Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Secara keseluruhan, program budaya Tribute to East Java Heritage
adalah program kebudayaan yang mampu mengingatkan kembali pada identitas
kebudayaan Jawa Timur, memperkenalkan kekayaan dan keragaman budaya Jawa
Timur, serta turut menjaga dan mempertahankan kesenian tradisional.
Disesuaikan dengan kebutuhannya maka program ini sekiranya mampu
merepresentasikan berbagai permasalahan kebudayaan yang ada di Jawa Timur.
Adapun pembahasan dalam penyajiannya adalah berpedoman pada
pemetaan 10 wilayah kebudayaan Jawa Timur yang diutarakan oleh Ayu Sutarto,
seorang antropolog Universitas Negeri Jember. Pembagian wilayah kebudayaan
itu sendiri terdiri dari budaya Mataraman, Panaragan, Samin, Arek, Tengger,
Pandalungan, Osing, Madura Pulau, Madura Bawean dan Madura Kangean.
Akhirnya, pemetaan budaya ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai modal
awal untuk mewujudkan kedamaian masyarakat Indonesia yang multikultural
terkhusus Jawa Timur. Karena masing-masing wilayah kebudayaan tersebut
memiliki kelebihan, baik yang terkait dengan pusaka maupun kinerja kulturalnya.
Sehingga pemetaan budaya dan program Tribute to East Java Heritage ini
mampu menjadi alat untuk mengeliminasi prasangka buruk yang bernuansa etnik,
dan apat digunakan sebagai alat untuk memertajam pemahaman lintas budaya,
serta tidak hanya itu, melalui upaya seperti ini kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dipahami, dan kemudian
dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan maupun masyarakat untuk mengatasi
masalah-masalah budaya.
Berbeda dari dua propinsi tetangga dekatnya, yaitu Jawa Tengah dan Bali
yang monokultur, Jawa Timur adalah propinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri
pusaka budaya (cultural heritage) yang dimilikinya, baik yang tangibles (bendawi
)
maupun intangibles (non-bendawi)1.
Menurut Ayu Sutarto, seperti yang telah disebut diatas, propinsi Jawa
Timur dapat dipetakan menjadi 10 wilayah kebudayaan, ditambah 2 budaya
(budaya Cina dan Arab) yang berkembang di antara mereka2.

