydrothermal upgrading, dan STD (Steam Tube Dryer)
[2]
. Berbagai proses tersebut
dibedakan berdasarkan kondisi reaksinya, jenis media transfer panas, tipe reaktor, kualitas
limbah cair dan biaya pengolahan.Dibandingkan denganproses lainnya, STD sangat
berbeda dari segi prinsip proses maupun kondisi operasinya
[2,3,4,7]
. Dari Gambar 2
nampak bahwa STD dioperasikan pada suhu dan tekanan yang lebih rendah dibandingkan
teknologi lain.
TeknologiSTD (lihat Gambar 3) pertama kali dikembangkan oleh TSK (Tsukishima Kikai
Co.Ltd), Jepang untuk cooking coal dewatering dan kini diarahkan pada steam coal
dewatering untuk diterapkan di pembangkit listrik, diintegrasikan dengan PLTU batubara
yang baru maupun yang telah beroperasi.STD pada prinsipnya memanfaatkan kelebihan
uap tekanan rendah pada pembangkit listrik untuk mengeringkan batubara, sehingga
Teknologi Pengering Batubara Steam Tube Dryer Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Hartiniati)
5
diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi konsumsi batubara dan jumlah emisi
CO
2
[5,6]
. Proses STD pada dasarnya merupakan proses Indirect heating drying, sehingga
volume gas buangnya dapat diperkecil. Mekanisme prosesnya seperti pada Kiln dimana
batubara dimasukkan kedalam shell sedangkan uap panas masuk kedalam tube. STD pre-
drying dapat diterapkan pada pembangkit listrik yang sudah ada maupun yang baru/akan
dibangun, sistem IGCC dan gasifikasi untuk memproduksi SNG.
Gambar 3. Struktur dari STD
3. METODA PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan teknik simulasi menggunakan software C-Quens, Jepang, dan
pengujian di laboratorium dengan menggunakan unit SDT berskala kecil dengan kapasitas
sekitar 100 kg per jam batubara input, yang akan dilaksanakan September 2011 di
Puspiptek Serpong, bekerjasama dengan Jepang (TSK dan Sojitz). Dalam Pengujian STD
dilaboratorium akan digunakan beberapa batubara muda dari Sumatra dan Kalimantan
dengan variasi total kandungan air: 35%; 50% dan 60%. Batubara tersebut di hancurkan
hingga ukuran <10 mm sebelum diumpankan kedalam unit STD. Uap dengan tekanan
rendah, 10 kg/cm
3
G digunakan untuk mengeringkan batubara secara tidak langsung.
Sampel produk batubara diambil di beberapa titik unit STD secara terus-menerus setelah
operasi berada pada keadaan steady state. Pengujian dilakukan selama beberapa hari (4-5
hari) secara kontinyu untuk setiap sampel yang diuji. Gas buang yang keluar dari unit STD
dialirkan ke bag filter untuk memisahkan debu batubara sebelum dilepas ke atmosfer.
Gambar4 menyajikan diagram peralatan STD yang digunakan dalam penelitian di
Puspiptek, Serpong yang saat ini pemasangannya sudah masuk tahap akhir (uji coba).
Carrier Gas
(Air)
Steam
Condensed
Steam
Dried Coal
Exhaust
Gas
Feed
Coal
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
6
Gambar4. Diagram peralatan STD (Sumber: TSK (2010))
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dari perhitungan simulasi untuk 1 unit STD kapasitas maksimum dengan ukuran
panjang sekitar 39 meter dan diameter 4,2 meter, nampak bahwa jumlah out put batubara
kering berkurang dengan bertambahnya kandungan air parent coal (batubara asal). Tabel 2
dan Gambar5 berikut menunjukkan hasil simulasi yang pernah dilakukan dengan
menggunakan soft-ware C-Quens dari Jepang.
Untuk penurunan total moisture (TM) dari 30% menjadi 10%, jumlah produk batubara
kering mencapai 150 ton/jam. Untuk batubara dengan TM 60%, produk yang dihasilkan
hanya mencapai 37 ton/jam dengan TM10%. Demikian juga penurunan batubara dari TM=
50% ke10%, produk batubara keringnya 57 ton/jam.
Tabel2. Hasil Simulasi STD (software:C-Quens)
Unit
No.
Feed Coal
moisture
[10%]
Steam
Pressure
[kg/cm2G]
Required
Steam
[t/hour]
Dried
Product
[t/hour]
Dried
Product
[t/year]
1 60 to 10 10 60 37 296.000
1 50 to 10 10 60 57 460.000
1 40 to 10 10 60 90 720.000
1 30 to 10 10 60 150 1.200.000
Sumber: TSK (2010)
Teknologi Pengering Batubara Steam Tube Dryer Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Hartiniati)
7
Gambar 5. Grafik korelasi antara pengurangan moisture (%) dan jumlah output
batubara kering (ton/jam)
Meskipun sudah lebih dari 500 unit STD terpasang di seluruh dunia dengan kapasitas
komersial 500 ton/jam untuk berbagai macam aplikasi termasuk batubara, akan tetapi
aplikasinya baru terbatas pada cooking coal untuk menurunkan kadar air dari 10% menjadi
6%. Dari segi aplikasi STD di pembangkit listrik, jumlahnya masih sangat terbatas, baru
ada 1 unit di Jepang dan 1 unit di Australia masing-masing dengan kapasitas kecil 40
ton/jam dan 10 ton/jam. Karena itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut di skala
komersial, dalam bentuk kerjasama antara Indonesia-Jepang. Sebuah unit STD skala
laboratorium dengan ukuran sekitar 3 meter panjang dan diameter shell 45 cm saat ini
sedang dalam tahap akhir pemasangan (uji coba) di Puspiptek, Serpong untuk menguji
beberapa batubara muda/lignite Indonesia.
Gambar6 dan 7 menampilkan hasil pengujian awal (STD drying test) terhadap batubara
Indonesia dengan kandungan air 33% dan 43%. Untuk mengeluarkan seluruh kandungan
air batubara dengan TM: 33% diperlukan waktu 40menit dengan temperatur maksimum
sekitar 115
o
C. Sedangkan untuk batubara dengan TM:43% diperlukan waktu 2 kali lipat
(80 menit) dengan temperatur maksimum sekitar 135
o
C. Pada penerapannya di industri
secara komersial, mengeluarkan semua kandungan air dalam batubara tidak diperlukan
karena membutuhkan energi dalam jumlah yang sangat besar dan karenanya menjadi
mahal. Penurunan hingga kandungan air 12-15% sudah cukup untuk memenuhi standar
desain tungku boiler pada umumnya.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
20 30 40 50
d
r
i
e
d
c
o
a
l
(
t
o
n
/
h
o
u
r
)
TM Reduction [%]
TM reduction (%) vs Amount of Dried coal (t/h)
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
8
Gambar6. Hasil pengujian dengan STD untuk lignite Indonesia
dengan moisture 33%
Gambar 7. Hasil pengujian dengan STD untuk lignite Indonesia
dengan moisture 43%
Dari hasil perhitungan simulasi terhadap PLTU kapasitas 150MW dan 315MW
sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 3 dan 4, dapat disimpulkan bahwa:
Pengumpanan Lignite tanpa pengeringan dan dengan memasang unit STD di pembangkit
listrik, menunjukan bahwa penggunaan STD menurunkan konsumsi batubara rata-rata
sekitar 5%, dan menaikkan gross efficiencylebih dari 1%. Keuntungan lainnya adalah
terjadi penurunan emisi CO2 yang cukup besar hingga 5%.
Besarnya tekanan uap yang tersedia juga menentukan ukuran volume STD. Tekanan uap
yang lebih rendah memerlukan STD dengan ukuran yang lebih besar.
Hasil investigasi awal dari simulasi yang dilakukan dengan menggunakan software C-
Quens, Jepang terhadap penerapan STD di beberapa PLTU batubara dengan kapasitas yang
berbeda, mengindikasikan bahwa penggunaan STD akan memberikan manfaat yang besar
sebagaimana yang ditampilan pada Gambar 7 berikut.
Teknologi Pengering Batubara Steam Tube Dryer Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (Hartiniati)
9
Gambar 8.Penurunan biaya akibat pemasangan STD pada PLTU dengan
beberapa kapasitas yang berbeda
Tabel3. Hasil Simulasi pemasangan STD pada pembangkit listrik 105MW
Tabel4. Hasil Simulasi pemasangan STD pada pembangkit listrik 315MW
Sumber: TSK (2010)
0
1
2
3
4
5
6
7
5000 4200 3500
C
O
A
L

