Anda di halaman 1dari 15

PENGUATAN LITERASI

A. Kompetensi
Peserta pendidikan dan pelatihan mampu memahami prinsip dasar
literasi.

B. Indikator Pencapaian Kompetensi


1. Memahami prinsip dasar literasi baca-tulis.
2. Memahami prinsip dasar literasi numerasi.
3. Memahami prinsip dasar literasi sains
4. Memahami prinsip dasar literasi digital
5. Memahami prinsip dasar literasi finansial.
6. Menganalisis prinsip dasar literasi budaya dan kewargaan.

C. Materi
1. Pengantar
Sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa bangsa yang
maju tidak dibangun hanya dengan mengandalkan kekayaan alam yang
melimpah dan jumlah penduduk yang banyak. Bangsa yang besar ditandai
dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif
memajukan masyarakat dunia. Keberliterasian dalam konteks ini bukan
hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan
juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup
agar mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan
kesejahteraan dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi
menunjukkan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis,
kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia harus mampu mengembangkan
budaya literasi sebagai prasyarat kecakapan hidup abad ke-21 melalui
pendidikan yang terintegrasi, mulai dari keluarga, sekolah, sampai dengan
masyarakat. Penguasaan enam literasi dasar yang disepakati oleh World
Economic Forum pada tahun 2015 menjadi sangat penting tidak hanya bagi

1
peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat. Enam
literasi dasar tersebut mencakup literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi
sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
Pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah
melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca anak. Sebagai
bagian penting dari penumbuhan budi pekerti, minat baca anak perlu
dipupuk sejak usia dini mulai dari lingkungan keluarga. Minat baca yang
tinggi, didukung dengan ketersediaan bahan bacaan yang bermutu dan
terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis, baik di
sekolah maupun di masyarakat. Dengan kemampuan membaca ini pula
literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan
kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan. Demikian, sebagaimana
disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kata
sambutannya dalam buku Materi Pendukung Gerakan Literasi Nasional (2017)
Untuk turut berpartisipasi dan berkiprah pada abad ke-21 diperlukan
penguasaan keterampilan yang berupa literasi dasar, kompetensi, dan
kualitas karakter. Hal tersebut ditegaskan pada Forum Ekonomi Dunia pada
2015 dan 2016 yang menyatakan bahwa bangsabangsa di dunia harus
merumuskan visi baru pendidikan yang berisikan tiga hal tersebut sebagai
satu kesatuan. Seiring dengan itu, dengan tetap berlandaskan pada
perundang-undangan dan cita-cita luhur bangsa, pemerintah Indonesia
tengah melaksanakan reformasi pendidikan nasional yang disesuaikan
dengan visi baru pendidikan tersebut. Secara umum hal itu tampak pada tema
pembangunan pendidikan periode 2015–2019 yang akan meningkatkan daya
saing regional dan daya sanding (kolaborasi). Dengan cara demikian
Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi dan berkiprah dalam globalisasi
dan regionalisasi, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sekarang.
Agar sanggup unggul dalam partisipasi dan kiprah di tengah globalisasi
dan regionalisasi pada abad ke-21, pendidikan nasional kita perlu berfokus
atau berporos pada tiga hal pokok, yaitu literasi dasar, kompetensi, dan
kualitas karakater. Literasi dasar yang perlu dijadikan poros pendidikan kita
adalah (1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4)