Gambar 1.1 Peta pembagian kebudayaan Jawa Timur

1.1.1 Pembagian 10 Wilayah Kebudayaan Jawa Timur
Kebudayaan tradisional di Jawa Timur sangat beragam. Dan secara
kultural bisa dibagi dalam 10 wilayah kebudayaan yaitu kebudayaan Jawa
Mataraman, Panaragan, Samin (Sedulur Sikep), Arek, Tengger, Osing (Using),
Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kengean (Ayu Sutarto
dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004).
Tabel 1.1 Pembagian Wilayah Kebudayaan Jawa Timur
1. Jawa Mataraman
6. Tengger
2. Panaragan
7. Osing
3. Samin (Sedulur Sikep)
8. Madura Pulau
4. Arek
9. Madura Bawean
5. Pandalungan
10. Madura Kangean
1 Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerint
ah Provinsi Jawa Timur,
tahun 2008
2 Penelitian/ thesis Ayu Sutarto mengenai 10 pembagian wilayah kebudayaan Jawa T
imur, 2006
Secara historis sebagian warga Jawa Timur memiliki ikatan budaya yang
erat dengan kerajaan mataraman. Secara administratif pemerintahan atau
geokultural, persebaran budaya Mataraman meliputi wilayah Pacitan, Ponorogo,
Madiun, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Tenggalek, Tulunggagung, Kediri (sebagian)
dan Blitar. Sebenarnya persebaran kebudayaan Mataraman tersebar hampir di
seluruh wilayah Jawa Timur. Namun karena adanya interaksi dengan kebudayaan
sekitar, maka terjadi akulturasi dan meghasilkan kebudayaan-kebudayaan baru
yang menjadikan keragaman warna budaya di Jawa Timur.
Pembahasan tentang kebudayaan Jawa Panaragan tak lepas dari kesenian
reog Ponorogo. Ada beberapa versi yang menceritakan tentang asal mula kesenian
reog Ponorogo itu sendiri. Salah satu cerita menarik dan dijadikan sebagian besa
r
masyarakat Panaragan adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu,
seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang
berkuasa pada abad ke-15. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu
membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan
leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Beberapa tahun lalu,
sempat terjadi kontroversi karena diklaim oleh negara tetangga sebagai kesenian
asli negeri jiran tersebut. Hal tersebut membuat para seniman reog Ponorogo
berang dan dengan adanya catatan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari
2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia,
akhirnya Malaysia mengakui bahwa kesenian Reog adalah buah hasil kesenian
Jawa yang di bawa oleh para perantau seniman Reog yang ke negeri tersebut.
Mengenai masyarakat Samin, sudah banyak tulisan yang telah membahas
mereka, ada yang baik dan tidak sedikit pula yang buruk, sehingga menyebabkan
penilaian yang salah terhadap masyarakat Samin. Mulai tulisan yang
menganggapnya sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan dari zaman
kolonial Belanda hingga saat ini, sampai anggapan bahwa masyarakat Samin
adalah kumpulan orang-orang yang tak beragama, aneh dan terbelakang.
Saminisme sebenarnya merupakan sebuah paham dan sejarah perlawanan
terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang telah diubah menjadi deskripsi
kebudayaan. Masyarakat Samin memiliki jiwa yang polos dan terbuka. Mereka
yang terletak di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo,
Bojonegoro, berbicara menggunakan bahasa Jawa Lugu atau Jawa ngoko alus
yang kadang bercampur dengan sedikir krama oleh karena itu sering kedengaran
kasar. Yang juga merupakan karakter masyarakat Jawa Timur pada umumnya.
Seluruh makanan yang mereka simpan disajikan kepada tamunya dan tidak pernah
memikirkan berapa harganya. Mereka mengejawantahkan kehidupan dengan
solidaritas sosial. Juga pada zaman pemerintahan sekarang ini, mereka
menggunakan kiat atau strategi ngumumi; diam, tidak melawan pemerintah, tetapi
mengkritisi secara pasif. Pendeknya, dalam hidup, mereka tidak bergantung
kepada teknologi maju, namun teknologi juga membantu mereka untuk
memberikan pengalaman utamanya dalam hal pertanian. Orang Samin benar-
benar sebuah contoh kasus komunitas yang benar-benar memiliki kemandirian
ekonomi. Oleh karena itu, masyarakat Samin tidak mengenal krisis ekonomi dan
moneter. Pasalnya, karena hampir semua keperluan pangan dapat tercukupi dari
pertanian, dan keperluan lain seperti papan/perumahan sampai gamelan mereka
juga mampu membuat sendiri tanpa harus membeli.
Dalam pembagian secara geografis, wilayah budaya Arek meliputi daerah
batas barat adalah kota Jombang, kemudian batas daerah timur adalah Surabaya,
kemudian di kawasan utara meliputi Gresik, Lamongan, dan sebgian kecil
Bojonegoro, serta di selatan mulai dari Sidoarjo, sebagian kecil Pasuruan, hingg
a
malang. Karena posisi kota-kota yang termasuk dalam budaya Arek merupakan
wilayah-wilayah strategis di Jawa Timur dan menjadi kota-kota besar yang ada di
Jawa Timur, khususnya Surabaya. Dengan posisi kota Surabaya sebagai pintu
gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan, industri dan teknologi dar
i
luar membuat pola kebudayaan Arek ini relatif terbuka dan heterogen,
mempunyai semangat juang tinggi dan biasa disebut dengan bandha nekat. Hal
itulah yang membedakan budaya Arek dengan budaya-budaya lain. Sebagai
contoh adalah kesenian ludruk. Berdasarkan historinya, kesenian ludruk adalah
sebuah bentuk pemberontakan yang dilakukan masyarakat marginal atas
ketidakpuasan mereka terhadap beberapa kebijakan masa kekeratonan Mataram.
Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo,
Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Orang-orang suku Tengger dikenal taat
dengan aturan dan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung
dari Majapahit. Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger
yang diyakini sebagai asal usul nama Tengger, yaitu "Teng" akhiran nama Roro
An-"teng" dan "ger" akhiran nama dari Joko Se-"ger". Bagi suku Tengger,
Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali
masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara
ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan
dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam
hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan kasodo

(kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Secara demografi suku Using menempati beberapa kecamatan di
kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian utara, terutama di Kecamatan
Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Glagah dan Kecamatan
Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan Kecamatan Songgon.
Suku Using berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Using
tidak mengenal kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh
agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. Tetapi telah
ditemukan perbedaan stratifikasi pada suku tersebut, kaum Drakula, kaum
Sudrakula, kaum Hydrakula, kaum Coliba. Mereka merupakan penduduk asli
Banyuwangi. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyadari potensi budaya suku
Using yang cukup besar dengan menetapkan desa Kemiri/Kemiren di kecamatan
Glagah sebagai desa adat yang harus tetap mempertahankan nilai-nilai budaya
Suku Using. Desa Kemiren merupakan tujuan wisata yang cukup diminati di
kalangan masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Festival budaya dan acara
kesenian tahunan lainnya sering diadakan di desa ini.
Kebudayaan adalah sebuah multikulturasi dan hibridasi budaya antar
etnik. Hal itu disebabkan banyaknya berbagai jenis kebudayaan yang menyatu
yang berproses didalamnya. Namun dominasi budaya madura dan jawa sangat
kental. Hibridasi antar dua etnis menghasilkan dua kelompok besar di dalam
penyebarannya. Dalam realitas kehidupan masyarakat dan kebudayan di kawasan
tapal kuda sebutan populer daerah pandalungan-, definisi itu bisa berarti bahwa
bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adelah bahasa
yang cenderung kasar (ngoko) atau bahasa yang dipergunakan antar masyarakat
struktur egaliter. Konsep Pandalungan sendiri merujuk pada tempat tinggal
masyarakat di daerah perkotaan yang secara historis sebagai melting pot, yaiutu
pusat pertemuan berbagai budaya. Pandalungan berarti dulang besar, yang identik
dengan dengan konsep melting pot.
Secara demografi, kebudayaan Madura pulau meliputi seluruh pulau
Madura yang mencakup 4 kabupaten besar didalmnya, yaitu Bangkalan,
Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya
yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka
juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura
sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan naik
haji. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat,
sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan
Larung Sesaji). Karena kebudayaan Madura Pulau mencakup seluruh pulau,
sehingga budaya yang terbentuk sangat kental. Sebenarnya masyarakat madura
sendiri telah tersebah di seluruh penjuru tanah air, namun masyarakat yang
bertahan di kebudayaan Madura Pulau masih menjunjung tinggi nilai-nilai
peninggalan kebudayaan leluhur mereka, walaupun dalam perkembangannya
terus bergerak siring dengan kemajuan zaman sebagai wujud modernisasi.
Kata Bawean berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti ada sinar
matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350, sekelompok pelaut dari Kerajaan
Majapahit terjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di Pulau Bawean
pada saat matahari terbit. Awal abad ke-16, agama Islam masuk ke Bawean yang
dibawa oleh Maulana Umar Mas'ud. Makamnya hingga kini merupakan tujuan
peziarah lokal maupun dari luar Bawean. Bahasa pertuturan mereka adalah bahasa
Bawean. Bukannya bahasa Madura seperti yg dimaklumkan sebelum ini. Bangsa
Madura adalah bangsa pendatang di kepulauan Bawean. Sehingga dapat dikatakan
budaya Madura Bawean adalah hasil akulturasi masyarakat pendatang Madura
dengan masyarakat Jawa. Namun di Bawean membentuk pola budaya yang
berbeda dengan budaya Pandalungan, walaupun sama-sama hasil akulturasi
dominasi Jawa Madura. Budaya Bawean juga dipengaruhi masyarakat pendatang
dari etnik Mandailing dan Bugis.
Sedangkan Kangean adalah gugusan pulau yang terletak di sebelah ujung
timur Pulau Madura, Laut Jawa. Kepulauan ini terdiri dari sedikitnya 60 pulau,
dengan luas wilayah 487 km. Pulau-pulau terbesar adalah Pulau Kangean (188
km), Pulau Paliat, dan Pulau Sapanjang. Pulau Kangean bagian timur terdapat
pegunungan dan puncak tertingginya 364 m. Masyarakat kepulauan kangean
terkenal sangat ramah, sopan dan beragama. Selain itu, masyarakatnya memiliki
bahasa dan tutur kata (dialek) yang beraneka ragam antar daerah. Khusus Sapeken
dan beberapa pulau-pulau kecil disekitarnya, masyarakat yang mendiami pulau
ini, biasa menggunakan berbagai bahasa, seperti bahasa Bajo, bahasa Mandar,
bahasa Makasar dan beberapa bahasa daerah yang berasal dari Sulawesi. Hal ini
tidak lepas, karena masyarakat pulau-pulau ini, dulunya adalah para pelayar yang

berasal dari Sulawesi. Lain halnya dengan penduduk yang menempati pulau
terbesar (Kangean), khususnya yang tinggal di Kecamatan Arjasa, mereka tetap
menggunakan bahasa Madura dengan sedikit perbedaan dialek. Pada tingkat
pendidikan, sudah tergolong sedikit maju. Banyak alumni dari sekolah di
kepulauan ini yang kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negri
maupun swasta di kota - kota besar di Jawa. Namun sayangnya sebagian besar
diantara mereka, setelah menyelesaikan pendidikan, rata - rata mereka tidak mau
lagi kembali ke Kangean untuk membangun pulau ini.
Berikut adalah hasil analia karakteristik masing-masing sub kebudayaan
JawaTimur berdasarkan pemetaan 10 wilayah kebudayaan Jawa Timur:





3 Film Dokumenter, Sebuah Alat, Chandra Tanzil, 21 Agustus 2009
Tabel 1.2 Karakteristik sub kulture Jawa Timur
No. Sub wilayah budaya Jawa Timur Karakteristik
1 Budaya Mataraman Santun, sabar, paternalistik, aristokrat,
2 Budaya Panaragan Monokultur, tegas, berani
3 Budaya Samin Jujur, polos, terbuka, utopis
4 Budaya Arek Kasar, berani, tegas, dinamis
5 Budaya Tengger Patuh, konsisten, ramah
6 Budaya Pandalungan Multikultural, terbuka, hibrid
7 Budaya Osing Egaliter, dinamis, sinkretis,
8 Budaya Madura Pulau Tegas, pekerja keras, berani, monokultur
9 Budaya Madura Bawean Multikultur, dinamis
10 Budaya Madura Kangean Ramah, multikultur, dinamis
1.1.2 Permasalahan Kebudayaan Samin
Dalam perancangan ini, pembahasan ditujukan pada kebudayaan Samin
(Sedulur Sikep). Pertama, penulis merasa perlu mengangkat problematika yang
ada pada Kebudayaan Samin, Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan
Margomulyo, Bojonegoro, ini sebagai sebuah kewajiban sosial penulis terhadap
masyarakat Bojonegoro dan masyarakat umumnya. Sejalan dengan yang
diungkapkan oleh salah seorang bapak film dokumenter, John F Grierson, bahwa
pembuat film dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang
propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di
sekelilingnya sebagai sebuah kewajiban sosial atau kontribusi terhadap
lingkungan dan budaya3.
Kedua, masyarakat Dusun Jepang mulai terbuka terhadap perubahan dan
menganggap penting arti pendidikan. Namun, semangat untuk mendapatkan
pendidikan dan keterampilan bagi masyarakat sering terbentur persoalan ekonomi.
Dan, upaya masyarakat Dusun Jepang untuk mendapatkan pendidikan dan
penghidupan yang layak ini perlu mendapatkan perhatian utamanya oleh
pemerintah.
Ketiga, mengacu pada hal tersebut, permasalahan kebudayaan tradisional
Jawa Timur menjadi penting sebagai gerbang penyaringan masuknya kebudayaan
asing (modern). Dan perancangan ini adalah salah satu upaya untuk melakukan
4 Hasil Pencarian penulis melalui internet, observasi di lapangan, depth intervi
ew dengan Mbah Harjo Kardi
5 Hasil Survey 1
6 Hasil Survey 2
5 Hasil Survey 1
7 Hasil interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang dan Pak Jiman seorang K
etua RT di Dusun
Jepang
penyaringan tersebut disamping terdapat upaya pelestarian, pengingatan kembali
pada sebuah identitas, kekayaan dan keragaman budaya lokal Jawa Timur.
Fokus kajian adalah pada budaya Samin dan pengaruhnya pada
masyarakat Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo,
Kabupaten Bojonegoro. Secara sepintas mungkin tidak bisa membedakan seperti
apa masyarakat Samin, karena memang mereka telah mengalami keterbukaan
dalam kebudayaan dan menganut kelaziman di desa pada umumnya. Namun hal
tersebut bukanlah persoalan utama pada penelitian ini. Dan berikut ini fenomena-
fenomena yang terjadi pada kebudayaan Samin di Jawa Timur.
1. Sering dijumpai tulisan maupun penilaian yang miring terhadap Samin,
wong Samin maupun masyarakat Samin. Mulai opini yang
menganggapnya sebagai suku, simbol perlawanan terhadap pemerintahan
sekarang sehingga mereka tidak mau membayar pajak, sampai anggapan
bahwa masyarakat Samin adalah kumpulan orang-orang yang tak beragama,
aneh dan terbelakang4.
Dengan 65% responden menyatakan mengetahui Kebudayaan Samin5, dan
tingkat ketertarikan terhadapnya yang mencapai 76% responden6, pengertian
yang kurang tepat akan masyarakat Samin/kebudayaan Samin terus terbangun
apabila hanya mendengar informasinya bukan dari sumber yang sebenarnya
atau dari mulut ke mulut melalui teman saja (40% mengetahui-nya dari teman,
18% dari keluarga, 15% dari televisi, 3% radio, 24% lainnya)5.
2. Dengan banyaknya pejabat/tokoh masyarakat dan peneliti yang melakukan
penelitian atau sekedar bertamu pada Mbah Harjo (generasi keempat dari Ki
Samin Surosentiko) dan sesepuh dusun setempat, masyarakat Samin belum
merasakan adanya perubahan yang berarti pada pembangunan fisik dusun dan
pendidikan masyarakat Dusun Jepang7.
8 Pengalaman penulis ketika melakukan observasi di lapangan