C
O
S
T

R
E
D
U
C
T
I
O
N

(
M
I
L
L
/
Y
)
CV (kcal/kg)
300MW 400MW 600MW
Pre-drying Uap yang Ukuran Efisiensi Uap yang Uap yang Konsumsi batu- Emisi CO2
No. (moisture) tersedia untuk STD Gross diperlukan dihasilkan bara [t/th W.B.] [t-CO2/th]
STD (kg/cm
2
G)
[m] [%]
STD (kg/cm
2
G)
Boiler [t/jam] (Rasio) (Rasio)
Base Tidak 741.940 1.044.064
(33,5%) 34,5 442,7 (1.000) (1.000)
1 Ya 7,8 dia 3,8 x L 18 720.868 1.014.554
(33,5% to 25%) 1 unit 35,5 16,8 445,2 (0,972) (0,972)
2 Ya 2,4 dia 3,8 x L 26 717.354 1.008.934
(33,5% to 25%) 1 unit 35,7 17,2 442,8 (0,962) (0,962)
3 Ya 7,8 dia 4,2 x L 25 713.842 1.004.015
(33,5% to 10%) 1 unit 35,9 30,6 453,6 (0,962) (0,962)
4 Ya 2,4 dia 4,2 x L 36 706.816 994.179
(33,5% to 10%) 1 unit 36,2 31,2 449,2 (0,953) (0,953)
*Asumsi, ukuran partikel batubara: < 10mm. Pada Drying test perlu ditentukan secara definitif ukuran STD
Pre-drying Uap yang Ukuran Efisiensi Uap yang Uap yang Konsumsi batu- Emisi CO2
No. (moisture) tersedia untuk STD Gross diperlukan dihasilkan bara [t/th W.B.] [t-CO2/th]
STD (kg/cm
2
G)
[m] [%]
STD (kg/cm
2
G)
Boiler [t/jam] (Rasio) (Rasio)
Base Tidak 1.692.323 2.242.886
(36,48%) 34,3 989 (1.000) (1.000)
1 Ya 8,5 dia 3,8 x L 29 1.669.975 2.213.767
(36,48% to 25%) 1 unit 34,8 45,8 1017 (0,972) (0,972)
2 Ya 1,9 dia 3,8 x L 37 1.656.431 2.194.805
(36,48% to 25%) 2 unit 35,1 46,9 1008 (0,979) (0,962)
3 Ya 8,5 dia 4,2 x L 33 713.842 1.004.015
(36,48% to 10%) 2 unit 35,2 83,4 1041 (0,976) (0,976)
4 Ya 1,9 dia 4,2 x L 35 1.625.957 2.154.850
(36,48% to 10%) 2 unit 36,2 84,8 1025 (0,961) (0,961)
*Asumsi, ukuran partikel batubara: < 10mm. Pada Drying test perlu ditentukan secara definitif ukuran STD
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 : 1-10
10
5. KESIMPULAN
Dengan memasang unit STD di pembangkit listrik, konsumsi batubara akan berkurang
hingga rata-rata sekitar 5%, terjadi kenaikan gross efficiency 1% keatas, dan penurunan
emisi CO2 yang hingga 5%.
Besarnya tekanan uap yang tersedia juga menentukan ukuran volume STD. Tekanan uap
yang lebih rendah memerlukan STD dengan ukuran yang lebih besar.
Penggunaan lignite sebagai intake PLTU secara langsung dan dengan memanfaatkan STD
pada tiga PLTU yang berbeda kapasitas menunjukan bahwa jumlah penghematan biaya
batubara meningkat dengan meningkatnya kapasitas pembangkit listrik. Akan tetapi
semakin rendah nilai kalor batubara asal yang akan dikeringkan, semakin mahal biaya
pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
APBI-ICMA(2011). INDONESIA Coal Industry. Outlook 2011. Jakarta.
BPPT(2002). Internal Report on Upgraded Brown Coal, Jakarta.
Deguchi T, Shigeshisa T (2000) Development of UBC Process: Upgrading of Low Rank
Coal, FTEC International Conference on Fluid and Thermal Energy Conversion July
2-6, Bandung.
Makino E, et.al. (2005). Feasibility Study on UBC Commercial Plant. Seminar on
Upgraded Brown Coal (UBC) Technology between Indonesia and Japan.Hotel Sari
Pan Pacific Jakarta, March 21.
Noguchi (2010). Steam Tube Dryer (STD) for Low Rank Coal. 2nd Coaltrans Up grading
Coal Forum 2010, CONTRANS SYMPOSIUM, 21-22 September, Grant Hyatt hotel,
Jakarta.
Noguchi and E.Makino (2011). Steam Tube Dryer (STD) for Low Rank Coal in Power
Plant. Presented at BPPT and PLN. Jakarta.
DOE Topical Report (1993) COMPCOAL A profitable process for production of a stable
high-btu fuel from Powder River basin coal, DOE/MC/30126-5102, US Department
of Energy.
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
11
ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI TERHADAP RESIRKULASI
PANAS PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK
Energy and Exergy Analysis on Heat Recirculation in Non-Catalytic Reaction of
Biodiesel Production
Armansyah H. Tambunan
1)
, Furqon
1)
, Joelianingsih
2)
, Tetsuya Araki
3)
, Hiroshi
Nabetani
3,4)
1)
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, FATETA-IPB, Bogor, email: ahtambun@ipb.ac.id
2)
Program Studi Teknik Kimia, FT-ITI, Tangerang
3)
Graduate School of Agriculture and Life Sciences, The University of Tokyo, Japan
4)
National Food Research Institute, NARO, Japan
ABSTRAK
Konsumsi energi sistem produksi non-catalytic biodiesel masih amat tinggi. Kebutuhan energi ini perlu
diturunkan dengan cara menggunakan energi secara optimum yaitu dengan cara mensirkulasi energi
secara berulang dengan menggunakan sistem perpindahan panas. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk
menampilkan analisa energi dan exergy pada sistim setelah dilakukan sirkulasi ulang dengan
menggunakan alat perpindahan panas.Percobaan ini menggunakan uap metanol superheated pada
sistem produksi non-catalytic biodiesel. Upaya dimulai dengan mencari dan menghitung parameter
fisis dan termal dari bahan yang digunakanyaitu: palm olein, metanol, dan methyl ester. Kemudian
mendisain alat perpindahan panas, melakukan percobaan produksi, lalu menganalisa energi dan
exergy-nya.Proses dilakukan dalam pola semi-batch dengan laju aliran metanol: 1.5, 3.0, and 4.5 ml
per menit pada temperatur reaksi 290C. Dalam analisa exergy, diasumsikan kondisinya steady state,
sedang energi kinetik dan potensial diabaikan.Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa panas yang
disirkulasikan ulang dengan memanfaatkan alat perpindahan panas dapat meningkatkan energy-ratio
dari 0,84 ke 1.03.Menurut definisi, energy-ratio adalah perbandingan antara kandungan energi
biodiesel dengan total energi bahan mentah dan energi proses. Bila energy-ratio didefinisikan sebagai
perbandingan antara 'peningkatan kandungan energi biodiesel dari energi bahan dasarnya
dibandingkan dengan energi proses, maka energy-ratio yang diperoleh adalah 7.85, 2.98, and 2.87
untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, and 4.5 ml/menit. Analisa exergy menunjukkan bahwa nilai tidak dapat
kembali terjadi atau irreversible yang terbesar ada pada proses superheater. Efisiensi exergy dari
evaporator dan superheater meningkat dengan meningkatnya laju alir metanol, sedang efisiensi exergy
reaktor dan alat perpindahan panas menurun.
Kata kunci: exergy, alat perpindahan panas, non-catalytic biodiesel, uap metanol superheated.
ABSTRACT
Energy consumption in non-catalytic biodiesel production is still high, and needs to be reduced to the
optimum level. It can be accomplished by recirculating the heat being used in the process by using heat
exchanger. The objective of this study is to perform energy and exergy analysis to the system as
influenced by the heat recirculation through a heat exchanger. This experiment used a superheated
methanol vapor method for non-catalytic biodiesel production, and the study was started with the
determination and calculation of physical and thermal properties of materials to be used (palm olein,
methanol, and methyl ester), continued with the designing of the heat exchanger, the experiment itself,
and the energy and exergy analysis. The process was occured in semi-batch mode with 3 levels of
methanol flow rate, i.e., 1.5, 3.0, and 4.5 ml/min at reaction temperature of 290
o
C. Steady state
condition was assumed for the exergy analysis, while kinetic and potential energy were neglected. The
results show that heat recirculation by using heat exchanger can increase the energy ratio from 0,84 to
1.03, according to the definition that energy ratio is the ratio between energy content of the biodiesel to
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
12
the total energi of the feedstock and the process energy. If the energy ratio is defined as the ratio
between the increase in energy content of the biodiesel from its feedstock to the process energy, the
energy ratio was found to be 7.85, 2.98, and 2.87 for the respective methanol flow rate of 1.5, 3.0, and
4.5 ml/min. The exergy analysis showed that the highest irreversibility was occured at the superheater.
The exergy efficiency of the evaporator and the superheater increased with the increase in methanol
flow rate, while the exergy efficiency of the reactor and the heat exchanger decreased.
Keywords: biodiesel, exergy, heat exchanger, non-catalytic, superheated methanol vapor
1. PENDAHULUAN
Biodiesel dikenal sebagai produk yang ramah lingkungan, tidak mencemari udara, mudah
terbiodegradasi, dan berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Demirbas 2005).
Katalitik dan non-katalitik merupakan dua jenis teknologi yang dapat digunakan untuk
memproduksi biodiesel saat ini. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan. Metode
katalitik membutuhkan katalis untuk mempercepat reaksi dan alur yang cukup panjang
untuk memurnikan produk setelah produksi (Saka dan Kusdiana 2001; Joelianingsih et al,
2007).
Metode non-katalitik tidak membutuhkan katalis sehingga alur produksi lebih pendek, lebih
ramah lingkungan, lebih sederhana, dan dapat diterapkan pada minyak umpan dengan
kandungan asam lemak bebas (free fatty acid) yang tinggi. Namun, proses non-katalitik
umumnya membutuhkan tekanan dan/atau suhu tinggi untuk mengatasi energi aktivasi,
serta membutuhkan rasio molar metanol terhadap minyak yang lebih tinggi, dibandingkan
dengan proses katalitik. Hal tersebut menyebabkan konsumsi energi yang tinggi untuk
produksi biodiesel, baik untuk meningkatkan suhu dan tekanan maupun untuk memisahkan
metanol dari produk akhir. Penelitian Sigalingging (2008) menunjukkan bahwa rasio energi
untuk produksi biodisel secara non katalitik adalah sebesar 0.84, lebih rendah dibandingkan
dengan produksi secara katalitik, yaitu sebesar 0.98. Lebih jauh dikatakan bahwa rasio
energi tersebut dapat ditingkatkan dengan meminimalisasi energi yang tidak termanfaatkan
selama proses produksi, salah satunya dengan pendaur-ulangan (resirkulasi) panas dalam
sistem melalui alat penukar panas (APP).
Kajian terhadap konsumsi energi produksi biodisel secara non-katalitik tersebut perlu
dilakukan agar keunggulan teknologi tersebut dapat lebih didayagunakan. Salah satu
metoda kajian yang diharapkan dapat mengungkap lebih jauh konsumsi energi produksi
biodisel tersebut adalah analisis eksergi. Analisis eksergi digunakan untuk mencapai
penggunaan sumber energi yang lebih efektif karena mampu mengetahui besarnya energi
yang dapat dimanfaatkan pada setiap posisi. Analisis ini didasarkan pada hukum
termodinamika pertama dan kedua karena memperhitungkan ketidak-mampubalikkan
(irreversibilitas) dalam sistem. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mendesain sistem
baru yang lebih efisien energi ataupun untuk meningkatkan efisiensi pada sistem yang
sudah ada, sehingga sangat penting untuk menentukan seberapa tepat energi yang
digunakan (Bejan et al. 1996).
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
13
Eksergi, secara umum, didefinisikan sebagai energi minimum yang diperlukan agar suatu
proses dapat berlangsung, atau energi maksimum yang dapat diperoleh dari suatu sumber
energi (Bejan et al 1996). Dincer dan Cengel (2001) mengatakan eksergi dapat diistilahkan
juga sebagai available energy karena menyatakan jumlah energi yang dapat dimanfaatkan.
Definisi ini didasarkan pada hukum termodinamika kedua yang menjelaskan bahwa setiap
proses akan berlangsung secara spontan ke arah kesetimbangan dengan lingkungannya
dengan meningkatkan entropi. Oleh sebab itu, kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai
dead state karena segala sesuatu yang telah mencapai keadaan dead state tidak dapat
berubah lagi secara spontan. Dengan kata lain, energi yang terkandung pada suatu sistem
yang berada pada keadaan dead state tidak dapat dimanfaatkan lagi. Maka berdasarkan
hukum tersebut, beda kandungan energi suatu sistem pada kondisi tertentu dengan
kandungan energi pada kondisi dead state adalah jumlah energi yang dapat dimanfaatkan
(available energy), atau eksergi.
Tujuan penelitian ini adalah 1). Menghitung rasio energi produksi biodiesel secara non
katalitik. 2). Melakukan analisis eksergi pada sistem produksi biodiesel non katalitik. Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan faktor-faktor yang penting untuk
meningkatkan rasio energi pada produksi biodiesel dan mendapatkan efisiensi eksergi
produksi biodiesel secara non katalitik.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan prototype mesin produksi biodisel secara non-katalitik sistem
super-heated methanol vapor (SMV) rancangan NFRI, Jepang, dengan modifikasi sistem
pertukaran panasnya. Skema mesinproduksi biodisel tersebut setelah dimodifikasi
ditunjukkan pada Gambar 1. Minyak umpan yang digunakan adalah palm olein komersial
dan metanol teknis. Pengukuran suhu di berbagai posisi dilakukan dengan thermocouple
tipe T (CC) dan K (CA).
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
14
Gambar 1. Skema dan batasan alat produksi biodiesel
secara non-katalitik dengan sirkulasi panas.
Sistem produksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semi batch yaitu dengan
mengalirkan metanol secara kontinyu ke dalam reaktor yang sudah berisi palm olein dalam
jumlah tetap 200 mL. Variabel penelitian adalah laju alir metanol dengan 3 tingkat laju
yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 ml/menit pada suhu reaksi 290
o
C. Parameter yang diamati adalah
jumlah daya yang digunakan, suhu pada setiap subsistem, suhu masuk dan keluar fluida
pada penukar panas. Data pengamatan untuk produk hasil reaksi dilakukan dengan
mengukur massa dan volume metanol yang digunakan, serta massa dan volume produk
keluar dari alat penukar panas. Pengambilan sampel dilakukan setiap 30 menit selama 10
jam. Hasil yang didapatkan dievaporasikan untuk memisahkan metanol yang tidak bereaksi
dan metil ester (biodiesel), dan kadar metil ester dianalisis menggunakan GC-MS.
Analisis energi dilakukan dengan asumsi bahwa minyak umpan mempunyai kandungan
energi E
b
yang berubah menjadi biodisel dengan kandungan energi E
p
setelah mengalami
proses yang membutuhkan energi sebesar Q. Dengan demikian, rasio energi dapat
dinyatakan dalam persamaan (1), dan persamaan (2), yang masing-masing memberikan
pengertian tersendiri. Analisis energi pada penelitian ini menggunakan definisi rasio energi
E
1
seperti pada persamaan (1) dengan pengertian bahwa rasio energi adalah perbandingan
antara peningkatan kandungan energi dari bahan baku ke produk (biodisel) terhadap energi
yang digunakan pada proses konversi tersebut. Pada subsistem reaktor diperhitungkan pula
panas pembentukan akibat reaksi yang terjadi antara minyak dan metanol. Perhitungan
berdasarkan jumlah kontribusi atom atau molekul grup dari masing-masing komponen.
Penelitian ini menggunakan rasio energi E
1
sebagai dasar pembahasan. Sigalingging (2008)
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
15
menggunakan difinisi rasio energi E
2
, sehingga pada penelitian ini juga dilakukan
perhitungan dengan definisi tersebut untuk keperluan perbandingan.
Q
E E
RE
b p