2
literasi digital, (5) literasi finansial, serta (6) literasi budaya dan kewargaan.
Kemudian kompetensi yang perlu menjadi fokus pendidikan kita meliputi
berpikir kritis untuk memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan
kolaborasi. Selanjutnya, karakter utama yang perlu menjadi poros pendidikan
kita meliputi karakter yang religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan
integritas.
Literasi tidak lagi hanya dipahami sebagai transformasi individu
semata, tetapi juga sebagai transformasi sosial. Rendahnya tingkat literasi
sangat berkorelasi dengan kemiskinan, baik dalam arti ekonomi maupun
dalam arti yang lebih luas. Literasi memperkuat kemampuan individu,
keluarga, dan masyarakat untuk mengakses kesehatan, pendidikan, serta
ekonomi dan politik. Dalam konteks kekinian, literasi melingkupi ilmu
pengetahuan dan teknologi, keuangan, budaya dan kewargaan, kekritisan
pikiran, dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu,
masyarakat Indonesia harus menguasai literasi yang dibutuhkan untuk
dijadikan bekal mencapai dan menjalani kehidupan yang berkualitas, baik
masa kini maupun masa yang akan datang.
Dengan senantiasa mengingat hubungan timbal baliknya dengan
kualitas karakter dan kompetensi, literasi dasar perlu dijadikan kebijakan
pendidikan nasional. Untuk itu, dicanangkanlah kebijakan Gerakan Literasi
Nasional (selanjutnya GLN). Dengan GLN insan pendidikan terutama peserta
didik sebagai generasi penerus bangsa tidak sekadar memiliki kemampuan
baca, tulis, dan hitung. Lebih dari itu, mereka melek ilmu pengetahuan dan
teknologi, keuangan, budaya dan kewargaan, berpikiran kritis, dan peka
terhadap lingkungan sekitar. Dengan demikian, literasi dapat dijadikan salah
satu bekal untuk menjalani kehidupan yang berkualitas dan bermartabat.

2. Prinsip Dasar Literasi Baca-Tulis


Salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu kita kuasai adalah
literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang dikenal
paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya tergolong literasi
fungsional dan berguna besar dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memiliki

3
kemampuan baca-tulis, seseorang dapat menjalani hidupnya dengan kualitas
yang lebih baik. Terlebih lagi di era yang semakin modern yang ditandai
dengan persaingan yang ketat dan pergerakan yang cepat. Kompetensi
individu sangat diperlukan agar dapat bertahan hidup dengan baik.
Membaca merupakan kunci untuk mempelajari segala ilmu
pengetahuan, termasuk informasi dan petunjuk sehari-hari yang berdampak
besar bagi kehidupan. Ketika menerima resep obat, dibutuhkan kemampuan
untuk memahami petunjuk pemakaian yang diberikan oleh dokter. Jika salah,
tentu akibatnya bisa fatal. Kemampuan membaca yang baik tidak sekadar bisa
lancar membaca, tetapi juga bisa memahami isi teks yang dibaca. Teks yang
dibaca pun tidak hanya katakata, tetapi juga bisa berupa simbol, angka, atau
grafik.
Membaca penuh pemahaman juga akan menumbuhkan empati. Untuk
memahami isi bacaan, kita berusaha untuk membayangkan dan memosisikan
diri pada situasi seperti yang ada di dalam teks bacaan. Dengan begitu, kita
mengasah diri untuk berempati dengan kondisi-kondisi di luar diri yang tidak
kita alami. Membaca juga akan mengembangkan minat kita pada hal-hal baru.
Semakin beragam jenis bacaan yang dibaca, memungkinkan kita untuk
mengenal sesuatu yang belum pernah kita ketahui. Hal ini tentu akan
memperluas pandangan dan membuka lebih banyak pilihan baik dalam
hidup.
Berkaitan erat dengan membaca, kemampuan menulis pun penting
untuk dimiliki dan dikembangkan. Membaca dan menulis berkorelasi positif
dengan kemampuan berbahasa dan penguasaan kosakata. Masukan kata-kata
dan gagasan didapat melalui membaca, sedangkan keluarannya disalurkan
melalui tulisan. Seseorang yang terbiasa membaca dan menulis bisa
menemukan kata atau istilah yang tepat untuk mengungkapkan suatu hal.
Kemampuan seperti inilah yang membuat komunikasi berjalan dengan baik.
Untuk dapat menyerap informasi dari bacaan atau meramu ide menjadi
tulisan diperlukan fokus yang baik. Dengan begitu, membiasakan diri untuk
melakukan aktivitas membaca dan menulis akan meningkatkan daya
konsentrasi. Kinerja otak menjadi lebih maksimal. Di samping itu, imajinasi