9 Tulisan Mbah Harjo dalam Buku Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko, intervi
ew dengan Mbah Harjo,
dan interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang
10 Hasil nterview dengan Pak Miran, salah satu warga Dusun Jepang, juga seseoran
g yang mendirikan PAUD
11 Hasil interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang
12 Kupas Tuntas episode "SAMIN" telah ditayangkan di Trans7 pada 8 Mei 2008.
3. Adanya semangat yang tinggi pada sebagian masyarakat untuk mencari atau
menempuh pendidikan, namun tidak begitu saja melupakan ajaran sosial dan
moral yang terbentuk dalam masyarakat Samin8.
4. Di tengah semangat yang begitu besar untuk mendapatkan pendidikan,
utamanya untuk generasi penerus mereka, mereka yang notabene hampir
kesemua penduduknya adalah petani, dengan rela mendirikan Sekolah Dasar
secara swadaya walaupun dengan keadaan yang sangat sederhana dan
membayar guru sukwan (guru dibayar oleh wali murid)9.
5. Begitu pula dengan RA dan Pendidikan Anank Usia Dini (PAUD) yang juga
diupayakan oleh warga walaupun masih belum mempunyai tempat/ruang
kelas sendiri. Dan ada sedikit bantuan dari pemerintah untuk mengadakan
Paket A Keaksaraan Fungsional (AKF) untuk kelompok usia lanjut10.
6. Sekarang, tata cara dalam ajaran Samin memang hanya diugemi oleh Mbah
Harjo Kardi dan keturunan, serta sebagian masyarakat, namun ajaran samin
tidak lantas hilang begitu saja. Masyarakat Dusun Jepang masih nguri-uri
ajaran sosial dan moral dalam berkehidupan sosial sehari-hari, yang
merupakan pengaruh dari ajaran Samin tersebut, untuk selalu gotong royong
dengan tanpa pamrih, tidak drengki srei, dahwen, kemeren, dan semena-mena
pada orang lain, dan sebagainya11.
7. Meskipun masyarakat Samin bergesekan dengan arus ekonomi, informasi dan
teknologi, dengan adanya proses jual beli/pertukaran barang dan jasa, dan
masuknya televisi, telepon selular, dan peralatan pertanian, namun mereka
tidak pernah kehilangan sikap kegotongroyongan dan tolong menolong yang
tanpa pamrih. Sama seperti yang pernah diucapkan oleh WS Rendra, bahwa di
Jawa kebiasaan gotong royong hanya di masyarakat Samin12. Entah itu dalam
hal pertanian, keseharian, maupun sambatan (ketika ada tetangga/sedulur lain
8 Pengalaman penulis ketika melakukan observasi di lapangan
13 2005. Marketing Communication:Taktik Dan Strategi hal.21-22. Jakarta: Gramedi
a.
14 Morrisan, MA. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Gramedia.
sedang membenahi rumah, membangun rumah, maupun hajat/keperluan yang
lainnya)8.
Dalam upaya untuk merepresentasikan permasalahan ini dan mendapatkan
perhatian para penentu kebijakan dan masyarakat luas, maka diperlukan publikasi
dan kerjasama dengan banyak pihak. Dalam dunia saat ini, peran publikasi
semakin penting karena dapat menjangkau opini publik yang dapat men-support
permasalahan yang disampaikan. Dalam kasus ini publikasi juga berkaitan dengan
usaha untuk menumbuhkan dan menciptakan citra, baik itu citra Kebudayaan
Samin sendiri maupun permasalahan yang menyertainya. Dan publikasi sangat
dibutuhkan untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap realitas yang
ada. Publikasi merupakan pengembangan dari konsep berita yaitu 5W + 1H (Who,
What, When, Where, Why, dan How) hanya dalam pengemasannya saja yang
berbeda. Jika dalam penulisan berita 5W dijabarkan secara singkat, maka dalam
upaya ini cenderung disajikan lebih kompleks, detail dan memerlukan media yang
sesuai.13
Adapun sifat fisik dari berbagai jenis media adalah sebagai berikut ini14:
Tabel 1.3 Sifat fisik berbagai jenis media
Jenis Media
Sifat
Cetak
Dapat dibaca, dimana dan kapan saja
Dapat dibaca berulang-ulang
Daya rangsang rendah
Biaya relative rendah
Daya jangkau terbatas
Audio
Dapat didengar bila siaran
Daya rangsang rendah
Biaya relatif murah
Daya jangkau luas
Audiovisual
Dapat didengar dan dilihat bila ada
siaran
15 Mahima Romadhona. 2009. Laporan Tugas Akhir.
Daya rangsang sangat tinggi
Biaya mahal
Daya jangkau luas