1
(1)
Q E
E
RE
b
p

2
(2)
Analisis eksergi dilakukan sesuai dengan batas sistem seperti pada Gbr.1, dan dibagi dalam
4 subsistem, yaitu sub-sistem evaporator, superheater, reaktor, dan alat penukar
panas.Asumsi yang digunakan adalah bahwa sistem berjalan dalam kondisi aliran tunak
(steady flow), energi kinetik dan energi potensial diabaikan serta tekanan pada setiap
subsistem juga diabaikan. Efisiensi eksergi (hukum kedua termodinamika) pada setiap
subsistem dapat dituliskan seperti pada persamaan (3).
in
gen
in
II
X
S T
X
I


0
1 1 (3)
Dimana I adalah irreversibilitas yang dinyatakan sebagai perkalian antara suhu dead state
(T
0
) dengan entropi yang terbentuk akibat berlangsungnya proses (S
gen
). X
in
adalah eksergi
masuk (kW) ke dalam masing-masing sub-sistem. Setiap sub-sistem dianalisis berdasarkan
kesetimbangan massa, kesetimbangan energi, kesetimbangan entropi, dan kesetimbangan
ekserginya. Energi listrik yang digunakan untuk menyediakan panas pada subsistem
evaporator dan superheater diukur menggunakan kWh-meter. Energi reaksi pembentukan
diperhitungkan dalam analisis eksergi pada subsistem reaktor sebagai tempat terjadinya
reaksi. Eksergi kimia dan eksergi fisik diperhitungkan agar hasil yang didapat lebih rinci.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rasio Energi
Metode non-katalitik yang digunakan pada penelitian ini adalah superheated methanol vapor
(SMV) yaitu dengan mengalirkan uap metanol sampai kondisi super panas (290
o
C) didalam
reaktor yang telah diisikan palm olein dan dikondisikan pada suhu 290
o
C dengan sistem semi
batch. Percobaan dilakukan dengan 3 perlakuan laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5
ml/menit. Rata-rata hasil metil ester (biodiesel) yang didapatkan pada 3 perlakuan tersebut
secara berturut-turut adalah 3.65 g/jam, 1.64 g/jam, dan 2.14 g/jam. Secara keseluruhan hasil
reaksi ditampilkan pada Tabel 1.
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
16
Tabel 1.Hasil reaksi biodiesel non-katalitik dengan berbagai laju alir metanol
Keterangan
Laju alir metanol
(ml/menit) Satuan
1.5 3.0 4.5
Metanol masuk 71.19 142.38 213.57 g/jam
Produk 74.95 144.09 215.80 g/jam
Metil ester 3.65 1.64 2.14 g/jam
Gliserol 0.41 0.21 0.28 g/jam
Metanol yang tidak bereaksi 70.89 142.24 213.38 g/jam
Berdasarkan data tersebut, rasio molar metanol terhadap palm olein yang digunakan adalah
sebesar 506, 2229, dan 2563 (mol/mol) pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5
ml/menit.Tingginya rasio molar disebabkan oleh penggunaan sistem semi batch yang terus
mengalirkan metanol dalam minyak yang sudah dalam jumlah tetap di dalam
reaktor.Penggunaan metanol dalam jumlah banyak merupakan konsekuensi dari metode non-
katalitik yang digunakan.Metanol dibutuhkan dalam jumlah yang melebihi keseimbangan
rasio stokiometrinya karena selain sebagai reaktan dan fluida pembuat gelembung reaksi,
metanol juga berfungsi agar reaksi tetap berjalan ke ruas kanan sehingga reaksi dapat
terbentuk (Hong et al. 2009).Kadar metil ester dalam perhitungan rasio energi diasumsikan
97% (Joelianingsih et al 2007; dan 2008) sehingga sudah masuk standar SNI.Warabi et al.
(2004) menyatakan bahwa monogliserida merupakan komponen antara dalam reaksi yang
paling stabil sehingga dipercaya sebagai tahap penentu laju reaksi dan keberhasilan dari suatu
reaksi transesterifikasi.
Rasio energi yang dihitung berdasarkan definisi RE
1
pada persamaan (1) ditunjukkan pada
Gambar2, sebagai pengaruh dari laju aliran metanol. Definisi RE
1
menunjukkan peningkatan
kandungan energi yang terkandung dalam produk (biodiesel) dari kandungan energi bahan
bakunya setelah melalui proses transesterifikasi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa rasio
energi berkurang secara eksponensial dengan meningkatnya laju aliran metanol yang
diumpankan.
Gambar 2.Rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE
1
7.85
2.98 2.87
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
6.0
7.0
8.0
1.5 3.0 4.5
R
a
s
i
o