4
dan kreativitas pun akan tumbuh karena semakin banyak wawasan yang
didapat dan semakin tajam cara berpikir yang terbentuk. Membaca dan
menulis juga bisa dijadikan sarana hiburan yang dapat menurunkan tingkat
stres. Kualitas hidup dapat menjadi lebih baik dengan adanya kemampuan
baca-tulis. Tanpa literasi baca-tulis yang baik, kehidupan kita akan terbatas,
bahkan berhadapan dengan banyak kendala. Oleh karena itu, literasi baca-
tulis perlu dikenalkan, ditanamkan, dan dibiasakan kepada masyarakat
Indonesia, khususnya oleh para pemangku pendidikan.
Literasi baca-tulis bisa disebut sebagai moyang segala jenis literasi
karena memiliki sejarah amat panjang. Literasi ini bahkan dapat dikatakan
sebagai makna awal literasi, meskipun kemudian dari waktu ke waktu makna
tersebut mengalami perubahan. Tidak mengherankan jika pengertian literasi
baca-tulis mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya
literasi baca-tulis sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta
huruf. Kemudian melek aksara dipahami sebagai pemahaman atas informasi
yang tertuang dalam media tulis. Tidak mengherankan jika kegiatan literasi
baca-tulis selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Lebih
lanjut, literasi baca-tulis dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial
di dalam masyarakat. Di sinilah literasi baca-tulis sering dianggap sebagai
kemahiran berwacana. Dalam konteks inilah Deklarasi Praha pada 2003
mengartikan literasi baca-tulis juga mencakup bagaimana seseorang
berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi baca-tulis juga bermakna praktik
dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya
(UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO tersebut juga menyebutkan bahwa
literasi baca-tulis terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan
terorganisasi, menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk
mengatasi bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan tersebut
perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam
masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan bagian dari hak dasar
manusia yang menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

5
Sejalan dengan itu, Forum Ekonomi Dunia 2015 dan 2016 mengartikan
literasi baca-tulis sebagai pengetahuan baca-tulis, kemampuan memahami
baca-tulis, dan kemampuan menggunakan bahasa tulis. Senada dengan itu,
dalam Peta Jalan GLN, literasi baca-tulis diartikan sebagai pengetahuan dan
kemampuan membaca dan menulis, mengolah dan memahami informasi saat
melakukan proses membaca dan menulis, serta kemampuan menganalisis,
menanggapi, dan menggunakan bahasa. Jadi, literasi baca-tulis adalah
pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri,
mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan
menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan, mengembangkan
pemahaman dan potensi, serta untuk berpartisipasi di lingkungan sosial. Di
tengah banjir bandang informasi melalui pelbagai media, baik media massa
cetak, audiovisual, maupun media sosial, kemampuan literasi baca-tulis
tersebut sangat penting. Dengan kemampuan literasi baca-tulis yang
memadai dan mantap, kita sebagai individu, masyarakat, dan/atau bangsa
tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai informasi yang beraneka
ragam yang datang secara bertubi-tubi kepada kita. Di samping itu, dengan
kemampuan literasi baca-tulis yang baik, kita bisa meraih kemajuan dan
keberhasilan. Tidak mengherankan, UNESCO menyatakan bahwa
kemampuan literasi baca-tulis merupakan titik pusat kemajuan. Vision Paper
UNESCO (2004) menegaskan bahwa kemampuan literasi baca-tulis telah
menjadi prasyarat partisipasi bagi pelbagai kegiatan sosial, kultural, politis,
dan ekonomis pada zaman modern. Kemudian Global Monitoring Report
Education for All (EFA) 2007: Literacy for All menyimpulkan bahwa
kemampuan literasi baca-tulis berfungsi sangat mendasar bagi kehidupan
modern karena–seperti diungkapkan oleh Koichiro Matsuura, Direktur
Umum UNESCO–kemampuan literasi bacatulis adalah langkah pertama yang
sangat berarti untuk membangun kehidupan yang lebih baik (2006).