Sesuai dengan upaya untuk merepresentasikan permasalahan yang ada
pada Kebudayaan Samin ini, maka dipilihlah media audiovisual/video sebagai
media yang paling tepat dan efektif. Dengan media ini keuntungan yang diperoleh
adalah kombinasi antara gambar, suara dan gerakan serta bersifat dinamis,
sehingga sangat menarik perhatian, lebih prestisius dibanding media lain, muatan

isi lebih banyak, lengkap, berisi berbagai macam tipe informasi (teks,
gambar/foto, suara/musik, video), dan selain itu memberikan kemudahan dalam
pengembangan publikasinya karena bisa juga di upload via internet.
Unsur-unsur dalam video yang bisa menjadi tolak ukur kualitas antara
lain15:
1. Skenario yang mampu memaparkan sebuah permasalahan secara lengkap,
padat, singkat, jelas dan menarik.
2. Komposisi gambar yang solid dan progresif.
3. Bahasa gambar yang kuat.
4. Animasi kreatif dan inovatif, bila diperlukan.
5. Kualitas suara yang baik.
Dalam Kebudayaan Samin, solidaritas sosial, keluhuran moral, dan
kearifan masyarakat Samin, serta permasalahan yang ada ini hanya akan dapat
mudah dipahami bila kita dapat melihat sendiri atau bergaul dengan masyarakat
tersebut. Oleh karena itu untuk merepresentasikan hal ini, diperlukan adanya
media audiovisual/video yang dapat diterima oleh masyarakat modern. Nilai-nilai
budaya ini menjadi penting saat fungsi sosial kebudayaan itu dilaksanakan namun
terbentur pada permasalahan kemasan yang dianggap kuno dan ketinggalan
zaman. Sesuai dengan sifat media audiovisual/video dan mampu disetarakan
dengan sebuah rekonstruksi adalah film dokumenter.
16 Re-enactment, Reconstruction & Docudrama, Chandra Tanzil, 16 Oktober 2009.
17 Film Dokumenter, Sebuah Alat, Chandra Tanzil, 21 Agustus 2009
6 Hasil Survey 2
Film dokumenter adalah media audiovisual/video yang mampu
merepresentasikan kejadian sesuai dengan realita yang ada. Sesuai dengan tulisan

Chandra Tanzil, praktisi dokumenter yang juga direktur In-Docs, bahwa tujuan
utama dari film dokumenter adalah merepresentasikan kembali suatu kejadian,
kisah hidup, atau realita16. Dan dalam buku Bill Nichols yang berjudul
Representing Reality, yang dikutip oleh Chandra Tanzil, Nichols membuat sebuah
rumusan sederhana dalam memberikan pemahaman yang hakiki mengenai
definisi film dokumenter. Bahwa film dokumenter adalah sebuah upaya untuk
menceritakan kembali sebuah kejadian/realita, menggunakan fakta dan data17.
Pengungkapan sebuah fakta sekiranya dapat mengingatkan kembali, merangsang
para generasi penerus untuk dapat mengenal identitasnya yang dapat dibanggakan
atau mungkin dampak yang lebih ekstrim yaitu dapat memberikan aksi maupun
reaksi terhadap permasalahan yang ada.
Ini adalah hal yang menarik ketika permasalahan budaya diangkat
kedalam media film dokumenter, terlebih ketika akhir-akhir ini permasalahan
budaya sedang mendapat sorotan oleh karena pengakuan dari negara lain.
Sedangkan menurut data survey sendiri, 44 dari 84 responden yang tertarik pada
masalah sosial6, juga menganggap bahwa masalah budaya adalah masalah yang
menarik. Tak hanya itu, film dokumenter juga menjadi sebuah tren tersendiri
dalam perfilman dunia. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa

kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan
Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap
memproklamirkan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program
dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi televisi,
film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam
dan luar negeri. Di Indonesia sendiri, sampai akhir penyelenggaraannya tahun
1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film

dokumenter. Pada permasalahn budaya khususnya, menurut data survey, 86%
6 Hasil Survey 2
6 Hasil Survey 2
responden menyetujui media film dokumenter sebagai media pelestarian
kebudayaan tradisional6.

87%
13%
SetujuTidak Setuju
Gambar 1.2 Hasil kuisoner film dokumenter sebagai media pelestarian kebudayaan t
radisional

76%
24%
SetujuTidak Setuju
Gambar 1.3 Hasil kuisoner bahwa masyarakat Samin, Bojonegoro, direpresentasikan
melalui media film dokumenter

Serupa dengan hal tersebut, 76% responden menyetujui bahwa masyarakat
Samin, Margomulyo, Bojonegoro, ini perlu direpresentasikan melalui media film
dokumenter6. Mengingat kekuatan film dokumenter yang memiliki treatment
tersendiri untuk mengkomuni-kasikannya pada audiens melalui medium audio
visual, terlebih lagi film dokumenter memiliki bergaining of power terhadap
sebuah realitas. Seperti yang diungkapkan oleh pakar dokumenter, John F
Griersen, salah seorang bapak film dokumenter, menyebutkan bahwa kekuatan
film dokumenter hampir sebanding dengan sebuah rekonstruksi. Maksudnya
adalah untuk menangkap sebuah problematika pada kebudayaan Samin perlu
adanya sebuah dimensi untuk menggambarkan realitas secara komprehensif.
Dan secara umum, film dokumenter yang mampu mendorong penentu
kebijakan untuk memberikan reaksi adalah sebagai berikut,
a. Kontroversial
Kontroversial di sini adalah baik itu secara tema cerita film bersifat
kontroversi, yang memang kontroversial dan mengundang perhatian, maupun
adanya kontroversi antar subjek dalam film itu sendiri.
b. Tragis
Secara cerita begitu tragis, mengenaskan atau begitu kontras bila
dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya.
c. Menyentuh hati, mengiba
Memiliki alur dan latar/setting cerita yang dapat menyentuh hati pemirsanya,
sehingga menuntut perhatian lebih.
d. Kadang mengejutkan
Maksudnya, cerita yang disuguhkan membuat pemirsanya hingga tercengang,
apabila menonton beberapa adegan dalam film.