E
n
e
r
g
i
Laju alir MeOH (ml/menit)
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
17
Sigalingging (2008) melakukan penelitian terhadap rasio energi dengan menggunakan
peralatan yang sama, tetapi menggunakan definisi RE
2
pada persamaan (2). Pada penelitian
tersebut panas yang terkandung pada produk tidak diresirkulasi, sehingga untuk melihat
pengaruh resirkulasi panas yang telah dilakukan pada penelitian ini, maka dilakukan
perhitungan rasio energi dengan definisi yang asama. Rasio energi yang diperoleh dari hasil
penelitian ini dengan menggunakan definisi ER
2
adalah sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk
laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 ml/menit. Perbandingan rasio energi yang diperoleh dari
penelitian ini terhadap yang diperoleh Sigalingging (2008) ditunjukkan pada Gambar3.
Dari perbandingan tersebut diperoleh bahwa resirkulasi panas yang diterapkan pada sistem
produksi biodisel non-katalitik dengan metoda super-heated methanol vapor berhasil
meningkatkan rasio energi dari 0.84 menjadi 1.03, pada laju aliran metanol 3.0 ml/menit.
Rasio energi yang diperoleh dengan resirkulasi panas ini juga lebih tinggi dari rasio energi
yang diperoleh dari sistem katalitik.
Menurut, rasio energi berhubungan erat dengan penyediaan bahan baku dan proses produksi
(Morris 2005; Hill et al 2006). Nilai rasio energi yang tinggi pada hasil penelitian disebabkan
tidak diperhitungkannya energi dalam penyediaan bahan bakunya, sebagai contoh energi
pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan serta proses sampai terbentuknya bahan baku.
Nilai embedded energy pada peralatan produksi juga tidak diperhitungkan. Hasil penelitian
hanya memperhitungkan nilai kandungan energi pada bahan (palm olein) yang akan
digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Energi proses yang diperhitungkan pun
hanya energi yang digunakan untuk mendukung terjadinya proses produksi, tanpa
memperhitungkan berapa besar energi yang digunakan untuk menghasilkan energi tersebut.
Gambar3. Perbandingan rasio energi hasil penelitian penulis dan
Sigalingging (2008) berdasarkan definisi RE
2
pada persamaan (2)
1.05
1.03
1.02
0.84
0.98
0.0
0.5
1.0
1.5
1.5 3.0 4.5 a b
R
a
s
i
o

E
n
e
r
g
i
1.5, 3.0, 4.5 merupakan hasil penelitian, (a) Minyak sawit metode non-
katalitik, (b) Minyak sawit metode katalitik (Sigalingging 2008)
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
18
Gambar4.Perbandingan rasio energi dengan definisi yang berbeda dari berbagai
literatur
Beberapa peneliti mendefinisikan rasio energi yang berbeda dari dua definisi yang dijelaskan
di atas. Yadav et al. (2010) menyatakan rasio energi merupakan perbandingan antara energi
yang dikandung oleh produk (output) dengan energi yang digunakan dalam proses produksi.
Oleh sebab itu, rasio energi yang didapatkan oleh Pleanjai dan Gheewala (2009), Pradhan et
al. (2008), dan Yadav et al. (2010) lebih besar karena tidak memperhitungkan energi awal
yang dikandung oleh bahan baku. Pimentel dan Patzek (2005) mendefinisikan rasio energi
dengan cara menghitung jumlah kandungan energi biodiesel dibagi dengan jumlah total
energi proses dikurangi dengan kandungan energi produk samping. Gambar4 menunjukkan
perbandingan rasio energi dari berbagai literatur sebagaimana disebutkan di atas.
Efisiensi Eksergi
Hasil perhitungan irreversibilitas yang terjadi selama berlangsungnya proses
transesterifikasi non-katalitik ditampilkan pada Tabel 2. Irreversibilitas merupakan ukuran
untuk mengetahui besarnya kerja yang hilang dalam suatu proses, karena berubah menjadi
entropi. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa reaktor merupakan sub-sistem yang
bekerja dengan irreversibilitas tertinggi, sedangkan alat penukar panas (APP) adalah
terrendah. Semakin besar nilai irreversibilitas dari masukannya maka mengindikasikan
semakin rendahnya kualitas energi luaran dari sub-sistem tersebut. Selanjutnya,
peningkatan laju alir metanol juga menyebabkan peningkatan irreversibilitas pada masing-
masing sub-sistem.
Tabel 2. Irreversibilitassetiap unit subsistem
0.84
0.98
2.42
2.55
1.64
0.79
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
a b c d e f
R
a
s
i
o

E
n
e
r
g
i
(a) Minyak sawit metode non katalitik (Sigalingging 2008), (b) Minyak sawit metode
katalitik (Sigalingging 2008), (c) Minyak sawit (Pleanjai 2009), (d) Kedelai (Pradhan
2008), (e) Karajan (Yadav 2010), (f) Kedelai (Pimentel&Patzek 2005)
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
19
Laju Alir Metanol
(ml/menit)
Irreversibilitas subsistem (kW)
Evaporator Superheater Reaktor APP
1.5 2.59E-01 3.36E-01 4.36E-01 6.32E-05
3.0 2.75E-01 3.50E-01 3.60E-01 1.16E-04
4.5 3.28E-01 3.66E-01 3.76E-01 2.31E-04
Sumber irreversibilitas dapat berasal dari gesekan antara fluida dengan dinding pipa,
ekspansi, pencampuran, reaksi kimia, serta akibat pindah panas melalui perbedaan suhu.
Faktor gesekan pada alat penukar panas tidak dapat diabaikan karena menurut
irreversibilitas yang diakibatkan gesekan selama perpindahan panas dalam alat penukar
panas sangat mempengaruhi besarnya energi yang dapat dimanfaatkan sehingga
menyebabkan besarnya pemusnahan eksergi (exergy destruction) yang berakibat pada
semakin rendahnya efisiensi eksergi alat penukar panas (Bejan et al. 2006; Basri 2010).
Oleh sebab itu, diperlukan studi lanjutan untuk melakukan analisis terhadap sumber-
sumber irreversibilitas pada sistem produksi biodisel secara non-katalitik dengan metoda
super-heated methanol vapor ini.
Efisiensi eksergi (efisiensi hukum termodinamika kedua) yang dihitung berdasarkan
persamaan (3) ditampilkan pada Gambar5.Efisiensi eksergi reaktor dan alat penukar panas
satu ordo lebih tinggi dari efisiensi evaporator dan superheater.Peningkatan laju aliran
metanol menyebabkan efisiensi eksergi evaporator dan superheater meningkat, tetapi
menyebabkan efisiensi eksergi reaktor dan alat penukar panas menurun. Evaporator
berfungsi meningkatkan suhu dan mengubah metanol ke fase uap, yang selanjutnya suhu
uap metanol ditingkatkan ke tingkat superheated di sub-sistem superheater. Pada reaktor
terjadi reaksi antara palm olein dalam fase cair dengan metanol dalam fase uap superheated
pada suhu 290
o
C. Akibat dari sifat reaksi yang eksotermis, reaktor juga mendapat
penambahan energi dari panas reaksi kimia pembentukan biodiesel.Perbedaan fungsional
tersebut diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan pengaruh laju aliran metanol
terhadap efisiensi eksergi di evaporator, superheater, dan reaktor, serta penukar panas.
Secara keseluruhan, efisiensi eksergi pada produksi biodiesel non-katalitik metode
superheated methanol vapor (SMV) masih rendah sehingga masih perlu ditingkatkan untuk
mencapai efisiensi eksergi dan rasio energi optimum.
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
20
Gambar5. Efisiensi eksergi setiap subsistem pada
produksi biodiesel secara non-katalitik.
Eksergi merupakan ukuran kualitas energi atau ukuran ketersediaan energi untuk
melakukan kerja, dan dalam perhitungannya menggunakan parameter lingkungan sebagai
acuan. Analisis eksergi pada produksi biodiesel dapat digunakan untuk mengevaluasi
penggunaan bahan baku dan komponen proses produksinya seperti besarnya arus listrik dan
material alat yang digunakan. Penentuan efisiensi eksergi untuk sistem keseluruhan
dan/atau komponen individual yang membentuk sistem merupakan bagian utama analisis
eksergi.Analisis yang komprehensif suatu sistem termodinamika melibatkan baik analisis
energi maupun analisis eksergi agar diperoleh Gambaran kerja sistem secara lengkap (Basri
2010). Talens et al. (2007) mengatakan bahwa efisiensi eksergi dapat didefinisikan sebagai
perbandingan antara eksergi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses dan total eksergi
yang digunakan untuk terbentuknya proses tersebut.
4. KESIMPULAN
1. Resirkulasi panas dengan menggunakan alat penukar panas dapat meningkatkan rasio
energi dari 0.84 menjadi 1.03, berdasarkan asumsi bahwa rasio energi adalah
perbandingan antara energi yang dikandung biodisel dengan penjumlahan energi bahan
baku dan energi yang diperlukan untuk proses.
2. Berdasarkan definisi bahwa rasio energi adalah perbandingan antara peningkatan
kandungan energi dari bahan baku ke produk (biodisel) terhadap energi yang digunakan
pada proses konversi tersebut, maka rasio energi yang diperoleh untuk laju alir metanol
1.5, 3.0, dan 4.5 ml/menit masing-masing adalah 7.85, 2.98, dan 2.87.
3. Analisis eksergi menunjukkan bahwa irreversibilitas tertinggi terjadi pada sub-sistem
reaktor. Sementara itu, peningkatan laju alir metanol menyebabkan efisiensi eksergi
1.34
2.43
2.98
0.42 0.78
1.15
19.59 19.23 18.52
19.93
16.27
10.48
0
5
10
15
20
25
1.5 3.0 4.5
E
f
i
s
i
e
n
s
i