3. Prinsip Dasar Literasi Numerasi


Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a)
menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan

6
matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai
macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis informasi yang
ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dsb.) lalu
menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan
mengambil keputusan. Secara sederhana, numerasi dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan
operasi hitung di dalam kehidupan sehari-hari (misalnya, di rumah,
pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat dan sebagai warga
negara) dan kemampuan untuk menginterpretasi informasi kuantitatif yang
terdapat di sekeliling kita. Kemampuan ini ditunjukkan dengan kenyamanan
terhadap bilangan dan cakap menggunakan keterampilan matematika secara
praktis untuk memenuhi tuntutan kehidupan. Kemampuan ini juga merujuk
pada apresiasi dan pemahaman informasi yang dinyatakan secara matematis,
misalnya grafik, bagan, dan tabel.
Numerasi tidaklah sama dengan kompetensi matematika. Keduanya
berlandaskan pada pengetahuan dan keterampilan yang sama, tetapi
perbedaannya terletak pada pemberdayaan pengetahuan dan keterampilan
tersebut. Pengetahuan matematika saja tidak membuat seseorang memiliki
kemampuan numerasi. Numerasi mencakup keterampilan mengaplikasikan
konsep dan kaidah matematika dalam situasi real sehari-hari, saat
permasalahannya sering kali tidak terstruktur (unstructured), memiliki
banyak cara penyelesaian, atau bahkan tidak ada penyelesaian yang tuntas,
serta berhubungan dengan faktor nonmatematis. Sebagai contoh, seorang
siswa belajar bagaimana membagi bilangan bulat dengan bilangan bulat
lainnya. Ketika bilangan yang pertama tidak habis dibagi, maka akan ada sisa.
Biasanya siswa diajarkan untuk menuliskan hasil bagi dengan sisa, lalu
mereka juga belajar menyatakan hasil bagi dalam bentuk desimal. Dalam
konteks kehidupan sehari-hari, hasil bagi yang presisi (dengan desimal)
sering kali tidak diperlukan sehingga sering kali dilakukan pembulatan.
Secara matematis, kaidah pembulatan ke bawah dilakukan jika nilai
desimalnya lebih kecil daripada 5, pembulatan ke atas jika nilai desimalnya
lebih besar daripada 5, dan pembulatan ke atas atau ke bawah bisa dilakukan

7
jika nilai desimalnya 5. Namun, dalam konteks real, kaidah itu tidaklah selalu
dapat diterapkan. Contohnya, jika 40 orang yang akan bertamasya diangkut
dengan minibus yang memuat 12 orang, secara matematis minibus yang
dibutuhkan untuk memuat semua orang itu adalah 3,333333. Jumlah itu tentu
tidak masuk akal sehingga dibulatkan ke bawah menjadi 3 minibus. Akan
tetapi, jika sebuah tempat duduk hanya boleh diduduki oleh satu orang saja,
artinya ada 4 orang tidak mendapatkan tempat duduk. Oleh karena itu, jumlah
minibus yang seharusnya dipesan adalah 4 buah.
Perlu dicermati bahwa numerasi membutuhkan pengetahuan
matematika yang dipelajari dalam kurikulum. Akan tetapi, pembelajaran
matematika itu sendiri belum tentu menumbuhkan kemampuan numerasi.
Dengan demikian, prinsip dasar literasi numerasi: (1) bersifat kontekstual,
sesuai dengan kondisi geografis, sosial budaya, dan sebagainya; (2) selaras
dengan cakupan matematika dalam Kurikulum 2013; dan (3) saling
bergantung dan memperkaya unsur literasi lainnya.

4. Prinsip Dasar Literasi Sains


Literasi sains merupakan kunci utama untuk menghadapi berbagai
tantangan pada abad XXI untuk mencukupi kebutuhan air dan makanan
pengendalian penyakit, menghasilkan energi yang cukup, dan menghadapi
perubahan iklim (UNEP, 2012). Banyak isu yang timbul di tingkat lokal ketika
individu berhadapan dengan keputusan berkaitan dengan praktik-praktik
yang memengaruhi kesehatan dan persediaan makanan, penggunaan bahan
dan teknologi baru yang tepat, dan keputusan tentang penggunaan energi.
Sains dan teknologi memiliki kontribusi utama terkait dengan semua
tantangan di atas dan semua tantangan tidak akan terselesaikan jika individu
tidak memiliki kesadaran tetapi memungkinkan mereka untuk berperan
dalam membuat pilihan yang berdampak pada lingkungan dan dalam arti
yang lebih luas memahami implikasi sosial dari perdebatan para pakar. Hal
ini juga berarti bahwa pengetahuan sains dan teknologi berbasis sains
berkontribusi signifikan terhadap kehidupan pribadi, sosial, dan profesional.
Literasi sains membantu kita untuk membentuk pola pikir, perilaku, da

