Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LATAR BELAKANG
Kebutuhan aspal untuk pembangunan dan pemeliharaan
jalan di Indonesia adalah sekitar 1,2 juta ton per tahun, sedangkan
produksi aspal minyak di Indonesia hanya sekitar 650.000 ton per
tahun. Pemenuhan kebutuhan aspal dalam negeri tahun 2008
berasal dari produksi Pertamina Cilacap sebesar 400.000 ton,
impor aspal yang dilakukan Pertamina 200.000 sampai 250.000
ton dan sisanya melalui impor langsung (www.pu.go.id).
Sementara itu, di Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara,
Indonesia, terdapat aspal alam yang dikenal dengan asbuton
(aspal batu Buton). Asbuton ini uniknya hanya sekitar 1,5 meter
di bawah permukaan tanah. Bandingkan dengan kadar aspal alam
yang diolah di Amerika Serikat yang hanya 12-15 persen dan
Perancis (Danau Trinidad) dengan kadar aspal hanya 6-10 persen
dan terletak ratusan meter di bawah permukaan tanah
(www.kompas.com).
Dalam asbuton ini aspal dan mineral sudah bercampur
menjadi satu kesatuan dengan kandungan aspal (bitumen) sekitar
15% - 30% dan mineral sekitar 85% - 70%. Deposit asbuton
diperkirakan antara 200 juta ton sampai 600 juta ton (Affandi,
2006, 2007). Bila asbuton yang bisa diekstrak 20%-nya atau 120
juta ton maka dapat memenuhi kebutuhan aspal selama 100
tahun. Sayangnya asbuton di Indonesia ini belum optimal
pemanfaatannya.
Selama ini teknologi yang digunakan untuk mengolah
asbuton menjadi suatu campuran aspal yang berkualitas belum
sepenuhnya memenuhi kebutuhan beban lalu lintas, kurang
efisien, dan relatif sulit pada pelaksanaannya. Hingga saat ini
pengolahan asbuton yang dapat memenuhi persyaratan-
persyaratan tersebut belum ditemukan, dan penelitian-penelitian
lanjutan tentang karakteristik asbuton dan tentang cara
pengolahan yang baik yang dapat menaikkan kualitas asbuton
2

masih dilakukan. (Nurkamal, Yandi Setyadiana., Nefra,
Dodi.,2005) Asbuton yang pertama kali dipergunakan sejak
jaman Belanda ialah asbuton dari Kabungka, dikarenakan fasilitas
jalan dan pelabuhan yang telah tersedia serta asbuton dari daerah
tersebut lebih mudah dipecah dalam proses produksinya. Sampai
tahun 1987 produk asbuton yang diproduksi dan dipergunakan
adalah asbuton konvensional yang berupa asbuton butir dengan
ukuran maksimum 12,7 mm yang diproduksi dari daerah
Kabungka dan dikirim dalam bentuk curah. Pada waktu tersebut,
produk asbuton konvensional banyak digunakan pada campuran
aspal dingin seperti Lasbutag (Lapis Buton Agregat) dan
Latasbum (Lapis Tipis Asbuton Murni) yang menggunakan flux
oil atau bunker oil sebagai bahan peremajanya (Departemen
Pekerjaan Umum, 1983). Bahan peremaja ini diharapkan bisa
masuk dan meresap kedalam butiran asbuton, dan selanjutnya
dapat melunakkan dan bahkan mengeluarkan aspal yang ada
dalam asbuton, serta tetap menjaga bitumen asbuton yang keras
itu menjadi lunak sesuai dengan kebutuhan perkerasan jalan.
Akan tetapi hal ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,
karena bahan pelunak tersebut sulit masuk kedalam butiran
asbuton sehingga sulit melunakkan aspal didalamnya. Hal ini
dikarenakan ukuran butir asbuton yang masih terlalu besar,
sehingga mengakibatkan sulitnya bahan peremaja masuk
kebagian dalam butiran asbuton tersebut.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Dairi (1992)
menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan agar bahan peremaja
bisa masuk ke dalam butiran asbuton adalah 254 hari, karena itu
Purwadi (1998) menyarankan untuk menggunakan bahan
peremaja yang lebih encer lagi sehingga lebih mudah masuk ke
dalam butiran asbuton serta melunakkan aspal yang ada
didalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Zamhari yang
disampaikan oleh Purwadi (1998), dimana butiran asbuton
dicampur dengan kerosin dengan perbandingan 67% asbuton dan
33% kerosin, yang diaduk selama 1 jam pada temperatur 90
o
C,
menunjukkan hanya sekitar 60% aspal yang bisa keluar dari
butiran tersebut. Hal ini membuktikan bahwa memobilisir
3