E
k
s
e
r
g
i

(
%
)
Laju Alir (ml/menit)
Evaporator Superheater Reaktor APP
Analisis Energi dan Eksergi Terhadap Resirkulasi Panas Pada Produksi Biodiesel Secara
Non-Katalitik(Armansyah H. Tambunan, Furqon, Joelianingsih, Tetsuya Araki, Hiroshi Nabetani)
21
evaporator dan superheater meningkat, sedangkan efisiensi eksergi reaktor dan alat
penukar panas menurun.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada NFRI (National Food Research Institute) Jepang
atas hibah prototype of bubble column reactor, dan Dirjen Dikti-Kemendiknas RI atas biaya
penelitian melalui hibah kompetitif penelitian kerjasama luar negeri dan publikasi
internasional nomor 447/SP2H/DP2M/VI/2010, tanggal 11 Juni 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, H., D. Santoso. 2010. Analisis eksergi pada siklus turbin gas sederhana 14 MW
instalasi pembangkit tenaga keramasan Palembang. Di dalam: Seminar Nasional
Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9. Palembang. 13-15 Oktober 2010. 512-521.
Bejan, A., G. Tsatsaronis, M. Moran. 1996. Thermal Design and Optimization. John Wiley
& Sons, Inc. New York, USA. Hal. 113-159.
Demirbas, A. 2005. Biodiesel production from vegetable oils via catalytic and non-catalytic
supercritical methanol transesterification methods. Progress in Energy and
Combustion Science. 31: 466-487.
Dincer, I., Y.A. Cengel. 2001. Energy, Entropy, and Exergy Concepts and Their Roles in
Thermal Engineering. Entropy 3:116-149.
Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky, dan D. Tifanny. 2006. Environmental, economic,
and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. PNAS 103(30):
11206-11210.
Hong, S.T. et al. 2009. Transesterification of palm oil using supercritical methanol with co-
solvent HCFC-141b. Res Chem Intermed. 35: 197-207.
Joelianingsih, H. Nabetani, S. Hagiwara, Y. Sagara, T. H. Soerawidjaya, A. H. Tambunan,
K. Abdullah. 2007. Performance of a Bubble Column Reactor for the Non-catalytic
Methyl Esterification of Free Fatty Acids at Atmospheric Pressure, Journal of
Chemical Engineering Japan, Vol.40(9), pp. 780-785
Joelianingsih, H. Maeda, S. Hagiwara, H. Nabetani, Y. Sagara, T.H. Soerawidjaya A.H.
Tambunan, K. Abdullah. 2008. Biodiesel fuels from palm oil via the non-catalytic
transesterification in a bubble column reactor at atmospheric pressure: a kinetic
study. Renewable Energy 33, pp.16291636
Morris, D. 2005. The carbohydrate economy, biofuels and the net energy debate.
Minneapolis, Minn.: Institute for Local SelfReliance.
Pimentel, D., T.W. Patzek. 2005. Ethanol production using corn, switchgrass, and wood;
biodiesel production using soybean and sunflower. Natural Resources Res. 14(1): 65-
76.
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus2011 :11-22
22
Pleanjai, S., S.H. Gheewala. 2009. Full chain energy analysis of biodiesel production from
palm oil in Thailand. Applied energi. 86: S209-S214.
Pradhan, A., D.S. Shrestha, J.V. Garpen, J. Duffield. 2008. The energy balanced of soybean
oil biodiesel production: a review of past studies. Transactions of the ASABE. 51(1):
185-194.
Saka, S., Kusdiana D. 2001. Biodiesel fuel from rapeseed oil as prepared in supercritical
methanol. Fuel. 80:225-231.
Sigalingging, R. 2008. Analisis energi dan eksergi pada produksi biodiesel berbahan baku
CPO (Crude Palm Oil) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Talens, L., G. Villalba, X. Gabarrell. 2007. Exergy analysis applied to biodiesel production.
Resources, Conservation, and Recycling. 51: 397407.
Van Gerpen, J., D. Shrestha. 2005. Biodiesel energy balance. Moscow, Idaho: University of
Idaho, Department of Biological and Agricultural Engineering.
Warabi, Y., D. Kusdiana, S. Saka. 2004. Reactivity of triglycerides and fatty acids of
rapeseed oil in supercritical alcohols. Bioresource Technology 91: 283-287.
Yadav, A., O. Singh, N. Kumar. 2010. Evaluation of energy ratios for karanja and neem
biodiesel life cycle. S-JPSET. 1(1): 55-59.
Yamazaki, R., Iwamoto, S., Nabetani, H., Osakada K, Miyawaki O, Sagara Y. 2007. Non
catalytic alcoholysis of oils for biodiesel fuel production by semi-batch process. Jpn J
Food Eng 8:11-19.
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
23
STUDI PERILAKU PENYALAAN PARTIKEL BATUBARA
INDONESIA MENGGUNAKAN THERMOGRAVIMETRIC
ANALYSIS DALAM KONDISI O
2
/N
2
DAN O
2
/CO
2
Cahyadi, Yulianto S.N.
Mechanical Engineering Department, University of Indonesia, Depok 16424.
INDONESIA
Email: yulianto@eng.ui.ac.id
ABSTRAK
Pembangkit listrik batubara adalah salah satu industri yang menghasilkan emisi CO
2
.Salah satu
teknologi penangkapan dan penyimpanan CO
2
(CCS) untuk pembangkit listrik adalah
pembakaran batubara dalam lingkungan O2/CO2 (oxy-fuel). Pada dekade terakhir banyak
dilakukan penelitian skala laboratorium hingga skala pilot untuk mengembangkan aplikasi
pembakaran batubara dalam lingkungan oxy-fuel. Indonesia sebagai salah satu negara yang
banyak memanfaatkan batubara untuk pembangkit listrik perlu melakukan langkah awal untuk
aplikasi teknologi ini.Karakterisasi pembakaran batubara Indonesia dalam lingkungan oxy-fuel
perlu dilakukan sebagai pertimbangan dalam disain pembangkit listrik di masa datang.
Perilaku penyalaan batubara Indonesia dengan jenis bituminus, sub-bituminus, dan lignite
dilakukan menggunakan thermogravimetric analyser(TGA).Pelambatan penyalaan batubara
dalam kondisi oxy-fuel dialami untuk batubara sub-bituminus dan bituminus, sedangkan pada
batubara lignite relatif tidak berpengaruh.Hal ini bisa disebabkan rendahnya reaksi oksidasi
permukaan batubara pada mekanisme penyalaan heterogenous dan hampir tidak terjadi pada
penyalaan zat terbang dalam mekanisme penyalaan homogeneous.
Kata kunci: perilaku penyalaan batubara, energi aktivasi, TGA
ABSTRACT
Coal fired power plant is a kind of industries that emit CO
2
gas. The application of Carbon
capture and storage (CCS) technology in coal fired power plant is oxy-fuel combustion. In the
last decade, many researchs have been done in oxy-fuel combustion starting from laboratorium
scale until pilot plan scale. Indonesia is as a country, that utilizes coal fred power plant as main
power generation, required an initial step for application of this technology. Characterizing
Indonesian coal combustion in oxy-fuel condition is very important as consideration for
designing power plant in the future.
Ignition behaviour of Indonesian coal using thermogravimetric analyser(TGA) have been done
with bituminous, sub-bitumionus, and lignite coal. Ignition delay in oxy-fuel combustion
occurred with bituminous and sub-bituminous coal, and not signicant different with lignite coal.
The delay may be affected by low surface oxidation rate in heterogeneous ignition mechanisms
but almost not happened with volatile ignition in homogeneous ignition mechanisms.
Keywords: coal ignition behaviour, activation energy, TGA
1.PENDAHULUAN
Penyalaan partikel batubara adalah langkah awal yang sangat penting dalam proses
pembakaran batubara. Banyak penelitian yang telah dilakukan pada mekanisme
penyalaan partikel batubara dimana dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) [Essenhigh
1989] jenis yaitu:
Penyalaan homogeneous, yaitu penyalaan yang melibatkan pelepasan zat
terbang (volatile matter) dari batubara;
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
24