8
membangun karakter manusia untuk peduli dan bertanggung jawab terhadap
dirinya, masyarakat, dan alam semesta, serta permasalahan yang dihadapi
masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi.
Individu yang literat sains harus dapat membuat keputusan yang lebih
berdasar. Mereka harus dapat mengenali bahwa sains dan teknologi adalah
sumber solusi. Sebaliknya, mereka juga harus dapat melihatnya sebagai
sumber risiko, menghasilkan masalah baru yang hanya dapat diselesaikan
melalui penggunaan sains dan teknologi. Oleh karena itu, individu harus
mampu mempertimbangkan manfaat potensial dan risiko dari penggunaan
sains dan teknologi untuk diri sendiri dan masyarakat. Literasi sains tidak
hanya membutuhkan pengetahuan tentang konsep dan teori sains, tetapi juga
pengetahuan tentang prosedur umum dan praktik terkait dengan inkuiri
saintifik dan bagaimana memajukan sains itu sendiri. Untuk semua alasan
tersebut, literasi sains dianggap menjadi kompetensi kunci yang sangat
penting untuk membangun kesejahteraan manusia di masa sekarang dan
masa depan.
Literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan
ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan
baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar
fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan
teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta
kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang terkait sains (OECD,
2016). National Research Council (2012) menyatakan bahwa rangkaian
kompetensi ilmiah yang dibutuhkan pada literasi sains mencerminkan
pandangan bahwa sains adalah ansambel dari praktik sosial dan epistemik
yang umum pada semua ilmu pengetahuan, yang membingkai semua
kompetensi sebagai tindakan.
Literasi Sains memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu; (1) kontekstual,
sesuai dengan kearifan lokal dan perkembangan zaman; (2) memenuhan
kebutuhan sosial, budaya, dan kenegaraan; (3) sesuai dengan standar mutu
pembelajaran yang sudah selaras dengan pembelajaran abad XXI; (4) holistik
dan terintegrasi dengan beragam literasi lainnya; dan (5) kolaboratif dan

9
partisipatif. Literasi sains merupakan bagian dari sains, bersifat praktis,
berkaitan dengan isu-isu tentang sains dan ide-ide sains. Warga Negara harus
memiliki kepekaan terhadap kesehatan, sumber daya alam, kualitas
lingkungan, dan bencana alam dalam konteks personal, lokal, nasional, dan
global. Dari sini kita bisa melihat bahwa cakupan literasi sains sangat luas,
tidak hanya dalam mata pelajaran sains, tetapi juga beririsan dengan literasi
lainnya.

5. Literasi Digital
Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy
(1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan
menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang
sangat luas yang diakses melalui piranti komputer. Bawden (2001)
menawarkan pemahaman baru mengenai literasi digital yang berakar pada
literasi komputer dan literasi informasi. Literasi komputer berkembang pada
dekade 1980-an, ketika komputer mikro semakin luas dipergunakan, tidak
saja di lingkungan bisnis, tetapi juga di masyarakat. Namun, literasi informasi
baru menyebar luas pada dekade 1990-an manakala informasi semakin
mudah disusun, diakses, disebarluaskan melalui teknologi informasi
berjejaring. Dengan demikian, mengacu pada pendapat Bawden, literasi
digital lebih banyak dikaitkan dengan keterampilan teknis mengakses,
merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi.
Sementara itu, Douglas A.J. Belshaw dalam tesisnya What is ‘Digital
Literacy‘? (2011) mengatakan bahwa ada delapan elemen
esensial untuk mengembangkan literasi digital, yaitu sebagai berikut.
1. Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
2. Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
3. Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
4. Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia
digital;
5. Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
6. Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;