bitumen yang ada dalam butiran asbuton sangat sulit. (Affandi,
Furqon.,2006)
Penelitian-penelitian diatas hanya membahas pemakaian
asbuton sebagai campuran aspal minyak yang ternyata belum
efektif. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut maka
pengembangan produk asbuton selanjutnya ditujukan pada
peningkatan efektifitas asbuton baik dari segi efektifitas fungsi
bitumen dalam campuran beraspal maupun efektifitas jumlah
penggunaan kadar aspal yang ada dalam produk asbuton tersebut.
Untuk itu berbagai penelitian dikembangkan untuk mendapatkan
asbuton murni yang dilakukan dengan cara pemisahan (ekstraksi)
aspal murni dari asbuton yang selanjutnya dapat digunakan
sebagaimana aspal minyak. Beberapa peneliti telah mempelajari
kemungkinan ini.
Affandi (2006) menjabarkan prinsip pembuatan asbuton
murni (asbuton hasil proses ekstraksi). Bahan dasar asbuton
diekstraksi dengan menggunakan proses dan bahan tertentu
sehingga mineralnya terpisah dari aspalnya. Selanjutnya
mineralnya dikeluarkan sedemikian rupa sampai kadar
mineralnya lebih kecil dari satu persen, dan kemudian cairan yang
masih mengandung aspal tersebut didestilasi sedemikian rupa
sampai bahan cairan tersebut menguap dan yang tersisa adalah
aspalnya saja yang disebut asbuton murni. Dengan demikian
asbuton murni ini akan lebih efektif dalam penggunaannya,
karena asbuton murni ini semuanya terdiri dari aspal saja
(kandungan mineralnya lebih kecil dari satu persen) dan dapat
menyelimuti agregat dengan lebih mudah dan merata,
sebagaimana yang diharapkan dalam suatu campuran beraspal.
Selain itu asbuton murni ini lebih efisien dari segi
pengangkutannya karena tidak mengangkut mineralnya lagi
seperti pada produk asbuton butir yang masih mengandung
mineral sebesar 80%.
Suryo Purwono, dkk (2003) telah mempelajari pengaruh
ukuran butir, waktu ekstraksi, dan kecepatan putar pengaduk
terhadap koefisien perpindahan massa pada proses ekstraksi
multistage cross current aspal Kabungka dengan pelarut n-
4

heksan (C
6
H
14
) serta mencari hubungan bilangan-bilangan tak
berdimensi yang berpengaruh pada proses perpindahan massa
tersebut. n-heksan merupakan komponen tipe n-parafin yang
dapat diperoleh dari minyak mentah dengan jalan fraksinasi
khusus produk gasoline. Bahan ini mudah menguap dan
mempunyai suhu didih rendah yaitu sekitar 64
o
C. n-heksan relatif
tidak beracun, mempunyai kemampuan mengekstraksi cukup
baik, mudah dipisahkan kembali dari bahan yang dilarutkan dan
harganya tidak terlalu mahal. Namun n-heksan mempunyai
kelemahan mudah terbakar. Hasil yang diperoleh dari penelitian
ini adalah koefisien perpindahan massa semakin besar dengan
bertambah besarnya ukuran butir aspal. Hal ini berlawanan
dengan teori. Selain itu diperoleh hasil koefisien perpindahan
massa semakin besar dengan bertambah besarnya kecepatan
pengadukan.
Novia (2001) melakukan penelitian ekstraksi asbuton,
tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan, karena
perolehannya masih rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya
viskositas dari aspal sehingga menghambat proses pengambilan
aspal apabila dilakukan secara berlawanan arah.
Aris (1997), membandingkan sifat-sifat fisis aspal hasil
ekstraksi aspal Buton Kabungka A dengan Kabungka B yang
diekstraksi dengan pelarut karbon tetraklorida (CCl
4
) dan pelarut
naphta. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sifat ekstrak aspal
Buton Kabungka A dan Kabungka B yang diekstraksi
menggunakan CCl
4
memiliki sifat penetrasi rendah, daktilitas
rendah dan titik lunak tinggi, sedangkan yang menggunakan
naphta mempunyai sifat sebaliknya.
Hardjono (1996), melakukan penelitian yang hampir
sama dengan Aris, yaitu mempelajari sifat-sifat bitumen ekstrak
aspal Buton Kabungka A dan Kabungka B yang diperoleh dengan
jalan ekstraksi dengan menggunakan pelarut karbon tetraklorida
(CCl
4
). Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraktor
sokhlet, sedangkan bitumen ekstrak dipisahkan dari larutannya
dengan jalan destilasi hampa. Setelah dibandingkan dengan
spesifikasi aspal keras yang berlaku di Indonesia , ternyata kedua
5



bitumen ekstrak tersebut hanya memenuhi sebagian saja dari
spesifikasi aspal keras pen 60 dan 80 yang berlaku.
Nielsen, dkk (1994) telah mempelajari pengaruh suhu dan
tekanan pada distribusi ukuran partikel aspalten dalam minyak
mentah yang dilarutkan dengan n-pentana. Penelitian dilakukan
pada suhu 0 150
o
C dan tekanan 0 6,5 MPa. Hasilnya
menunjukkan bahwa ukuran partikel aspalten bertambah dengan
naiknya tekanan dan berkurang dengan naiknya suhu.
Penelitian tentang perpindahan massa dari ekstraksi
asbuton kurang banyak dilakukan, padahal koefisien perpindahan
massa sangat penting dalam perhitungan desain alat. Maka
penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena perpindahan
massa dari ekstraksi asbuton. Mengacu pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, dalam penelitian ini digunakan kerosin
sebagai pelarutnya. Kerosin digunakan sebagai pelarut karena
kerosin merupakan fraksi minyak bumi yang mempunyai
kemiripan sifat dengan aspal. Selain itu kerosin mempunyai titik
nyala yang lebih tinggi dibanding heksan sehingga lebih aman
digunakan daripada heksan yang lebih mudah terbakar.

1.2 PERUMUSAN MASALAH
1. Menentukan koefisien perpindahan massa pada ekstraksi
asbuton dengan pelarut kerosin.

1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Mempelajari pengaruh ukuran partikel, kecepatan putar
pengaduk, dan waktu ekstraksi terhadap yield (perolehan)
bitumen.
2. Menentukan koefisien perpindahan massa ekstraksi
asbuton dengan pelarut kerosin.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh usaha
untuk meningkatkan koefisien perpindahan massa pada ekstraksi
asbuton dengan menggunakan pelarut (kerosin) sehingga dapat
meningkatkan perolehan bitumen.
6


















Halaman ini sengaja dikosongkan

Anda mungkin juga menyukai