Penyalaan heterogeneous, yaitu penyalaan yang terjadi pada permukaan
batubara;
Penyalaan hetero-homogeneous, yaitu penyalaan yang terjadi secara simultan
pada zat terbang dan permukaan batubara.
Dasar mekanisme penyalaan telah dikembangkan oleh Semenov [1965] melalui teori
penyalaan secara thermal. Mekanisme penyalaan batubara yang melibatkan
homogeneous dan heterogeneous secara teoritis dan eksperimental telah dibahas oleh
Annamalai & Durbetaki [1977], Essenhigh [1989], Gururajan&Wall [1990], Fu B &
Zhang [1992], dan Zhang&Wall [1993].
Pembakaran batubara dengan oxy-fuel telah dikenal sebagai salah satu teknologi
pembakaran batubara yang bersih dan ramah terhadap emisi CO2.Wall
[2009].Pembakaran oxy-fuel adalah pembakaran yang menggunakan medium O
2
dan
CO
2
.Gas O
2
diambil dari udara ambien kemudian dipisahkan dengan gas N
2
menggunakan Air Separation Unit. Adapun medium gas CO
2
diambil dari resirkulasi
sebagian gas buang. Dengan pembakaran oxy-fuel ini diharapkan emisi gas buang
didominasi gas CO
2
sehingga memudahkan dalam proses penangkapan gas CO
2
.
Pada studi pendahuluan yang telah dilakukan Buhre [2005], Wall [2007], Kiga [1997]
dan Qiao [2010] telah didapatkan beberapa pengertian tentang pembakaran batubara
dalam kondisi oxy-fuel. Kecendrungan adanya pelambatan (delay) pada penyalaan
partikel batubara pada kondisi oxy-fuel telah diketahui apabila dibandingkan dengan
pembakaran dalam kondisi udara.Pengaruh penukar panas telah dievaluasi dan
pelambatan penyalaan dan pembakaran disebabkan subtitusi gas CO
2
terhadap gas N
2
yang memiliki perbedaan dari kapasitas panas dan difusi Kiga [1997], Kimura [1995],
Wall [2009].
Pada makalah ini, akan dibahas hasil investigasi penyalaan pembakaran batubara
menggunakan udara (21%O
2
dan 79%N
2
) dan juga campuran gas 21%O
2
dan
79%CO
2
. Penelitian ini menggunakan tiga jenis batubara Indonesia yaitu: lignite, sub-
bituminus dan bituminus yang dibakar dalam kondisi udara dan campuran gas 21%O
2
dan 79%CO
2.
menggunakan TGA. Perbedaan mekanisme penyalaan masing-masing
batubara dapat diamati.
2. EXPERIMENTAL
2.1. Analisa Batubara
Batubara bituminus, sub-bituminus, dan ligniteyang dipakai berasal dari Kalimantan
dan Data analisa proksimat dan ultimat dapat dilihat pada Tabel 1.Batubara sampel
dihaluskan hingga ukuran 74 m dan dipanaskan dalam oven hingga temperatur 378K
untuk mengeliminir pengaruh kandungan air.Sampel kemudian disimpan dalam
tempat tertutup.
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
25
Penelitian dilakukan menggunakan LECO 501 thermogravimetric analyzer, yang
dapat menyimpan data presentasi massa yang hilang secara kontinyu dengan
temperatur yang dapat dinaikkan secara linier mulai dari 298K hingga 1023K dengan
laju pemanasan 15K/min.
2.2. Metode Penyalaan
Mekanisme penyalaan menurut teori Semenov [1965], penyalaan batubara terjadi jika
energi yang dibangkitkan didalam batubara dari reaksi kimia adalah lebih besar dari
energi yang hilang.
Gambar 1. Hubungan Heat Flux dan Temperatur Penyalaan, Semenov[1965]
Energi yang timbul dari reaksi kimia batubara mempunyai hubungan eksponensial
terhadap temperatur.Energi yang timbul dari batubara akan meningkat dengan lambat
hingga temperatur kritis. Setelah temperatur kritis, energi yang dibangkitkan akan
meningkat tajam. Namun energi yang hilang merupakan fungsi tangensial terhadap
kurva energi yang timbul.
2.3. Metode Kinetik
Energi yang timbul dari reaksi kimia dalam batubara dapat direpresentasikan dengan
persamaan aktivasi energi, persamaan (1).
= = exp ( ) (1)
Dimana adalah laju konversi pembakaran material, adalah laju pemanasan, E
adalah energi aktivasi, A adalah parameter Arrhenius, R adalah universal gas
constant, T adalah temperatur absolut, dan t adalah waktu. Dalam model reaksi fungsi,
f(), umumnya dijelaskan sebagai f() = (1 )
n
, dan n adalah tingkat reaksi.
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
25
Penelitian dilakukan menggunakan LECO 501 thermogravimetric analyzer, yang
dapat menyimpan data presentasi massa yang hilang secara kontinyu dengan
temperatur yang dapat dinaikkan secara linier mulai dari 298K hingga 1023K dengan
laju pemanasan 15K/min.
2.2. Metode Penyalaan
Mekanisme penyalaan menurut teori Semenov [1965], penyalaan batubara terjadi jika
energi yang dibangkitkan didalam batubara dari reaksi kimia adalah lebih besar dari
energi yang hilang.
Gambar 1. Hubungan Heat Flux dan Temperatur Penyalaan, Semenov[1965]
Energi yang timbul dari reaksi kimia batubara mempunyai hubungan eksponensial
terhadap temperatur.Energi yang timbul dari batubara akan meningkat dengan lambat
hingga temperatur kritis. Setelah temperatur kritis, energi yang dibangkitkan akan
meningkat tajam. Namun energi yang hilang merupakan fungsi tangensial terhadap
kurva energi yang timbul.
2.3. Metode Kinetik
Energi yang timbul dari reaksi kimia dalam batubara dapat direpresentasikan dengan
persamaan aktivasi energi, persamaan (1).
= = exp ( ) (1)
Dimana adalah laju konversi pembakaran material, adalah laju pemanasan, E
adalah energi aktivasi, A adalah parameter Arrhenius, R adalah universal gas
constant, T adalah temperatur absolut, dan t adalah waktu. Dalam model reaksi fungsi,
f(), umumnya dijelaskan sebagai f() = (1 )
n
, dan n adalah tingkat reaksi.
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
25
Penelitian dilakukan menggunakan LECO 501 thermogravimetric analyzer, yang
dapat menyimpan data presentasi massa yang hilang secara kontinyu dengan
temperatur yang dapat dinaikkan secara linier mulai dari 298K hingga 1023K dengan
laju pemanasan 15K/min.
2.2. Metode Penyalaan
Mekanisme penyalaan menurut teori Semenov [1965], penyalaan batubara terjadi jika
energi yang dibangkitkan didalam batubara dari reaksi kimia adalah lebih besar dari
energi yang hilang.
Gambar 1. Hubungan Heat Flux dan Temperatur Penyalaan, Semenov[1965]
Energi yang timbul dari reaksi kimia batubara mempunyai hubungan eksponensial
terhadap temperatur.Energi yang timbul dari batubara akan meningkat dengan lambat
hingga temperatur kritis. Setelah temperatur kritis, energi yang dibangkitkan akan
meningkat tajam. Namun energi yang hilang merupakan fungsi tangensial terhadap
kurva energi yang timbul.
2.3. Metode Kinetik
Energi yang timbul dari reaksi kimia dalam batubara dapat direpresentasikan dengan
persamaan aktivasi energi, persamaan (1).
= = exp ( ) (1)
Dimana adalah laju konversi pembakaran material, adalah laju pemanasan, E
adalah energi aktivasi, A adalah parameter Arrhenius, R adalah universal gas
constant, T adalah temperatur absolut, dan t adalah waktu. Dalam model reaksi fungsi,
f(), umumnya dijelaskan sebagai f() = (1 )
n
, dan n adalah tingkat reaksi.
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
26
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi energi aktivasi, Ortega
[1998], yaitu:
Metode langsung (e.g. Borchardt and Daniels),
Metode integral (e.g. Coats and Redfern) and
Metode differensial (e.g. Freeman and Carroll).
Pendekatan Duswalt, persamaan (2), dapat dilakukan untuk memprediksi nilai energi
aktivasi dengan langkah sebagai berikut: temperatur rata-rata T, pada saat laju
konversi meningkat dua kali. T
d
adalah daerah temperatur terjadinya peningkatan
laju konversi dua kali lipat.Dengan menggunakan derivasinya, pendekatan ini hanya
untuk reaksi tingkat pertama saja.
ln2