Faktor pendorong yang ada pada film dokumenter Tribute to East Java
Heritage Seri Kebudayaan Samin ini adalah,
Masyarakat Samin yang dulunya terkenal dengan penampilan yang serba
hitam, kolot, dan terkesan bodoh, ternyata pandai dan kini terbuka akan
pendidikan.
Adanya gap antara perwakilan generasi muda diwakili oleh Yeyen
Yulianto/Juli dengan wakil generasi tua yang diwakili oleh Bambang
Sutrisno/Mas Tris. Bahwa generasi muda menginginkan secepatnya terjadi
perubahan besar pada dusunnya, sedangkan generasi tua mengajak dengan
sabar dan menerima apa adanya keadaan yang ada.
Kondisi lingkungan dusun di mana masyarakat Samin tinggal masih adanya
kesulitan air, dan banyak dari perumahan masyarakat yang belum mempunyai
kamar mandi dan kakus.
Belum meratanya listrik yang masuk ke Margomulyo, utamanya Dusun
Jepang.
6 Hasil Survey 2
Keadaan bangunan sekolah dasar yang kurang baik untuk digunakan
Kebanyakan siswa yang tidak bersepatu kala bersekolah
Kurangnya fasilitas dan buku sekolah
Belum adanya bangunan untuk Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak
Kanak
Nyaris tak ada penghasilan untuk pengajar AKF dan PAUD
Masih saja banyak siswa yang putus sekolah karena biaya

1.2 Identifikasi Masalah
Pada perancangan ini, identifikasi masalah dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu identifikasi masalah secara umum dan identifikasi masalah yang menunjang
disiplin ilmu Desain Komunikasi Visual. Adapun identifikasi masalahnya adalah,
sebagai berikut:
1. Secara garis besar, permasalahan yang dialami kebudayaan tradisional
Indonesia khususnya Jawa Timur memiliki kesamaan, yaitu benturan akan
derasnya arus globalisasi yang membuka kebudayaan asing untuk masuk
ke Indonesia. Dan adanya fenomena kebudayaan tradisional yang
mengarah pada kepunahan. (81% responden survey AIO menyetujui
bahwa kebudayaan tradisional cenderung mengalami kepunahan)6.
2. a. Ada fenomena yang beredar di masyarakat akan anggapan miring
mengenai Samin/wong Samin/masyarakat Samin.
b. Datangnya pejabat/tokoh masyarakat dan peneliti tidak memberikan
perubahan yang berarti pada pembangunan dan pendidikan masyarakat.
c. Upaya masyarakat Samin dusun Jepang untuk mendapatkan pendidikan
dan penghidupan yang layak, perlu mendapatkan perhatian.
Dan dalam upaya untuk merepresentasikan problematika yang ada pada
kebudayaan Samin tersebut, maka dipilihlah media film dokumenter. Pemilihan
media film dokumenter ini didasari oleh kekuatan film dokumenter sendiri dan
masih banyaknya minat akan media tersebut di kalangan masyarakat.
0510152025Film DramaFilm DokumenterFilm Kartun/AnimasiFilm HororFilm ActionFilm
KomediLainya

Gambar 1.4 Hasil kuisoner minat masyarakat terhadap media film


1.3 Batasan Masalah
Dalam perancangan film dokumenter ini, permasalahan kebudayaan Samin
akan dibatasi dalam dua hal yakni konseptual dan teknis.
1. Secara konseptual, pembahasan terfokus pada uraian secara umum tentang
pengertian Samin dan perjuangan subjek film dalam memperjuangkan
pendidikan, serta upayanya dalam nguri-uri kegotong royongan, keluhuran
moral, dan kearifan ajaran Samin, hingga problematika yang dihadapinya.
2. Sedangkan secara teknis, permasalahan akan dibatasi pada:
a. Perancangan berdasar pada perencanaan tone and manner (bahasa rupa),
yang mampu mencirikan karakter Kebudayaan Samin secara visual.
b. Perancangan ini terfokus pada gaya film dokumenter observatory/direct
cinema (pendekatan yang bersifat observasi)
c. Perancangan ini berdasar pada analisa konten (problematika dalam
kebudayaan Samin) dan alur cerita yang sesuai
d. Perancangan berdasarkan pada referensi-referensi teknis pada media film

1.4 Rumusan Masalah
Bagaimana merancang sebuah film dokumenter yang mampu menjadi
faktor pendorong pada target audiens untuk memberikan perhatian pada
masyarakat Samin, Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, sebagai program
budaya Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin?