10
7. Kritis dalam menyikapi konten; dan
8. Bertanggung jawab secara sosial.
Aspek kultural, menurut Belshaw, menjadi elemen terpentingkarena
memahami konteks pengguna akan membantu aspek kognitif dalam menilai
konten. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa literasi
digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital,
alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi,
menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat,
bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina
komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut UNESCO konsep literasi digital menaungi dan menjadi
landasan penting bagi kemampuan memahami perangkat-perangkat
teknologi, informasi, dan komunikasi. Misalnya, dalam Literasi TIK (ICT
Literacy) yang merujuk pada kemampuan teknis yang memungkinkan
keterlibatan aktif dari komponen masyarakat sejalan dengan perkembangan
budaya serta pelayanan publik berbasis digital. Literasi TIK dijelaskan dengan
dua sudut pandang. Pertama,
Literasi Teknologi (Technological Literacy)—sebelumnya dikenal
dengan sebutan Computer Literacy—merujuk pada pemahaman tentang
teknologi digital termasuk di dalamnya pengguna dan kemampuan teknis.
Kedua, menggunakan Literasi Informasi (Information Literacy). Literasi ini
memfokuskan pada satu aspek pengetahuan, seperti kemampuan untuk
memetakan, mengidentifikasi, mengolah, dan menggunakan informasi digital
secara optimal. Konsep literasi digital, sejalan dengan terminologi yang
dikembangkan oleh UNESCO pada tahun 2011, yaitu merujuk pada serta tidak
bisa dilepaskan dari kegiatan literasi, seperti membaca dan menulis, serta
matematika yang berkaitan dengan pendidikan. Oleh karena itu, literasi
digital merupakan kecakapan (life skills) yang tidak hanya melibatkan
kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi,
tetapi juga kemampuan bersosialisasi, kemampuan dalam pembelajaran, dan
memiliki sikap, berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetensi
digital.

11
6. Literasi Finasnsial
Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar
dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk
meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan
dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat. Selain itu, Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) juga memberikan penekanan mengenai pentingnya inklusi
finansial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari literasi finansial.
Pengertian inklusi finansial sendiri adalah sebuah proses yang menjamin
kemudahan akses, ketersediaan, dan penggunaan sistem keuangan formal
untuk semua individu.
Literasi finansial sebagai salah satu literasi dasar menawarkan
seperangkat pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola sumber daya
keuangan secara efektif untuk kesejahteraan hidup sekaligus kebutuhan
dasar bagi setiap orang untuk meminimalisasi, mencari solusi, dan membuat
keputusan yang tepat dalam masalah keuangan. Literasi finansial juga
memberikan pengetahuan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya sebagai amunisi untuk pembentukan dan penguatan sumber daya
manusia Indonesia yang kompeten, kompetitif, dan berintegritas dalam
menghadapi persaingan di era globalisasi dan pasar bebas dan juga sebagai
warga negara dan warga dunia yang bertanggung jawab dalam pelestarian
alam dan lingkungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup dan kesejahteraan.
Adapun prinsip-prinsip dasar literasi finansila adalah sebagai berikut.
1. Keutuhan (holistik) unsur-unsur literasi finansial bersinergi dengan lima
literasi dasar yang lain, dengan kecakapan abad ke-21.
2. Keterpaduan (terintegrasi) dengan kompetensi, kualitas karakter dengan
lima literasi dasar lainnya. Keterpaduan dengan berbagai ranah, baik
sekolah, keluarga, dan masyarakat.
3. Responsif terhadap kearifan lokal dan ajaran religi yang ada di Indonesia.
Berisi muatan yang mempertimbangkan kearifan local dan ajaran religi
yang sangat beragam di Indonesia.