(2)
Gambar 2. Metode Duswalt untuk estimasi energi aktivasi dari kurva DSC
Ortega [1998]
3. HASIL DAN DISKUSI
Analisa proximat, ultimat, dan nilai kalor dari sampel batubara dilakukan sesuai
metode ASTM. Hasil analisa batubara dapat dilihat pada Tabel 1.
Beberapa parameter hasil pengujian TGA dapat dilihat pada Tabel 2. T
i
, temperatur
penyalaan dapat dijelaskan dari Gambar 1 dan dibuat mengikuti referensi Bao[2006],
dimana sebuah garis dibuat secara vertikal terhadap sumbu horisontal pada titik
puncak kurva Derivatif Thermal Gravimetrik (DTG)dan menghasilkan interseksi
dengan kurva Thermal Gravimetrik (TG). Kemudian, garis tangent kurva TG
digariskan melalui perpotongan garis interseksi tersebut. Pada saat yang bersamaan,
garis horisontal digambarkan berdasarkan bagian awal dari kurva TG. Pada akhirnya
garis tangent dan garis horisontal memotong mendapatkan sebuah titik yang
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
26
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi energi aktivasi, Ortega
[1998], yaitu:
Metode langsung (e.g. Borchardt and Daniels),
Metode integral (e.g. Coats and Redfern) and
Metode differensial (e.g. Freeman and Carroll).
Pendekatan Duswalt, persamaan (2), dapat dilakukan untuk memprediksi nilai energi
aktivasi dengan langkah sebagai berikut: temperatur rata-rata T, pada saat laju
konversi meningkat dua kali. T
d
adalah daerah temperatur terjadinya peningkatan
laju konversi dua kali lipat.Dengan menggunakan derivasinya, pendekatan ini hanya
untuk reaksi tingkat pertama saja.
ln2

(2)
Gambar 2. Metode Duswalt untuk estimasi energi aktivasi dari kurva DSC
Ortega [1998]
3. HASIL DAN DISKUSI
Analisa proximat, ultimat, dan nilai kalor dari sampel batubara dilakukan sesuai
metode ASTM. Hasil analisa batubara dapat dilihat pada Tabel 1.
Beberapa parameter hasil pengujian TGA dapat dilihat pada Tabel 2. T
i
, temperatur
penyalaan dapat dijelaskan dari Gambar 1 dan dibuat mengikuti referensi Bao[2006],
dimana sebuah garis dibuat secara vertikal terhadap sumbu horisontal pada titik
puncak kurva Derivatif Thermal Gravimetrik (DTG)dan menghasilkan interseksi
dengan kurva Thermal Gravimetrik (TG). Kemudian, garis tangent kurva TG
digariskan melalui perpotongan garis interseksi tersebut. Pada saat yang bersamaan,
garis horisontal digambarkan berdasarkan bagian awal dari kurva TG. Pada akhirnya
garis tangent dan garis horisontal memotong mendapatkan sebuah titik yang
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
26
Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi energi aktivasi, Ortega
[1998], yaitu:
Metode langsung (e.g. Borchardt and Daniels),
Metode integral (e.g. Coats and Redfern) and
Metode differensial (e.g. Freeman and Carroll).
Pendekatan Duswalt, persamaan (2), dapat dilakukan untuk memprediksi nilai energi
aktivasi dengan langkah sebagai berikut: temperatur rata-rata T, pada saat laju
konversi meningkat dua kali. T
d
adalah daerah temperatur terjadinya peningkatan
laju konversi dua kali lipat.Dengan menggunakan derivasinya, pendekatan ini hanya
untuk reaksi tingkat pertama saja.
ln2

(2)
Gambar 2. Metode Duswalt untuk estimasi energi aktivasi dari kurva DSC
Ortega [1998]
3. HASIL DAN DISKUSI
Analisa proximat, ultimat, dan nilai kalor dari sampel batubara dilakukan sesuai
metode ASTM. Hasil analisa batubara dapat dilihat pada Tabel 1.
Beberapa parameter hasil pengujian TGA dapat dilihat pada Tabel 2. T
i
, temperatur
penyalaan dapat dijelaskan dari Gambar 1 dan dibuat mengikuti referensi Bao[2006],
dimana sebuah garis dibuat secara vertikal terhadap sumbu horisontal pada titik
puncak kurva Derivatif Thermal Gravimetrik (DTG)dan menghasilkan interseksi
dengan kurva Thermal Gravimetrik (TG). Kemudian, garis tangent kurva TG
digariskan melalui perpotongan garis interseksi tersebut. Pada saat yang bersamaan,
garis horisontal digambarkan berdasarkan bagian awal dari kurva TG. Pada akhirnya
garis tangent dan garis horisontal memotong mendapatkan sebuah titik yang
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
27
merepresentasikan temperatur penyalaan. DTG maksimum, pada puncak kurva DTG
disebut laju kehilangan massa maksimum selama proses pembakaran. T
max
,
merepresentasikan DTG maksimum. T adalah setengah puncak dengan lebar
perbedaan temperatur diantara dua temperatur pada laju kehilangan massa DTG max
dengan faktor 0.5.
Tabel 1. Analisa batubara lignite, sub-bituminous, dan bituminous
Proximate Analysis
Jenis Batubara
Lignite
Sub-
bituminus
Bituminus
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%,adb) 2.67 2.13 5.80
Volatile Matter
(%,adb)
31.30 43.07 38.29
Fixed Carbon (%adb) 29.02 34.04 44.10
Ultimate Analysis
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%, adb) 2.67 2.13 5.8
Carbon (%, adb) 42.63 53.17 61.18
Hydrogen (%, adb) 2.9 4.03 4.41
Nitrogen (%, adb) 0.39 1.24 1.07
Sulfur (%, adb) 0.67 0.12 0.81
Oxygen (%, adb) 13.73 18.55 14.91
Heating Value
(kcal/kg, adb)
3917 5224 6236
Gbr. 3. Penjelasan temperatur penyalaan dari TGA, Bao-Guo Ma et.al. [2006]
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
27
merepresentasikan temperatur penyalaan. DTG maksimum, pada puncak kurva DTG
disebut laju kehilangan massa maksimum selama proses pembakaran. T
max
,
merepresentasikan DTG maksimum. T adalah setengah puncak dengan lebar
perbedaan temperatur diantara dua temperatur pada laju kehilangan massa DTG max
dengan faktor 0.5.
Tabel 1. Analisa batubara lignite, sub-bituminous, dan bituminous
Proximate Analysis
Jenis Batubara
Lignite
Sub-
bituminus
Bituminus
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%,adb) 2.67 2.13 5.80
Volatile Matter
(%,adb)
31.30 43.07 38.29
Fixed Carbon (%adb) 29.02 34.04 44.10
Ultimate Analysis
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%, adb) 2.67 2.13 5.8
Carbon (%, adb) 42.63 53.17 61.18
Hydrogen (%, adb) 2.9 4.03 4.41
Nitrogen (%, adb) 0.39 1.24 1.07
Sulfur (%, adb) 0.67 0.12 0.81
Oxygen (%, adb) 13.73 18.55 14.91
Heating Value
(kcal/kg, adb)
3917 5224 6236
Gbr. 3. Penjelasan temperatur penyalaan dari TGA, Bao-Guo Ma et.al. [2006]
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
27
merepresentasikan temperatur penyalaan. DTG maksimum, pada puncak kurva DTG
disebut laju kehilangan massa maksimum selama proses pembakaran. T
max
,
merepresentasikan DTG maksimum. T adalah setengah puncak dengan lebar
perbedaan temperatur diantara dua temperatur pada laju kehilangan massa DTG max
dengan faktor 0.5.
Tabel 1. Analisa batubara lignite, sub-bituminous, dan bituminous
Proximate Analysis
Jenis Batubara
Lignite
Sub-
bituminus
Bituminus
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%,adb) 2.67 2.13 5.80
Volatile Matter
(%,adb)
31.30 43.07 38.29
Fixed Carbon (%adb) 29.02 34.04 44.10
Ultimate Analysis
Moisture (%, adb) 37.01 20.76 11.82
Ash (%, adb) 2.67 2.13 5.8
Carbon (%, adb) 42.63 53.17 61.18
Hydrogen (%, adb) 2.9 4.03 4.41
Nitrogen (%, adb) 0.39 1.24 1.07
Sulfur (%, adb) 0.67 0.12 0.81
Oxygen (%, adb) 13.73 18.55 14.91
Heating Value
(kcal/kg, adb)
3917 5224 6236
Gbr. 3. Penjelasan temperatur penyalaan dari TGA, Bao-Guo Ma et.al. [2006]
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
28
Tabel 2. Hasil pengujian sampel batubara di TGA
No Coal Kondisi
Temp DTG
max
ignition
time DTG max Ea
(K) (min) (%/K) (kJ/mole)
1 bituminus 21%O2 /79%N2 748 37 0.77 96.09
2 sub-bituminus 21%O2 /79%N2 733 35 0.66 92.37
3 lignite 21%O2 /79%N2 523 25 0.87 86.52
4 bituminus 21%O2 /79%CO2 753 41 0.80 92.83
5 sub-bituminus 21%O2 /79%CO2 738 40 0.74 88.24
6 lignite 21%O2 /79%CO2 518 26 0.88 86.35
Catatan:
Ea: Energi Aktivasi
Berdasarkan Chen Y, et.al [1996], pengamatan penyalaan homogeneous dengan alat
DTG dilakukan jika dua puncak eksothermik DTG muncul pada sisi depan dan
belakang kurva TG. Puncak pertama menunjukkan pembakaran zat terbang dan
puncak kedua menunjukkan pembakaran residual char. Pada penyalaan
heterogeneous, hanya akan terjadi satu puncak eksothermik yang kuat pada DTG hasil
pembakaran keseluruhan partikel batubara. Pada kasus penyalaan hetero-
homogeneous, setelah terjadi sebagian pembakaran zat terbang dilanjutkan puncak
eksothermik yang kuat pada DTG dengan penurunan laju massa yang signifikan pada
kurva TG.
Gambar4. Hasil pembakaran batubara bituminus dalam kondisi udara dan oxy-
fuel
40
50
60
70
80
90
100
110
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Temp (oC)
%