1.5 Ruang Lingkup
1.5.1. Ruang Lingkup Studi
Secara garis besar ruang lingkup kerja yang akan di lakukan adalah
perancangan dan penyusunan proyek sebuah film dokumenter Seri Kebudayaan
Samin dalam program budaya Tribute to East Java Heritage, mengenai perjuangan
subjek film dalam memperjuangkan pendidikan, serta upayanya dalam nguri-uri
kegotongroyongan, keluhuran moral, dan kearifan ajaran Samin, hingga
problematika yang dihadapinya. Perancangan film dokumenter sebagai media
utama. Dalam kasus ini studi yang perlu dilakukan antara lain berupa:
a. Analisa problematika Kebudayaan Samin (meliputi studi melalui survey,
penentuan target segment, survey AIO, observasi, interview, serta
pengumpulan data dan informasi yang dapat mendukung).
b. Tone and manner/bahasa rupa (Bagaimana mencari karakter yang mencirikan
karakter Kebudayaan Samin secara visual, baik dari segi layout, desain,
warna, bentuk, dan komposisi antara subtitle dan gambar).
c. Studi literatur, mencakup studi budaya sebagai pembahasan konten dan studi
sinematografi sebagai pembahasan media film dokumenter
d. Studi eksisting, meliputi studi perbandingan dengan beberapa film
dokumenter yang ada sebagai komparator media.
e. Riset target audience, meliputi pendapat audience tentang wacana mengenai
kebudayaan Samin, karakteristik target audience, sebagai dasar pemilihan
gaya pada perancangan film dokumenter ini.
1.5.2. Output
Output media dalam perancangan ini adalah film dokumenter, seri
kebudayaan Samin dalam program budaya Tribute to East Java Heritage.

1.6 Tujuan Penelitian
a. Dapat menjadi faktor pendorong pada target audiens, yaitu penentu kebijakan
dan masyarakat luas untuk mulai memberi perhatian pada masyarakat Samin,
Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro.
1 Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerint
ah Provinsi Jawa Timur
tentang kebudayaan Samin, tahun 2008
12 Kupas Tuntas episode "SAMIN" telah ditayangkan di Trans7 pada 8 Mei 2008.
b. Pengungkapan bahwa masyarakat Samin bukanlah masyarakat yang bodoh
dan terbelakang, dan di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan,
informasi dan teknologi, serta derasnya arus ekonomi, yang rentan terjadi
pergesekan dan perubahan budaya seperti pada masa sekarang ini, orang
Samin memiliki kepribadian yang dapat dijadikan rujukan. Seperti apa yang
dipaparkan oleh Setya Yuwana Sudikan, bahawa orang Samin dikenal sangat
jujur dan bersikukuh memelihara ajarannya1. Dan ditengah kegersangan
modernitas, lokalitas seperti orang Samin ini justru menawarkan kearifan12.
Utopis, hidup dalam keharmonisan, gotong royong dan tolong menolong yang
tanpa pamrih.

1.7 Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, film dokumenter sebagai media akan merangsang
ethnoconservation, pelestarian oleh masyarakat secara mandiri dengan
mendasarkan diri pada pemahaman dan konsep mereka sendiri khususnya
dalam konteks kebudayaan Jawa Timur.
2. Secara praksis, pemerintah memberikan perhatian pada masyarakat Dusun
Jepang, Margomulyo, Bojonegoro
3. Bahwasanya nanti film dokumenter ini akan di-screening-kan dan
didistribusikan bersama dengan seri yang lainnya.
4. Penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak akademis sebagai kajian tentang
penelitian sebuah perancangan media film dokumenter tentang kebudayaan
Samin sebagai salah satu identitas kebudayaan Jawa Timur.
5. Penelitian ini bermanfaat bagi Mahasiswa Desain Komunikasi Visual dalam
mencari acuan tugas penelitian dan perancangan berjudul tentang perancangan
media film dokumenter tentang kebudayaan Samin sebagai salah satu identitas
kebudayaan Jawa Timur.
6. Penelitian ini bermanfaat bagi audience dan masyarakat sebagai sumber
refrensi dan acuan tentang tentang kebudayaan Samin sebagai salah satu
identitas kebudayaan Jawa Timur.

1.8 Sistematika Penelitian
1.8.1 BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang latar belakang, Identifikasi Masalah, Batasan
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat dan Sistematika Penulisan.
1.8.2 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas tentang teori-teori yang digunakan untuk mendukung
penyelesaian masalah atau pencapaian tujuan. Dan juga studi eksisting
dari media yang sebelumnya serta dari komparator yang serupa.
1.8.3 BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini membahas tentang gambaran atau wacana yang lebih detail
mengenai subyek desain dan kaitannya dengan masalah dan tinjauan
tentang produk eksisting, teknik sampling, jenis dan sumber data, serta
metode penelitian yang digunakan.
1.8.4 BAB IV : KONSEP DESAIN
Bab ini membahas tentang definisi konsep yang dikaitkan dengan masalah
atau tujuan, penjelasan pentahapan pencapaian solusi serta metode
pencapaian desain, mulai dari penelusuran masalah, penetapan target
audience, konsep desain, serta alternatif desain
1.8.5 BAB V : IMPLEMENTASI DESAIN
Bab ini menjelaskan hasil desain yang terpilih serta implementasinya pada
tiap-tiap media yang telah ditentukan, lengkap dengan strategi dan
perincian karakter medianya.
1.8.6 BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan kesimpulan keseluruhan hasil penelitian serta saran
yang diperlukan untuk pembahasan penilitian ini.

Anda mungkin juga menyukai