12
4. Responsif kesejagatan: mempertimbangkan, tanggap, dan memanfaatkan
hal-hal yang berkenaan dengan literasi finansial yang berasal dari mana
saja (bersifat universal).
5. Inklusif: merangkul semua pihak dengan terbuka dan setara; membuka
kesempatan atau peluang serta kemungkinankemungkinan yang berasal
dari pihak lain.
6. Partisipatif: melibatkan, mendayagunakan, memanfaatkan berbagai
pemangku kepentingan literasi finansial, dan berbagai sumber daya yang
dimiliki berbagai pemangku kepentingan.
7. Kesesuaian perkembangan psikologis, sosial, dan budaya: bahanbahan,
program, dan kegiatan literasi finansial selaras dengan perkembangan
individu, perkembangan sosial, dan budaya yang melingkupi atau
menaungi individu.
8. Keberlanjutan: seluruh program, kegiatan, dan hasilnya harus berlanjut
dan saling menopang.
9. Keakuntabelan semua program, kegiatan, dan hasilliterasi finansial harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pemangku kepentingan
literasi serta bisa diakses dan dikaji kembali oleh pihak lain.

7. Literasi Budaya dan Kewargaan


Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap
terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara itu, literasi
kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Dengan demikian, literasi budaya dan kewargaan merupakan kemampuan
individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai
bagian dari suatu budaya dan bangsa.
Literasi budaya dan kewargaan menjadi hal yang penting untuk dikuasai di
abad ke-21. Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaaan, adat
istiadat, kepercayaan, dan lapisan sosial. Sebagai bagian dari dunia, Indonesia pun
turut terlibat dalam kancah perkembangan dan perubahan global. Oleh karena itu,
kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana atas
keberagaman ini menjadi sesuatu yang mutlak. Adapaun prinsip-prinsip dasar
literasi budaya dan kewargaan meliputi:

13
Budaya sebagai Alam Pikir melalui Bahasa dan Perilaku
Bahasa daerah dan tindak laku yang beragam menjadi kekayaan budaya yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Budaya sebagai alam pikir melalui bahasa dan
perilaku berarti budaya menjadi jiwa dalam bahasa dan perilaku yang dihasilkan
oleh suatu masyarakat. Bahasa daerah dan tindak laku yang beragam menjadi
kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Misalnya, melalui ungkapan
dalam bahasa Jawa memayuhayuningbawono kita mengenal falsafah hidup bahwa
manusia harus mampu menjaga lingkungan hidupnya. Ungkapan tersebut tidak
hanya memiliki arti filosofis, tetapi juga menyiratkan bahwa perilaku manusianya
merupakan bagian dari suatu budaya.
Kesenian sebagai Produk Budaya
Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh
suatu masyarakat. Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar tentunya
menghasilkan berbagai bentuk kesenian dari berbagai daerah dengan membawa ciri
khas kebudayaan dari daerahnya masing-masing. Berbagai macam bentuk kesenian
yang dihasilkan oleh setiap daerah di Indonesia harus dikenalkan kepada
masyarakat terutama generasi muda agar mereka tidak tercerabut dari akar
budayanya dan kehilangan identitas kebangsaannya.
Kewargaan Multikultural dan Partisipatif
Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaaan, adat istiadat,
kepercayaan, dan lapisan sosial. Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan suatu
masyarakat yang mampu berempati, bertoleransi, dan bekerja sama dalam
keberagaman. Semua warga masyarakat dari berbagai lapisan, golongan, dan latar
belakang budaya memiliki kewajiban dan hak yang sama untuk turut berpartisipasi
aktif dalam kehidupan bernegara.
Nasionalisme
Kesadaraan akan kebangsaan adalah hal penting yang harus dimiliki oleh
setiap warga negara. Dengan kecintaan terhadap bangsa dan negaranya, setiap
individu akan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku dan menjunjung tinggi
martabat bangsa dan negaranya.
Inklusivitas
Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, pandangan dan
perayaan inklusivitas sangat berperan untuk membangun kesetaraan warga.
Terbangunnya sikap inklusif akan mendorong setiap anggota masyarakat untuk

14
mencari keuniversalan dari budaya baru yang dikenalnya untuk menyempurnakan
kehidupan mereka.
Pengalaman Langsung
Untuk membangun kesadaran sebagai warga negara, pengalaman langsung
dalam bermasyarakat adalah sebuah laku yang besar artinya untuk membentuk
ekosistem yang saling menghargai dan memahami.

DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Baca Tulis. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Numerasi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Sains. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Digital. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Finansial. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Materi Pendukung Gerakan


Literasi Nasional: Lietarsi Budaya dan Kewargaan. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan

15

Anda mungkin juga menyukai