w
-2.25
-1.75
-1.25
-0.75
-0.25
0.25
D
T
G
udara
oxy-fuel
DTG
oxy-fuel
DTG
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
29
Pada Gambar4 menunjukkan bahwa hanya terdapat satu puncak pada kurva DTG
sehingga mekanisme penyalaan pada batubara bituminus adalah heterogeneous. Hal
ini terjadi baik pada pembakaran lingkungan O
2
/N
2
(udara) maupun O
2
/CO
2
pada
rasio yang sama. Dari Gambar 4 dan Tabel 2 dapat dikatakan bahwa pelambatan telah
terjadi pada pembakaran batubara bituminus dilingkungan O
2
/CO
2
dimana presentasi
DTG max lebih tinggi dan waktu penyalaan lebih lama. Hasil pengujian ini konsisten
dengan referensi Qingzhao et. al. [2009] yang melakukan pengujian batubara
bituminus dalam kondisi udara dan O
2
/CO
2
dengan rasio oksigen 21%, 30%, 40% dan
80% didalam TGA.
Gambar 5. Hasil pembakaran batubara sub-bituminus dalam
kondisi udara dan oxy-fuel
Gambar 5 menunjukkan terdapat puncak pertama dimana terjadi pembakaran hanya
sebagian zat terbang dan selanjutnya terjadi puncak kedua yang cukup kuat pada
kurva DTG sehingga penyalaan pada subbituminus ini melalui mekanisme hetero-
homogeneous. Hal ini terjadi baik pada pembakaran lingkungan O
2
/N
2
(udara)
maupun O
2
/CO
2
pada rasio yang sama. Dari Gambar 5 dan Tabel 2 dapat dikatakan
bahwa pelambatan telah terjadi pada pembakaran batubara sub-bituminus
dilingkungan O
2
/CO
2
dimana presentasi DTG max lebih tinggi dan waktu penyalaan
lebih lama. Hasil pengujian ini konsisten dengan Chen Y et.al. [1996] yang
melakukan pengujian batubara bituminus menggunakan TGA mendapatkan
mekanisme penyalaan secara hetero-homogeneous dengan pola kurva yang sama.
40
50
60
70
80
90
100
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Temp (oC)
%
w
-2.75
-2.25
-1.75
-1.25
-0.75
-0.25
0.25
D
T
G
Udara DTG
Oxyfuel
DTG
Udara
Oxyfuel
JITE Vol. 1 No. 13 Edisi Agustus 2011 : 22- 31
30
Gambar 6. Hasil pembakaran batubara lignite dalam kondisi udara dan oxy-fuel
Gambar 6 menunjukkan penyalaan homogeneous dimana ada dua puncak
eksothermik DTG muncul pada sisi depan dan belakang kurva TG. Pada Gambar 6
terdapat puncak pertama dimana terjadi pembakaran zat terbang yang cukup kuat
dengan penurunan massa yang cukup signifikan kemudian diikuti pembakaran char.
Hal ini terjadi baik pada pembakaran lingkungan O
2
/N
2
(udara) maupun O
2
/CO
2
pada
rasio yang sama. Dari Gambar 6 dan Tabel 2 dapat dikatakan bahwa pelambatan telah
terjadi pada pembakaran batubara lignite dilingkungan O
2
/CO
2,
namun tidak terlalu
signifikan seperti pada sub-bituminus dan bituminus. Hasil pengujian ini konsisten
dengan Chen Y et.al. [1996] yang melakukan pengujian batubara lignite
menggunakan TGA mendapatkan mekanisme penyalaan secara homogeneous dengan
pola kurva yang sama. Berdasarkan Selcuk N and Yuzbasi [2010], yang melakukan
penelitian menggunakan batubara lignite Turki menunjukkan bahwa pembakaran
batubara dalam kondisi O
2
/CO
2
menunjukkan pelambatan yang kecil dibandingkan
kondisi udara pada konsentrasi oksigen yang sama.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian perilaku penyalaan batubara Indonesia pada jenis lignite, sub-
bituminus dan bituminus dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
TGA dapat cukup akurat digunakan untuk mengamati perilaku penyalaan
partikel batubara
Peningkatan kualitas batubara mulai dari lignite, sub-bituminus dan bituminus
pada ukuran batubara yang sama 74 m, menunjukkan adanya perbedaan
dalam mekanisme penyalaan batubara yaitu mulai dari penyalaan
homogeneous, hetero-homogeneous hingga heterogeneous.
Pelambatan dalam penyalaan dan pembakaran partikel batubara pada kondisi
O
2
/CO
2
terjadi pada batubara jenis bituminus dan sub-bituminus, sedangkan
pada batubara lignite terjadi pelambatan yang relatif kecil. Pelambatan
40
50
60
70
80
90
100
110
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Temp (oC)
%
w
-4.25
-3.75
-3.25
-2.75
-2.25
-1.75
-1.25
-0.75
-0.25
0.25
0.75 udara
oxyfuel
udara-
DTG
oxy-fuel
DTG
Studi Perilaku Penyalaan Partikel Batubara Indonesia Menggunakan Thermogravimetric Analysis
Dalam Kondisi O
2
/N
2
Dan O
2
/CO
2
( Cahyadi, Yulianto S.N )
31
diperkirakan dipengaruhi oleh rendahnya oksidasi pada permukaan batubara
terutama pada mekanisme penyalaan heterogeneous dan hetero-homogeneous,
namun sedikit berpengaruh pada penyalaan homogeneous. Pada penelitian
lanjut dimungkinkan untuk melihat potensi blending dengan batubara lignite
untuk mengurangi pelambatan penyalaan pada batubara sub-bituminus dan
bituminus dalam lingkungan O
2
/CO
2
yang dikenal dengan oxy-fuel.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih dengan adanya dukungan dalam melakukan
penelitian pembakaran oxy-fuel di laboratorium bidang fosil, Balai Besar Teknologi
Energi, BPPT.
REFERENCES
Annamalai K., Durbetaki P., 1977. A Theory on Transition of Ignition Phase of Coal
Particles.Journal of Combustion and Flame.Elsevier.Volume 29, p193-208.
Bandyopadhyay S., Bhaduri D., 1972.Prediction of Ignition Temperature of a Single
Coal Particle.Journal of Combustion and Flame.Elsevier. Volume 18, p 141-145.
Bao-Guo Ma, Xiang-Guo Li, Li Xu, Kai Wang, Xin-Gang Wang, 2006. Investigation
on catalyzed combustion of high ash coal by thermogravimetric analysis.Elsevier.
Thermochimica Acta 445 p 1922.
Belichmeier J.A., Cammenga H.K., Schneider P.B., Steer, A.G., 1988. A Simple
method for determining activation energies of organic reaction from DCS curves.
Elsevier.Thermochimia Acta. 310. p137-141.
Belichmeiera J.A., Heiko K. Cammengab, Schneider P.B., Axel G. Steerb. 1998. A
simple method for determining activation energies of organic reactions from DSC
curves, Thermochimica Acta. Elsevier.Volume 310.p147-151
Buhre B.J, Elliott I.K., Sheng C.D., Gupta R.P., Wall T.F. 2005.Oxy-fuel combustion
technology for coal-fired power generation, Progress in Energy and Combustion
Science.Elsevier.Volume 31.p283307.
Chen Y, Mori S, Wei P..1996. Studying the mechanisms of ignition of coal particles
by TG-DTA. Thermochimia acta.Elsevier.Volume 275 p.149-178.
Essenhigh R.H., Misra M.K, Shaw, D.W., 1989. Ignition of Coal Particle: A Review.
Journal of Combustion and Flame.Volume 77.p 3-30.
Fu W.B., Tao Fang Zeng, 1992. A general method for determining chemical kinetic
parameter during ignition of coal char particles.Journal of Combustion and
Flame.Volume 88.p 413-424.
Gururajan, N., Wall, T.F., Gupta, R.P, Truelove J.S., 1990.Mechanisms for the
Ignition of Pulverized Coal Particles.Journal of Combustion and Flame, Volume 81,
p119-132.
Kiga T, Takano S, N Kimura, K Omata, M Okawa, T Mori, M Kato.1997,
Characteristics of pulverized-coal combustion in the system of oxygen/recycled
flue gas combustion, Energy Conservation & Management Vol.38, Pergamon.

Anda mungkin juga menyukai